Karakteristik anak usia antara 10-12 tahun atau masa kelas-kelas tinggi SD :
1. Menyenangi permainan aktif
2. Minat terhadap olahraga kompetitif dan permainan terorganisasi meningkat
3. Rasa kebanggaan akan keterampilan yang dikuasai tinggi
4. Mencari perhatian orang dewasa
5. Pemuja kepahlawanan tinggi
6. Mudah gembira, kondisi emosionalnya tidak stabil
7. Mulai memahami arti akan waktu dan ingin mencapai sesuatyu pada waktunya
Karakteristik Anak SD
Anak SD merupakan anak dengan katagori banyak mengalami perubahan yang sangat
drastis baik mental maupun fisik. Usia anak SD yang berkisar antara 6 – 12 tahun menurut
Seifert dan Haffung memiliki tiga jenis perkembangan :
1. Perkembangan Fisik
Hal tersebut mencakup pertumbuhan biologis misalnya pertumbuhan otak, otot dan
tulang. Pada usia 10 tahun baik lai-laki maupun perempuan tinggi dan berat badannya
bertambah kurang lebih 3,5 kg. Namun setelah usia remaja yaitu 12 -13 tahun anak
perempuan berkembang lebig cepat dari pada laki-laki, Sumantri dkk (2005).
2. Perkembangan Kognitif
Hal tersebut mencakup perubahan – perubahan dalam perkembangan pola
fikir.Perkembangan kognitif seperti dijelaskan oleh Jean Piaget dapat dijelaskan berdasarkan
tiga pendekatan perkembangan yaitu :
1. Tahapan Pra Oprasional
2. Tahapan Oprasional Konkrit
3. Tahapan Oprasional Formal
3. Perkembangan Psikososial
Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan dan perubahan emosi individu. Seperti
dijelaskan oleh Robert J. Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu
harus sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek psikis,
moral dan sosial. Sejalan dengan R. J. Havighurst di atas, Syaodih (2007) menjelaskan
tahapan perkembangan anak jika dipandang dari aspek psikis, moral dan sosial adalah :
Ketiga jenis perkembangan tersebut berjalan tergantung dari perkembangan masing
masing jenis seperti tersebut di atas yang berbeda. Hal tersebut tergantung dari variabel
stimulan yang mendorong. Apabila rangsangan fisik yang sering diberikan maka faktor fisik
anak yang berkembangan demikian juga halnya dengan faktor kognitif dan psikososial.
Karakteristik Pembelajaran Matematika SD
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi moderen, matematika mempunyai peranan penting dalam
berbagai disiplin ilmu yang berimplikasi pada daya eksplorasi fikiran manusia.
Perkembangan pesat ilmu pengetahun dan teknologi dewasa ini sebagian besar berasal dari
perkembangan ilmu terapan matematika. Maka penguasaan ilmu matematika dasar maupun
terapan adalah kunci dari suatu keinginan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga penguasaan matematika dasar sedapat mungkin telah
dimulai semenjak dini.
Mata pelajaran matematika diberikan pada tingkat sekolah dasar selain untuk
mendapatkan ilmu matematika itu sendiri demikian juga untuk mengembangkan daya berfikir
siswa yang logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif dan mengembangkan pola kebiasaan
bekerjasama dalam memecahkan masalah. Kompetensi tersebut diperlukan siswa dalam
mengembangkan kemampuan mencari, memperoleh, mengelola dan pemanfaatan informasi
berdasarkan konsep berfikir logis ilmiah dalam rangka bertahan dalam kehidupan yang serba
tidak pasti. Di era globalisasi dewasa ini segala hal dalam bertahan hidup memerlukan
kesiapan dalam berkompetisi baik dalam sekala lokal maupun internasional.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar pada kurikulum KTSP disusun sebagai
landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut di atas. Matematika
mengedepankan pendekatan pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup dengan
solusi tunggal, masalah terbuka dengan pemecahan tidak tunggal dan berbagai masalah
matematis dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah maka perlu dikembangkan keterampilan menemukan masalah, mencari
penyebab masalah, mengembangkan teknik mencari solusi pemecahan masalah dan
menemulkan solusi yang paling tepat dalam pemecahan masalah. Walaupun dalam tataran
sekolah dasar pengembangan sikap logis ilmiah tersebut sangat perlu tetapi dalam tataran
permasalahan yang sederhana dan kontekstual. Dalam setiap kesempatan pembelajaran
matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (BNSP 2006) hendaknya dimulai
dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem) Dengan
mengajukan permasalahan yang kontekstual maka secara bertahap siswa terbimbing untuk
menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran guru
diharapkan menggunakan pendekatan, metode dan strategi pembelajaran yang berpusat pada
siswa.
