KAJIAN PUSTAKA
Selain peran ekonomi dan kewilayahan tersebut di atas, sistem transportasi juga
memiliki peran sosial dan politik. Peran sosial sistem transportasi dalam bentuk
pelayanan terhadap interaksi sosial antar perorangan maupun antar kelompok,
selain itu juga dalam pertukaran informasi. Sedangkan peran politis sistem
transportasi dalam bentuk integrasi antar wilayah dan keamanan.
3.1.1. Transport Demand
Rata-rata pergerakan
Tataguna Lahan
kendaraan per 100 m2
Pasar swalayan 136
Pusat pertokoan 38
Gedung perkantoran 13
Rumah sakit 18
Daerah industri 5
Sumber : Black
Kepadatan
Bangkitan
Jenis Perumahan Pemukiman Pergerakan per
Pergerakan per
(keluarga per hari
ha
ha)
Pemukiman di luar kota 15 10 150
Pemukiman di batas 45 7 315
kota
Unit rumah 80 5 400
Flat tinggi 100 5 500
Sumber : Black
3.1.3. Aksesibilitas
Daya hubung atau aksesibilitas adalah tingkat kemudahan hubungan dari suatu
wilayah ke wilayah lainnya. Suatu wilayah dikatakan memiliki aksesibilitas lebih baik
dari wilayah lainnya bila wilayah tersebut lebih mudah berhubungan dengan wilayah
lainnya. Kegiatan transportasi suatu wilayah dikatakan memiliki aksesibilitas yang
baik apabila :
1. Setiap orang yang beraktifitas di suatu wilayah dapat bergerak dari satu
bagian wilayah ke bagian wilayah yang lain dengan mudah, aman, cepat dan
nyaman;
2. Tidak mengalami hambatan selama bergerak melalui rute yang diinginkan.
Potensi tata guna lahan adalah satu ukuran dari skala aktivitas sosioekonomi yang
terjadi pada suatu lahan tertentu. Ciri khas dari tata guna lahan adalah kemampuan
atau potensinya untuk ”membangkitkan” lalu lintas. Dengan demikian, sudah
sewajarnya apabila menghubungkan potensi tata guna lahan dari sepetak lahan,
yang memiliki aktivitas tertentu, untuk membangkitkan sejumlah tertentu arus lalu-
lintas per hari.
Guna lahan dalam suatu wilayah pada dasarnya menunjukan kegiatan manusia
yang menempati petak yang bersangkutaan. Setiap petak dapat dicirikan dengan 3
(tiga), ukuran dasar, yaitu jenis kegiatan, intensitas penggunaan, dan hubungan
antar guna lahan. Ketiga macam ukuran ini tidak berdiri sendiri-sendiri ketiga-
tiganya diperlukan untuk dapat mengukur cukup tidaknya pelayanan angkutan.
Jenis kegiatan dapat ditelaah dari 2 (dua) aspek : (a) umum menyangkut
penggunaan seperti perdagangan, industri, dan pemukiman; dan (b) khusus,
menyangkut sejumlah ciri yang lebih terinci seperti ukuran luas, fungsinya di dalam
suatu wilayah. Setiap jenis menuntut fungsi angkutan khusus untuk mengangkut
orang maupun barang dari dan ke lokasi kegiatan tersebut.
Tata Ruang
Pola
Spasial Aksesibilitas
Interaksi Tata
Ruang dan
Sistem
Transportasi
Untuk melihat patensi guna lahan, digunakan berbagai satuan pengukuran sesuai
dengan jenis guna lahan yang bersangkutan. Tabel 3.3 menyajikan contoh-contoh
khusus mengenai potensi guna lahan. Pembangkitan lalu lintas adalah suatu
fenomena yang dinamis dan intensitas dari bangkitan lalu lintas dapat dinyatakan
sebagai fungsi dari waktu dan ruang. Dalam pengertian yang umum, tata guna
lahan berarti distribusi ruang atau pola geografis dari kota: daerah permukiman,
kawasan industri, daerah komersial, pemerintahan, institusional, rekreasi. Jika
manfaat lahan di setiap daerah untuk suatu kota telah diketahui, maka ini
memungkinkan untuk memperkirakan lalu lintas yang dihasilkan.
Hubungan antar guna lahan bersangkut paut dengan jarak yang harus ditempuh
orang dan barang untuk mencapai lokasi tertentu (daya hubung).
Daya hubung tidak dapat diukur langsung serta tidak lepas dari intensitas guna
lahan dan kegiatan pada tapak yang bersangkutan. Dalam proses perencanaan
perangkutan, pengaruh daya hubung terhadap lahan di sekitarnya perlu
diperhitungkan dan dianalisis guna menentukan daya tarik lahan tersebut.
