Anda di halaman 1dari 10

SISTEM KAPITASI BPJS PPK

TINGKAT I
Sistem Kapitasi BPJS PPK tingkat I

Saya mempertanyakan hal itu karena skema pembayaran yang berlaku di Era Jamin
an Kesehatan Nasional (JKN) saat ini hampir mirip dengan skema pembayaran hotel.
Mungkin sebelum saya membahas hal tersebut saya coba jelaskan dulu tentang sist
em pembayaran yang berlaku di era JKN.

Ada 3 tahapan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), PPK I adalah bentuk pelayanan
kesehatan dasar yang diberikan dokter umum – kini istilahnya berubah menjadi dok
ter keluarga. Dokter umum / dokter keluarga bekerja di Puskesmas atau Klinik Mandi
ri yang bekerjasama dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). PPK II adalah p
emberi pelayanan kesehatan spesialistik yang meliputi RS kelas C/D. PPK III adalah
pemberi pelayanan kesehatan spesialistik lanjutan yang meliputi RS kelas A/B.

Kompensasi yang diberikan untuk PPK I disebut kapitasi, kapitasi adalah sejumlah u
ang yang dibayarkan dimuka untuk pasien yang ditangani di PPK I. Untuk Puskesma
s kapitasi yang diberikan adalah Rp. 3000/pasien/bulan, sementara untuk Klinik Man
diri kapitasi yang diberikan adalah Rp 8.000-10.000/pasien/bulan. Puskesmas diharg
ai lebih rendah karena dokter dan petugas yang bekerja di Puskesmas telah digaji ol
eh negara, obat-obatan disediakan oleh negara, bangunan dan fasilitasnya pun tela
h disediakan oleh negara.

Sementara untuk klinik mandiri / klinik swasta, nilai kapitasi sebesar itu harus cukup
untuk sewa tempat, menyediakan fasilitas klinik (misal ruang tunggu yang nyaman,
laboratorium sederhana, apotik), listrik, internet, biaya administrasi, gaji pegawai, s
erta obat, pemeriksaan lab DAN juga radiologi sederhana untuk pasien peserta BPJS
yang ditangani – sisanya barulah untuk dokter. Jadi otomatis kualitas pelayanan kes
ehatan yang akan anda terima sangat bergantung dengan nilai kapitasi yang dibaya
rkan oleh BPJS. Semakin kecil nilai kapitasinya, fasilitas yang dimiliki klinik akan san
gat terbatas & obat yang anda terima menjadi sedikit. Prof. DR. dr. Hasbullah Thabr
any MPH, guru besar Universitas Indonesia, seorang ahli dibidang kesehatan masyar
akat dan juga jaminan sosial yang terlibat dari awal perencanaan JKN mengatakan b
ahwa nilai kapitasi yang “cukup” untuk klinik mandiri adalah sebesar Rp. 15.500/pa
sien/bulan. Nilai kapitasi saat ini yang jauh dari “cukup” tersebut tentunya hanya ak
an menimbulkan banyak permasalahan dan menurunkan kualitas pelayanan dalam
pelaksanaan pelayanan di PPK I.

Setiap peserta BPJS harus datang terlebih dahulu ke PPK I, jika setelah diperiksa ter
nyata penyakitnya berat dan butuh perawatan lebih lanjut maka pasien tersebut ak
an dirujuk berjenjang ke PPK II / Rumah Sakit untuk penanganan lebih lanjut. Jika pe
serta yakin bahwa apa yang diderita benar-benar keadaan gawat darurat tentunya
bisa langsung datang Rumah Sakit. Namun jika setelah diperiksa ternyata bukan ke
adaan gawat darurat dan tidak perlu dirawat, maka anda terpaksa mengeluarkan ua
ng untuk biaya pemeriksaan tersebut. Misal anda mengeluh nyeri dada, karena kha
watir serangan jantung anda langsung datang ke Rumah Sakit. Setelah diperiksa ter
nyata apa yang anda alami adalah Heartburn / gangguan lambung atau sebuah Sin
droma Koroner Akut / serangan jantung low risk / berisiko rendah yang tidak membu
tuhkan perawatan. Maka seluruh biaya pemeriksaan tidak ditanggung BPJS dan and
a harus bayar penuh.