Mata pelajaran matematika pendidikan sekolah dasar bertujuan agar siswa memiliki
kemampuan sebagai berikut :
1. Memahami konsep matematika , menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, effesien dan tepat dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, dan atau media lain untuk
memperjelas keadaan dan masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yang didasari oleh rasa
ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya
diri dalam pemecahan masalah.
Ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar
meliputi aspek bilangan, giometri dan pengukuran serta pengolahan data. Bilangan
membahas tentang kaedah konsep simbolisasi lambang bilangan dan perhitungan dasar
sederhana yang banyak melibatkan media konkrit dan media manipulatif lainnya. Giometri
dan pengukuran lebih fokus membelajarkan siswa tentang konsep ruang dan ukurannya
dengan perhitungan dasar yang sederhana menggunakan media konkrit dan media
manipulatif lainnya. Sedangkan Pengolahan data lebih banyak membahas tentang hakekat
data, cara mengolah dan membaca data berdaasrkan kaidah rasional dan ilmiah menggunakan
data-data konkrit dan data manipulatif. Penggunaan media dari konkrit ke absatrak
mempertimbangkan tingkatan kelas dan daya nalar siswa. Semakin tinggi tingkatan siswa
maka penggunaan media di arahkan ke semi abstrak (manipulatif) sampai tingkatan abstrak.
Demikian juga semakin tinggi daya nalar logis siswa maka semakin berani bagi guru
menggunakan media yang semi abstrak sampai abstrak. Hal ini terjadi pada kasus jika
ditemukan siswa yang memiliki keberbekatan yang tinggi di bidang matrmatika. Sehingga
siswa tersebut diberikan perlakuan khusus sebagai siswa berbakat, jenius dan sejenisnya.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan kaum konstruktifistik yang memandang
bahwa pengetahuan adalah atas dasar bentukan kita sendiri seperti dikemukakan oleh Von
Glaserfeld dalam Suparno (1997). Von Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah
suatu tiruan dan gambaran dari suatu kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif berdasarkan fakta dalam aktifitas seseorang dalam
membagun pengalamanya sendiri. Seseorang membentuk skema, katagori, konsep dan
struktur pengetahuan yang diperlukan dalam membangun strukgur kognitifnya.
Para konstruktifistik memandang bahwa satu satunya sarana yang tersedia bagi
seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan obyek
dan lingkungan dengan menggunakan segenap panca indranya. Para kontruktifistik percaya
bahwa pengetahuan tumbuh, berkembang dan ada dalam diri seseorang yang dalam keadaan
mencari tahu tentang sesuatu. Pengetahuan tidak begitu saja dapat dipindahkan dari guru
kepada siswanya. Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang dibelajarkan guru yang
disesuaikan dengan pengalaman-pengalamannya sendiri.
Menurut paham konstrufistik balajar merupakan proses hasil konstruksi sendiri
sebagai hasil interaksinya dengan berbagai lingkungan dan pengalaman belajar.
Pengkontruksian pemahaman dalam ivent belajar melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Secara hakiki proses asimilasi dan akomodasi terjadi sebagai usaha peserta didik untuk
menumbuhkembangkan pengetahuan yang ada dibenaknya (Heinich, et.al 2002) Pengetahuan
yang dimiliki oleh peserta didik awalnya disebut dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa.
Proses asimilasi terjadi apabila terdapat kesesuaian antara pengalaman baru dengan
prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Sedangkan akomodasi terjadi jika pengalaman baru
tidak sesuai dengan prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Prinsip ini dikembangkan oleh
para pakar pendidikan bahwa ada satu hal lagi yang terjadi di struktur kognitif siswa jika
kedua hal antara asimilasi dan akomodasi terjadi yang diistilahkan dengan generalisasi.