Pola guna lahan di sekitar Pusat Kegiatan Kota (PKK) menunjukkan struktur yang
baku. Struktur ini erat kaitannya dengan sejarah perkembangan kawasan tersebut
dan perbedaan fungsi guna lahan yang bersangkutan. Sebagai contoh, guna lahan
perdagangan yang menuntut daya hubung tinggi, terpusat di dalam Pusat Kegiatan
Kota (PKK) sepanjang lintas radial dan pada persimpangan dua atau lebih jalan
utama. Demikian pula, jalan dan penggunaan perangkutan terkumpul di PKK.
Daerah industri biasanya ditempatkan di daerah pinggiran, tidak di pusat kota.
Daerah perumahan dengan berbagai macam sarana biasanya berada di sekitar
Pusat Kegiatan Kota (PKK).
Studi ini akan mengkaji dari berbagai aspek perencanaan umum sistem transportasi
Kabupaten Balangan
Rencana strategis tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam rencana yang lebih rinci
untuk rentang waktu yang lebih pendek sesuai dengan arahan strategi pelaksanaan
sistem transportasi. Implementasi dari setiap pilihan baru bisa dilaksanakan setelah
melalui proses perencanaan detail. Secara skematik perencanaan sistem
transportasi diperlihatkan sebagai berikut.
Selain itu perlu juga difahami bahwa perencanaan transportasi memiliki karakteristik
multi modal, melibatkan berbagai jenis alat angkut; multi disiplin, melibatkan
banyak disiplin ilmu; multi sektoral, melibatkan banyak lembaga atau pihak terkait;
dan multi problem yang berarti problem di bidang transportasi disebabkan oleh atau
akan menyebabkan problem di bidang lain.
Perencanaan Ekonomi
RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT
KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 7
KAJIAN PUSTAKA
Perencanaan Transportasi
Rekayasa Lalu-
Lintas & Manajemen Sistem Operasi &
Lalu-Lintas Manajemen
Urutan sub model bisa bisa berbeda satu dengan yang lain sehingga timbul 4 jenis
urutan keempat sub model tersebut (seperti terlihat pada gambar di bawah).
G-MS G G G
MS
D D D-MS D
MS
A A A A
Sebaran pergerakan menunjukan ke mana dan dari mana pergerakan dari trip
generation di atas. Hasil output perhitungan sebaran pergerakan berupa MatrikS
Pergerakan atau Matriks Asal Tujuan (MAT). MAT sering digunakan oleh
perencana transportasi umtuk menggambarkan pola pergerakan.
MAT adalah matriks berdimensi dua yang berisi informasi mengenai besarnya
pergolakan antar lokasi (zona) di dalam daerah tertentu. Baris menyatakan zona
asal dan kolom menyatakan zona tujuan. Dalam hal ini notasi Tid menyatakan
besarnya arus pergerakan (kendaraan, penumpang dan barang) yang terletak dari
zona asal i dan zona tujuan d selama periode waktu tertentu.
Pola pergerakan dapat dihasilkan jika suatu MAT dibebankan ke suatu sisten
jaringan transportasi. Dengan mempelajari pola pergerakan yang terjadi, seseorang
dapat mengidentifikasi permasalahan yang timbul sehingga beberapa solusi segera
dapat dihasilkan. MAT dapat memberikan indikasi rinci mengenai kebutuhan akan
pergerakan sehingga MAT memegang peran yang sangat penting dalam berbagai
kajian perencanaan dan manajemen transportasi. Jumlah zona dan nilai setiap sel
adalah dua unsur penting dalam MAT karena jumlah zona menunjukkan banyaknya
sel matriks adalah dua unsur penting dalam MAT karena jumlah zona menunjukkan
banyaknya sel MAT yang harus didapatkan dan berisi informasi yang sangat
dibutuhkan untuk perencanaan transportasi. Setiap sel membutuhkan informasi
jarak, waktu, biaya, atau kombinasi ketiga informasi tersebut yang digunakan
sebagai ukuran aksebilitas (kemudahan).
Ketelitian MAT meningkat dengan menambah jumlah zona, tetapi MAT cenderung
berisi oleh sel yang tidak mempunyai pergerakan dari suatu sistem atau daerah
kajian dengan ukuran yang sangat beragam, seperti pola pergerakan di suatu
persimpangan atau pola pergerakan di dalam suatu perkotaan maupun di dalam
suatu negara. Gambar dibawah ini memperlihatkan persimpangan jalan dan MAT-
nya. Di sini, lengan persimpangan dianggap sebagai asal dan tujuan pergerakan.
