Anda di halaman 1dari 11

Adapun bentuk dan karakter siswa SD masa kelas-kelas rendah.

Kisaran usia anak


berada dalam rentang 5-9 tahun. Usia ini disebut juga sebagai usia sekolah. Karakteristik
anak usia 5 tahun sampai umur 9 tahun :
1. Imajinatif serta menyenangi suara dan ritmik
2. Menyenangi pergaulan aktivitas dan berkompetitif, dan rasa ingintahunya besar.
3. Selalu memikirkan sesuatu yang di butuhkan dan menyenangi aktifitas kelompok
4. Meningkatnya minat pada permainan yang terorganisasi
5. Cenderung membandingkan dirinya dengan teman- temanya, senang meniru idola
6. Mudah gembira dan sedih, selalu mengiginkan persetujuan orang dewasa tentang apa yang
diperbauat.

Karakteristik anak usia antara 10-12 tahun atau masa kelas-kelas tinggi SD :
1. Menyenangi permainan aktif
2. Minat terhadap olahraga kompetitif dan permainan terorganisasi meningkat
3. Rasa kebanggaan akan keterampilan yang dikuasai tinggi
4. Mencari perhatian orang dewasa
5. Pemuja kepahlawanan tinggi
6. Mudah gembira, kondisi emosionalnya tidak stabil
7. Mulai memahami arti akan waktu dan ingin mencapai sesuatyu pada waktunya

Menurut Santrock, 1998, anak usia akhir sesungguhnya dikelilingi oleh 3


lingkungan yang berbeda, yakni keluarganya, teman sebaya dan lingkungan sekolah. Ketiga
lingkungan ini membawa dampak yang berbeda-beda terrhadap tumbuh kembang anak.
1. Lingkungan keluarga
Pada usia akhir, waktu anak-anak bersama keluarganya cenderung berkurang karena anak
lebih banyak di sekolah dan atau bemain dengan teman-teman sebayanya. Namun, meskipun
demikian, dalam hal penanaman norma sosial, kontrol, dan disiplin, orang tua masih memiliki
peranan penting bagi anak. Kontrol yang diberikan orang tua terhadap anak lebih berkaitan
dengan memonitor perkembangan anak, mengarahkan dan memberi support/dukungan,
pemanfaatan waktu secara efektif ketika mereka langsung berhubungan dengan anak-
anaknya., sdan orangtua berusaha menanamkan kepada anak kemampuan untuk mengontrol
perilaku mereka sediri, untuk menghindari resiko cidera, untuk memahami perilaku yang di
harapkan, damn merasakan dukungan, dan merasakan dukungan dari orang tuanya.
2. Teman sebaya
Pada anak usia akhir, mereka memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman
sebayanya. Teman bagi anak usia akhir memiliki 6 fungsi yaitu : persahabatan, stimulasi/
mendorong, phsycal support, ego support, untuk perbandingan sosial, keintiman/ relasi
afeksi. Adanya kesamaaan dan perasaaan dekat/ intim merupakan dua hal penting dalam
sebuah relasi pertemanan dengan teman sebayanya.
3. Lingkungan sekolah
Lingkungan ini memberikan dampak yang cukup besar terhadap siswa karena anak-anak
mengahabiskan waktunya di sekolah. Guru memiliki peran penting mempengaruhi
perkembangan anak. Selain itu di sekolah anak mempelajari perbedaan-perbedaan antara
dirinya dengan teman-temannya yang sangat beragam. Perbedaan ini bermacam-macam
berkaitan dengan fisik, karakter, latar belakang sosial ekonomi, dan juga suku.
Adapun bentuk-bentuk karakter anak SD adalah : senang bermain bermain, senang bergerak,
anak senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan/
memperagakan sesuatu secara langsung. Dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Senang bermain
Karakteristik ini menurut guru SD untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan
permainan lebih-lebih untuk kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model
pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya
mengembangkan model pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan jadwal pelajaran
hendaknya di selang seling antara mapel serius seperti ipa, matematika dengan pelajaran yang
mengandung unsur permainan seperti pendidikan jasmani, atau seni budaya dan ketrampilan.
2. Senang bergerak
Orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang palin
lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, gutu hendaknya merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak berpindah atau bergerak . menyuruh anak untuk duduk rapi untuk
jangka waktu yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
3. Anak senang bekerja dalam kelompok
Dari pergaulannya dengan kelompok sebayanya, anak belajar aspek-aspek yang penting
dalam proses sosialisasi, seperti : belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia
kawan, belajar memerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara
sehat (sportif), mempelajari olah raga dan membawa implikasi bahwa guru harus merancang
model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok,
serta belajar keadilan dan demokrasi.
Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru dapat meminta siswa
untuk membentuk kelompok. Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil
dengan anggota 3-4 orang untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara.
4. Senang merasakan atau melakukan/ memperagakan sesuatu secara langsung
Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional kongkret.
Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep lama.
Berdasakan pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu,
fungsi-fungsi badan, jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak SD, penjelasan guru
tentang materi pelajarn akan lebih dipahami jika anak melaksanakan sendiri, sama halnya
dengan memberi contoh bagi orang dewasa.
Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak lebih memahami tentang
solat jika langsung dengan prakteknya.
Pengembangan diri bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan
diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri
pribadi dan kehidupan sosial, belajar dan pengembangan diri peserta didik.

