TINJAUAN PUSTKA
2.1.2 Etiologi
Penyebab tersering adalah oklusi kedua arteri serebral posterior dengan infark oksipital
medial yang bilateral (Cummings, 2002 ). Beberapa penyebab dari buta kortikal yang pada
dasarnya juga akan membuat lesi di korteks penglihatan yakni:
Ensefalopati hipoksik atau iskemik
Creutzfeld-Jakob disease
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Bilateral infiltrating tumours, contoh: glioma
Dalam sebuah buku, buta kortikal bisa dikarenakan perdarahan serebral, tumor, infark
pada vena, cardiopulmonary arrest, emboli udara dan lemak, herniasi uncus, dan
demielinisasi. Untuk buta kortikal sementara, penyebabnya bisa dari iskemik, cerebral atau
coronary arteriography, obat-obatan (siklosporin), trauma kapitis, kejang, migraine,
myelografi.
2.1.3 Klasifikasi
Adapun pembagian buta kortikal yaitu buta kortikal total dan buta kortikal parsial. Pada
buta kortikal proses visual masih lebih bagus dari buta kortikal total. Lapangan pandang dan
ketajaman penglihatan bisa saja normal tapi terjadi gangguan pada korteks asosiasi berakibat
ketidakmampuan melihat objek secara normal.
2.1.4 Patogenesis
Sistem visual normal seseorang dapat melihat dengan normal. Sistem ini terdiri dari
retina, N.optikus (N.II), khiasma optikus, traktus optikus, korpus genikulatum lateral (CGL)
radiatio genikulo-kalkarina, korteks kalkarina primer, korteks asosiasi dan lintasan antar
hemisfer. Cahaya yang tiba di retina diterima oleh sel batang dan sel kerucut sebagai
gelombang cahaya. Gelombang mencetuskan impuls yang dihantarkan oleh serabut-serabut
sel di striatum optikum ke otak. Jika cahaya berproyeksi pada makula, gambaran yang dilihat
adalah tajam.
Proyeksi cahaya di luar makula menghasilkan penglihatan yang kabur. Proyeksi sesuatu
benda yang terlihat oleh kedua mata terletak pada tempat kedua makula secara setangkup,
apabila proyeksi itu tidak menduduki tempat yang bersifat setangkup, maka akan terlihat
gambaran penglihatan yang kembar (diplopia). Nervus optikus memasuki ruang intrakranium
melalui foramen optikum. Di daerah tuber sinerium (tangkai hipofise) nervus optikus kiri dan
kanan tergabung menjadi satu berkas untuk kemudian berpisah lagi dan melanjutkan lagi
perjalanannya ke korpus genikulatum laterale dan kolikulus superior. Tempat kedua nervi
optisi bergabung menjadi satu berkas dinamakan khiasma. Di situ serabut-serabut nervus
optikus yang menghantarkan impuls visual dari belahan temporal dari retina tetap pada sisi
yang sama.
Setelah mengadakan pergabungan tersebut nervus optikus melanjutkan perjalanannya
sebagai traktus optikus. Julukan yang berbeda untuk serabut - serabut nervus optikus dari
kedua belah sisi itu berdasarkan karena nervus optikus adalah berkas saraf optikus (sebelum
khiasma) yang terdiri dari seluruh serabut optikus yang berasal dari retina mata kiri atau
kanan, sedangkan traktus optikus ialah berkas serabut optikus yang sebagian berasal dari
belahan nasal retina sisi kontralateral dan sebagian dari belahan temporal retina sisi
homolateral.
Serabut–serabut optik yang bersinaps di korpus genikulatum laterale merupakan jaras
visual, sedangkan yang menuju ke kolikulus superior menghantar impuls visual
membangkitkan refleks optosomatik. Setelah bersinaps di korpus genikulatum laterale,
penghantaran impuls visual selanjutnya dilaksanakan oleh serabut –serabut genikulo
kalkarina, yaitu juluran ganglion yang menyusun korpus genikulatum laterale yang menuju
ke korteks kalkarina. Korteks kalkarina ialah korteks perseptif visual primer (area 17).
Setibanya impuls visual di situ terwujudlah suatu sensasi visual sederhana. Dengan
perantaraan korteks area 18 dan 19 sensasi visual itu mendapat bentuk dan arti, yakni suatu
penglihatan.
Untuk impuls yang menuju kolikulus superior akan diteruskan ke kompleks inti pre tektal.
Neuron interkalasi menghubungkan kompleks inti pretekral dengan inti Edinger Westphal,
neuron inter kalasi ini ada yang menyilang dan ada yang tidak menyilang. Neuron eferent
parasimpatik, berjalan bersama N III, mengikuti divisi interior, lalu mengikuti cabang untuk
m.obiliquus inferior dan akhirnya mencapai ganglion ciliare, setelah bersinap disini, serabut
post ganglioner (n.ciliaris brevis) menuju m.sfingter pupillae (Japardi).
Sehingga jika terjadi lesi di korteks, refleks pupil terhadap cahay masih ada karena refleks
pupil diatur oleh hubungan nervus optikus yang pergi ke kolikulus superior untuk diteruskan
ke kompleks inti pre tektal tanpa menyinggahi bagian korteks. Namun secara otomatis, tidak
terwujud sensasi visual dan penglihatan. Pada tes opto-kinetik-nystagmus, tidak akan
dijumpai karena dimana fase lambatnya di kontrol oleh daerah perieto-oksipital dan fase
cepatnya di kontrol oleh lobus frontal ipsilateral.
2.1.6 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan bantuan gambaran CT-Scan atau MRI.
Dari anamnesa ditemui penurunan ketajaman visual bisa secara tiba-tiba maupun perlahan.
Penurunan ketajaman visual terjadi pada ke dua mata. Tingkat penurunan bervariasi. Dari
pemeriksaan funduskopi, tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan refleks pupil, masih
dijumpai seperti orang normal. Optokinetik nistagmus tidak dijumpai lagi. Pada gambaran
CT-Scan atau MRI baru dijumpai kelainan atau lesi pada korteks oksipital.
2.1.8 Pengobatan
Pengobatan pada buta kortikal adalah menghilangkan etiologi dari buta kortikal.
Sedangkan untuk pengobatan khusus untuk keadaan buta kortikal tidak ada. Jika
penyebabnya adalah stroke, maka dilakukan pengobatan untuk stroke. Sehingga jika
strokenya teratasi, maka keadaan buta kortikal juga akan terperbaiki.
2.1.9 Prognosis
Pada penelitian Aldrich, ditemui prognosis terbaik dijumpai pada pasien dibawah 40
tahun, tanpa riwayat hipertensi atau diabetes melitus dan tanpa adanya hubungan dengan
gangguan memori, bahasa, dan kognitif. Dari penelitian tersebut disimpulkan prognosis
buruk dijumpai pada buta kortikal akibat stroke dan bila adanya abnormalitas biooksipital
pada pemeriksaan CT-Scan.
3.1 TOXOPLASMOSIS SEREBRI
3.1.1 Definisi Toxoplasmosis Serebri
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan
penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia (Hiswani, 2005). Parasit ini
merupakan golongan Protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler.
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang pasien-
pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses serebral
pada pasien-pasien ini.
3.1.3 Patogenesis
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga
tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak
diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan
retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan
antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase
kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya
menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
Tachyzoit
Ookista (usus)
(Daging mentah)
Imune Respon
Immunocompromized
→reaktivasi
3.1.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan, isolasi T
gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien dengan suspek
toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi
empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi
HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi
empiris.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.
Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii
yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak
tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent
antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG
mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi
IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis toxoplasmosis cerebral
dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari pemeriksaan cairan
serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan
elevasi protein.
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii dapat
berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis yang
terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi
aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada
darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh
atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan
hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis adalah dengan biopsi otak, tapi karena
keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi
parasit dapat dilakukan dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari
hampir semua jaringan manusia atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral
ditemukan histopatologitachyzoitpadajaringanotak.
Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral, CT scan
menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan biasanya menunjukkan
beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral , corticomedullary junction , atau ganglia
basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga kadang-kadang muncul pada penderita
toxoplasmosis cerebral. Karakteristik toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi
gambarn abses cincin dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat
memperlihatkan lesi hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain,
namun , CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. [14] Pada T1 –
weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas sinyal rendah berhubung
dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 – weighted MRI , lesi biasanya dengan intensitas
sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk mendiagnosis dan memantau respon
terhadap pengobatan toxoplasmosis karena lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa
lesi.
3.1.6 Penatalaksanaan
Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin dan sulfadiazine.
Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin (antibiotik) ini menunjukkan aktivitas
sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara
terus menerus terhadap jalur sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah
untukmencegah komplikasi pendarahan karena efek samping untuk regimen kombinasi ini
adalah penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang
terinfeksi toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para ibu haruslah
diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya hiperbilirubinemia dan
kernikterus. Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang intoleransi terhadap sulfadiazin
atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam menangani kasus toksoplasma
serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah trimetoprim dengan sulfamethoxazole,
klindamisin dengan pirimetamin, dan claritromisin dengan pirimetamin. Klindamisin dengan
pirimetamin diberikan pada pasien yang tidak bisa toleransi terhadap sulfonamid.
3.1.8 Pencegahan
Non Farmakologis : Menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa
melalui makanan.Jadi makanan yang dikonsumsi terutama daging harus benar-benar masak
(pada suhu 116 derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh
makanan. Buah-buahan dan sayur-sayuran harus dicuci bersih. Hindari menyentuh barang
yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran kucing.Jika ada kotoran kucing, maka
harus dibersihkan untuk menghindari maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktu
berkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii
yang ada di tanah ke tangan manusia.