Kompensasi yang diterima RS selama perawatan di PPK II atau di Rumah Sakit didas
arkan pada tarif Indonesian Case Based Group atau InaCBG. Berdasarkan skema pe
mbayaran ini, Rumah Sakit akan diberikan kompensasi berdasarkan kelompok diagn
osis penyakit yang dimiliki pasien. Kompensasi tersebut harus cukup untuk perawat
an, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan obat-obatan. Anehnya lo
gika yang digunakan dalam menetapkan Kapitasi di PPK I, tidak digunakan dalam m
enetapkan tarif InaCBG. Walau RS Swasta harus menyediakan gedung perawatan, fa
silitas, obat, membayar gaji dokter, perawat dan staf pendukung sendiri, tarifnya dis
amakan dengan Rumah Sakit Pemerintah yang jelas disubsidi pemerintah.

Selain itu besaran kompensasi InaCBGs ini memiliki kemiripan dengan Hotel. Dunia
Perhotelan memiliki sistem kelas yang kita kenal dengan istilah bintang. Semakin ba
nyak fasilitas yang dimiliki sebuah hotel, semakin banyak bintang yang dimilikinya.
Di Era JKN Tarif InaCBG bervariasi berdasarkan Kelas Rumah Sakit tempat anda dira
wat. Semakin besar kelas RS semakin besar pembayaran yang diterima Rumah Saki
t dan selisih antar kelas RS ini sangatlah jauh. Klasifikasi RS di Indonesia didasarkan
pada jumlah tempat tidur, ketersediaan dokter, serta fasilitas pendukung yang dimil
ikinya – Intinya semakin besar sebuah RS semakin besar pula kelasnya.

Problemnya Rumah Sakit jelas bukan Hotel. Kelas Rumah Sakit di Indonesia tidak sa
ma dengan Bintang dalam dunia Perhotelan. Ketika anda menginap disebuah hotel
anda dapat menikmati seluruh fasilitas yang dimilikinya. Tapi ketika anda menginap
disebuah rumah sakit, tentunya anda hanya akan menggunakan fasilitas RS jika me
mang diperlukan. Selain itu Kelas RS tidak menentukan apakah ruangan rawat atau
fasilitas yang dimiliki RS lebih baik, Kelas juga tidak pula menentukan kualitas pelay
anan yang diberikan akan lebih baik. Seringkali rumah sakit pemerintah yang besar
justru memiliki ruangan yang terbengkalai, fasilitas rusak yang tidak kunjung diperb
aiki, dan pelayanan yang buruk karena keterbatasan sumber daya manusia. Jika and
a dirawat di Rumah Sakit Swasta kelas D seperti Hermina, fasilitas yang didapat dan
pelayanan yang diberikan bisa jadi lebih baik dibandingkan jika anda dirawat di RS P
emerintah Kelas A seperti Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) misalnya. Tapi di Era J
KN hal tersebut menjadi terbalik 180 derajat, silahkan lihat saja contohnya pada tari
f persalinan di bawah. Wajar jika kini beberapa RS kecil yang turut serta dalam BPJS
lebih memilih untuk merujuk kasus persalinan ketimbang menangani dan rugi besar
.

Prof. Hasbullah Thabrany yang juga menjabat Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebij
akan Kesehatan Universitas Indonesia, mengatakan : “InaCBG yang ada sekarang le
bih cocok untuk RS Pemerintah dikarenakan variabel yang menjadi acuannya hanyal
ah biaya pengobatan serta biaya operasional. Sementara, RS Swasta membutuhkan
variabel gaji pegawai dan investasi.”

Tarif InaCBGs untuk persalinan Normal

Diagnosis yang sama seharusnya mendapatkan tatalaksana yang sama karena dida
sarkan pada bukti ilmiah yang sama, itulah standar medis. Kasus serangan jantung
di Indonesia tatalaksananya haruslah sama dengan di Amerika. Serangan Jantung di
Cirebon tatalaksananya haruslah sama dengan tatalaksana di Jakarta. Jika memang
benar serangan jantung, maka aliran darah dapat kembali dilancarkan melalui pem
berian obat peluruh gumpalan darah yang harganya (setelah pajak) sekitar 5 juta. S
emakin cepat diberikan (sebaiknya jam) keluarannya semakin baik. Obat sejenis ini
di negara maju sudah lumrah diberikan di Ambulan untuk mengurangi kerusakan ja
ntung dan mencegah komplikasi yang mungkin timbul paska infark. Seharusnya oba
t ini bisa diberikan di Rumah Sakit kecil di daerah, tapi dengan tarif InaCBG yang sa
ngat rendah, tatalaksana sesuai standar medis menjadi mustahil untuk diberikan. Si
lahkan dilihat perbedaan tarif yang sangat jauh berbeda (hampir 4x lipat) untuk ser
angan jantung / infark miokard dibawah :