Karakteristik Anak SD
Anak SD merupakan anak dengan katagori banyak mengalami perubahan yang sangat
drastis baik mental maupun fisik. Usia anak SD yang berkisar antara 6 – 12 tahun menurut
Seifert dan Haffung memiliki tiga jenis perkembangan :
1. Perkembangan Fisik
Hal tersebut mencakup pertumbuhan biologis misalnya pertumbuhan otak, otot dan
tulang. Pada usia 10 tahun baik lai-laki maupun perempuan tinggi dan berat badannya
bertambah kurang lebih 3,5 kg. Namun setelah usia remaja yaitu 12 -13 tahun anak
perempuan berkembang lebig cepat dari pada laki-laki, Sumantri dkk (2005).
2. Perkembangan Kognitif
Hal tersebut mencakup perubahan – perubahan dalam perkembangan pola
fikir.Perkembangan kognitif seperti dijelaskan oleh Jean Piaget dapat dijelaskan berdasarkan
tiga pendekatan perkembangan yaitu :
1. Tahapan Pra Oprasional
2. Tahapan Oprasional Konkrit
3. Tahapan Oprasional Formal
3. Perkembangan Psikososial
Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan dan perubahan emosi individu. Seperti
dijelaskan oleh Robert J. Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu
harus sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek psikis,
moral dan sosial. Sejalan dengan R. J. Havighurst di atas, Syaodih (2007) menjelaskan
tahapan perkembangan anak jika dipandang dari aspek psikis, moral dan sosial adalah :
Ketiga jenis perkembangan tersebut berjalan tergantung dari perkembangan masing
masing jenis seperti tersebut di atas yang berbeda. Hal tersebut tergantung dari variabel
stimulan yang mendorong. Apabila rangsangan fisik yang sering diberikan maka faktor fisik
anak yang berkembangan demikian juga halnya dengan faktor kognitif dan psikososial.
Karakteristik Pembelajaran Matematika SD
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi moderen, matematika mempunyai peranan penting dalam
berbagai disiplin ilmu yang berimplikasi pada daya eksplorasi fikiran manusia.
Perkembangan pesat ilmu pengetahun dan teknologi dewasa ini sebagian besar berasal dari
perkembangan ilmu terapan matematika. Maka penguasaan ilmu matematika dasar maupun
terapan adalah kunci dari suatu keinginan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga penguasaan matematika dasar sedapat mungkin telah
dimulai semenjak dini.
Mata pelajaran matematika diberikan pada tingkat sekolah dasar selain untuk
mendapatkan ilmu matematika itu sendiri demikian juga untuk mengembangkan daya berfikir
siswa yang logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif dan mengembangkan pola kebiasaan
bekerjasama dalam memecahkan masalah. Kompetensi tersebut diperlukan siswa dalam
mengembangkan kemampuan mencari, memperoleh, mengelola dan pemanfaatan informasi
berdasarkan konsep berfikir logis ilmiah dalam rangka bertahan dalam kehidupan yang serba
tidak pasti. Di era globalisasi dewasa ini segala hal dalam bertahan hidup memerlukan
kesiapan dalam berkompetisi baik dalam sekala lokal maupun internasional.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar pada kurikulum KTSP disusun sebagai
landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut di atas. Matematika
mengedepankan pendekatan pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup dengan
solusi tunggal, masalah terbuka dengan pemecahan tidak tunggal dan berbagai masalah
matematis dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah maka perlu dikembangkan keterampilan menemukan masalah, mencari
penyebab masalah, mengembangkan teknik mencari solusi pemecahan masalah dan
menemulkan solusi yang paling tepat dalam pemecahan masalah. Walaupun dalam tataran
sekolah dasar pengembangan sikap logis ilmiah tersebut sangat perlu tetapi dalam tataran
permasalahan yang sederhana dan kontekstual. Dalam setiap kesempatan pembelajaran
matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (BNSP 2006) hendaknya dimulai
dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem) Dengan
mengajukan permasalahan yang kontekstual maka secara bertahap siswa terbimbing untuk
menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran guru
diharapkan menggunakan pendekatan, metode dan strategi pembelajaran yang berpusat pada
siswa.