Farmakologis : Farmakologis ada pasien dengan seropositif, profilaksis primer
direkomendasikan pada pasien dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel
<100/µL dan pada pasien dengan CD4 T-sel <200/µL yang mempunyai infeksi oportunistik
atau malignansi. Profilaksis dengan menggunakan regimen trimetoprim-sulfamethoxazole
pada pasien dengan jumlah CD4 T sel <100/µL menunjukkan pengurangan risiko terinfeksi
toksoplasmosis sebanyak 73%.Pasien-pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan
selepas menjalani terapi fase akut mempunyai kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka
harus mendapat terapi pemeliharaan selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden
infeksi oportunistik termasuk toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di
mana penggunaan antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly Active Anti
Retro viral) berhasil mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki kualitas hidup pada
pasien-pasien HIV. Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil menekan replikasi virus dan
meningkatkan jumlah CD4+ limfosit yang mana akan turut memperbaiki sistem imunitas
pasien.
3.1.9 Prognosis
Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa
menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci mencegah
terjadinya onset penyakit.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien ini di dapatkan data Ny. S.K usia 26 tahun, dari anamensa di dapatkan
gangguan penglihatan pada okuli dextra sejak ± 3 bulan, dan okuli sinsitra ± 1 bulan setelah
okuli dextra terganggu. Nyeri kepala (+) VAS 8, mual (-), vomitus (+), tinnitus (-), febris (-).
Memiliki keluhan yang sama ± 3 bulan SMRS pasien sempat di rawat di Rumah Sakit akibat
sakit kepala hebat pada seluruh daerah kepala dan di rasakan menjalar hingga ke bagian
belakang kepala. Sakit kepala di rasakan berkurang jika minum obat. Muntah bersamaan
dengan timbulnya sakit kepala. Sementara dalam pengobatan TB.
Berdasarkan teori perjalanan untuk menjadi buta kortikal ini bisa perlahan-lahan, bisa juga
secara akut. Penurunan ketajaman visual terjadi pada ke dua mata. Tingkat penurunan
bervariasi. Infeksi Toxoplasmosis gejalanya tidak khas seperti : demam, nyeri otot, sakit
tenggorokan,kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior,
supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sakit
kepala, muntah, depresi, nyeri otot, pnemonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan
dapat terjadi kejang.
Pemeriksaan Fisik : GCS 15 (E4V5M6), TD : Tekanan darah : 120/80 mmHg; Nadi : 68
x/m; Respirasi : 20 x/m; Suhu badan : 36.5oC; SpO2 : 98%. Pada pemeriksaan status
generalis dalam batas normal, pemeriksaan status neurologi yakni evaluasi N.II yaitu Visus
OD : 0, Visus OS : 1/300, Refleks pupil ODS (+/+), pemeriksaan antibody toxoplasma : IgG
400 IU/ml, Ig M , 0,1 IU/ml. Hasil pemeriksaan CT Scan dengan kontras : tampak area
isodens parietoocipital kanan dan kiri dan tampak kontras ring enhancement.
Berdasarkan teori untuk pemeriksaan funduskopi, tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan refleks pupil, masih dijumpai seperti orang normal. Optokinetik nistagmus tidak
dijumpai lagi. Pada gambaran CT-Scan atau MRI baru dijumpai kelainan atau lesi pada
korteks oksipital.
Untuk toxoplasmosis serebral diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi,
biopsi jaringan, isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA
parasit.Pada pasien dengan suspek toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik
Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan
untuk membuat diagnosis. Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T
gondii IgG dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer
IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi
pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan
setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa
minggu setelah infeksi.
Pada pasien di tatalaksana dengan yaitu IVFD NaCl 0.9 % 500 ml / 12 jam, Inj.
Metylprednison 2 x 125 mg (iv), Inj Mecobalamin 2 x 500 µg (iv) , Inj Ketorolac 2 x 10 mg
(iv), Inj Ranitidin 2 x 50 mg (iv), Acetazolamide 2 x 250 mg (po) , Semax 0,1 % 3 x 6 gtt
NDS, OAT lepasan (RHZ,tanpa Etambutol), Pyrimethamine 2 x 25 mg (po), Ketokonazol 2 x
200 mg (po), Clindamicyn 1 x 300 mg (po), Asam Folat 2 x 5 mg (po).
Pengobatan pada buta kortikal adalah menghilangkan etiologi dari buta kortikal. Terapi
utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah Pirimethamin (200-mg oral dosis inisial,
dilanjutkan dengan 50–75 mg/hari secara oral), sulfadiazine (1000–1500 mg 4 kali/hari), dan
leucovorin (10–20 mg/hari). Lama pengobatan :6 minggu. Kombinasi antara pirimetamin
dengan sulfadiazin (antibiotik) ini menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi
toxoplasma gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur
sintesis asam folat.
BAB V
KESIMPULAN
2. Diagnosa pada pasien ini adalah diagnose presumtif mengingat pemeriksaan histopatologi dan
PCR tidak dapat di lakukan