Tarif InaCBGs untuk Serangan Jantung (Infark Miokard)

Pemerintah berdalih, jika tidak bisa ditangani di daerah, rujuk saja. Tapi tidak bisa d
emikian pada kasus kegawatan jantung. Jika pasien dirujuk periode emasnya sudah
terlalui, jantung akan rusak dan komplikasi yang menyertainya dapat merenggut ny
awa atau mengakibatkan pasien jatuh kedalam keadaan gagal jantung yang membu
tuhkan pengobatan seumur hidup. Saat ini saja gagal jantung telah menjadi penyeb
ab terbanyak perawatan di rumah sakit, maka saat tatalaksana penyakit ini gagal te
rselenggara dengan baik akibatnya tidak hanya pesakitan di negeri ini semakin ban
yak tapi pembiayaan kesehatan Indonesia hanya akan terus membengkak dikemudi
an hari.

Ada banyak kegawat daruratan medis yang membutuhkan penanganan secepat-


cepatnya, dan kegawat daruratan jantung adalah salah satunya. Seharusnya pemeri
ntah menciptakan sebuah sistem pelayanan kesehatan (baca : JKN) yang memungki
nkan RS kecil di daerah untuk terus tumbuh dan mengembangkan pelayanan keseh
atan yang paripurna di daerah. Khusus untuk kasus serangan jantung yang menjadi
pembunuh no 1 di Dunia dan juga Indonesia, Indonesia seharusnya meniru langkah
India. Disana Rumah Sakit Kecil banyak yang sudah dilengkapi dengan fasilitas Kate
terisi Jantung / Cathlab. Sehingga untuk tatalaksana serangan jantung dapat diberik
an secara optimal di daerah. Untuk Cirebon yang jumlah penduduknya 2 juta jiwa, d
irujuk 6 jam perjalanan ke Bandung tentunya bukan solusi. Alhamdullilah kini sudah
ada sebuah RS kecil bernama Hasna Medika yang menyediakan fasilitas ini disana. J
ika pemerintah memberikan kompensasi yang layak tentunya RS ini dapat menjadi
solusi untuk mengatasi permasalahan kardiovaskular di daerah. Tapi dengan tarif In
aCBG sebesar 7.7 juta jelas tidaklah mungkin saat harga sebuah ring/stent termura
h berkisar (dengan pajak) 10 juta rupiah.

Tarif Prosedur Kardiovaskular Perkutan atau Percutaneus Coronary Intervention dala


m InaCBGs

Dengan tarif InaCBGs yang sangat kontras berbeda antara RS Pusat dan Daerah pel
ayanan kesehatan tidak mungkin bisa terselenggara dengan baik. Daerah hanya ak
an merujuk pasien bila tarif / “plafon” nya sudah mau habis, sehingga pasien bukan
tidak mungkin akan menumpuk di pusat-pusat rujukan. Seperti yang telah terjadi di
beberapa senter sekarang ini. Selain itu rendahnya tarif yang berlaku dapat mengak
ibatkan banyak permasalahan dalam implementasi JKN. Problem yang akan timbul c
ontohnya adalah dibatasinya pemeriksaan penunjang, obat, bahkan waktu perawat
an. Standar medis yang seharusnya menjadi acuan tertinggi dalam memberikan pel
ayanan kesehatan menjadi hilang, dan yang dipikirkan adalah bagaimana mengakal
i agar perawatan cukup dengan anggaran yang sangat terbatas. Hal ini hanya akan
merugikan pasien dan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia. Renda
hnya tarif InaCBG tersebut menurut Prof. Thabrany salah satunya karena tarif saat i
ni masih menggunakan data tahun 2009. Sehingga jelas perlu secepatnya direvisi k
arena akan mengganggu pelayanan kesehatan secara menyeluruh.