Mata pelajaran matematika pendidikan sekolah dasar bertujuan agar siswa memiliki
kemampuan sebagai berikut :
1. Memahami konsep matematika , menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, effesien dan tepat dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, dan atau media lain untuk
memperjelas keadaan dan masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yang didasari oleh rasa
ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya
diri dalam pemecahan masalah.
Ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar
meliputi aspek bilangan, giometri dan pengukuran serta pengolahan data. Bilangan
membahas tentang kaedah konsep simbolisasi lambang bilangan dan perhitungan dasar
sederhana yang banyak melibatkan media konkrit dan media manipulatif lainnya. Giometri
dan pengukuran lebih fokus membelajarkan siswa tentang konsep ruang dan ukurannya
dengan perhitungan dasar yang sederhana menggunakan media konkrit dan media
manipulatif lainnya. Sedangkan Pengolahan data lebih banyak membahas tentang hakekat
data, cara mengolah dan membaca data berdaasrkan kaidah rasional dan ilmiah menggunakan
data-data konkrit dan data manipulatif. Penggunaan media dari konkrit ke absatrak
mempertimbangkan tingkatan kelas dan daya nalar siswa. Semakin tinggi tingkatan siswa
maka penggunaan media di arahkan ke semi abstrak (manipulatif) sampai tingkatan abstrak.
Demikian juga semakin tinggi daya nalar logis siswa maka semakin berani bagi guru
menggunakan media yang semi abstrak sampai abstrak. Hal ini terjadi pada kasus jika
ditemukan siswa yang memiliki keberbekatan yang tinggi di bidang matrmatika. Sehingga
siswa tersebut diberikan perlakuan khusus sebagai siswa berbakat, jenius dan sejenisnya.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan kaum konstruktifistik yang memandang
bahwa pengetahuan adalah atas dasar bentukan kita sendiri seperti dikemukakan oleh Von
Glaserfeld dalam Suparno (1997). Von Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah
suatu tiruan dan gambaran dari suatu kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif berdasarkan fakta dalam aktifitas seseorang dalam
membagun pengalamanya sendiri. Seseorang membentuk skema, katagori, konsep dan
struktur pengetahuan yang diperlukan dalam membangun strukgur kognitifnya.
Para konstruktifistik memandang bahwa satu satunya sarana yang tersedia bagi
seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan obyek
dan lingkungan dengan menggunakan segenap panca indranya. Para kontruktifistik percaya
bahwa pengetahuan tumbuh, berkembang dan ada dalam diri seseorang yang dalam keadaan
mencari tahu tentang sesuatu. Pengetahuan tidak begitu saja dapat dipindahkan dari guru
kepada siswanya. Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang dibelajarkan guru yang
disesuaikan dengan pengalaman-pengalamannya sendiri.
Menurut paham konstrufistik balajar merupakan proses hasil konstruksi sendiri
sebagai hasil interaksinya dengan berbagai lingkungan dan pengalaman belajar.
Pengkontruksian pemahaman dalam ivent belajar melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Secara hakiki proses asimilasi dan akomodasi terjadi sebagai usaha peserta didik untuk
menumbuhkembangkan pengetahuan yang ada dibenaknya (Heinich, et.al 2002) Pengetahuan
yang dimiliki oleh peserta didik awalnya disebut dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa.
Proses asimilasi terjadi apabila terdapat kesesuaian antara pengalaman baru dengan
prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Sedangkan akomodasi terjadi jika pengalaman baru
tidak sesuai dengan prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Prinsip ini dikembangkan oleh
para pakar pendidikan bahwa ada satu hal lagi yang terjadi di struktur kognitif siswa jika
kedua hal antara asimilasi dan akomodasi terjadi yang diistilahkan dengan generalisasi.
Dalam hubungannya dengan pembelajaran matematika dan sains maka para
kontrutifisme bergerak pada sisi mengusahakan perubahan mendasar dari kurikulum yang
menggunakan beberapa prinsip :
1. Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam situasi dan minat
siswa.
2. Matematika pengetahuan artinya, bukan hanya menekankan isi matematika dan sains tetapi
juga fokus dalam konteks prinsip-prinsipnya.
3. Penekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi dan multiple ide
4. Menekankan agar siswa dapat bereksplorasi menggunakan seluruh panca indranya