Terlihat bahwa MAT dapat digunakan untuk mengambarkan pola pergerakan di
persimpangan.
Berbagai usaha dilakukan untuk mendapatkan MAT dan terdapat beberap Metoda
yang dapat digunakan. Hadirnya beberapa Metoda yang tidak begitu mahal
pelaksanaanya dirasakan sangat berguna karena MAT sangat sering dipakai dalam
berbagai kajian transportasi. Contohnya MAT dapat digunakan untuk :
Metoda untuk mendapatkan MAT dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama,
yaitu Metoda konvensional dan Metoda tidak konvensional (Tamin,
1985;1986;1988abc). Pengelompokan digambarkan berupa diagram seperti terlihat
pada gambar berikut.
Metoda Analogi
Metoda
Seragam
Konvensional Rata-rata
Fratar
Detroit
Furness
Metoda Tidak
Metoda
Langsung
MAT
Metoda Sintetis
Model Berdasarkan
Model Berdasarkan
Informasi Arus
Informasi Arus LaluLalu
Lintas Model Opportunity
Metoda non Lintas Model Gravity
Konvensional Estimasi Matrik Entropi Model Gravity -
Maksimum (EMEM) Opportunity
Model Estimasi Kebutuhan
Transport (MEKT)
Pendekatan ini sangat tergantung dari hasil pengumpulan data survei lapangan.
Proses wawancara dapat mengganggu pengguna jalan dan menimbulkan tundaan
lalulintas. Kendala waktu dan biaya juga membatasi jumlah wawancara sehingga
galat timbul jika sampel tidak bisa mencapai 100%. Selain itu, pemilihan Metoda
survei pengumpulan data juga sangat tergantung dari ketersediaan surveior.
Dengan demikian, galat teknis dan galat yang timbul akibat faktor manusia sering
terjadi, misalnya galat mencatat dan menafsirkan. Oleh sebab itu, permasalahan
utama pendekatan ini adalah dibutuhkannya sumber daya manusia yang besar,
misalnya pewawancara untuk pengumpulan data yang selanjutnya digunakan untuk
proses kodifikasi, penyortiran, dan akhirnya untuk proses analisis. Beberapa teknik
yang tersedia sampai saat ini diterangkan sebagai berikut (Willumsen,
1978a;1981ab;1982).
a. Wawancara di tepi jalan.
Survei ini biasanya dilakukan pada lokasi inlet dan outlet dari daerah kajian yang
mempunyai batas wilayah tertentu. Untuk kasus transportasi barang antarkota,
survei ini sangat berguna. Data dikumpulkan dengan mewawancarai
pengendara di jalan. Wawancara meliputi pertanyaan mengenai zona asal dan
tujuan pergerakan, jenis barang yang diangkut, beban muatan, dan lain-lain.
Survei lainnya kadang-kadang menanyakan hal yang bersangkutan dengan jenis
kendaraan, misalnya jenis kendaraan dan kapasitas angkutannya.
Lokasi wawancara harus diatur agar semua lalulintas antar zona bisa
didapatkan. Ini membutuhkan pendefinisian yang baik tentang sistem zona dan
jaringan di daerah kajian. Lalulintas yang masuk dan keluar dari daerah kajian
juga harus disurvei. Jumlah wawancara pada setiap lokasi ditentukan
berdasarkan jumlah sampel yang diambil. Untuk mendapatkan gambaran
mengenai besarnya sampel, survei pendahuluan perlu dilakukan untuk
mendapatkan informasi dan komposisinya.
Sesuai dengan ukuran sampel dan periode survei, faktor koreksi harus
digunakan terhadap data hasil survei untuk mendapatkan MAT secara total.
Persentase sampel sebesar 20% sering digunakan, tetapi ini sangat tergantung
dari arus lalulintas dan ketersediaan tenaga kerja. Wawancara seperti ini
dirasakan mahal jika ditinjau dari sisi tenaga kerja, adanya tundaan, dan
gangguan arus lalulintas, serta membutuhkan waktu proses yang lama.
b. Wawancara di Rumah.
Survei wawancara di tepi jalan sangat efektif jika digunakan untuk mendapatkan
informasi arus lalulintas menerus, tetapi tidak efektif untuk mendapatkan
informasi lalulintas yang terjadi dan bergerak hanya di dalam daerah kajian
(internal). Pergerakan internal susah dideteksi; semakin besar suatu kota,
semakin besar pula persentase lalulintas internalnya. Oleh sebab itu, Metoda
survei yang paling cocok untuk mendapatkan informasi lalulintas internal adalah
dengan wawancara di rumah.
