Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Rigianita Ika Ayu .

KELAS :D-3 Keperawatan (II-A)

NIM :201510300511014

PENTINGNYA PENDIDIKAN MORAL DALAM SEKOLAH

Berita bahwa beberapa gadis SMU telah menjadi anak ayam dimana guru menjadi
mucikarinya di sebuah SMU di Cirebon telah membuat heboh masyarakat Indonesia
belakangan ini. Bahkan mereka melakukan tindakan yang amoral lagi. Dan, menurut banyak
berita, banyak siswi SMU di berbagai kota besar, ternyata berprofesi ganda, bukan hanya
sebagai siswi, tetapi juga pelacur kelas atas. Aspek kesucian hidup dan pergaulan sudah
disisihkan ke tong sampah, sepertinya.

Berbagai macam psikotropika dan narkotika juga begitu banyak beredar di kalangan
anak sekolah. Lebih mengerikan, penjual dan pembeli juga adalah orang-orang yang masih
berstatus siswa. Mereka menjadi pengedar dan sekaligus juga pengguna. Kehidupan yang
rusak seperti ini kerapkali disertai dengan berbagai pesta yang berujung pada tindakan amoral
di kalangan remaja. Anak-anak remaja ini tidak lagi mempertimbangkan rasa takut untuk
hidup rusak, merusak nama baik keluarga dan masyarakatnya.

Berbagai tawuran anak sekolah juga telah membuat resah masyarakat di berbagai
tempat di beberapa kota besar di Indonesia. Bahkan, kejadian-kejadian sejenis seringkali sulit
diatasi oleh pihak sekolah sendiri, sampai-sampai melibatkan aparat kepolisian dan berujung
dengan pemenjaraan, karena merupakan tindakan kriminal yang bisa merenggut nyawa.
Sepertinya nyawa manusia tidak ada harganya, hidup itu begitu murah dan rendah
nilainya.Daftar di atas masih bisa terus diperpanjang dengan berbagai kasus lainnya, seperti
pemerasan siswa terhadap siswa lain, kecurangan dalam ujian, dan berbagai tindakan yang
tidak mencerminkan moral siswa yang baik.

Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah hal seperti demikian lepas dari tanggung
jawab sekolah sebagai institusi pendidikan? Menyekolahkan anak ternyata bukan merupakan
tindakan yang tidak perlu dipikirkan. Memasukkan anak kita di sekolah dengan pergaulan
yang rusak, guru yang tidak bermoral, sekolah yang tidak ketat terhadap kualitas moral dan
teladan guru, akan beresiko besar terhadap anak kita. Pendidikan bukan memberikan
informasi dan pengetahuan kognitif sebanyak-banyaknya kepada anak, tetapi paideia (gerika)
berarti bagaimana membesarkan seorang anak dengan benar. Di dalamnya terkandung aspek
kognitif, tetapi juga aspek mental, moral, dan spiritual. Sekalipun para pakar, bahkan sampai
banyak orang pada umumnya, sadar bahwa pendidikan bukan hanya pengetahuan, tetapi
pembentukan manusia seutuhnya, tetapi di dalam prakteknya, banyak sekolah saat ini yang
lebih banyak memperhatikan aspek kognitif saja, dan mengabaikan semua aspek lainnya.

Gejala pengabaian aspek moral dalam sekolah terlihat semakin lama semakin marak.
Jarang sekolah (baca: tidak ada) mengeluarkan ungkapan tentang pertanggung-jawaban moral
guru di dalam pendidikan. Banyak sekolah tidak peduli bagaimana sikap moral guru di luar
sekolah, ada yang merokok (tetapi sekolah melarang siswa merokok), sampai yang memiliki
simpanan wanita lain. Ada yang memberikan nilai buruk, kecuali jika siswa itu les privat
dengan gurunya, sampai yang mengancam akan tidak meluluskan jika tidak menyetor
sejumlah dana tertentu. Terkadang perilaku sedemikian memang sulit ditindak langsung
secara hukum karena memang sulit mendapatkan bukti autentik yang sah secara hukum.
Tidak mungkin menangkap guru yang merokok, tetapi kita bisa menghukum siswa yang
merokok. Berarti disini terjadi suatu perbedaan standard moral yang diberlakukan di sekolah.
Mengapa pendidikan moral begitu penting di dalam sekolah?