Penggunaan Media Alat Peraga


1. Media Konkrit
Bagi kaum konstruktifisme belajar diartikan sebagai usaha mengubah konsepsi
kognitif siswa melalaui usaha stimulan oleh guru menggunakan berbagai metode dan media
yang memadai dan mendukung ke arah tersebut. Sehingga oleh Piaget mengistilahkan belajar
adalah sebagai proses adaptasai kognitif . Ia mengadopsi istilah evolusi ala Darwin dalam
memandang permasalahan ini. Di mana Darwin berpandangan bahwa perkembangan suatu
mahluk hidup termasuk manusia di dalamnya seiring waktu berlalu selalu melalui proses
adaptasi agar ia selalu dapat bertahan dalam kerasnya kehidupan. Proses adaptasi diperlukan
dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berangkat dari persepektif
tersebut maka Piaget memandang bahwa struktur otak juga mengalami hal yang sama.
Struktur otak atau dalam istilah pendidikan adalah struktur kognitif juga mengalami hal yang
disebut dengan adaptasi. Struktur kognitif beradaptasi melalui tiga cara yaitu akomodasi,
asimilasi dan generalisasi. Akomodasi adalah proses adaptasi kognitif melalui penggantian
konsep dan atau pengalaman lama dengan yang baru karna tidak sesuai lagi dengan struktur
kognitif prakonsepsi siswa . Sedangkan asimilasi adalah proses adopsi beberapa konsep dan
atau pengalaman baru yang sesuai dengan struktur kognitif prakonsepsi siswa. Sedangakan
generalisasi adalah proses menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan konsep.
Berdasarkan prinsip belajar kontruktifistik maka perantara pembelajaran yang tepat yang
dapat menyampaikan pesan pembelajaran secara tepat adalah media konkrit. Dimana
pengertian media konkrit dalam konteks pendidikan adalah benda benda yang dapat menjadi
perantara menyampaikan pesan pembelajaran dari guru kepada siswa . Dipilih “benda”
adalah untuk menegaskan bahwa obyek tersebut dapat diterima langsung oleh panca indra
manusia, sehingga pada saat guru membelajarkan sesuatu yang berhubungan dengan suatu
benda maka ada baiknya benda tersebut ditampilkan jika memungkinkan dan apabila tidak
dapat digunakan dalam bentuk miniatur atau manipulatif baik manual ataupun elektronik. Hal
yang paling penting adalah siswa mampu mengimajinasikan kesan obyektif terhadap pesan
yang sampaikan.
Media didefinisikan sebagai medium yang artinya perantara atau pengantar sehingga terjadi
komunikasi antara pengirim dan penerima (Heinich et al, 2002; Ibrahim, 1997; ibrahim et al,
2001) Guru berperan sebagai komunikator dan siswa adalah komunikan sehingga proses
pembelajaran termasuk salah satu proses komunikasi. Jadi media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga
merangsang perhatian minat pikiran dan perasaan siswa dalam kegiatan pembelajaran
sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Proses pembelajaran adalah sebuah sistem yang menempatkan media pembelajaran dalam
posisi penting selain guru, siswa, sumber belajar dan lingkungan belajar. Posisi media dalam
sistem pembelajaran tidak dapat digantikan jika ingin mendapatkan hasil belajar yang optimal
melalui pembelajaran yang atraktif. Media dapat digolongkan menjadi berbagai jenis
berdasarkan pemakaian dan karakteristik jenis media. Terdapat lima model klasifikasi media
pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh (1) Wilbur Schramm, (2) Gagne, (3) Gerlach adn
Ely, dan (4) Ibrahim. Berikut disajikan beberapa penggolongan media pembelajaran menurut
para pakar media pendidikan.
Menurut Schramm, media digolongkan menjadi media rumit, mahal dan media sederhana. Ia
juga mengelompokkan media menurut kemampuan daya liputan yaitu (1) liputan luas dan
serentak seperti TV, radio dan faksimil ; (2) liputan terbatas pada ruangan seperti film, vidio,
slide, poster dan audio tape; (3) media untuk belajar individual seperti buku, modul,
program,komputer dan telepon.
Menurut Gagne , media dikelompokkan menjadi tujuh kelompok yaitu benda yang akan
didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam, gambar bergerak, film
bersuara dan mesin belajar. Ketujuh kelompok media pembelajaran tersebut dikaitkan dengan