Dalam hubungannya dengan pembelajaran matematika dan sains maka para
kontrutifisme bergerak pada sisi mengusahakan perubahan mendasar dari kurikulum yang
menggunakan beberapa prinsip :
1. Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam situasi dan minat
siswa.
2. Matematika pengetahuan artinya, bukan hanya menekankan isi matematika dan sains tetapi
juga fokus dalam konteks prinsip-prinsipnya.
3. Penekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi dan multiple ide
4. Menekankan agar siswa dapat bereksplorasi menggunakan seluruh panca indranya
4. Metode Bermain
Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang
ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja
untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode
berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pengetahuan tentang metode-metode mengajar
sangat di perlukan oleh para pendidik, sebab berhasil atau tidaknya siswa belajar sangat
bergantung pada tepat atau tidaknya metode mengajar yang digunakan oleh guru. Sedangkan
pengertian pembelajaran adalah usaha untuk membuat siswa belajar. Dengan mengambil dua
pengertian di atas maka metode pembelajaran adalah jalan atau usaha yang ditempuh untuk
membuat siswa belajar. Menyimak dari pengertian tersebut maka metode pembelajaran
menempati posisi penting dalam memerankan fungsinya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Berikut beberapa pengertian metode seperti dikemukakan oleh beberapa ahli.
Pengertian metode menurut Dr.S. Nasution adalah suatu cara yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam suatu tugas pekerjaan agar dapat mencapai tujuan
sesuai yang ditetapkan. Sedangkan menurut Drs. H Abu Ahmad dkk (2005:52) metode adalah
suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang diberikan oleh seorang guru atau
instruktur. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia metode adalah cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditetapkan.
Menurut Syaiful B. Djamarah dkk (2006:82-84), metode berkedudukan :
1. Sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan pembelajaran
2. Mensiasati perbedaan individual anak didik
3. Untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Makin tepat metode yang digunakan oleh guru dalam mengajar diharapkan makin efektif dan
efesien dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sudah barang tentu factor lainpun harus
diperhatikan seperti ; faktor guru, faktor siswa, faktor situasi, (lingkungan belajar), media dan
yang lainnya.
Terdapat banyak ragam metode yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi pembelajaran
sperti metode ceramah, metode diskusi, metode bermain, metode eksperimen, metode tutor
teman sebaya, metode penugasan, metode observasi, metode bermain dan sebagainya. Saat
ini penulis akan mengangkat metode bermain sebagai salah satu alternative dalam membuat
suasana belajar lebih kreatif sehingga keterlibatan siswa dalam proses lebih besar.
Salah satu tokoh yang dianggap paling berjasa sebagai pencetus penggunaan metode
bermain adalah Plato seorang filsuf Yunani. Ia dianggap sebagai orang pertama yang
menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato anak-anak akan
lebih mudah mempelajari Aritmatika dengan cara permainan. Sedangkan Sudono (2000:1)
mengemukakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa
mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi
kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak.
Dengan bermain anak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, anak-anak akan
lebih senang dan menjadikan si anak lebih aktif. Sebagaimana dikemukakan oleh Mayke
(dalam Sudono, 2000:3) bahwa belajar dengan bermain akan memberi kesempatan kepada
anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi serta
mempraktekkannya. Arief Sadiman (2002:79) mengatakan permainan dapat dipakai untuk
mempraktekkan keterampilan membaca dan berhitung sederhana. Tujuan pemberantasan buta
aksara dan buta angka untuk orang dewasa atau pelajaran membaca, menulis permulaan serta
matematika adalah yang lazim dikaitkan dengan permainan.
Dalam proses pembelajaran guru hendaknya memberikan kebebasan kepada setiap
anak didiknya untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pemikiran mereka. Sebaiknya
guru juga memberi kebebasan sesuai dengan sifat alami anak sehingga dalam
mengembangkan kreatifitasnya anak tidak merasa takut untuk memiliki pendapat berbeda
dengan gurunya
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa metode bermain yang dimaksud
adalah suatu cara yang digunakan dalam melakukan kegiatan untuk menjelaskan konsep
abstrak dalam matematika yang lebih menyenangkan Hal tersebut dimaksudkan sebagai
upaya untuk mencegah ketakutan siswa terhadap pelajaran matematika sehingga siswa lebih
paham dan lebih lama mengingatnya.