Pertama, pendidikan moral yang buruk dalam sekolah, menjadikan pendidikan


menghasilkan penÂjahat-penjahat canggih di masa depan. Seorang siswa yang pandai,
dengan berbagai pengetahuan yang banyak, tetapi bermoral rusak, akan menjadi alat perusak
masyarakat yang berbahaya sekali. Dr. Kartini Kartono, pakar pendidikan kita mengatakan,
“salah langkah dalam kegiatan mendidik-membentuk ini, pasti membuahkan tipe manusia
salah jadi yang mengerikan dan berbahaya bagi kehidupan bersama di masa-masa
mendatang.(Kartini Kartono, Quo Vadis Pendidikan Indonesia, 1991)
Kedua, manusia adalah makhluk yang bernilai moral. Pendidikan adalah mendidik
hidup. Hidup bukan sekedar sebuah kebetulan, melainkan ada makna dan tujuan di dalamnya.
Disitu seorang siswa belajar bukan untuk sekedar belajar pengetahuan kognitif, tetapi
bagaimana implementasi ilmunya menjadikan hidupnya bermakna, baik secara individu
maupun dalam masyarakat. (Slamet Iman Santoso, Pembinaan Watak: Tugas Utama
Pendidikan, 1979, hal.176ff.). Maka, tanpa kehidupan moral yang baik seluruh hidup menjadi
tidak bermakna, ataupun bahkan menjadi sangat negatif. Untuk apa dia hidup dan eksis di
dunia jika hanya menjadi perusak dan penghancur masyarakat, mendatangkan aib bagi
keluarga, lingkungan dan negara. Terkadang kita kasihan menghukum mati penjahat, tetapi
langkah preventif dari sejak kecil tidak diperhatikan dengan baik.

Ada banyak hal yang bisa dan perlu Sekolah lakukan dalam pendidikan moral. Di
antaranya, pertama, setiap institusi pendidikan perlu memperhatikan bukan hanya hebatnya
pengetahuan atau gelar guru atau dosennya, tetapi juga perilaku moralnya. Perlu ada
mekanisme pengujian kehidupan keseharian insan pendidikan, bukan hanya kekuatan
intelektualnya saja. Kedua, perlu adanya penilaian kelakuan di sekolah. Seorang siswa lulus
atau naik kelas, bukan hanya diukur oleh kemampuan intelektualnya, tetapi juga kemampuan
sosial, moral, mental dan spiritualnya. Dengan demikian, sekolah betul-betul menjalankan
fungsi pedagogis yang benar. Ketiga, sekolah juga perlu secara berkala melibatkan orang tua
di dalam pembinaan moral dan pengawasan moral bagi anak-anak mereka. Sekolah harusnya
bergandengan tangan dengan orang tua di dalam mendidik anak, sehingga pendidikan anak
berjalan secara integratif.

Hal-hal ini sangat banyak diabaikan, karena dianggap terlalu menyulitkan bagi pihak
sekolah. Sekolah hanya sibuk mengukur kemampuan intelektual anak didiknya, dan
berbangga diri jika anak-anak didiknya berhasil dengan nilai intelektual yang tinggi dan
mempunyai pengetahuan yang banyak. Kini, paradigma ini perlu dipertanyakan dan
dikembalikan kepada panggilan pendidikan yang mendasar, yaitu membentuk seorang anak
menjadi orang yang betul-betul dewasa secara moral, mental, spiritual dan intelektual.

Anda mungkin juga menyukai