kemampuannya memenuhi fungsi menurut hirarki belajar yang dikembangkan yaitu pelontar
stimulus bejajar, penarik minat belajar, contoh perilaku belajar, memberi kondisi eksternal,
menuntun cara berfikir, memasukkan alih ilmu, menilai prestasi dan memberi umpan balik.
Menurut Allen, terdapat sembilan kelompok media, yaitu visual diam,, film televisi, obyek
tiga dimensi, rekaman, pelajaran terprogram, demonstrasi, buku teks cetak dan sajian lisan.
Di samping mengklasifikasikan, Allen mengkaitkan antara jenis media pembelajaran dan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Allen melihat bahwa media tertentu memiliki
kelebihan untuk belajar tertentu, tetapi lemah untuk tujuan belajar yang lain. Allen
mengungkapkan enam tujuan belajar, antara lain info faktual, pengenalan visual, prinsip dan
konsep, prosedur, keterampilan dan sikap. Setiap jenis media tersebut memiliki perbedaan
kemampuan untuk mencapai tujuan belajar (ada tinggi, sedang dan rendah).
Menurut Gerlach dan Ely, media dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri fisiknya atas delapan
kelompok, yaitu benda sebenarnya, presentasi verbal, presentasi grafis, gambar diam, gambar
bergerak, rekaman suara, pengajaran terprogram dan simulasi. Sementara menurut Ibrahim
media dikelompokkan berdasarkan ukuran serta kompleksitas alat dan perlengkapan. Ia
membedakan media menjadi media tanpa proyeksi, media tnpa proyrksi tiga dimensi, media
audio, telvisi, vidio dan komputer.
Jika dipandang berdasarkan karakteristik media maka media dibedakan menjadi media
pembelajaran dua dimensi dan media pembelajaran tiga dimensi. Media pembelajaran dua
dimensi digolongkan kedalam media grafis, media bentuk papan, media cetak dan media lain
yang penampakannya bebentuk dua dimensi. Sedangka media tiga dimensi digolongkan
menjadi belajar benda sebenarnya melalui karyawisata, spesimen, media tiruan berupa
miniatur atau bentuk lainnya.melalui peta timbul, dan bentuk lainnya yang dapat dilihat
secara tiga dimensi.
Dengan penjabaran di atas maka segala media karakteristiknya adalah berusaha
memvisualisasikan segala bentuk pesan sehingga siswa menangkap pesan yang disampaikan
yang selanjutnya dipersepsikan dalam struktur kognitif menjadi konsep. Pesan yang
dismpaikan dari media apapun bentuknya akan mengalami proses encoding
perseptions dalam pikiran siswa. Tinkatan persepsi siswa terhadap pesan dari media dalam
bentuk apapun tergantung dari prakonsepsi siswa. Jika dalam struktur kognitif siswa sudah
tertanam suatu konsep (prakonsepsi), dimana kemudia diberikan konsep baru yang maka
proses adaptasi kognitif melalui akomodasi dan asimilasi berlangsung. Terjadunya perubahan
perilaku yang diharapkan menandakan konsep baru berhasil diadaptasi dan sejalan dengan
konsep prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Itu artinya penggunaan media sebagai
penyampai pesan tepat berdasarkan simpul kognitif dan waktu (timingnya) tepat.
2. Manfaat Media Konkrit
Penggunaan media konkrit dalam proses pembelajaran membawa dampak yang
sangat luas terhadap pola pembelajaran tingkat sekolah dasar. Sebagian besar materi
pembelajaran di SD bersifat imajinatif baik rasional maupun tidak, baik yang menyangkut
saintifik dan non sains. Hal tersebut berbeda dengan pola pembelajaran sekolah kkejuruan
yang mutlak harus menampilkan media asli ke dalam ruang belajar. Akan tetapi dengan
luasnya bidang pembelajaran di SD yang meliputi IPA, IPS Matematika, Bahasa hingga
keterampilan sehingga menyulitkan kita apabila semua pembelajaran harus dilengkapi
dengan media asli. Sehingga timbul gagasan untuk memanipulasi benda asli agar menjadi
media yang mendekati asli. Hal tersebut akan memudahkan siswa untuk membangun struktur
konsepnya di otak. Secara rinci berikut manfaat dari media konkrit
1. memudahkan siswa dalam membangun struktur kognitif dalam membentuk konsep.
2. memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran agar sesuai dengan program yang
sudah ditetapkan.
3. mengefektifkan proses pembelajaran
4. meningkatkan interaksi komponen pembelajaran