Wawancara di rumah adalah jenis survei asal-tujuan yang terbaik untuk daerah
perkotaan dan merupakan bagian yang terpenting dalam kebanyakan kajian
e. Metoda Mengikuti-Mobil.
Metoda ini membutuhkan adanya pengamat yang bertugas mengikuti
pergerakan kendaraan (biasanya dengan menggunakan kendaraan lain) di
dalam daerah kajian dengan cara mencatat pergerakan kendaraan pada
beberapa lokasi tertentu dalam suatu jaringan jalan. Metoda ini lebih murah
dibandingkan dengan Metoda lainnya, tetapi membutuhkan manajemen yang
baik dalam proses pengumpulan dan analisis data.
Semua Metoda pada umumnya menghasilkan persentase sampel lebih kecil dari
100% sehingga hasil akhirnya hanya merupakan perkiraan dari MAT yang
diinginkan. Untuk survei foto udara, meskipun persentase sampel 100% bisa
dicapai, pertanyaan berikutnya adalah seberapa tinggi ketepatan MAT yang
dihasilkan dengan MAT yang sebenarnya terjadi dalam daerah kajian tersebut. Oleh
sebab itu, semua kekurangan itu menyebabkan semakin banyaknya kendala dan
semakin jarangnya penggunaan pendekatan Metoda Langsung ini.
didapat model yang lengkap, pastilah merupakan model yang sangat kompleks dan
mahal untuk digunakan. Jadi, secara praktis, dibutuhkan berbagai macam jenis
model untuk berbagai tujuan sehingga dapat dipilih model yang paling cocok untuk
tujuan tertentu atau untuk pemecahan masalah tertentu.
Sebaran pergerakan merupakan salah satu tahapan dalam Model Perencanaan
Transportasi Empat Tahap. Pada tahapan ini, jumlah pergerakan yang dibangkitkan
dari suatu zona asal atau yang tetarik ke suatu zona tujuan akan disebarkan pada
setiap zona asal dan zona tujuan yang ada. Hasil tahapan ini berbentuk MAT yang
diinginkan.
Model pemilihan moda bertujuan untuk mengetahui proporsi orang yang akan
mengetahui setiap moda. Proses ini dilakukan dengan maksud untuk mengkalibrasi
model pemilihan moda pada tahun dasar dengan mengetahui peubah atribut yang
mempengaruhi pemilihan moda tersebut setelah dilakukan proses kalibrasi, model
dapat digunakan untuk meramalkan pemilihan moda dengan menggunakan nilai
peubah atribut untuk masa mendatang.
Pemilihan moda sangat sulit dimodel, walaupun hanya dua buah moda yang akan
digunakan (umum atau pribadi). Ini disebabkan oleh banyak faktor yang sulit
dikuantifikasi dan juga kesediaan mobil pada saat diperlukan. Dengan lebih dari dua
moda (misalnya bus, sepeda motor, kereta api), proses pemodelan menjadi lebih
sulit. Untuk angkutan barang, pemilihan biasanya antara kereta api atau truk.
Pemilihan moda juga mempertimbangkan pergerakan yang mengguanakan moda
lebih dari satu dalam perjalanan. Jenis pergerakan inilah yang sangat umum
dijumpai di Indonesia yang terdiri dari banyak pulau. Jadi, dapat dikatakan bahwa
pemodelan pemilihan moda merupakan bagian yang terlemah dan tersulit
dimodelkan dari keempat tahapan model perencanaan transportasi. Faktor yang
mempengaruhi pemilihan moda ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, sebagaimana
dijelaskan berikut ini.
1. Ciri pengguna jalan beberapa faktor berikut ini diyakini sangat
menpengaruhi pemilihan moda:
Ketersediaan atau pemilikan kendaran pribadi
Pemilikan Surat Ijin Mengemudi (SIM)
Struktur rumah tangga (pasangan muda, keluarga dengan anak,
pensiun, bujangan, dll)
Pendapatan
Faktor lain musalnya keharusan menggunakan mobil ke tempat bekerja
dan keperluan mengantar anak sekolah.
2. Ciri pergerakan pemilihan moda juga sangat dipengaruhi oleh:
Tujuan pergerakan contohnya, pegerakan ketempat kerja di negara
maju biasanya lebih mudah dengan memakai angkutan umum
Model pemilihan moda yang baik harus memprtimbangkan semua faktor tersebut
mudah dilihat bagaimana konsep biaya gabungan dapat digunakan untuk
menyatakan beberapa faktor kuantitatif.
Dari semua model pemilihan moda, pemilihan peubah yang digunakan sangat
tergantung pada:
(a ) orang yang memilih moda tersebut,
(b ) tujuan pergerakan, dan
(c ) jenis model yang digunakan.
Model pemilihan moda dapat dianggap sebagai model agregat yang digunakan
informasi yang berbasis zona serta dapat dianggap sebagai madel tidak agregat jika
dipakai data berbasis data dan atau individu.
Pada tahap pembebanan rute ini, beberapa prinsip digunakan untuk membebankan
MAT pada jaringan jalan yang akhirnya menghasilkan informasi arus lalu lintas pada
setiap ruas jalan. Terdapat 3 asumsi yang dapat digunakan dimana akan
menghasilkan jenis model yang berbeda pula yakni :
Pembebanan all-or-nothing
Pembebanan banyak ruas
Pembebanan berpeluang
Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan
pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan
semua wilayah di daratan. Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai
dengan kebutuhan. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri
atas:
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional disusun secara
berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan
berskala nasional. Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Nasional harus memperhatikan Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional
memuat:
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi disusun secara
berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan
ruang kegiatan berskala provinsi. Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:
a. Prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan
lingkup provinsi;
b. Arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam
keseluruhan moda transportasi;
c. Rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d. Rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota disusun
secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.
Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Kabupaten/Kota dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:
a. Prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan
lingkup kabupaten/kota;
b. Arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota
dalam keseluruhan moda transportasi;
c. Rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan
d. Rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.
3.3. Lalu-Lintas
Lalu Lintas di dalam Undang-undang no 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkurtan Jalan[1] didefinisikan sebagai gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu
Lintas Jalan.Sedang Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi
gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas
pendukung.
Salah satu aspek lain dari lalu-lintas adalah kecenderungan pertumbuhan arus
tersebut, yang untuk kondisi Indonesia bisa sangat tinggi sebagai akibat permintaan
lalu-lintas masih jauh dari kejenuhan, sehingga pertumbuhan tersebut masih akan
terus berlangsung untuk waktu yang relatip lama.
1. Setiap jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional
4. Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas
absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas
Pada Jalan Kelas I, II, dan III A dalam sistem jaringan jalan primer untuk:
1. Mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang serta sepeda motor adalah 100
kilometer per jam.
2. Kendaraan bermotor dengan kereta gandengan atau tempelan adalah 80 kilometer
per jam.
3. Pada jalan kelas III B dalam sistem jaringan jalan primer untuk mobil penumpang,
mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan bermotor dengan kereta
gandeng atau kereta tempelan adalah 80 kilometer per jam
4. Pada jalan kelas III C dalam sistem jaringan jalan primer untuk mobil penumpang,
mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan bermotor dengan kereta
gandeng atau kereta tempelan adalah 60 kilometer perjam
5. Pada jalan kelas II dan III A dalam sistem jaringan jalan sekunder untuk:
Mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang adalah 70 kilometer perjam
Kendaraan bermotor dengan kereta gandengan atau tempelan adalah 60
kilometer perjam
6. Pada jalan III B dalam sistem jaringan jalan sekunder untuk mobil penumpang,
mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan bermotor dengan kereta
gandengan atau kereta tempelan adalah 50 kilometer per jam
7. Pada jalan kelas III C dalam sistem jaringan jalan sekunder untuk mobil
penumpang, mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan bermotor
dengan kereta gandengan atau kereta tempelan adalan 40 kilometer per jam
Keadaan lalu-lintas yang heterogen dan pertambahan volume kendaraan yang semakin
meningkat, cenderung mengakibatkan terjadinya hambatan baik kemacetan maupun
kecelakaan. Sebagai usaha untuk mengurangi hambatan dan mengatur lalu-lintas
sehingga menjadi tertib dan aman, diperlukan perangkat teknis lalu-lintas. Perangkat
teknis tersebut antara lain : rambu, marka, lampu sinyal, alat atau tanda yang
ditempatkan pada jalan, di sisi jalan atau pun menggantung di atas jalan. Pemberian
perangkat teknis ini harus ada yang standarisasinya sehingga tidak menimbulkan
keraguan bagi pengemudi. Fungsi utama perangkat teknis lalu-lintas ini adalah untuk
mengatur arus lalu-lintas.
b. Rambu larangan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perbuatan yang
dilarang dilakukan oleh pemakai jalan. Adapun yang termasuk rambu larangan
adalah : larangan berjalan terus, larangan pembatasan masuk, larangan masuk bagi
lalu-lintas tertentu, larangan melebihi kecepatan tertentu dan lain-lain.
c. Rambu perintah adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perintah yang
wajib dilakukan oleh pemakai jalan, seperti : perintah arah yang diwajibkan,
mengikuti jalur yang ditunjuk, memakai jalur tertentu dal lain sebagainya.
Informasi yang ditampilkan pada rambu harus tepat dalam pengertian sesuai dengan
pesan yang ditampilkan melalui kata-kata, simbol-simbol atau bentuk gabungan kata
dan simbol frekwensinya harus seperti membuat perhatian langsung setiap saat
dibutuhkan tetapi tidak boleh secara sembarangan yang malah tidak diperhatikan.
Menurut SK. MENHUB No.61 Tahun 1993 persyaratan penempatan rambu lalu-lintas
adalah sebagai berikut :
1. Untuk rambu-rambu yang ditempatkan pada sisi jalan. Jarak antar sisi rambu
bagian bawah sampai dengan jalur jalan kendaraan minimal 1,75 meter, maksimal
2,65 meter.
3. Jarak antar bagian rambu terdekat dengan bagian paling tepi dari perkerasan jalan
yang dapat dilalui kendaraan minimal 0,60 meter.
dari marka lalu-lintas antara lain : garis pembatas jalur, tanda belok dan lurus pada
jalur jalan, garis dilarang untuk berpindah ke jalur disebelahnya, tanda stop, zebra
cross dan lain-lain.
Marka melintang banyak digunakan untuk bahu jalan/shoulder. Kata dan simbol dan
“Garis Henti” pada tempat persimpangan pejalan kaki. Karena sudut Pandangan kecil
pada marka jalan bagi pengemudi, maka garis melintang harus diperbesar atau sesuai
dengan rencana untuk memberikan penglihatan yang sama tebalnya dengan marka
memanjang. Hal ini berlaku juga untuk marka dalam bentuk huruf dan simbol lainnya.
3. Memberikan interupsi yang berarti bagi lalu-lintas berat untuk member waktu pada
lalu-lintas lain untuk lewat, memasuki atau melewati persimpangan dan juga untuk
pejalan kaki.
penelitian ini untuk dapat mendefinisikan kriteria penilaian pada informasi kondisi
geometrik.
Berikut ini terdapat informasi lebar jalur dan bahu minimum, seperti pada Tabel 2.1 di
bawah ini.
berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih
dari 0.80. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu-lintas pada
Pada umumnya hubungan ini melalui lengkung spiral yang diletakkan antara garis lurus
dan lengkung. Lengkung yang panjang dan datar selalu lebih disukai dan untuk
kemungkinan ditingkatkan di masa mendatang. Lengkung yang panjang dan datar
digunakan bila perubahan arah jalan relatif kecil. Alinyemen jalan pada garis besarnya
dibagi menjadi alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal harus diperhatikan secara
bersama-sama melalui pendekatan tiga dimensi sehingga menghasilkan alinyemen
jalan dengan tingkat keselamatan dan apresiasi visual yang baik.
serta karena adanya friksi antara ban dan perkerasan. Efek keselamatan dari suatu
tikungan tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik geometriknya, tetapi juga oleh
geometri dari segmen jalan yang berdekatan, bahanya akan meningkat ketika tikungan
muncul secara tidak terduga, seperti ketika suatu tikungan ada ketika setelah jalan
yang cukup panjang atau ketika tersembunyi dari pandangan karena adanya bukit.
Efek keselamatan dari pelurusan tikungan adalah salah satu fokus yang utama.
Bilamana suatu tikungan tajam diperbaiki, transisi dari bagian lurus ke lengkung dari
suatu jalan akan lebih halus, panjang bagian lengkung bertambah
besar dan panjang keseluruhan sedikit berkurang. Dalam hal ini diharapkan adanya
perubahan tingkat kecelakaan dengan adanya perbaikan tikungan didasarkan pada
perubahan derajat lengkung dengan memperhitungakan reduksi minorpada panjang
jalan yang mengikuti pelurusan engkung. Hubungan antara kecelakaan dengan derajat
lengkung harus diperlakukan sebagai hubungan yang kasar, karena lengkung
horizontal dpertimbangkan sebagai lengkung yang berdiri sendiri tanpa memperhatikan
alinyemen segmen jalan yang berdekatan dan area hubungan yang tidak sepenuhnya
benar untuk efek-efek yang berhubungan dengan elemen geometrik lainnya. Model
a. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu
lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu
seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. Jalan kelas Khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran
panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari
10 (sepuluh) ton.
Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III dapat ditetapkan muatan sumbu
terberat kurang dari 8 (delapan) ton. Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan
prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Jalan. Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus diatur dengan
peraturan pemerintah.
Kelas jalan dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. Setiap Jalan memiliki batas
kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.
Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan
bebas hambatan.
Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah
Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas
absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.
Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis
dan administratif. Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan
sebelum pengoperasian Jalan. Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan
fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan. Uji kelaikan fungsi
Jalan dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
Tim uji laik fungsi Jalan) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib
dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau
peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang
dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak, penyelenggara Jalan
wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas.
Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan
perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. Alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di
jalan dan di luar badan Jalan.
3.6. Terminal
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah
ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.
Fasilitas Terminal
Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi
persyaratan keselamatan dan keamanan. Fasilitas Terminal meliputi fasilitas utama dan
fasilitas penunjang. Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal, penyelenggara Terminal
wajib melakukan pemeliharaan.
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
disebutkan bahwa pengertian trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk
pelayanan jasa angkutan orang dengan mobil bus, yang mempunyai asal dan tujuan
perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak berjadwal. Sedangkan
jaringan trayek adalah kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi satu kesatuan
jaringan pelayanan angkutan orang.
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
disebutkan bahwa pengertian jaringan lintas adalah jaringan pelayanan angkutan
barang yang ditetapkan berdasarkan kelas jalan yang sama, atau merupakan
kumpulan lintas-lintas yang menjadi satu kesatuan jaringan pelayanan angkutan
barang. Penetapan jaringan lintas diperlukan untuk keselamatan, keamanan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, yang dalam operasionalnya
dapat dilayani dengan kendaraan bermotor barang tertentu (mobil pengangkut peti
kemas, mobil pengangkut bahan berbahaya atau mobil pengangkut alat berat).
Jaringan lintas ditetapkan dengan memperhatikan :
a. Kebutuhan angkutan
b. Kelas jalan yang sama dan/atau yang lebih tinggi
c. Tingkat keselamatan angkutan
d. Tingkat pelayanan jalan
e. Tersedianya terminal angkutan barang
f. Rencana umum tata ruang
g. Kelestarian lingkungan
dimana
F : Frekwensi (kendaraan / jam)
n : Besar permintaan untuk pelayanan (pnp / jam)
N : Kapasitas jumlah penumpang maksimum per kend.
Frekwensi berbanding terbalik dengan selang waktu atau headway (F = 60 / H),
dimana headway minimum dapat dihitung dengan rumus.
H = 2 Td
dimana :
2). Kapasitas Pelayanan : Kapasitas pelayanan rute diperoleh dari hasil perkalian
antara kapasitas penumpang per kendaraan dengan frekwensi kendaraan pada satuan
waktu tertentu yang melalui rute tersebut. Besarnya kapasitas pelayanan diperoleh
dengan rumusan sebagai berikut :
Re = 60 Ct / H = Ct x F
Ct = Ca + fCb
dimana :
Jumlah Penumpang per Kendaraan per Link (Ruas Jalan). Jumlah rata-
rata penumpang yang ada didalam kendaraan pada suatu ruas jalan pelayanan
angkutan umum pada suatu trayek, sehingga untuk menentukan rata-rata jumlah
penumpang per kendaraan per ruas jalan terlebih dahulu ditentukan ruas-ruas pada
suatu trayek (zona angkutan umum) dengan memperhatikan ruas-ruas yang banyak
terjadi naik turun penumpang yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Pgz = Pg (z - 1) + Pgn – Pgt
dimana :
Faktor Muat per Ruas Jalan. Untuk mendapatkan faktor muat ini adalah
dengan membagi jumlah penumpang di dalam kendaraan pada suatu ruas jalan
dengan kapasitas tempat duduk, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
dimana :
dimana :
Jumlah Penumpang per Hari. Jumlah penumpang per hari diperoleh dengan
cara mengalikan jumlah rata-rata penumpang per rit yang dihasilkan per hari dan
dihitung dengan menggunakan rumusan sebagai berikut :
Pgh = Pgr x R
dimana :
Kualitas pelayanan dapat dilihat dari beberapa indikator unjuk kerja angkutan umum.
Untuk mengukur kualitas pelayanan didasarkan kepada Keputusan Dirertur Jenderal
Perhubungan Darat, Nomor 274/HK.105/DRJD/1996 dan Standar Bank Dunia dalam
“World Bank Technical Paper 68, bus Service : Reducing Cost, Raising Standards”.
Beberapa indikator kualitas pelayanan yang dipergunakan antara lain : Persyaratan
Umum. 1). Waktu tunggu di pemberhentian rata-rata 5 – 10 menit dan maksimum 10
– 20 menit. 2) Jarak untuk mencapai pemberhentian di pusat kota 300 – 500 meter,
sedangkan untuk pinggiran kota 500 – 1000 meter. 3). Penggantian rute dan moda
pelayanan, jumlah pergantian rata-rata 0-1 dan maksimum 2. 4). Lama perjalanan ke
dan dari tempat tujuan setiap hari rata-rata 1 – 1,5 jam dan maksimum 2 –3 jam.
Persyaratan Khusus. 1). Faktor layanan, 2). Faktor keamanan penumpang, 3).
Faktor kemudahan penumpang mendapatkan kendaraan, 4). Faktor lintansan.
Frekwensi Pelayanan
B 2–4 15 – 19 5–9 10 – 14 10 – 15 15 – 19 10 – 14 15 – 29
C 5–9 10 – 14 10 – 14 15 – 20 15 – 24 20 – 30 15 – 24 30 – 44
D 10 – 14 15 – 20 15 – 20 20 – 29 25 – 39 31 – 45 25 – 39 45 – 59
E 15 – 20 21 – 30 21 – 30 30 – 60 40 – 60 45 – 60 40 – 60 60 – 90
Waktu Perjalanan
Tingkat
Kepadatan Penumpang Indek
layanan
Waktu Keterangan
Perjalanan
Tempat duduk per penumpang terpisah
A <1
dengan sandaran yang tinggi
Rute dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, seperti; tipe pelayanan, tipe
jaringan dan peran dalam jaringan. Ditinjau berdasarkan tipe pelayanannya, rute
dibagi menjadi 4 jenis yaitu:
Dalam lingkup yang lebih luas baik dalam skala sistem maupun skala wilayah dewasa
ini telah dikembangkan apa yang disebut dengan Transportasi Multimoda. Terminologi
ini dipergunakan untuk sistem angkutan barang dan penumpang yang menggunakan
minimal dua moda yang berbeda, yang dilakukan berdasarkan suatu kontrak berupa
dokumen angkutan multimoda (DAM) antara pelaku usaha dan pengguna jasa. Tujuan
utama yang ingin dicapai dalam sistem pengangkutan multimoda adalah efisiensi biaya
pengangkutan dengan memperhatikan faktor kecepatan dan ketepatan waktu barang
sampai di tangan penerima tanpa melupakan faktor keamanan penumpang dan barang
yang diangkut.
Dalam sistem pengangkutan multimoda ini, terdapat satu pelaksana dan penanggung
jawab pengangkutan barang sejak dari tempat pembuatan sampai di tempat
penggunaannya, yaitu perusahaan pelaksanaan pengangkutan multimoda. Perusahaan
yang bertindak sebagai pelaksana pengangkutan multimoda adalah freight forwarder.
Kendati demikian, pengangkutan multimoda tetap melibatkan berbagai pihak atau
unsur pengangkut, yaitu perusahaan angkutan darat, perkeretaapian dan perusahaan
angkutan laut. Perusahaan yang memberi jasa pengangkutan ini merupakan subsistem
dari sistem pengangkutan multimoda.
1. Pengertian
1.a. Transportasi antarmoda diartikan sebagai transportasi penumpang dan atau
barang yang menggunakan lebih dart satu moda transportasi dalam satu
2.a. Pasal 2, menyatakan bahwa lalu lintas dan angkutan jalan diselenggarakan
dengan asas terpadu;
2.b. Pasal 33 ayat 1 menyatakan bahwa untuk menunjang kelancaran perpindahan
orang danjatau barang serta keterpaduan antarmodajmultimoda ditempat
tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan terminal;
2.c. Pasal 93 ayat 2 menyatakan bahwa manajemen dan rekayasa lalu lintas
dilakukan dengan pemaduan berbagai moda angkutan;
2.d. Pasal165 ayat 1 dan 2 antara lain menyatakan bahwa angkutan umum di jalan
yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum
angkutan multimoda, dan dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat
antara badan hukum angkutan jalan dan badan hukum angkutan multimoda
danjatau badan hukum moda lain.
fungsi penyedia jasa angkutan multimoda, dan dapat mengontrakkan sebagian dari
kegiatan angkutan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pengangkut pelaksana
(performing carrier).
Sedangkan dalam hal mewakili kepentingan pemilik barang (bukan prinsipal) berfungsi
sebagai :