Berikut dikemukakan beberapa pendapat para ahli berupa teori tentang pentingnya
penggunaan metode bermain diantaranya seperti diuraikan di bawah ini.
Teori-teori Belajar
1. Teori Belajar menurut Behavioristik (Thordinke)
Belajar merupakan proses pembentukan hubungan yang erat antara stimulus (S)
dengan respon (R) semakin erat hubungan antara hubungan S-R maka proses belajar telah
berlangsung dengan baik. Belajar merupakan teori yang diutamakan latihan-latihan. Teori ini
juga akan mencoba berbagai cara dan usaha untuk mendapatkan respon yang benar. Dalam
belajar dengan cara ini harus ada: 1) motif pendororng kegiatan, 2) ada bermacam-macam
respon dalam situasi tertentu, 3) ada eliminasi mencapai tujuan. Hukum dalam teori
Thordinke ada
tiga tahap yaitu : 1) Low readness yaitu kesiapan stimulus dalam bereaksi, jika reaksi
terhadap stimulus didukung oleh kesiapan bereaksi, maka reaksi memuaskan. 2) Low of
exerscises (hukum latihan, yaitu apabila S_R sering dilakukan atau dipraktekkan maka
hubungan ini semakin kuat. Dalam praktek ini diberikan hadiah bagi respon yang benar. 3)
Law of Effect (Hukun Akibat) yaitu apabila hubungan S_R dibarengai dengan pengaruh yang
memuaskan maka hubungan ini menjadi kuat.
2. Teori dari sudut pandang psikonalisa (Sigmund Freud)
Sigmund Freud, memandang bermain sama seperti fantasi atau lamunan. Melalui
bermain ataupun fantasi seseorang dapat memproyeksikan harapan-harapan serta pengalaman
yang menyenangkan. Freud percaya bahwa bermain penting dalam perkembangan emosi
anak. Perkembangan emosi anak yang dimaksud adalah dengan bermain proses belajar-
mengajar menjadi lebih menyenangkan dan dapat merangsang belajar siswa sehingga prestasi
siswa dapat meningkat. Pandangan Freud tentang bermain akhirnya memberi ilham atau
inspirasi kepada para ilmu jiwa untuk menggunakan bermain sebagai alat diagnosa ataupun
“mengobati” anak yang bermasalah.
3. Teori Belajar Kognisi
1) Menurut Piaget, anak menjalani tahapan perkembangan kognisi dan sampai
akhirnya proses berfikir anak menyamai proses berfikir orang dewasa. Dalam teori Piaget,
bermain bukan saja mencerminkan tahap perkembangan kognisi anak itu sendiri. Piaget juga
mengemukakan bahwa saat bermain anak-anak tidak belajar sesuatu yang baru, tetapi mereka
belajar mempraktekkan dan mengkonsolidasi keterampilan baru yang diperoleh. Dari hal
tersebut dapat diketahui bahwa dengan bermain, keterampilan baru yang diperoleh melalui
praktek tidak akan segera hilang dan akan selalu diingatnya sehingga belajar dapat
meningkat.
2). Vygotsky memandang bermain identik dengan kaca pembesar yang dapat
menelaah kemampuan baru dari anak yang bersifat potensial sebelum diaktulisasikan dalam
situasi lain, khususnya dalam kondisi normal seperti di sekolah. Pandangan Vygotsky
mengenai bermain bersifat mennyeluruh, dalam pengertian selain untuk perkembangan
kognisi, bermain juga mempunyai peranan penting bagi perkembangan sosial dan emosi
anak. Dengan demikian melalui bermain, anak dapat memiliki perhatian, daya ingat, dan
kerjasama yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
3). Teori Jerome Singer (1937), menegaskan bahwa menggunakan metode bermain
sebagai usaha untuk menggunakan kemampuan fisik dan mental guna mengatur atau
mengorganisasi pengalamanny. Bermain memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk
menjelajahi dunianya serta mengmbangkan kreativitasnya.
4). Teori Robert White (1959) yang menjelaskan bahwa bahwa kegiatan bermain pada
anak tidak membutuhkan hadiah ataupun reward namun mereka bermain untuk kegiatan itu
sendiri. White mengemukakan bahwa dengan adanya kegiatan bermain anak-anak akan
memperoleh kepuasan pribadi karena merasa kompeten. Keberhasilan melakukan sesuatu
atau memperoleh tanggapan dari lingkungannya sudah merupakan hadiah tersendiri bagi
anak. Bermain dapat merupakan cara anak bertindak menurut kehendaknya sendiri dalam
tindakan yang efektif. Jadi, dengan adanya kegiatan bermain itu sendiri dapat membuat siswa
merasa senang dan ingin mengulanginya lagi.
5). Teori Jerome Brunner menyatakan bahwa belajar matematika akan berhasil jika
proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam
pokok bahasan yang akan diajarkan, disamping hubungan-hubungan yang terkait antara
konsep-konsep dan struktur-struktur. Brunner melukiskan anak-anak berkembang melalui
tiga tahap perkembangan yaitu: (a).Tahap Enactive Dalam tahapan ini anak-anak langsung
terlibat dalam menggunakan/ memanipulasi objek. (b). Tahap Iconic dimana dalam tahap ini
kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari obyek-obyek
yang dimanipulasinya. Pada tahap ini anak-anak tidak langsung dari objek. (c). Tahap
Simbolik yaitu tahapan ini siswa memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek
tertentu. Anak tidak lagi terkait objek-objek pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini
sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek real.
6).Teori Belajar Dienes yang mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip
dalam Matematika yang disajikan dalam bentuk konkret akan dapat dipahami dengan baik.
Konsep-konsep Matematika dipelajari menurut tahapan-tahapan bertingkat dalam belajar
mamatika. Adapun tahapan-tahapan tersebut yaitu: (a). Permainan bebas adalah tahap belajar
konsep yang terdiri dari aktivitas yang tidak terstruktur dan tidak diarahkan. Hal ini
memungkinkan siswa untuk bereksperimen dan memanipulasi benda-benda konkrit dan
abstrak dari unsur-unsur yang dipelajari. (b). Permainan yang menggunakan aturan
Pada tahap ini siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam
suatu konsep. Melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan
struktur Matematika. (c). Permainan mencari persamaan sifat dimana pada tahap ini siswa
mulai diarahkan untuk menemukan struktur yang menunjukkan kesamaan yang terdapat
dalam permainan yang dimainkan (d). Permainan dengan reperesentasi yaitu merupakan
tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Pada tahap ini anak
mencari gambaran konsep kesamaan sifat dari situasi tertentu. (e). Permainan dengan
simbolisasi dimana tahap ini merupakan tahap belajar konsep pada saat anak perlu
merumuskan reperesentasi pada setiap konsep dengan menggunakan simbol Matematika atau
dengan perumusan verbal yang sesuai. (f) Formalisasi
tahapan mempelajari suatu konsep dan struktur matematika yang saling berhubungan. Dalam
hal ini anak harus mengurut sifat-sifat itu untuk dapat merumuskan sifat-sifat baru
Kerangka Konseptual
Dalam kegiatan belajar mengajar penggunaan metode mengajar matematika harus
disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Untuk anak/ peserta didik pada jenjang pendidikan
permulaan pada umumnya masih senang bermain-main, maka pengajaran matematika akan
lebih berhasil bila menggunakan metode bermain, karena anak didik dilibatkan secara aktif
bermain dalam situasi nyata yang berkaitan dengan matematika. Dengan metode bermain
pengajaran matematika akan lebih menarik dan menyenangkan karena menggunakan benda-
benda konkret yang telah dikenal oleh siswa, sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam
belajar dan meningkatkan hasil belajar matematika khususnya pada materi mengurutkan
bilangan menggunakan garis bilangan. Selain menyenangkan bermain juga membantu anak
untuk memahami materi pelajaran dan meningkatkan kemampuan dalam memecahkan
masalah.
Mengurutkan bilangan dilakukan secara bertahap dari bilangan satuan, puluhan,
ratusan bahkan dapat di acak antara satuan puluhan dan ratusan. Dengan kemampuan siswa
yang mahir dalam mengurutkan bilangan dari kecil ke besar dan sebaliknya sehingga dapat
menjadi dasar bagi pembelajaran selanjutnya.