3. Keunggulan Media Konkrit


Media konkrit merupakan media yang saat ini paling dianjurkan penggunaannya oleh
para pakar pendidikan, praktisi pendidikan dan pengamat pendidikan. Hal tersebut terjadi
karna media konkrit memiliki banyak keunggulan di antaranya adalah :
1. memiliki tingkat obyektifitas yang tinggi
2. mudah berinteraksi dengan siswa melalui segenap panca indra
3. memiliki fleksibilitas yang tinggi dimana dapat digunakan untuk pembelajaran mata pelajaran
yang lain
4. dapat dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi.

4. Kelemahan Media Konkrit


Disamping memiliki keunggulan media konkrit juga memiliki kelemahan. Sebab
setiap benda ataupun hal yang lain di alam ini suatu saat memiliki dampak buruk. Karna hal
tersebut selalu dihubungkan dengan faktor kesesuaian hubungannya dengan manusia.
Manusia adalah subyek penentui apakah suatu benda atau hal lain merugikan atau
menguntungkan. Hal-hal yang merupakan sisi negatif dari benda konkrit adalah berpulang
kepada guru itu sendiri karna siswa sangat diuntungkan dalam hal ini. Sisi negatifnya adalah :
1. sangat merepotkan guru dalam proses persiapan pembelajaran
2. kadangkala suatu ide, benda dan hal tertentu sangat sulit dimanipulasi
3. kadangkala ada media konkrit yang sangat menarik perhatian siswa sehingga banyak waktu
tersita bukan untuk tujuan yang ada kaitannya dengan materi
4. sehubungan dengan poin c, maka potensi kegaduhan siswa di kelas akan meningkat.
Sudah barang tentu sisi negatif memerlukan penanganan manajemen kelas yang
effektif, sehingga suasana tetap menjadi kondusif walaupun potensi kemungkinan paling
buruk terjadi.

5. Karakteristik Media Konkrit


Digunakannya manipulasi media konkrit didasari oleh suatu alasan yang rasional dan
kuat seperti dijelaskan berikut ini. Pada pembelajaran menggunakan kartu bilangan dan garis
bilangan adalah jenis alat peraga konkrit manipulatif. Sebabnya adalah sulitnya mencari alat
yang konkrit yang tepat untuk materi pembelajaran tersebut.
Secara khusus manipulasi media konkrit yang akan digunakan pada kegiatan saat ini
adalah :
1. Kartu bilangan bergambar
Kartu bilangan di atas dilengkapi dengan kait gantungan yang akan dipakai
menggantungkannya pada paku pada garis bilangan, sehingga dapat dimainkan oleh siswa.

2. Modifikasi garis bilangan


Dimana garis bilangan dibuat dari sebuah papan dimana titik pada bilangan
ditandai dengan paku. Paku selain sebagai titik penanda juga berfungsi untuk
menggantungkan kartu bergambar bilangan. Sehingga secara bebas dapat dimainkan oleh
siswa.
3. Tehnik Memainkan
Tehnik memainkan peraga tersebut di atas adalah sebagai berikut :
a). Tempelkan papan garis bilangan pada papan tulis
b). Kemudian bagikan kartu bilangan kepada siswa
c). Ajak siswa menggantungkan bilangan pada papan berpaku secara terurut yang dimulai dari
bilangan acak bebas sesuai keinginan siswa.
d). Demikian seterusnya sehingga sambil bermain siswa dapat mengurutkan bilangan

4. Metode Bermain
Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang
ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja
untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode
berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pengetahuan tentang metode-metode mengajar
sangat di perlukan oleh para pendidik, sebab berhasil atau tidaknya siswa belajar sangat
bergantung pada tepat atau tidaknya metode mengajar yang digunakan oleh guru. Sedangkan
pengertian pembelajaran adalah usaha untuk membuat siswa belajar. Dengan mengambil dua
pengertian di atas maka metode pembelajaran adalah jalan atau usaha yang ditempuh untuk
membuat siswa belajar. Menyimak dari pengertian tersebut maka metode pembelajaran
menempati posisi penting dalam memerankan fungsinya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Berikut beberapa pengertian metode seperti dikemukakan oleh beberapa ahli.
Pengertian metode menurut Dr.S. Nasution adalah suatu cara yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam suatu tugas pekerjaan agar dapat mencapai tujuan
sesuai yang ditetapkan. Sedangkan menurut Drs. H Abu Ahmad dkk (2005:52) metode adalah
suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang diberikan oleh seorang guru atau
instruktur. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia metode adalah cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditetapkan.
Menurut Syaiful B. Djamarah dkk (2006:82-84), metode berkedudukan :
1. Sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan pembelajaran
2. Mensiasati perbedaan individual anak didik
3. Untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Makin tepat metode yang digunakan oleh guru dalam mengajar diharapkan makin efektif dan
efesien dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sudah barang tentu factor lainpun harus
diperhatikan seperti ; faktor guru, faktor siswa, faktor situasi, (lingkungan belajar), media dan
yang lainnya.
Terdapat banyak ragam metode yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi pembelajaran
sperti metode ceramah, metode diskusi, metode bermain, metode eksperimen, metode tutor
teman sebaya, metode penugasan, metode observasi, metode bermain dan sebagainya. Saat
ini penulis akan mengangkat metode bermain sebagai salah satu alternative dalam membuat
suasana belajar lebih kreatif sehingga keterlibatan siswa dalam proses lebih besar.
Salah satu tokoh yang dianggap paling berjasa sebagai pencetus penggunaan metode
bermain adalah Plato seorang filsuf Yunani. Ia dianggap sebagai orang pertama yang
menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato anak-anak akan
lebih mudah mempelajari Aritmatika dengan cara permainan. Sedangkan Sudono (2000:1)
mengemukakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa
mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi
kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak.
Dengan bermain anak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, anak-anak akan
lebih senang dan menjadikan si anak lebih aktif. Sebagaimana dikemukakan oleh Mayke
(dalam Sudono, 2000:3) bahwa belajar dengan bermain akan memberi kesempatan kepada
anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi serta
mempraktekkannya. Arief Sadiman (2002:79) mengatakan permainan dapat dipakai untuk
mempraktekkan keterampilan membaca dan berhitung sederhana. Tujuan pemberantasan buta
aksara dan buta angka untuk orang dewasa atau pelajaran membaca, menulis permulaan serta
matematika adalah yang lazim dikaitkan dengan permainan.
Dalam proses pembelajaran guru hendaknya memberikan kebebasan kepada setiap
anak didiknya untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pemikiran mereka. Sebaiknya
guru juga memberi kebebasan sesuai dengan sifat alami anak sehingga dalam
mengembangkan kreatifitasnya anak tidak merasa takut untuk memiliki pendapat berbeda
dengan gurunya
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa metode bermain yang dimaksud
adalah suatu cara yang digunakan dalam melakukan kegiatan untuk menjelaskan konsep
abstrak dalam matematika yang lebih menyenangkan Hal tersebut dimaksudkan sebagai
upaya untuk mencegah ketakutan siswa terhadap pelajaran matematika sehingga siswa lebih
paham dan lebih lama mengingatnya.
Berikut dikemukakan beberapa pendapat para ahli berupa teori tentang pentingnya
penggunaan metode bermain diantaranya seperti diuraikan di bawah ini.

