Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTKA

2.1 Blindness Cortical


2.1.1 Definisi
Blindness Cortical / Buta kortikal adalah gangguan penglihatan yang sementara atau
menetap dikarenakan adanya gangguan jaras visual posterior dan atau kerusakan di lobus
oksipital di otak. Selain itu, dari literatur yang berbeda, buta kortikal adalah tipe kebutaan
yang terjadi akibat masalah di otak. Kondisi ini tercipta karena menurunnya fungsi
penglihatan akibat gangguan fungsi korteks. Orang yang mempunyai mata yang berfungsi
normal dan baik, bisa saja mengalami buta kortikal.
Buta kortikal adalah kehilangan penglihatan dikarenakan adanya disfungsi bilateral dari
korteks visual di oksipital (V1). Buta kortikal juga selalu digunakan untuk indikasi keparahan
dari gangguan visual yang dikarenakan disfungsi bilateral jaras genikulokalkarina.
Sebenarnya penggunaan istilah buta serebral lebih tepat karena lesi tidak selalu pada korteks.
Sebagai tambahan, derajat dari gangguan visual pada buta kortikal sangat bervariasi dan
jarang buta total, sehingga diperkenalkan istilah ganguan visual korteks (cortical visual
impairment) untuk anak-anak untuk menghindari kesan negatif dari prognosis yang buruk
dari buta kortikal (Lam, 2009). Namun pada beberapa artikel, penggunaan istilah gangguan
visual kortikal dan buta kortikal dianggap sama. Walaupun pada pembahasan gangguan visual
kortikal lebih ditekankan pada anak-anak sedangkan buta kortikal digunakan pada orang
dewasa.

2.1.2 Etiologi
Penyebab tersering adalah oklusi kedua arteri serebral posterior dengan infark oksipital
medial yang bilateral (Cummings, 2002 ). Beberapa penyebab dari buta kortikal yang pada
dasarnya juga akan membuat lesi di korteks penglihatan yakni:
 Ensefalopati hipoksik atau iskemik
 Creutzfeld-Jakob disease
 Progressive multifocal leukoencephalopathy
 Bilateral infiltrating tumours, contoh: glioma
Dalam sebuah buku, buta kortikal bisa dikarenakan perdarahan serebral, tumor, infark
pada vena, cardiopulmonary arrest, emboli udara dan lemak, herniasi uncus, dan
demielinisasi. Untuk buta kortikal sementara, penyebabnya bisa dari iskemik, cerebral atau
coronary arteriography, obat-obatan (siklosporin), trauma kapitis, kejang, migraine,
myelografi.

2.1.3 Klasifikasi
Adapun pembagian buta kortikal yaitu buta kortikal total dan buta kortikal parsial. Pada
buta kortikal proses visual masih lebih bagus dari buta kortikal total. Lapangan pandang dan
ketajaman penglihatan bisa saja normal tapi terjadi gangguan pada korteks asosiasi berakibat
ketidakmampuan melihat objek secara normal.