Saat ini hampir sebulan JKN berlangsung, terdapat banyak masalah yang terjadi dal
am implementasinya. Hak para pemegang kartu ASKES, TASPEN, JAMSOSTEK banya
k yang berkurang. Salah satu alasannya adalah untuk menyesuaikan dengan berta
mbahnya peserta JKN dan rendahnya subsidi pemerintah bagi yang tidak mampu de
ngan PBI sebesar 19.225 /orang/bulan. Jauh berbeda dengan apa yang dibayarkan p
eserta asuransi sosial sebelumnya. Akibatnya banyak hak mereka yang tereduksi ol
eh kebijakan ini. Pemerintah melalui kebijakan ini dengan prinsip “gotong-royong”-
nya telah mengalihkan kewajibannya untuk membiayai mereka yang tidak mampu –
dan hal ini sangat mengganggu implementasi JKN saat ini.

Saat ini terdapat 2249 Rumah Sakit di Indonesia, dan sebanyak 1407 diantaranya a
dalah RS Swasta. Jadi tidaklah mungkin pemerintah dapat memberikan pelayanan k
esehatan yang baik tanpa melibatkan RS Swasta. Partisipasi mereka harus menjadi
bagian dari implementasi JKN. Tapi pemaksaan jelas bukan solusi, intimidasi dicabut
nya surat izin operasional bukan solusi, memaksakan sistem ini kesebuah institusi y
ang belum siap Sistem Informasi Rumah Sakit-nya bukanlah solusi, memaksa rumah
sakit untuk menanggung kerugian besar bukanlah solusi. Perlu secepatnya dilakuka
n revisi tarif yang lebih masuk akal sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam i
mplementasi JKN. Jika memang JKN ingin berjalan dengan dengan sistem Case Base
d Group maka RS kecil didaerah juga perlu dihargai dengan adil, begitupula RS Swa
sta sehingga pelayanan yang diberikan benar-benar sesuai standar medis, bukan st
andar sebuah perusahaan asuransi yang disebut BPJS. Tanpa hal tersebut kolapsnya
infrastruktur pelayanan kesehatan Indonesia menjadi sebuah kemungkinan yang sa
ngat mungkin terjadi. Tugas pemerintah terkait JKN hanya satu, menciptakan sebua
h ekosistem yang sustainable sehingga pelayanan kesehatan di negeri ini bisa terus
tumbuh dengan aturan yang jelas, anggaran yang cukup, kompensasi yang pantas
dan tentunya keterbukaan untuk mau menerima masukan dari semua pihak yang te
rlibat dalam penyelenggaraannya.

Kapitasi dan “penghasilan dokter”

Ada beberapa teman dari luar bidang kedokteran/kesehatan yang bertanya terkait a
rtikel di Solopos 9 Januari 2013 kemarin. Yang ditanyakan banyak terkait dengan par
agraf berikut ini:
“Berikut satu simulasi sederhana. Misalnya dari 3000 orang, kapitasi Rp 10.000/oran
g dan angka rata-rata kunjungan ke dokter adalah 25%. Berarti ada 750 orang yang
dilayani dalam satu bulan. Katakanlah biaya obat dan kebutuhan pemeriksaan rata-
rata Rp 20.000/orang. Kemudian dengan menghitung biaya operasional, gaji karyaw
an, biaya sewa lahan, dan bahan habis pakai lainnya, maka “sisa” yang diperoleh d
okter adalah sekitar Rp. 6.000.000/bulan. Bila kapitasi pada Rp. 8000/orang, dengan
ilustrasi yang sama, maka sisanya adalah pada kisaran Rp. 4.000.000/bulan.”

Saya akan coba paparkan satu simulasi yang pernah dihitung bersama-sama – artin
ya bukan dari saya sendiri saja. Namun sebelum menghitung, ada beberapa poin ya
ng sebaiknya diketahui dulu terkait dengan arah pengembangan pelayanan kesehat
an di PPK 1 dalam konsep BPJS:

1. Yang masuk kategori PPK 1 adalah: Puskesmas, praktek dokter/dokter gigi, kli
nik pratama dan RS pratama. Semua mendapat nilai kapitasi yang sama. Tentu ini b
erarti standarnya didorong menuju ke (lihat Permenkes 71/2013 pasal 2):
a. Pelayanan 24 jam 7 hari seminggu dengan kemudahan akses untuk dihubungi
b. Lokasi yang berciri klinik bahkan RS, bukan sekedar kamar praktek
c. Sarana prasarana yang mendukung
d. Tim kerja yang tidak mungkin hanya dilakukan satu orang dokter dan satu orang
perawat profesional
e. Administrasi kesehatan yang lengkap (rekam medis dengan sistem yang handal t
ermasuk di dalamnya), juga untuk keperluan pengajuan klaim. Dalam era BPJS, itu s
emua menjadi beban PPK 1, tidak lagi diberikan fasilitas. Perlu tenaga administrasi y
ang cukup.
2. Jenis pelayanan komprehensif yang harus dilayani di PPK 1 (pasal 3):
a. Pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pemeriksaan fisik, k
ebidanan, darurat medis (tindakan bedah kecil spt menjahit luka dan sejenisnya), p
elayanan penunjang (laboratorium sederhana) dan kefarmasian (pemberian obat se
suai formularium lihat di Kepmenkes 328/2013 yang berbeda-beda tiap tingkatan PP
K 1, PPK 2 dan PPK 3).
b. Untuk menunjang pelayanan itu, bila memang fasilitas tidak memiliki secara man
diri, maka harus menunjukkan Kesepakatan Kerjasama dengan Laboratorium dan Ap
otek di luar fasilitas.
3. Ada 144 jenis diagnosis penyakit yang HARUS selesai ditangani di PPK 1 dan
TIDAK BOLEH dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3. Sebaliknya, bila PPK 2 dan PPK 3 menang
ani kasus dgn diagnosis tersebut, berarti juga tidak akan dibayar oleh BPJS.
4. Angka cakupan 3000 orang ini adalah prediksi optimis, karena di lapangan, bi
sa saja tidak mencapai angka itu.
Dengan poin-poin itu, saya jabarkan simulasi dalam artikel tersebut. Dokter sebagai
PPK 1, dengan cakupan 3000 orang, kapitasi Rp 10.000/orang/bulan, maka menerim
a Uang Kapitasi Rp. 30 juta/bulan. Angka kunjungan 25%, artinya selama sebulan ad
a 25% x 3000 = 750 kali orang berobat (tidak harus selalu 1 orang sekali datang, te
tapi yang dihitung jumlah kunjungannya). Deskripsi biaya yang dikeluarkan per bula
n:
5. Rata-rata biaya pemeriksaan/terapi/tindakan Rp. 20.000/orang total Rp. 15.0
00.000
2. Gaji 2 orang tenaga administrasi 2 x Rp. 1.000.000 total Rp. 2.000.000
3. Gaji orang perawat 2 x Rp. 1.500.000 total Rp. 3.000.000
4. Biaya operasional (listrik, air, telepon, layanan penunjang di ruang tunggu, dll) Rp
. 1.000.000
5. Sewa tempat/biaya pemeliharaan/penyusutan Rp. 2.000.000
6. Biaya pengelolaan administrasi Rp. 500.000
7. Biaya tak terduga Rp. 500.000
Maka total pengeluaran adalah Rp. 24.000.000/bulan. Berarti sisa kapitasi Rp. 6.000
.000/bulan. Hitungan itu dengan 1 orang dokter. Padahal tentu tidak layak kalau 1 o
rang dokter bekerja 24 jam 7 hari seminggu. Minimal ada 2 orang dokter untuk berg
antian. Lebih baik lagi minimal 3 orang. Dengan ilustrasi serupa, bisa diterima saya
kira bahwa kalau kapitasinya Rp. 8.000/orang, maka sisanya barangkali sekitar 3-4 j
utaan/bulan.

Seperti tertulis dalam artikel, “sisa” itu akan menjadi lebih signifikan bila bisa dibata
si pada angka 12% (hitung-hitungan matematis dari Ilmu Kesehatan Masyarakat). K
alau dalam simulasi yang dikembangkan sekarang, diharapkan tidak lebih dari 20%
sambil terus berusaha ditekan. Pengalaman di Jamsostek sekarang, dilaporkan angk
a kunjungan pada angka 15%. Usaha menurunkannya melalui usaha promotif dan p
reventif (menjaga kesehatan sebelum sakit).

Cerita seorang dokter di daerah Boyolali, yang menjadi Dokter ASKES sejak sebelum
era BPJS, dia rajin terjun ke lapangan. Kalau ada keluarga pasien yang sering sakit,
didatangi rumahnya. Bahkan dia lebih rela membantu membiayai pembuatan jamba
n atau memplester lantai, agar keluarga itu lebih sehat sehingga jarang sakit. Dia ju
ga rajin menyambangi acara-acara seperti PKK atau Rapat warga untuk penyuluhan.
Bahkan tidak jarang jadi sponsor lomba-lomba tingkat RT seperti bayi sehat atau cer
das cermat dokter kecil. Ujung-ujungnya angka kesakitan bisa rendah. Tentu saja, us
aha seperti itu juga perlu dukungan sumber daya.
Berapa sebenarnya angka kapitasi yang dianggap “layak”? Angka rujukan dari siste
m sejenis di luar negeri adalah 40-60% dari premi. Sayangnya, di tempat kita, yang
dipakai dasar menghitung adalah premi terendah yaitu Rp. 19.225 sehingga angka
8.000 – 10.000 itu sudah dianggap layak. Padahal, rata-rata premi kita (bila memper
hitungkan yang preminya 25, 42 dan 59 ribuan sebulan), ada di angka 28 ribu sekia
n. Berarti kapitasi seharusnya antara 12-16 ribu. Ini yang mendasari usulan IDI bah
wa kapitasi PPK 1 antara 14-15 ribu/orang/bulan.

Lebih dari itu, sebenarnya ada yang lebih esensial. Menurut pasal 51 UU Praktik Ked
okteran 2014 menyatakan bahwa Dalam melaksanakan praktek kedokteran, dokter
berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan stan
dar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Bila ini tidak dipenuhi mak
a ada ancaman pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda Rp. 50 juta.

Para dokter khawatir akan berisiko mengalami keterpaksaan memberikan layanan d


i bawah standar. Contoh kecil, para peserta PPDS (calon residen) di sebuah RS, sam
pai harus urunan uang agar dapat membelikan obat spesifik untuk pasien serangan
jantung, karena plafon yang ada tidak cukup untuk membeli obat tersebut. Tentu ini
kesalahan, bahkan kesalahan ganda dalam sistem pelayanan kesehatan yang harus
menjadi keprihatinan kita.

Semoga penjelasan ini lebih memperjelas artikel kemarin, terkait pertanyaan-


pertanyaan soal “berapa yang diperoleh dokter”. Mangga, mari belajar saling mema
hami.

Catatan: regulasi-regulasi yang saya rujuk itu bisa diperoleh secara bebas di interne
t. Khusus yang terkait JKN-BPJS, bisa diperoleh di: http://www.jkn.kemkes.go.id/undu
han.php

Tepatkah Sistem Pembiayaan Kapitasi untuk Faskes Primer?

Seperti diketahui bersama, BPJS menerapkan pembiayaan model kapitasi untuk fasil
itas kesehatan tingkat pertama (primer) dan model INA-CBGs untuk tingkat lanjutan.
Diberitakan banyak yang khawatir bahwa model kapitasi ini tidak memberikan imba
l jasa yang memadai bagi dokter di faskes primer. Ada angka-angka yang keluar, Rp
3.000, Rp 6.000, Rp 15.000 atau angka lainnya. Tetapi pertanyaan mendasar sebelu
m sampai pada angka, apakah model kapitasi ini cocok atau tetap untuk faskes pri
mer?
Sebenarnya saya belum pernah ikut kuliah mengenai sistem kapitasi ini. Tetapi dari
bertanya ke pengelola klinik langsung dan informasi dari berbagai bahan di internet,
saya simpulkan secara sederhana sistem kapitasi mengandung 2 elemen utama. Ya
ng pertama adalah unit cost pelayanan kesehatan, dan kedua adalah tingkat peman
faatan fasilitas pelayanan (angka utilisasi). Cara menghitungnya pun sederhana. Jik
a suatu faskes primer ditunjuk menangani 5.000 penduduk, dengan angka utilisasi 2
0%, sementara unit cost misalnya Rp. 50.000, maka angka kapitasinya 20% x Rp 50
.000 = Rp 10.000.

Apa arti angka 10.000 per kepala ini? angka kapitasi ini tidak sama dengan biaya pe
ngobatan atau unit cost. Jadi tidak benar kalau diberitakan seorang dokter dibayar d
engan Rp 6.000 per orang jika kapitasinya 6.000. Angka Rp 6.000 atau Rp 10.000 in
i adalah nilai yang dibayarkan oleh penjamin (BPJS) per kepala setiap bulan kepada
penyedia jasa (faskes). Jadi dalam 1 bulan, ada atau tidak penduduk yang sakit, pen
jamin akan membayarkan sebesar Rp 10.000 x 5000 orang = Rp 50 juta untuk dikel
ola oleh faskes tersebut. Di dalamnya ada komponen honor dokter yang tentunya s
udah disepakati bersama oleh dokter dan faskes.

Apakah sampai sini penjelasannya cukup? sejauh ini, dalam pelaksanaan JKN, penjel
asan dari pihak penjamin belum terlalu jelas. Bahkan dalam banyak berita angka ka
pitasi seolah-olah adalah angka yang diterima oleh dokter per pasien. Tapi oklah, se
andainya masyarakat sudah dianggap mengerti, apakah cukup?

Menurut hemat saya, pertanyaan dalam judul posting ini belum terjawab dengan m
enjelaskan apa makna dari angka kapitasi. Arti kata “tepat” dalam judul di atas sesu
ngguhnya mensyaratkan bebarapa hal, diantaranya (i) kelayakan pembiayaan jasa
pelayanan yang diberikan, termasuk honor dokter dan tenaga kesehatan serta fasili
tas kesehatan, dan (ii) insentif untuk upaya promosi kesehatan yang diharapkan ole
h faskes.

Mengenai kelayakan pembiayaan jasa yang sudah diberikan, ada hal yang perlu dic
ermati. Elemen unit cost biasanya menggambarkan biaya yang sesungguhnya terja
di (real cost). Jadi bukan tarif pelayanan, yang umumnya sudah ditambah dengan s
edikit marjin. Ini berarti faskes harus memasukkan semua biaya yang terjadi agar fa
skes tersebut dapat terus bertahan. Pertanyaannya apakah semua faskes sudah me
nghitung unit costnya dengan baik? Kalau belum, siap-siaplah faskes nombok. Kalau
ternyata sudah ada kebijakan tarif dari pemerintah, pertanyaan serupa dapat diajuk
an. Apakah tarif standar (begitu juga dengan tarif INA-CBGs) itu sudah mewakili fask
es primer tempat diberlakukannya tarif tersebut? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab,
karena kita dapat menemukan bagaimana wujud faskes primer yang ada saat ini.

Berikutnya, konon diberlakukannya kapitasi agar upaya promosi kesehatan berjalan


dengan baik. Kalau baik, maka sedikit penduduk yang sakit, sehingga faskes dapat
menikmati sedikit kelebihan dana yang diterima dari penjamin. Terus terang saja, re
alisasinya seperti apa promosi kesehatan yang diharapkan dari faskes? dokter berke
liling area melakukan penyuluhan? faskes membuat leaflet atau brosur dan dibagika
n kepada penduduk? apakah kegiatan promosi ini tanpa biaya? apakah harus meng
ambil sedikit dari dana operasional yang pas-pasan seperti dijelaskan sebelumnya?

Satu hal lagi yang cukup mengganggu. Disampaikan melalui media bahwa setelah 3
bulan, peserta boleh berobat di mana saja. Apa konsekuensi dari kebijakan ini? yang
pasti data tentang utilisasi faskes tadi bisa jadi tidak akurat. Penduduk yang seharus
nya dilayani di faskes tertentu (asal) pergi berobat ke faskes lain (tujuan). Hal ini bai
k buat faskes asal dimana penduduk tersebut tinggal karena bulan tersebut danany
a berlebih, sedangkan faskes tujuan menjadi “rugi” karena pasiennya bertambah. L
ebih lanjut ketika dilakukan evaluasi kapitasi menggunakan data historis, maka data
historis yang tidak akurat ini akan merugikan faskes awal karena utilisasinya rendah
. sebaliknya akan menguntungkan bagi faskes tujuan karena utilisasinya tinggi.

Berdasarkan hal ini, sebaiknya kebijakan dalam JKN yang dilaksanakan oleh BPJS ini
harus dibuat secara komprehensif. Jangan tampak bagus di mata masyarakat saja, p
adahal berdampak sebaliknya, tidak hanya bagi masyarakat, tapi juga bagi penyedi
a jasa.

Anda mungkin juga menyukai