Teori-teori Belajar
1. Teori Belajar menurut Behavioristik (Thordinke)
Belajar merupakan proses pembentukan hubungan yang erat antara stimulus (S)
dengan respon (R) semakin erat hubungan antara hubungan S-R maka proses belajar telah
berlangsung dengan baik. Belajar merupakan teori yang diutamakan latihan-latihan. Teori ini
juga akan mencoba berbagai cara dan usaha untuk mendapatkan respon yang benar. Dalam
belajar dengan cara ini harus ada: 1) motif pendororng kegiatan, 2) ada bermacam-macam
respon dalam situasi tertentu, 3) ada eliminasi mencapai tujuan. Hukum dalam teori
Thordinke ada
tiga tahap yaitu : 1) Low readness yaitu kesiapan stimulus dalam bereaksi, jika reaksi
terhadap stimulus didukung oleh kesiapan bereaksi, maka reaksi memuaskan. 2) Low of
exerscises (hukum latihan, yaitu apabila S_R sering dilakukan atau dipraktekkan maka
hubungan ini semakin kuat. Dalam praktek ini diberikan hadiah bagi respon yang benar. 3)
Law of Effect (Hukun Akibat) yaitu apabila hubungan S_R dibarengai dengan pengaruh yang
memuaskan maka hubungan ini menjadi kuat.
2. Teori dari sudut pandang psikonalisa (Sigmund Freud)
Sigmund Freud, memandang bermain sama seperti fantasi atau lamunan. Melalui
bermain ataupun fantasi seseorang dapat memproyeksikan harapan-harapan serta pengalaman
yang menyenangkan. Freud percaya bahwa bermain penting dalam perkembangan emosi
anak. Perkembangan emosi anak yang dimaksud adalah dengan bermain proses belajar-
mengajar menjadi lebih menyenangkan dan dapat merangsang belajar siswa sehingga prestasi
siswa dapat meningkat. Pandangan Freud tentang bermain akhirnya memberi ilham atau
inspirasi kepada para ilmu jiwa untuk menggunakan bermain sebagai alat diagnosa ataupun
“mengobati” anak yang bermasalah.
3. Teori Belajar Kognisi
1) Menurut Piaget, anak menjalani tahapan perkembangan kognisi dan sampai
akhirnya proses berfikir anak menyamai proses berfikir orang dewasa. Dalam teori Piaget,
bermain bukan saja mencerminkan tahap perkembangan kognisi anak itu sendiri. Piaget juga
mengemukakan bahwa saat bermain anak-anak tidak belajar sesuatu yang baru, tetapi mereka
belajar mempraktekkan dan mengkonsolidasi keterampilan baru yang diperoleh. Dari hal
tersebut dapat diketahui bahwa dengan bermain, keterampilan baru yang diperoleh melalui
praktek tidak akan segera hilang dan akan selalu diingatnya sehingga belajar dapat
meningkat.
2). Vygotsky memandang bermain identik dengan kaca pembesar yang dapat
menelaah kemampuan baru dari anak yang bersifat potensial sebelum diaktulisasikan dalam
situasi lain, khususnya dalam kondisi normal seperti di sekolah. Pandangan Vygotsky
mengenai bermain bersifat mennyeluruh, dalam pengertian selain untuk perkembangan
kognisi, bermain juga mempunyai peranan penting bagi perkembangan sosial dan emosi
anak. Dengan demikian melalui bermain, anak dapat memiliki perhatian, daya ingat, dan
kerjasama yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
3). Teori Jerome Singer (1937), menegaskan bahwa menggunakan metode bermain
sebagai usaha untuk menggunakan kemampuan fisik dan mental guna mengatur atau
mengorganisasi pengalamanny. Bermain memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk
menjelajahi dunianya serta mengmbangkan kreativitasnya.
4). Teori Robert White (1959) yang menjelaskan bahwa bahwa kegiatan bermain pada
anak tidak membutuhkan hadiah ataupun reward namun mereka bermain untuk kegiatan itu
sendiri. White mengemukakan bahwa dengan adanya kegiatan bermain anak-anak akan
memperoleh kepuasan pribadi karena merasa kompeten. Keberhasilan melakukan sesuatu
atau memperoleh tanggapan dari lingkungannya sudah merupakan hadiah tersendiri bagi
anak. Bermain dapat merupakan cara anak bertindak menurut kehendaknya sendiri dalam