2.1.4 Patogenesis
Sistem visual normal seseorang dapat melihat dengan normal. Sistem ini terdiri dari
retina, N.optikus (N.II), khiasma optikus, traktus optikus, korpus genikulatum lateral (CGL)
radiatio genikulo-kalkarina, korteks kalkarina primer, korteks asosiasi dan lintasan antar
hemisfer. Cahaya yang tiba di retina diterima oleh sel batang dan sel kerucut sebagai
gelombang cahaya. Gelombang mencetuskan impuls yang dihantarkan oleh serabut-serabut
sel di striatum optikum ke otak. Jika cahaya berproyeksi pada makula, gambaran yang dilihat
adalah tajam.
Proyeksi cahaya di luar makula menghasilkan penglihatan yang kabur. Proyeksi sesuatu
benda yang terlihat oleh kedua mata terletak pada tempat kedua makula secara setangkup,
apabila proyeksi itu tidak menduduki tempat yang bersifat setangkup, maka akan terlihat
gambaran penglihatan yang kembar (diplopia). Nervus optikus memasuki ruang intrakranium
melalui foramen optikum. Di daerah tuber sinerium (tangkai hipofise) nervus optikus kiri dan
kanan tergabung menjadi satu berkas untuk kemudian berpisah lagi dan melanjutkan lagi
perjalanannya ke korpus genikulatum laterale dan kolikulus superior. Tempat kedua nervi
optisi bergabung menjadi satu berkas dinamakan khiasma. Di situ serabut-serabut nervus
optikus yang menghantarkan impuls visual dari belahan temporal dari retina tetap pada sisi
yang sama.
Setelah mengadakan pergabungan tersebut nervus optikus melanjutkan perjalanannya
sebagai traktus optikus. Julukan yang berbeda untuk serabut - serabut nervus optikus dari
kedua belah sisi itu berdasarkan karena nervus optikus adalah berkas saraf optikus (sebelum
khiasma) yang terdiri dari seluruh serabut optikus yang berasal dari retina mata kiri atau
kanan, sedangkan traktus optikus ialah berkas serabut optikus yang sebagian berasal dari
belahan nasal retina sisi kontralateral dan sebagian dari belahan temporal retina sisi
homolateral.
Serabut–serabut optik yang bersinaps di korpus genikulatum laterale merupakan jaras
visual, sedangkan yang menuju ke kolikulus superior menghantar impuls visual
membangkitkan refleks optosomatik. Setelah bersinaps di korpus genikulatum laterale,
penghantaran impuls visual selanjutnya dilaksanakan oleh serabut –serabut genikulo
kalkarina, yaitu juluran ganglion yang menyusun korpus genikulatum laterale yang menuju
ke korteks kalkarina. Korteks kalkarina ialah korteks perseptif visual primer (area 17).
Setibanya impuls visual di situ terwujudlah suatu sensasi visual sederhana. Dengan
perantaraan korteks area 18 dan 19 sensasi visual itu mendapat bentuk dan arti, yakni suatu
penglihatan.

Gambar . Jaras Penglihatan

Untuk impuls yang menuju kolikulus superior akan diteruskan ke kompleks inti pre tektal.
Neuron interkalasi menghubungkan kompleks inti pretekral dengan inti Edinger Westphal,
neuron inter kalasi ini ada yang menyilang dan ada yang tidak menyilang. Neuron eferent
parasimpatik, berjalan bersama N III, mengikuti divisi interior, lalu mengikuti cabang untuk
m.obiliquus inferior dan akhirnya mencapai ganglion ciliare, setelah bersinap disini, serabut
post ganglioner (n.ciliaris brevis) menuju m.sfingter pupillae (Japardi).
Sehingga jika terjadi lesi di korteks, refleks pupil terhadap cahay masih ada karena refleks
pupil diatur oleh hubungan nervus optikus yang pergi ke kolikulus superior untuk diteruskan
ke kompleks inti pre tektal tanpa menyinggahi bagian korteks. Namun secara otomatis, tidak
terwujud sensasi visual dan penglihatan. Pada tes opto-kinetik-nystagmus, tidak akan
dijumpai karena dimana fase lambatnya di kontrol oleh daerah perieto-oksipital dan fase
cepatnya di kontrol oleh lobus frontal ipsilateral.

2.1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari buta kortikal adalah:
a) Kehilangan ketajaman visual
b) Respon pupil masih ada
c) Presepsi visual hampir tidak ada
d) Optokinetik nistagmus tidak ditemui
e) Tidak adanya atrofi atau edema papil (funduskopi normal) (Cummings, 2002).
Agak sedikit berbeda dari buta kortikal parsial, dimana gejala klinis yang timbul adalah:
a) motion blindness
b) achromatopsia
c) agnosia
d) visuospatial disorientation atau Balint's syndrome
Perjalanan untuk menjadi buta kortikal ini bisa perlahan-lahan, bisa juga secara akut.
Untuk perlahan-lahan contohnya pada orang stroke unilateral pada lobus oksipital mungkin
akan berkembang pengurangan presepsi visual secara kontralateral dan menjadi buta kortikal
dalam 3-4 tahun. Perkembangan ini berhubungan dengan umur yang lebih tua, riwayat
keluarga mengenai penyakit vaskular, penyakit jantung, merokok, diabetes melitus, perluasan
infark sampai ke area sylvian dan tanpa adanya kemajuan penglihatan setelah stroke yang
sesisi (Lam, 2009). Jika terjadi secara mendadak bisa dikarenakan oklusi arteri serebral
posterior (Devinsky). Sangat sering terjadi pada buta kortikal penglihatan imajinasi dan
penglihatan seperti mimpi.
Oklusi arteri serebral posterior bilateral atau oklusi bagian rostral a.basilaris
menimbulkan buta kortikal dengan denial of blindness (sindroma Anton) dimana penglihatan,
dan persepsi cahaya tetapi refleks cahaya normal, tetapi seringkali masih tersisa sedikit sekali
penglihatan terutama untuk obyek yang dikenalnya (Toll, 1984), penderita buta tetapi
menyangkal kebutaannya,melaporkan pengalaman-pengalaman visual, bertindak tanduk
seperti penglihatannya normal afasia amnestik, gangguan memori baru yang berat,
konfabulasi dan deteriorisasi intelektual. Bila areal 18 dan 19 (psychic visual area) juga
rusak, maka timbul agnosia visual (tidak mampu mengenal/memberi nama pada obyek yang
dilihat tetapi masih dapat mengenalnya dengan perabaan, penciuman atau didengarkan
suaranya) prosopagnosia, halusinasi visual yang berbentuk, polinopsia (masih melihat
bayangan/wajah setelah objeknya menghilang), allthesia (bayangan visual ditransposisikan
dari lapang pandang satu sisi ke sisi lain), central dazzle (intoleransi terhadap cahaya tanpa
rasa nyeri)

2.1.6 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan bantuan gambaran CT-Scan atau MRI.
Dari anamnesa ditemui penurunan ketajaman visual bisa secara tiba-tiba maupun perlahan.
Penurunan ketajaman visual terjadi pada ke dua mata. Tingkat penurunan bervariasi. Dari
pemeriksaan funduskopi, tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan refleks pupil, masih
dijumpai seperti orang normal. Optokinetik nistagmus tidak dijumpai lagi. Pada gambaran
CT-Scan atau MRI baru dijumpai kelainan atau lesi pada korteks oksipital.

2.1.7 Diagnosa Banding


Adapun diagnosa banding untuk buta kortikal adalah adanya lesi di jaras visual bagian
lebih awal, visual agnosia, histeria (Duke). Untuk membedakan apakah kerusakan di jaras
visual lebih awal bisa dari hasil pemeriksaan funduskopi atau ada tidaknya reaksi pupil atau
optokinetik nystagmus. Jika refleks pupil tidak ada yang disertai penurunan ketajaman
penglihatan, maka lesi berada di jaras awal dari retina sampai ke daerah tuber sinerium
(tangkai hipofise). Perlu diingat, pada buta kortikal hasil pemeriksaan funduskopi dalam
batas normal. Hati-hati dalam membedakan buta kortikal dengan histeria. Pada histeria,
dijumpai pura-pura buta yang bertujuan menarik perhatian. Namun perbedaan paling utama
adalah tidak adanya lesi pada korteks yang nampak dari hasil CT Scan atau MRI.

2.1.8 Pengobatan
Pengobatan pada buta kortikal adalah menghilangkan etiologi dari buta kortikal.
Sedangkan untuk pengobatan khusus untuk keadaan buta kortikal tidak ada. Jika
penyebabnya adalah stroke, maka dilakukan pengobatan untuk stroke. Sehingga jika
strokenya teratasi, maka keadaan buta kortikal juga akan terperbaiki.

2.1.9 Prognosis
Pada penelitian Aldrich, ditemui prognosis terbaik dijumpai pada pasien dibawah 40
tahun, tanpa riwayat hipertensi atau diabetes melitus dan tanpa adanya hubungan dengan
gangguan memori, bahasa, dan kognitif. Dari penelitian tersebut disimpulkan prognosis
buruk dijumpai pada buta kortikal akibat stroke dan bila adanya abnormalitas biooksipital
pada pemeriksaan CT-Scan.
3.1 TOXOPLASMOSIS SEREBRI
3.1.1 Definisi Toxoplasmosis Serebri
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan
penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia (Hiswani, 2005). Parasit ini
merupakan golongan Protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler.
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang pasien-
pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses serebral
pada pasien-pasien ini.

3.1.2 Cara Penularan Toxoplasma


Cara penularan yaitu dapat melalui oral dan penularan melalui transplsental. Infeksi
dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista.
Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor lalat, kecoa, tikus, dan melalui tangan yang
tidak bersih. Transmisi toxoplasma ke janin terjadi utero melalui placenta ibu hamil yang
terinfeksi penyakit ini. Infeksi juga terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan
menggunakan hewan percobaan yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau melalui jarum
suntik dan alat laboratorium lainnya yang terkontaminasi dengan toxoplasma gondii .
Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh
terinfeksinyasel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secaraberturut-turut.
Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat
peredaran darahatau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai
jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu,dan berpredileksi untuk
menetap pada otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Melihat cara penularan diatas maka kemungkinan paling besar untuk terkena infeksi
toxoplamosis gondii melalui makanan daging yang mengandung ookista dan yang dimasak
kurang matang. Kemungkinan ke dua adalah melalui hewan peliharaan. Hal ini terbutki
bahwa di negara Eropa yang banyak memelihara hewan peliharaan yang suka makan daging
mentah mempunyai frekuensi toxoplasmosis lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.

3.1.3 Patogenesis
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga
tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak
diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan
retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan
antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase
kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya
menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.

Tachyzoit
Ookista (usus)
(Daging mentah)

Darah & Limfe

Imune Respon

Bradyzoit (otak, skeletal,


myocard, retina)

Immunocompromized

→reaktivasi

3.1.4 Manifestasi Klinis


Toxoplasmosis pada individu dengan daya tahan tubuh yang baik biasanya hanya
memberikan gejala minimal dan bahkan sering tidak menimbulkan gejala. Apabila
menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti : demam, nyeri otot, sakit
tenggorokan,kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior,
supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sakit
kepala, muntah, depresi, nyeri otot, pnemonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan
dapat terjadi kejang.
Sesudah terjadi penularan, parasit dengan perantara aliran darah akan dapat mencapai
berbagai macam organ misalnya otak, sumsum tulang belakang, mata, paru-paru, hati, limpa,
sumsum ulang, kelenjar limfe dan otot jantung. Pada system saraf pusat, selama terjadi
kelainan yang mengenai system saraf pusat baik meningoensefalitis yang fokal maupun yang
difus dapat terlihat dengan adanya nekrosis dan nodul mikroglis.
Pada pemeriksaan laboratorium rutin tidak memperlihatkan hasil yang mencolok, kecuali
adanya gambaran limfositosis yang ringan, kenaikan LED, dan peningkatan enzim
transaminase hati.
Gejala umum jika toksoplasma sudah menginfeksi di otak atau dikenali sebagai
toksoplasma otak termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat,
masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian.
Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala
dan rasa bingung kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Pasien dengan sistem immunonya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali
berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan dengan
penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal
nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau
pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering ditemui sebagai gejala
klinis awal. Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan
mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma.
Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi
beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.

3.1.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan, isolasi T
gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien dengan suspek
toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi
empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi
HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi
empiris.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.
Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii
yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak
tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent
antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG
mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi
IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis toxoplasmosis cerebral
dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari pemeriksaan cairan
serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan
elevasi protein.
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii dapat
berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis yang
terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi
aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada
darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh
atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan
hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis adalah dengan biopsi otak, tapi karena
keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi
parasit dapat dilakukan dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari
hampir semua jaringan manusia atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral
ditemukan histopatologitachyzoitpadajaringanotak.
Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral, CT scan
menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan biasanya menunjukkan
beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral , corticomedullary junction , atau ganglia
basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga kadang-kadang muncul pada penderita
toxoplasmosis cerebral. Karakteristik toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi
gambarn abses cincin dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat
memperlihatkan lesi hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain,
namun , CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. [14] Pada T1 –
weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas sinyal rendah berhubung
dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 – weighted MRI , lesi biasanya dengan intensitas
sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk mendiagnosis dan memantau respon
terhadap pengobatan toxoplasmosis karena lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa
lesi.
3.1.6 Penatalaksanaan
Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin dan sulfadiazine.
Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin (antibiotik) ini menunjukkan aktivitas
sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara
terus menerus terhadap jalur sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah
untukmencegah komplikasi pendarahan karena efek samping untuk regimen kombinasi ini
adalah penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang
terinfeksi toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para ibu haruslah
diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya hiperbilirubinemia dan
kernikterus. Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang intoleransi terhadap sulfadiazin
atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam menangani kasus toksoplasma
serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah trimetoprim dengan sulfamethoxazole,
klindamisin dengan pirimetamin, dan claritromisin dengan pirimetamin. Klindamisin dengan
pirimetamin diberikan pada pasien yang tidak bisa toleransi terhadap sulfonamid.

Terapi pilihan dan lama pengobatan Regimen Alternatif


Pirimethamin (200-mg oral dosis inisial,  Pirimethamine (200-mg oral dosis inisial,
dilanjutkan dengan 50–75 mg/hari secara dilanjutkan dengan 50–75 mg/day secara
oral), sulfadiazine (1000–1500 mg oral) and klindamisin(600 mg intravena
[IV] atau oral 4 kali sehari).
4 kali/hari), and leucovorin (10–20 mg/hari)  TMP (5 mg/kg) and SMX (25 mg/kg) IV
atau oral 2 kali sehari.
 Atovaquone* (1500 mg oral2 kali sehari)
+ pirimethamin (50–75 mg/hari) dan
Lama pengobatan :6 minggu
leucovorin (10– 20 mg/hari).
 Atovaquone* (1500 mg oral dua kali
sehari) + sulfadiazin (1000–1500 mg 4
kali sehari).
 Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali sehari)
 Pirimethamin (50–75 mg/hari) dan
leucovorin (10–20 mg/hari) +
azithromisin (900–1200 mg/hari oral)
Untuk pasien yang sakit berat dan tidak bisa
toleransi terhadap medikasi oral, TMP (10
mg/kg/hari) and SMX (50 mg/kg/hari) IV
TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.

Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk mencegah penyakit kambuh kembali. Pasien-


pasien yang tidak mendapatkan terapi pemeliharaan setelah mendapat terapi akut sering
terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis sekunder yaitu dengan terapi
pemeliharaan selama 6 minggu setelah terapi fase akut. Regimen terapi fase pemeliharaan
sama dengan terapi fase akut, tetapi dosisnya minimal danmemberikan hasil yang efektif

3.1.7 Diagnosis Banding


Diagnosa banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di otak :
o Infeksi (misal : tuberkuloma)
o Tumor otak primer
o Metastasis otak
o Penyakit demielinasi (misal: sklerosis multipel)
o Malformasi vena-arteri

3.1.8 Pencegahan
Non Farmakologis : Menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa
melalui makanan.Jadi makanan yang dikonsumsi terutama daging harus benar-benar masak
(pada suhu 116 derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh
makanan. Buah-buahan dan sayur-sayuran harus dicuci bersih. Hindari menyentuh barang
yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran kucing.Jika ada kotoran kucing, maka
harus dibersihkan untuk menghindari maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktu
berkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii
yang ada di tanah ke tangan manusia.
Farmakologis : Farmakologis ada pasien dengan seropositif, profilaksis primer
direkomendasikan pada pasien dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel
<100/µL dan pada pasien dengan CD4 T-sel <200/µL yang mempunyai infeksi oportunistik
atau malignansi. Profilaksis dengan menggunakan regimen trimetoprim-sulfamethoxazole
pada pasien dengan jumlah CD4 T sel <100/µL menunjukkan pengurangan risiko terinfeksi
toksoplasmosis sebanyak 73%.Pasien-pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan
selepas menjalani terapi fase akut mempunyai kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka
harus mendapat terapi pemeliharaan selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden
infeksi oportunistik termasuk toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di
mana penggunaan antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly Active Anti
Retro viral) berhasil mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki kualitas hidup pada
pasien-pasien HIV. Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil menekan replikasi virus dan
meningkatkan jumlah CD4+ limfosit yang mana akan turut memperbaiki sistem imunitas
pasien.

3.1.9 Prognosis
Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa
menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci mencegah
terjadinya onset penyakit.

BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien ini di dapatkan data Ny. S.K usia 26 tahun, dari anamensa di dapatkan
gangguan penglihatan pada okuli dextra sejak ± 3 bulan, dan okuli sinsitra ± 1 bulan setelah
okuli dextra terganggu. Nyeri kepala (+) VAS 8, mual (-), vomitus (+), tinnitus (-), febris (-).
Memiliki keluhan yang sama ± 3 bulan SMRS pasien sempat di rawat di Rumah Sakit akibat
sakit kepala hebat pada seluruh daerah kepala dan di rasakan menjalar hingga ke bagian
belakang kepala. Sakit kepala di rasakan berkurang jika minum obat. Muntah bersamaan
dengan timbulnya sakit kepala. Sementara dalam pengobatan TB.
Berdasarkan teori perjalanan untuk menjadi buta kortikal ini bisa perlahan-lahan, bisa juga
secara akut. Penurunan ketajaman visual terjadi pada ke dua mata. Tingkat penurunan
bervariasi. Infeksi Toxoplasmosis gejalanya tidak khas seperti : demam, nyeri otot, sakit
tenggorokan,kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior,
supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sakit
kepala, muntah, depresi, nyeri otot, pnemonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan
dapat terjadi kejang.
Pemeriksaan Fisik : GCS 15 (E4V5M6), TD : Tekanan darah : 120/80 mmHg; Nadi : 68
x/m; Respirasi : 20 x/m; Suhu badan : 36.5oC; SpO2 : 98%. Pada pemeriksaan status
generalis dalam batas normal, pemeriksaan status neurologi yakni evaluasi N.II yaitu Visus
OD : 0, Visus OS : 1/300, Refleks pupil ODS (+/+), pemeriksaan antibody toxoplasma : IgG
400 IU/ml, Ig M , 0,1 IU/ml. Hasil pemeriksaan CT Scan dengan kontras : tampak area
isodens parietoocipital kanan dan kiri dan tampak kontras ring enhancement.
Berdasarkan teori untuk pemeriksaan funduskopi, tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan refleks pupil, masih dijumpai seperti orang normal. Optokinetik nistagmus tidak
dijumpai lagi. Pada gambaran CT-Scan atau MRI baru dijumpai kelainan atau lesi pada
korteks oksipital.
Untuk toxoplasmosis serebral diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi,
biopsi jaringan, isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA
parasit.Pada pasien dengan suspek toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik
Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan
untuk membuat diagnosis. Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T
gondii IgG dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer
IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi
pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan
setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa
minggu setelah infeksi.
Pada pasien di tatalaksana dengan yaitu IVFD NaCl 0.9 % 500 ml / 12 jam, Inj.
Metylprednison 2 x 125 mg (iv), Inj Mecobalamin 2 x 500 µg (iv) , Inj Ketorolac 2 x 10 mg
(iv), Inj Ranitidin 2 x 50 mg (iv), Acetazolamide 2 x 250 mg (po) , Semax 0,1 % 3 x 6 gtt
NDS, OAT lepasan (RHZ,tanpa Etambutol), Pyrimethamine 2 x 25 mg (po), Ketokonazol 2 x
200 mg (po), Clindamicyn 1 x 300 mg (po), Asam Folat 2 x 5 mg (po).
Pengobatan pada buta kortikal adalah menghilangkan etiologi dari buta kortikal. Terapi
utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah Pirimethamin (200-mg oral dosis inisial,
dilanjutkan dengan 50–75 mg/hari secara oral), sulfadiazine (1000–1500 mg 4 kali/hari), dan
leucovorin (10–20 mg/hari). Lama pengobatan :6 minggu. Kombinasi antara pirimetamin
dengan sulfadiazin (antibiotik) ini menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi
toxoplasma gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur
sintesis asam folat.

BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnese, gambaran klinis, pemeriksaan neurologi,


pemeriksaan penunjang (Serologi dan CT Scan), dan tatalkasana yang di berikan sudah tepat.

2. Diagnosa pada pasien ini adalah diagnose presumtif mengingat pemeriksaan histopatologi dan
PCR tidak dapat di lakukan

Anda mungkin juga menyukai