tindakan yang efektif. Jadi, dengan adanya kegiatan bermain itu sendiri dapat membuat siswa
merasa senang dan ingin mengulanginya lagi.
5). Teori Jerome Brunner menyatakan bahwa belajar matematika akan berhasil jika
proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam
pokok bahasan yang akan diajarkan, disamping hubungan-hubungan yang terkait antara
konsep-konsep dan struktur-struktur. Brunner melukiskan anak-anak berkembang melalui
tiga tahap perkembangan yaitu: (a).Tahap Enactive Dalam tahapan ini anak-anak langsung
terlibat dalam menggunakan/ memanipulasi objek. (b). Tahap Iconic dimana dalam tahap ini
kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari obyek-obyek
yang dimanipulasinya. Pada tahap ini anak-anak tidak langsung dari objek. (c). Tahap
Simbolik yaitu tahapan ini siswa memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek
tertentu. Anak tidak lagi terkait objek-objek pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini
sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek real.
6).Teori Belajar Dienes yang mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip
dalam Matematika yang disajikan dalam bentuk konkret akan dapat dipahami dengan baik.
Konsep-konsep Matematika dipelajari menurut tahapan-tahapan bertingkat dalam belajar
mamatika. Adapun tahapan-tahapan tersebut yaitu: (a). Permainan bebas adalah tahap belajar
konsep yang terdiri dari aktivitas yang tidak terstruktur dan tidak diarahkan. Hal ini
memungkinkan siswa untuk bereksperimen dan memanipulasi benda-benda konkrit dan
abstrak dari unsur-unsur yang dipelajari. (b). Permainan yang menggunakan aturan
Pada tahap ini siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam
suatu konsep. Melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan
struktur Matematika. (c). Permainan mencari persamaan sifat dimana pada tahap ini siswa
mulai diarahkan untuk menemukan struktur yang menunjukkan kesamaan yang terdapat
dalam permainan yang dimainkan (d). Permainan dengan reperesentasi yaitu merupakan
tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Pada tahap ini anak
mencari gambaran konsep kesamaan sifat dari situasi tertentu. (e). Permainan dengan
simbolisasi dimana tahap ini merupakan tahap belajar konsep pada saat anak perlu
merumuskan reperesentasi pada setiap konsep dengan menggunakan simbol Matematika atau
dengan perumusan verbal yang sesuai. (f) Formalisasi
tahapan mempelajari suatu konsep dan struktur matematika yang saling berhubungan. Dalam
hal ini anak harus mengurut sifat-sifat itu untuk dapat merumuskan sifat-sifat baru

Kerangka Konseptual
Dalam kegiatan belajar mengajar penggunaan metode mengajar matematika harus
disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Untuk anak/ peserta didik pada jenjang pendidikan
permulaan pada umumnya masih senang bermain-main, maka pengajaran matematika akan
lebih berhasil bila menggunakan metode bermain, karena anak didik dilibatkan secara aktif
bermain dalam situasi nyata yang berkaitan dengan matematika. Dengan metode bermain
pengajaran matematika akan lebih menarik dan menyenangkan karena menggunakan benda-
benda konkret yang telah dikenal oleh siswa, sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam
belajar dan meningkatkan hasil belajar matematika khususnya pada materi mengurutkan
bilangan menggunakan garis bilangan. Selain menyenangkan bermain juga membantu anak
untuk memahami materi pelajaran dan meningkatkan kemampuan dalam memecahkan
masalah.
Mengurutkan bilangan dilakukan secara bertahap dari bilangan satuan, puluhan,
ratusan bahkan dapat di acak antara satuan puluhan dan ratusan. Dengan kemampuan siswa
yang mahir dalam mengurutkan bilangan dari kecil ke besar dan sebaliknya sehingga dapat
menjadi dasar bagi pembelajaran selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai