Anda di halaman 1dari 39

KAJIAN PUSTAKA

KAJIAN PUSTAKA

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 1
KAJIAN PUSTAKA

Kajian kepustakaan merupakan upaya untuk memperoleh rujukan teoritis dalam


melakukan analisis dan perencanaan. Rujukan teoritis tersebut meliputi berbagai
aspek yang berkaitan dengan perencanaan transportasi wilayah.

3.1. Sistem Transportasi

Sistem transportasi merupakan interaksi beberapa komponen antara lain sistem


kegiatan, pelaku transport, prasarana, dan sarana. Sistem ini bekerja disebabkan
adanya interaksi secara timbal balik antara keempat komponen yang wujudnya
adalah adanya kegiatan perjalanan (trip) atau lalu-lintas.

Sistem transportasi juga merupakan indikator dari berbagai permasalahan sektor-


sektor utama suatu wilayah. Hal ini terkait dengan banyaknya aktivitas wilayah yang
secara langsung maupun tidak, sangat tergantung kepada seberapa efektif dan
efisiennya sistem transportasi yang dimiliki suatu wilayah. Kinerja sistem
transportasi sangat menentukan mobilitas dan produktifitas penduduk suatu
wilayah, untuk jangka panjang sangat berpengaruh terhadap aksesibilitas, bentuk
kegiatan dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Selain peran ekonomi dan kewilayahan tersebut di atas, sistem transportasi juga
memiliki peran sosial dan politik. Peran sosial sistem transportasi dalam bentuk
pelayanan terhadap interaksi sosial antar perorangan maupun antar kelompok,
selain itu juga dalam pertukaran informasi. Sedangkan peran politis sistem
transportasi dalam bentuk integrasi antar wilayah dan keamanan.
3.1.1. Transport Demand

Transport demand merupakan kebutuhan lanjutan dari aktifitas manusia untuk


bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain. Meskipun bukan merupakan kebutuhan
langsung, tetapi pemenuhan terhadap kebutuhan transportasi merupakan hal yang
mutlak. Pada prinsipnya kebutuhan transportasi akan meningkat sejalan dengan
peningkatan aktifitas dan mobilitas manusia. Hal terpenting dalam analisa transport
demand adalah memperkirakan jumlah perjalanan yang ditimbulkan oleh aktifitas
tataguna lahan. Beberapa rujukan dapat dipergunakan sebagai dasar perkiraan
bangkitan sebagai berikut :

Tabel 3.1. : Bangkitan Perjalanan dari Beberapa Aktivitas Tataguna


Lahan

Rata-rata pergerakan
Tataguna Lahan
kendaraan per 100 m2
Pasar swalayan 136
Pusat pertokoan 38

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 2
KAJIAN PUSTAKA

Gedung perkantoran 13
Rumah sakit 18
Daerah industri 5
Sumber : Black

Tabel 3.2. : Bangkitan Perjalanan untuk Daerah Perumahan dan


Kepadatannya

Kepadatan
Bangkitan
Jenis Perumahan Pemukiman Pergerakan per
Pergerakan per
(keluarga per hari
ha
ha)
Pemukiman di luar kota 15 10 150
Pemukiman di batas 45 7 315
kota
Unit rumah 80 5 400
Flat tinggi 100 5 500
Sumber : Black

3.1.2. Transport Supply

Transport supply merupakan ketersediaan sarana dan prasarana untuk melayani


kebutuhan transportasi (transport demand). Salah satu ciri transport supply yang
perlu dicermati dalam merencanakannya adalah sifatnya yang dipengaruhi banyak
faktor dan tidak terukur tepat antara ketersediaan dan keterpakaiannya. Misalnya,
sebuah Bus berkapasitas 50 penumpang dikatakan sudah terpakai apabila sudah
diberangkatkan sesuai jadual, meskipun hanya berangkat dengan 20 penumpang,
sisa kapasitas tempat duduk tidak dapat digunakan untuk jadual keberangkatan
berikutnya.

3.1.3. Aksesibilitas

Daya hubung atau aksesibilitas adalah tingkat kemudahan hubungan dari suatu
wilayah ke wilayah lainnya. Suatu wilayah dikatakan memiliki aksesibilitas lebih baik
dari wilayah lainnya bila wilayah tersebut lebih mudah berhubungan dengan wilayah
lainnya. Kegiatan transportasi suatu wilayah dikatakan memiliki aksesibilitas yang
baik apabila :

1. Setiap orang yang beraktifitas di suatu wilayah dapat bergerak dari satu
bagian wilayah ke bagian wilayah yang lain dengan mudah, aman, cepat dan
nyaman;
2. Tidak mengalami hambatan selama bergerak melalui rute yang diinginkan.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 3
KAJIAN PUSTAKA

Ukuran minimal aksesibilitas yang umum dipergunakan adalah waktu tempuh,


bukan jarak atau kondisi fisik prasarana. Meskipun demikian waktu tempuh
merupakan resultante dari beberapa faktor, antara lain jarak dan kondisi fisik
sarana dan prasarana transportasi.

3.1.4. Sistem Transportasi dan Tata Ruang

Sistem transportasi suatu wilayah merupakan bagian tak terpisahkan dari


Masterplan Pengembangan Wilayah yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Selain dari itu sistem transportasi suatu wilayah merupakan
bagian dari sistem transportasi yang secara hirarkhi berada di atasnya, yakni
sistem transportasi regional (propinsi) dan nasional. Pola hubungan antara sistem
transportasi dengan tata ruang wilayah diperlihatkan pada gambar di bawah.

Potensi tata guna lahan adalah satu ukuran dari skala aktivitas sosioekonomi yang
terjadi pada suatu lahan tertentu. Ciri khas dari tata guna lahan adalah kemampuan
atau potensinya untuk ”membangkitkan” lalu lintas. Dengan demikian, sudah
sewajarnya apabila menghubungkan potensi tata guna lahan dari sepetak lahan,
yang memiliki aktivitas tertentu, untuk membangkitkan sejumlah tertentu arus lalu-
lintas per hari.

Guna lahan dalam suatu wilayah pada dasarnya menunjukan kegiatan manusia
yang menempati petak yang bersangkutaan. Setiap petak dapat dicirikan dengan 3
(tiga), ukuran dasar, yaitu jenis kegiatan, intensitas penggunaan, dan hubungan
antar guna lahan. Ketiga macam ukuran ini tidak berdiri sendiri-sendiri ketiga-
tiganya diperlukan untuk dapat mengukur cukup tidaknya pelayanan angkutan.

Jenis kegiatan dapat ditelaah dari 2 (dua) aspek : (a) umum menyangkut
penggunaan seperti perdagangan, industri, dan pemukiman; dan (b) khusus,
menyangkut sejumlah ciri yang lebih terinci seperti ukuran luas, fungsinya di dalam
suatu wilayah. Setiap jenis menuntut fungsi angkutan khusus untuk mengangkut
orang maupun barang dari dan ke lokasi kegiatan tersebut.
Tata Ruang

Pola
Spasial Aksesibilitas
Interaksi Tata
Ruang dan
Sistem
Transportasi

Sistem Kegiatan Sistem Transportasi


Demand & Supply

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 4
SISTEM KEWILAYAHAN
KAJIAN PUSTAKA

Gambar 3.1 Diagram Hubungan Antara Tata Ruang, Sistem


Kegiatan dan Sistem Transportasi

Untuk melihat patensi guna lahan, digunakan berbagai satuan pengukuran sesuai
dengan jenis guna lahan yang bersangkutan. Tabel 3.3 menyajikan contoh-contoh
khusus mengenai potensi guna lahan. Pembangkitan lalu lintas adalah suatu
fenomena yang dinamis dan intensitas dari bangkitan lalu lintas dapat dinyatakan
sebagai fungsi dari waktu dan ruang. Dalam pengertian yang umum, tata guna
lahan berarti distribusi ruang atau pola geografis dari kota: daerah permukiman,
kawasan industri, daerah komersial, pemerintahan, institusional, rekreasi. Jika
manfaat lahan di setiap daerah untuk suatu kota telah diketahui, maka ini
memungkinkan untuk memperkirakan lalu lintas yang dihasilkan.

Tabel 3.3. : Ukuran Potensi Guna Lahan

Jenis Guna lahan Satuan Pengukuran

. Permukiman Jumlah Penduduk, unit-unit permukiman

. Industri (Pabrik) Luas persil, jumlan buruh/karyawan

. Pusat kota Luas lahan perdagangan, luas pelataran


parkir, jumlah pedagang eceran

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 5
KAJIAN PUSTAKA

. Perkantoran Luas persil, jumlah karyawan


. Gedung Biaskop Kapasitas tempat duduk, daya tampung
Pelataran parkir
. Rumah makan Luas lantai pelayanan, daya tampung
Pelataran parkir
. Hotel Jumlah kamar, tempat tidur, kapasitas
bar, ruang konferensi, dan lain-lain
Pusat Perbelanjaan Luas persil, jumlah karyawan, jumlah pedagang eceran,
.
luas pelataran parkir
. Terminal Kepadatan Peron, kapasitas parkir, kapasitas kendaraan
Sumber : Dasar-Dasar Rekayasa Transportasi (C. Jotin Khisty dan B. Kent Lall) dan
Merencanakan Sistem Perangkutan (Suwardjoko Warpani)

3.1.5. Hubungan Antar Guna Lahan

Hubungan antar guna lahan bersangkut paut dengan jarak yang harus ditempuh
orang dan barang untuk mencapai lokasi tertentu (daya hubung).

Daya hubung tidak dapat diukur langsung serta tidak lepas dari intensitas guna
lahan dan kegiatan pada tapak yang bersangkutan. Dalam proses perencanaan
perangkutan, pengaruh daya hubung terhadap lahan di sekitarnya perlu
diperhitungkan dan dianalisis guna menentukan daya tarik lahan tersebut.

Pola guna lahan di sekitar Pusat Kegiatan Kota (PKK) menunjukkan struktur yang
baku. Struktur ini erat kaitannya dengan sejarah perkembangan kawasan tersebut
dan perbedaan fungsi guna lahan yang bersangkutan. Sebagai contoh, guna lahan
perdagangan yang menuntut daya hubung tinggi, terpusat di dalam Pusat Kegiatan
Kota (PKK) sepanjang lintas radial dan pada persimpangan dua atau lebih jalan
utama. Demikian pula, jalan dan penggunaan perangkutan terkumpul di PKK.
Daerah industri biasanya ditempatkan di daerah pinggiran, tidak di pusat kota.
Daerah perumahan dengan berbagai macam sarana biasanya berada di sekitar
Pusat Kegiatan Kota (PKK).

3.1.6. Prasarana Transportasi Wilayah

Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi perkotaan utama di Kota Paringin,


disebabkan sebagian besar perjalanan dilakukan dengan moda transportasi berbasis
jalan raya. Kinerja jaringan jalan akan sangat berpengaruh terhadap sebagian
besar perjalanan yang dilakukan warga kota.

Studi ini akan mengkaji dari berbagai aspek perencanaan umum sistem transportasi
Kabupaten Balangan

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 6
KAJIAN PUSTAKA

3.1.7. Perencanaan Transportasi

Perencanaan transportasi dimaksudkan untuk memberikan jawaban terhadap


permasalahan transportasi saat ini dan yang mungkin akan terjadi di masa datang.
Jawaban tersebut mungkin tidak akan menghilangkan sama sekali permasalahan
yang ada, akan tetapi paling tidak merupakan upaya penyelesaian yang paling
optimal.

Selain itu, perencanaan transportasi merupakan konsekuensi logis dari adanya


pertumbuhan ekonomi, perkembangan wilayah dan lalu-lintas. Persoalan akan
timbul manakala potensi pertumbuhan ekonomi tidak didukung dengan
pertumbuhan sarana dan prasarana transportasi yang memadahi. Demikian juga
upaya memperluas wilayah tidak mungkin terwujud bila aksesibilitas dari dan ke
wilayah tersebut tidak diperbaiki. Dengan demikian perencanaan transportasi dapat
disimpulkan sebagai upaya untuk :
1. Melayani kebutuhan secara maksimal;
2. Mengatasi permasalahan yang ada;
3. Mencegah permasalahan yang diperkirakan akan timbul;
4. Mempersiapkan tindakan antisipatip terhadap kondisi di masa datang;
5. Mengoptimalkan sumber daya yang ada.
Dalam perencanaan transportasi pada umumnya dikenal tiga hirarkhi perencanaan,
yaitu :
1. Perencanaan strategis;
2. Perencanaan taktis; dan
3. Perencanaan operasional.

Perencanaan strategis berkaitan dengan perencanaan umum pengembangan


wilayah atau lebih dikenal dengan rencana tata ruang wilayah dimana di dalamnya
terdapat rencana umum pengembangan sistem transportasi.

Rencana strategis tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam rencana yang lebih rinci
untuk rentang waktu yang lebih pendek sesuai dengan arahan strategi pelaksanaan
sistem transportasi. Implementasi dari setiap pilihan baru bisa dilaksanakan setelah
melalui proses perencanaan detail. Secara skematik perencanaan sistem
transportasi diperlihatkan sebagai berikut.

Selain itu perlu juga difahami bahwa perencanaan transportasi memiliki karakteristik
multi modal, melibatkan berbagai jenis alat angkut; multi disiplin, melibatkan
banyak disiplin ilmu; multi sektoral, melibatkan banyak lembaga atau pihak terkait;
dan multi problem yang berarti problem di bidang transportasi disebabkan oleh atau
akan menyebabkan problem di bidang lain.

Perencanaan Ekonomi
RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT
KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 7
KAJIAN PUSTAKA

Perencanaan Tata Ruang

Perencanaan Transportasi

Perencanaan Jalan Perencanaan


Raya & Lalu-Lintas Angkutan Umum

Desain Jalan Raya Sarana & Prasarana

Rekayasa Lalu-
Lintas & Manajemen Sistem Operasi &
Lalu-Lintas Manajemen

Gambar 3.2 : Skema Perencanaan Sistem Transportasi

3.1.8. Masterplan Transportasi

Masterplan Transportasi merupakan cetak biru atau rencana umum sistem


transportasi untuk kurun waktu minimal sepuluh tahun ke depan. Hal tersebut
meliputi semua aspek yang berkaitan dengan transportasi suatu wilayah. Di
dalamnya juga terdapat visi dan misi sistem transportasi yang merupakan rumusan
bentuk ideal sistem transportasi wilayah yang direncanakan dan segala upaya
terencana untuk mewujudkan idealisme tersebut.

Masterplan Transportasi akan menentukan arah pengembangan sistem transportasi


wilayah sejalan dengan perkembangan wilayah itu sendiri. Masterplan Transportasi

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 8
KAJIAN PUSTAKA

harus dijadikan rujukan dalam setiap perencanaan yang berkaitan dengan


transportasi wilayah.

3.1.9. Perencanaan Transportasi

Terdapat beberapa konsep perencanaan transportasi yang telah berkembang sampi


saat ini, yang paling sering digunakan adalah Model Perencanaan Transportasi
4 Tahap. Model perencanaan ini merupakan gabungan dari 4 sub model sebagai
berikut:

Trip Generation (Bangkitan Pergerakan) yang terdiri dari; Trip Attraction


(Penarik Pergerakan) dan Trip Production (Pembangkit Pergerakan).
Trip Distribution (Sebaran Pergerakan)
Modal Split (Pemilihan Moda)
Trip Assignment (Pemilihan atau Pembebanan Pergerakan).

Urutan sub model bisa bisa berbeda satu dengan yang lain sehingga timbul 4 jenis
urutan keempat sub model tersebut (seperti terlihat pada gambar di bawah).

3.1.9.1 Trip Generation (Bangkitan Pergerakan)

Bangkitan pergerakan adalah tahapan permodelan yang memperkirakan jumlah


pergerakan yang berasal dari suatu zona (land use) dan jumlah pergerakan yang
tertarik ke suatu zona tertentu. Hasil output perhitungan bangkitan dan tarikan
pergerakan berupa jumlah kendaraan atau orang atau barang per satuan waktu,
semisal kendaraan/jam. Bangkitan dan tarikan pergerakan tergantung pada 2 aspek
yakni:

 Jenis atau fungsi tata guna lahan (land use).


 Jumlah aktivitas dan intensitas pada lahan tersebut.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 9
KAJIAN PUSTAKA

G-MS G G G

JENIS I JENIS II JENIS III JENIS IV

MS

D D D-MS D

MS

A A A A

G = Bangkitan Pergerakan MS = Pemilihan Moda

A = Pemilihan Rute G = Sebaran Pergerakan

Gambar 3.3 Konsep Perencanaan Model Transportasi

3.1.9.2 Trip Distribution (Sebaran Pergerakan)

Sebaran pergerakan menunjukan ke mana dan dari mana pergerakan dari trip
generation di atas. Hasil output perhitungan sebaran pergerakan berupa MatrikS
Pergerakan atau Matriks Asal Tujuan (MAT). MAT sering digunakan oleh
perencana transportasi umtuk menggambarkan pola pergerakan.

MAT adalah matriks berdimensi dua yang berisi informasi mengenai besarnya
pergolakan antar lokasi (zona) di dalam daerah tertentu. Baris menyatakan zona
asal dan kolom menyatakan zona tujuan. Dalam hal ini notasi Tid menyatakan
besarnya arus pergerakan (kendaraan, penumpang dan barang) yang terletak dari
zona asal i dan zona tujuan d selama periode waktu tertentu.

Pola pergerakan dapat dihasilkan jika suatu MAT dibebankan ke suatu sisten
jaringan transportasi. Dengan mempelajari pola pergerakan yang terjadi, seseorang
dapat mengidentifikasi permasalahan yang timbul sehingga beberapa solusi segera
dapat dihasilkan. MAT dapat memberikan indikasi rinci mengenai kebutuhan akan

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 10
KAJIAN PUSTAKA

pergerakan sehingga MAT memegang peran yang sangat penting dalam berbagai
kajian perencanaan dan manajemen transportasi. Jumlah zona dan nilai setiap sel
adalah dua unsur penting dalam MAT karena jumlah zona menunjukkan banyaknya
sel matriks adalah dua unsur penting dalam MAT karena jumlah zona menunjukkan
banyaknya sel MAT yang harus didapatkan dan berisi informasi yang sangat
dibutuhkan untuk perencanaan transportasi. Setiap sel membutuhkan informasi
jarak, waktu, biaya, atau kombinasi ketiga informasi tersebut yang digunakan
sebagai ukuran aksebilitas (kemudahan).

Ketelitian MAT meningkat dengan menambah jumlah zona, tetapi MAT cenderung
berisi oleh sel yang tidak mempunyai pergerakan dari suatu sistem atau daerah
kajian dengan ukuran yang sangat beragam, seperti pola pergerakan di suatu
persimpangan atau pola pergerakan di dalam suatu perkotaan maupun di dalam
suatu negara. Gambar dibawah ini memperlihatkan persimpangan jalan dan MAT-
nya. Di sini, lengan persimpangan dianggap sebagai asal dan tujuan pergerakan.
Terlihat bahwa MAT dapat digunakan untuk mengambarkan pola pergerakan di
persimpangan.
Berbagai usaha dilakukan untuk mendapatkan MAT dan terdapat beberap Metoda
yang dapat digunakan. Hadirnya beberapa Metoda yang tidak begitu mahal
pelaksanaanya dirasakan sangat berguna karena MAT sangat sering dipakai dalam
berbagai kajian transportasi. Contohnya MAT dapat digunakan untuk :

 Permodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah pedalaman atau antar


kota;
 Permodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah perkotaan
 Permodelan dan perancangan manajemen lalulintas baik didaerah perkotaan
maupun antar kota
 Permodelan kebutuhan akan transportasi di daerah yang ketersediaan
datanya tidak begitu mendukung baik dari sisi kuantitas maupun kualitas
(misalnya di negara sedang berkembang); dan
 Perbaikan data MAT pada masa lalu dan pemeriksaan MAT yang dihasilkan
oleh metoda lainnya.

Metoda untuk mendapatkan MAT dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama,
yaitu Metoda konvensional dan Metoda tidak konvensional (Tamin,
1985;1986;1988abc). Pengelompokan digambarkan berupa diagram seperti terlihat
pada gambar berikut.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 11
KAJIAN PUSTAKA

Wawancara Di Tepi Jalan


Wawancara Di Rumah
Metoda Menggunakan
Bendera
Metoda Foto Udara
Metoda Mengikuti Mobil
Metoda
Langsung

Metoda Analogi
Metoda
Seragam
Konvensional Rata-rata
Fratar
Detroit
Furness
Metoda Tidak
Metoda
Langsung

MAT
Metoda Sintetis
Model Berdasarkan
Model Berdasarkan
Informasi Arus
Informasi Arus LaluLalu
Lintas Model Opportunity
Metoda non Lintas Model Gravity
Konvensional Estimasi Matrik Entropi Model Gravity -
Maksimum (EMEM) Opportunity
Model Estimasi Kebutuhan
Transport (MEKT)

Gambar 3.5 Metoda Mendapatkan Matriks Asal – Tujuan


(MAT)
Sumber : Perencanaan & Pemodelan Transportasi, Tamin, 1997

3.1.9.3 Metoda Konvensional

Banyak penanganan permasalahan transportasi yang memerlukan identifikasi pola


pergerakan yang dapat dinyatakan dalam bentuk MAT. Oleh sebab itu, tidaklah
heran jika sampai saat ini telah berkembang beberapa Metoda untuk mendapatkan
MAT. Berikut ini dijelaskan secara singkat beberapa Metoda konvensional yang lebih
ditekankan pada masing-masing kelebihan dan kekurangannya.
Metoda konvensional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama, (Tamin,
1988abc) yaitu Metoda Langsung dan Metoda Tidak Langsung. Keduanya
dijelaskan secara einci, tetapi yang akan lebih ditekankan hanya beberapa Metoda
yang secara khusus dikembangkan untuk mendapatkan MAT.

3.1.9.4 Metoda Langsung

Pendekatan ini sudah digunakan sejak lama sehingga dapat diidentifikasikan


beberapa permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan penggunaannya.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 12
KAJIAN PUSTAKA

Pendekatan ini sangat tergantung dari hasil pengumpulan data survei lapangan.
Proses wawancara dapat mengganggu pengguna jalan dan menimbulkan tundaan
lalulintas. Kendala waktu dan biaya juga membatasi jumlah wawancara sehingga
galat timbul jika sampel tidak bisa mencapai 100%. Selain itu, pemilihan Metoda
survei pengumpulan data juga sangat tergantung dari ketersediaan surveior.
Dengan demikian, galat teknis dan galat yang timbul akibat faktor manusia sering
terjadi, misalnya galat mencatat dan menafsirkan. Oleh sebab itu, permasalahan
utama pendekatan ini adalah dibutuhkannya sumber daya manusia yang besar,
misalnya pewawancara untuk pengumpulan data yang selanjutnya digunakan untuk
proses kodifikasi, penyortiran, dan akhirnya untuk proses analisis. Beberapa teknik
yang tersedia sampai saat ini diterangkan sebagai berikut (Willumsen,
1978a;1981ab;1982).
a. Wawancara di tepi jalan.
Survei ini biasanya dilakukan pada lokasi inlet dan outlet dari daerah kajian yang
mempunyai batas wilayah tertentu. Untuk kasus transportasi barang antarkota,
survei ini sangat berguna. Data dikumpulkan dengan mewawancarai
pengendara di jalan. Wawancara meliputi pertanyaan mengenai zona asal dan
tujuan pergerakan, jenis barang yang diangkut, beban muatan, dan lain-lain.
Survei lainnya kadang-kadang menanyakan hal yang bersangkutan dengan jenis
kendaraan, misalnya jenis kendaraan dan kapasitas angkutannya.
Lokasi wawancara harus diatur agar semua lalulintas antar zona bisa
didapatkan. Ini membutuhkan pendefinisian yang baik tentang sistem zona dan
jaringan di daerah kajian. Lalulintas yang masuk dan keluar dari daerah kajian
juga harus disurvei. Jumlah wawancara pada setiap lokasi ditentukan
berdasarkan jumlah sampel yang diambil. Untuk mendapatkan gambaran
mengenai besarnya sampel, survei pendahuluan perlu dilakukan untuk
mendapatkan informasi dan komposisinya.
Sesuai dengan ukuran sampel dan periode survei, faktor koreksi harus
digunakan terhadap data hasil survei untuk mendapatkan MAT secara total.
Persentase sampel sebesar 20% sering digunakan, tetapi ini sangat tergantung
dari arus lalulintas dan ketersediaan tenaga kerja. Wawancara seperti ini
dirasakan mahal jika ditinjau dari sisi tenaga kerja, adanya tundaan, dan
gangguan arus lalulintas, serta membutuhkan waktu proses yang lama.
b. Wawancara di Rumah.
Survei wawancara di tepi jalan sangat efektif jika digunakan untuk mendapatkan
informasi arus lalulintas menerus, tetapi tidak efektif untuk mendapatkan
informasi lalulintas yang terjadi dan bergerak hanya di dalam daerah kajian
(internal). Pergerakan internal susah dideteksi; semakin besar suatu kota,
semakin besar pula persentase lalulintas internalnya. Oleh sebab itu, Metoda
survei yang paling cocok untuk mendapatkan informasi lalulintas internal adalah
dengan wawancara di rumah.
Wawancara di rumah adalah jenis survei asal-tujuan yang terbaik untuk daerah
perkotaan dan merupakan bagian yang terpenting dalam kebanyakan kajian

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 13
KAJIAN PUSTAKA

transportasi. Ukuran sampel merupakan hal yang paling menentukan dan


biasanya jumlah responden yang dibutuhkan minimal 1000 rumah. Untuk kota
kecil, jumlah sampel yang lebih besar dari 5% populasi masih dapat
dipertimbangkan karena alasan biaya.
Tidak seperti wawancara di tepi jalan, tujuan wawancara di rumah tidak hanya
untuk mendapatkan informasi MAT, tetapi juga untuk mendapatkan beberapa
data statistik lain seperti pemilikan kendaraan, jumlah anggota keluarga, dan
mungkin juga penghasilan. Survei wawancara di rumah yang banyak berkaitan
dengan pergerakan internal dapat mengatasi kekurangan survei wawancara di
tepi jalan.
Untuk survei jenis ini sangat disarankan adanya pemberitahuan awal bagi
responden. Pemberitahuan melalui surat dan telepon disarankan, apalagi bila
kuisioner harus diisi oleh kepala keluarga. Usaha tambahan harus dilakukan agar
tingkat pengembalian kuisioner bisa di atas 90%. Walaupaun informasi yang
didapat lebih banyak jika dibandingkan dengan survei wawancara di tepi jalan,
survei jenis ini masih dianggap mahal dan membutuhkan waktu proses yang
lama.
c. Metoda menggunakan bendera.
Metoda ini membutuhkan beberapa pengamat yang mengambil posisi pada
beberapa lokasi inlet dan outlet daerah kajian. Beberapa jenis tanda pengenal
digunakan untuk mengidentifikasi kendaraan, misalnya stiker. Biasanya stiker
tersebut bernomor dan berwarna yang ditempelkan pada kendaraan di setiap
lokasi masuk dan kemudian kendaraan tersebut dicatat pada beberapa lokasi
tertentu dan pada lokasi keluar. Nomor pelat mobil sering juga digunakan untuk
menggantikan stiker dan mempunyai keuntungan, yaitu tidak mengganggu
perjalanan.
Untuk daerah kajian yang kecil, hal lain yang dapat dilakukan adalah meminta
pengendara, pada saat masuk, menyatakan lampunya dalam selang waktu
tertentu. Pengamat pada beberapa lokasi mencatat jumlah kendaraan yang
lampunya menyala dalam selang waktu itu. Proses ini dilakukan secara berulang
pada beberapa lokasi masuk dalam beberapa hari. Metoda ini hanya dapat
dilakukan pada siang hari dan hanya baik untuk daerah kajian yang kecil saja.
d. Metoda Foto Udara.
Metoda ini menggunakan beberapa foto udara di daerah kajian yang diambil
dari helikopter yang terbang pada koordinat dan ketinggian tertentu. Proses
pengumpulan data cukup cepat dan tidak mahal jika dibandingkan dengan
Metoda alternatif lainnya, tetapi proses selanjutnya membutuhkan dana cukup
besar. Metoda ini membutuhkan informasi mengenai setiap foto yang berurutan
pengambilannya untuk menentukan pergerakan setiap kendaraan dengan
bantuan alat digitasi.
Keuntungan metoda ini adalah terjaminnya kontrol kualitas foto udara dan foto
digunakan untuk kebutuhan lain. Akan tetapi, untuk ada batasan mengenai
ukuran daerah kajian yang bisa diambil. Metoda ini semakin baik jika proses

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 14
KAJIAN PUSTAKA

identifikasi kendaraan dapat dilakukan secara otomatis. Secara teori, 100%


sampel bisa didapat dengan menggunakan metoda ini, tetapi secara praktis,
persentase sampel yang didapat dengan hampir sama dengan jika kita
menggunakan survei wawancara di jalan.

e. Metoda Mengikuti-Mobil.
Metoda ini membutuhkan adanya pengamat yang bertugas mengikuti
pergerakan kendaraan (biasanya dengan menggunakan kendaraan lain) di
dalam daerah kajian dengan cara mencatat pergerakan kendaraan pada
beberapa lokasi tertentu dalam suatu jaringan jalan. Metoda ini lebih murah
dibandingkan dengan Metoda lainnya, tetapi membutuhkan manajemen yang
baik dalam proses pengumpulan dan analisis data.

Dapat disimpulkan bahwa pendekatan metoda langsung pada ummnya mahal,


terutama dalam hal kebutuhan akan sumber daya manusia, waktu proses yang
lama, serta hasil akhirnya hanya berlaku untuk selang waktu yang pendek saja.
Tambahan lain, Metoda survei di tepi jalan membutuhkan koordinasi yang baik
dengan pengguna jalan dan tentu hal ini menyebabkan gangguan dan tundaan bagi
pengguna jalan tersebut. Survei nomor pelat mobil lebih menarik karena tidak
mengganggu arus lalu-lintas, tetapi membutuhkan banyak pengamat dan waktu
proses yang cukup lama serta sangat sensitif terhadap galat pencatatan.

Semua Metoda pada umumnya menghasilkan persentase sampel lebih kecil dari
100% sehingga hasil akhirnya hanya merupakan perkiraan dari MAT yang
diinginkan. Untuk survei foto udara, meskipun persentase sampel 100% bisa
dicapai, pertanyaan berikutnya adalah seberapa tinggi ketepatan MAT yang
dihasilkan dengan MAT yang sebenarnya terjadi dalam daerah kajian tersebut. Oleh
sebab itu, semua kekurangan itu menyebabkan semakin banyaknya kendala dan
semakin jarangnya penggunaan pendekatan Metoda Langsung ini.

3.1.9.5 Metoda Tidak Langsung

Permodelan adalah penyederhanaan realita. Penyederhanaan tersebut dilakukan


dengan menggunakan suatu sistem dalam bentuk unsur atau faktor yang dapat
dipertimbangkan mempunyai kaitan dengan situasi yang hendak digambarkan.
Memperkirakan kebutuhan akan pergerakan merupakan bagian terpenting dalam
proses perencanaan transportasi karena kebutuhan akan pergerakan merupakan
bagian terpenting dalam proses perencanaan transportasi karena kebutuhan akan
pergerakan baik pada masa sekarang maupun pada masa mendatang berpengaruh
besar pada kebijakan transportasi dan kebutuhan akan sistem jaringan.
Model yang baik harus bisa menggambarkan semua faktor yang mewakili perilaku
manusia. Akan tetapi, kemampuan permodelan yang dibatasi waktu dan biaya
menyebabkan tidak bisa dihasilkannya model yang lengkap. Meskipun mungkin

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 15
KAJIAN PUSTAKA

didapat model yang lengkap, pastilah merupakan model yang sangat kompleks dan
mahal untuk digunakan. Jadi, secara praktis, dibutuhkan berbagai macam jenis
model untuk berbagai tujuan sehingga dapat dipilih model yang paling cocok untuk
tujuan tertentu atau untuk pemecahan masalah tertentu.
Sebaran pergerakan merupakan salah satu tahapan dalam Model Perencanaan
Transportasi Empat Tahap. Pada tahapan ini, jumlah pergerakan yang dibangkitkan
dari suatu zona asal atau yang tetarik ke suatu zona tujuan akan disebarkan pada
setiap zona asal dan zona tujuan yang ada. Hasil tahapan ini berbentuk MAT yang
diinginkan.

3.1.9.6 Moda Split (Pemilihan Moda)

Model pemilihan moda bertujuan untuk mengetahui proporsi orang yang akan
mengetahui setiap moda. Proses ini dilakukan dengan maksud untuk mengkalibrasi
model pemilihan moda pada tahun dasar dengan mengetahui peubah atribut yang
mempengaruhi pemilihan moda tersebut setelah dilakukan proses kalibrasi, model
dapat digunakan untuk meramalkan pemilihan moda dengan menggunakan nilai
peubah atribut untuk masa mendatang.
Pemilihan moda sangat sulit dimodel, walaupun hanya dua buah moda yang akan
digunakan (umum atau pribadi). Ini disebabkan oleh banyak faktor yang sulit
dikuantifikasi dan juga kesediaan mobil pada saat diperlukan. Dengan lebih dari dua
moda (misalnya bus, sepeda motor, kereta api), proses pemodelan menjadi lebih
sulit. Untuk angkutan barang, pemilihan biasanya antara kereta api atau truk.
Pemilihan moda juga mempertimbangkan pergerakan yang mengguanakan moda
lebih dari satu dalam perjalanan. Jenis pergerakan inilah yang sangat umum
dijumpai di Indonesia yang terdiri dari banyak pulau. Jadi, dapat dikatakan bahwa
pemodelan pemilihan moda merupakan bagian yang terlemah dan tersulit
dimodelkan dari keempat tahapan model perencanaan transportasi. Faktor yang
mempengaruhi pemilihan moda ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, sebagaimana
dijelaskan berikut ini.
1. Ciri pengguna jalan beberapa faktor berikut ini diyakini sangat
menpengaruhi pemilihan moda:
 Ketersediaan atau pemilikan kendaran pribadi
 Pemilikan Surat Ijin Mengemudi (SIM)
 Struktur rumah tangga (pasangan muda, keluarga dengan anak,
pensiun, bujangan, dll)
 Pendapatan
 Faktor lain musalnya keharusan menggunakan mobil ke tempat bekerja
dan keperluan mengantar anak sekolah.
2. Ciri pergerakan pemilihan moda juga sangat dipengaruhi oleh:
 Tujuan pergerakan contohnya, pegerakan ketempat kerja di negara
maju biasanya lebih mudah dengan memakai angkutan umum

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 16
KAJIAN PUSTAKA

karena ketepatan waktu dan tingkat pelayanannya sangat baik dan


ongkosnya lebih murah dibandingtkan dengan mobil akan tetapi, hal
yang sebaiknya terjadi di negara sedang berkembang ; orang masih
tetap menggunakan mobil pribadi ke tempat kerja, meskipun lebih
mahal, karena ketepatan waktu, kenyamanan, dan lain-lainnya tidak
dapat dipenuhi oleh angkutan umum.
 Waktu terjadinya pergerakan kalau kita ingin bergerak pada
tengah malam, kita pasti membutuhkan kendaraan pribadi karena
pada saat ini angkutan umum tidak/jarang beroperasi
 Jarak perjalanan semakin jauh perjalanan, kita semakin
cenderung memilih angkutan umum dibandingkan dengan pribadi.
Contohnya, bepergian dari Jakarta ke Surabaya ; meskipun
mempunyai mobil pribadi, kita cenderung menggunakan angkutan
umum (pesawat, kereta api, atau bus) karena jaraknya yang sangat
jauh
3. Ciri fasilitas moda transportasi Hal ini dapat dikelompokkan menjadi
dua kategori. Pertama faktor kuantitatif seperti :
 Waktu perjalanan; waktu menunggu di pemberhentian bus, waktu
berjalan kaki di pemberhentian bus, waktu selama bergerak, dan
lain-lain;
 Biaya transportasi (tarif, biaya bahan bakar, dan lain-lain);
 Ketersediaan ruang dan tarif parkir
Faktor kedua bersifat kuantitatif yang cukup sukar menghitungnya, meliputi
kenyamanan dan keamanan, keandalan dan keteraturan, dan lain-lain.
4. Ciri kota atau zona Beberapa ciri yang mempengaruhi moda adalah jarak
dari pusat kota dan kepadatan penduduk.

Model pemilihan moda yang baik harus memprtimbangkan semua faktor tersebut
mudah dilihat bagaimana konsep biaya gabungan dapat digunakan untuk
menyatakan beberapa faktor kuantitatif.
Dari semua model pemilihan moda, pemilihan peubah yang digunakan sangat
tergantung pada:
(a ) orang yang memilih moda tersebut,
(b ) tujuan pergerakan, dan
(c ) jenis model yang digunakan.

Model pemilihan moda dapat dianggap sebagai model agregat yang digunakan
informasi yang berbasis zona serta dapat dianggap sebagai madel tidak agregat jika
dipakai data berbasis data dan atau individu.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 17
KAJIAN PUSTAKA

3.1.9.7 Trip Assignment (Pemilihan dan Pembebanan Pergerakan)

Pada tahap pembebanan rute ini, beberapa prinsip digunakan untuk membebankan
MAT pada jaringan jalan yang akhirnya menghasilkan informasi arus lalu lintas pada
setiap ruas jalan. Terdapat 3 asumsi yang dapat digunakan dimana akan
menghasilkan jenis model yang berbeda pula yakni :

Pembebanan all-or-nothing
Pembebanan banyak ruas
Pembebanan berpeluang

Metoda dalam perhitungan trip assignment ini terdiri dari:


Metoda proporsional
 Model all-or-nothing
 Model stokastik
Metoda tidak proporsional
 Model batasan kapasitas
 Model keseimbangan
 Model kurva diversi
 Model logit binomial dan regresi pengali

3.2. Rencana Induk Jaringan Lalu-Lintas dan Angkutan


Jalan

Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan
pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan
semua wilayah di daratan. Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai
dengan kebutuhan. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri
atas:

a.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;


b.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
c.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.

Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional disusun secara
berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan
berskala nasional. Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Nasional harus memperhatikan Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional
memuat:

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 18
KAJIAN PUSTAKA

a. Prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan


lingkup nasional;
b.Arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam
keseluruhan moda transportasi;
c.Rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan
d.Rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.

Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi disusun secara
berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan
ruang kegiatan berskala provinsi. Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.

Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:
a. Prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan
lingkup provinsi;
b. Arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam
keseluruhan moda transportasi;
c. Rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d. Rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.

Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota disusun
secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.

Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Kabupaten/Kota dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:
a. Prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan
lingkup kabupaten/kota;
b. Arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota
dalam keseluruhan moda transportasi;
c. Rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan
d. Rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 19
KAJIAN PUSTAKA

3.3. Lalu-Lintas

Lalu Lintas di dalam Undang-undang no 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkurtan Jalan[1] didefinisikan sebagai gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu
Lintas Jalan.Sedang Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi
gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas
pendukung.

Karakteristik lalu-lintas menjelaskan cirri arus lalu-lintas secara kualitatip maupun


kuantitatip dalam kaitannya dengan keepatan, besarnya arus dan kepadatan lalu-lintas
serta hubungannya dengan waktu maupun jenis kendaran yang menggunakan ruang
jalan. Pemahaman tentang karakteristik diperlukan untuk menjadi acuan dalam
perencanaan lalu-lintas.

Salah satu aspek lain dari lalu-lintas adalah kecenderungan pertumbuhan arus
tersebut, yang untuk kondisi Indonesia bisa sangat tinggi sebagai akibat permintaan
lalu-lintas masih jauh dari kejenuhan, sehingga pertumbuhan tersebut masih akan
terus berlangsung untuk waktu yang relatip lama.

3.3.1. Perencanaan Batas Kecepatan Lalu-Lintas di Ruas Jalan dan


Tikungan

Berdasarkan KM No. 14 Tahun 2006, Kecepatan didefinisikan sebagai kemampuan


untuk menempuh jarak tertentu dalam satuan waktu, dinyatakan dalam kilometer/jam.

Berkaitan dengan pengaturan kecepatan di ruas jalan, berdasarkan UU No. 22 Tahun


2009 pasal 21 menyatakan bahwa :

1. Setiap jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional

2. Batas kecepatan paling tinggi ditentukan berdasarkan kawasan pemukiman,


kawasan perkotaan, jalan antar kota, dan jalan bebas hambatan

3. Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah


Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu-lintas

4. Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas
absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas

5. Batas kecepatan maksimum atau minimum kendaraan bermotor ditetapkan dalam


PP 43 tahun 1993 pasal 80 Batasan kecepatan di ruas jalan PP No. 43 Tahun 1993,
pasal 80 Kecepatan maksimum yang diijinkan untuk kendaraan bermotor yaitu:

Pada Jalan Kelas I, II, dan III A dalam sistem jaringan jalan primer untuk:

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 20
KAJIAN PUSTAKA

1. Mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang serta sepeda motor adalah 100
kilometer per jam.
2. Kendaraan bermotor dengan kereta gandengan atau tempelan adalah 80 kilometer
per jam.
3. Pada jalan kelas III B dalam sistem jaringan jalan primer untuk mobil penumpang,
mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan bermotor dengan kereta
gandeng atau kereta tempelan adalah 80 kilometer per jam
4. Pada jalan kelas III C dalam sistem jaringan jalan primer untuk mobil penumpang,
mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan bermotor dengan kereta
gandeng atau kereta tempelan adalah 60 kilometer perjam
5. Pada jalan kelas II dan III A dalam sistem jaringan jalan sekunder untuk:
 Mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang adalah 70 kilometer perjam
 Kendaraan bermotor dengan kereta gandengan atau tempelan adalah 60
kilometer perjam
6. Pada jalan III B dalam sistem jaringan jalan sekunder untuk mobil penumpang,
mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan bermotor dengan kereta
gandengan atau kereta tempelan adalah 50 kilometer per jam
7. Pada jalan kelas III C dalam sistem jaringan jalan sekunder untuk mobil
penumpang, mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan bermotor
dengan kereta gandengan atau kereta tempelan adalan 40 kilometer per jam

3.3.2. Perangkat Pengatur Lalu-lintas, Rambu Lalu-lintas (Traffic Signs),


Marka Jalan, Lampu Pengatur Lalu-lintas

Keadaan lalu-lintas yang heterogen dan pertambahan volume kendaraan yang semakin
meningkat, cenderung mengakibatkan terjadinya hambatan baik kemacetan maupun
kecelakaan. Sebagai usaha untuk mengurangi hambatan dan mengatur lalu-lintas
sehingga menjadi tertib dan aman, diperlukan perangkat teknis lalu-lintas. Perangkat
teknis tersebut antara lain : rambu, marka, lampu sinyal, alat atau tanda yang
ditempatkan pada jalan, di sisi jalan atau pun menggantung di atas jalan. Pemberian
perangkat teknis ini harus ada yang standarisasinya sehingga tidak menimbulkan
keraguan bagi pengemudi. Fungsi utama perangkat teknis lalu-lintas ini adalah untuk
mengatur arus lalu-lintas.

Adapun perangkat-perangkat teknis yang dimaksud adalah :

3.3.2.1. Rambu Lalu-lintas (Traffic Signs)


Menurut UU RI No.22 tahun 2009 pasal 1, tanda/rambu lalu-lintas adalah salah satu
dari perlengkapan jalan, berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan atau perpaduan
diantaranya sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pemakai jalan.
Rambu lalu-lintas sesuai dengan fungsinya dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu :
rambu peringatan, rambu larangan, rambu perintah dan rambu petunjuk.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 21
KAJIAN PUSTAKA

a. Rambu peringatan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan peringatan


bahaya atau tempat berbahaya pada jalan di depan pemakai jalan. Seperti :
Peringatan adanya tikungan berbahaya atau beberapa tikungan berbahaya,
peringatan adanya turunan atau tanjakan berbahaya, jalan licin, kerikil lepas,
peringatan adanya persimpangan jalan, peringatan untuk berhati-hati dan lain
sebagainya.

b. Rambu larangan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perbuatan yang
dilarang dilakukan oleh pemakai jalan. Adapun yang termasuk rambu larangan
adalah : larangan berjalan terus, larangan pembatasan masuk, larangan masuk bagi
lalu-lintas tertentu, larangan melebihi kecepatan tertentu dan lain-lain.

c. Rambu perintah adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perintah yang
wajib dilakukan oleh pemakai jalan, seperti : perintah arah yang diwajibkan,
mengikuti jalur yang ditunjuk, memakai jalur tertentu dal lain sebagainya.

d. Rambu petunjuk adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan petunjuk


mengenai jurusan, jalan, situasi kota, tempat, pengaturan, fasilitas public dan lain-
lain. Bagi pemakai jalan, seperti : tempat berkemah, museum, rumah makan, balai
pertolongan pertama, bengkel kendaraan, hotel, pompa bahan bakar dan lain
sebagainya.

Informasi yang ditampilkan pada rambu harus tepat dalam pengertian sesuai dengan
pesan yang ditampilkan melalui kata-kata, simbol-simbol atau bentuk gabungan kata
dan simbol frekwensinya harus seperti membuat perhatian langsung setiap saat
dibutuhkan tetapi tidak boleh secara sembarangan yang malah tidak diperhatikan.
Menurut SK. MENHUB No.61 Tahun 1993 persyaratan penempatan rambu lalu-lintas
adalah sebagai berikut :

1. Untuk rambu-rambu yang ditempatkan pada sisi jalan. Jarak antar sisi rambu
bagian bawah sampai dengan jalur jalan kendaraan minimal 1,75 meter, maksimal
2,65 meter.

2. Untuk rambu-rambu yang ditempatkan di atas permukaan jalur kendaraan, jarak


sisi bagian rambu terbawah sampai dengan permukaan jalan minimal 5,00 meter.

3. Jarak antar bagian rambu terdekat dengan bagian paling tepi dari perkerasan jalan
yang dapat dilalui kendaraan minimal 0,60 meter.

3.3.2.2. Marka Jalan


Menurut UU Republik Indonesia No.22 tahun 2009 Pasal 1, marka lalu lintas adalah
suatu tanda yang berada di permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang
membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang lainnya yang
fungsinya untuk mengarahkan arus lalu-lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu-
lintas. Marka lalu-lintas ini dicatkan langsung pada perkerasan atau tepi jalan. Contoh

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 22
KAJIAN PUSTAKA

dari marka lalu-lintas antara lain : garis pembatas jalur, tanda belok dan lurus pada
jalur jalan, garis dilarang untuk berpindah ke jalur disebelahnya, tanda stop, zebra
cross dan lain-lain.

Pemberian marka terutama digunakan untuk mengontrol posisi kendaraan ke arah


sisi/samping jalan, termasuk di dalamnya : marka jalur, alur/chanell sistem marka,
larangan menyiap pada dua jalur dua arah atau sebagai pembatas tepi perkerasan dan
halangan pada tepi, disebelah atau dekat perkerasan.

Marka melintang banyak digunakan untuk bahu jalan/shoulder. Kata dan simbol dan
“Garis Henti” pada tempat persimpangan pejalan kaki. Karena sudut Pandangan kecil
pada marka jalan bagi pengemudi, maka garis melintang harus diperbesar atau sesuai
dengan rencana untuk memberikan penglihatan yang sama tebalnya dengan marka
memanjang. Hal ini berlaku juga untuk marka dalam bentuk huruf dan simbol lainnya.

3.3.2.3. Lampu Pengatur Lalu-lintas


Lampu pengatur lalu-lintas adalah semua alat pengatur lalu-lintas yang dioperasikan
dengan tenaga listrik yang berfungsi untuk mengarahkan atau memperingatkan
pengemudi kendaraan bermotor, pengendara sepeda atau pejalan kaki (Oglesby,
1988). Apabila dipasang dengan baik, maka alat ini akan dapat memberikan
keuntungan dalam kontrol lalu-lintas dan keamanan. Keuntungan keuntungan yang
diperoleh dengan pemasangan Traffic Signal adalah :

1. Memberikan gerakan lalu-lintas yang teratur.

2. Menurunkan frekwensi kecelakaan tertentu, antara lain kemungkinan kecelakaan


terhadap pejalan kaki yang menyeberang jalan.

3. Memberikan interupsi yang berarti bagi lalu-lintas berat untuk member waktu pada
lalu-lintas lain untuk lewat, memasuki atau melewati persimpangan dan juga untuk
pejalan kaki.

4. Lebih ekonomis dan efektif dibandingkan dengan kontrol sistem manual.

5. Memberi kepercayaan diri pada pengemudi dengan pemberian batas-batas

berheti ataupun berjalan.

3.4. Geometrik Jalan


Keadaan geometrik jalan pada ruas jalan yang rawan kecelakaan sangat perlu
diketahui karena faktor geometrik jalan inilah yang sangat mempengaruhi terjadinya
daerah rawan kecelakaan lalu-lintas, disamping faktor-faktor lainnya yang ditinjau.
Pengetahuan mengenai dasar-dasar perencanaan geometrik jalan dibutuhkan pada

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 23
KAJIAN PUSTAKA

penelitian ini untuk dapat mendefinisikan kriteria penilaian pada informasi kondisi
geometrik.

3.4.1. Jalur lalu-lintas


Jalur lalu-lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu-lintas kendaraan
yang secara fisik berupa perkerasan jalan, dimana jalur dapat terdiri atas beberapa
lajur. Batas jalur lalu-lintas dapat berupa median, bahu, trotoar, pulau jalan, dan
separator. Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar jalur peruntukkannya.
Lebar jalur minimum untuk jalan umum adalah 4,5 meter, sehingga memungkinkan 2
kendaraan besar yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan. Jalur
lalu-lintas terdiri atas beberapa tipe, yaitu:

a. 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 UD);

b. 1 jalur-2 lajur-1 arah (2/1 UD);

c. 2 jalur-4 lajur-2 arah (4/2 D);

d. 2 jalur-n lajur-2 arah (n12 D), dimana n = jumlah lajur.

Berikut ini terdapat informasi lebar jalur dan bahu minimum, seperti pada Tabel 2.1 di
bawah ini.

3.4.2. Lajur lalu-lintas


Lajur adalah bagian jalur lalu-lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan,
memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan
rencana. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI

berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih
dari 0.80. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu-lintas pada

alinyemen horizontal memerlukan kemiringan melintang normal. Besaran kemiringan


untuk perkerasan aspal dan beton sebaiknya 2-3%, sedangkan untuk perkerasan
kerikil sebesar 4-5%. Pada tabel berikut dapat dilihat lebar lajur yang tergantung pada
kecepatan dan kendaraan rencana, dimana dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi
jalan.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 24
KAJIAN PUSTAKA

Tabel 3.4. : Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan

3.4.3. Alinyemen Jalan


Alinyemen jalan adalah faktor yang sangat utama untuk menentukan tingkat aman dan
efisien didalam memenuhi kebutuhan lalu-lintas. Alinyemen dipengaruhi oleh topografi,
karakteristik lalu-lintas dan fungsi jalan. Alinyemen jalan merupakan serangkaian garis
lurus yang dihubungkan dengan lengkung.

Pada umumnya hubungan ini melalui lengkung spiral yang diletakkan antara garis lurus
dan lengkung. Lengkung yang panjang dan datar selalu lebih disukai dan untuk
kemungkinan ditingkatkan di masa mendatang. Lengkung yang panjang dan datar
digunakan bila perubahan arah jalan relatif kecil. Alinyemen jalan pada garis besarnya
dibagi menjadi alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal harus diperhatikan secara
bersama-sama melalui pendekatan tiga dimensi sehingga menghasilkan alinyemen
jalan dengan tingkat keselamatan dan apresiasi visual yang baik.

3.4.3.1. Alinyemen Horizontal


Alinyemen horizontal adalah proyeksi horizontal dari sumbu jalan tegak lurus bidang
peta situasi jalan. Alinyemen ini berupa rangkaian garis lurus yang disebut garis
singgung yang disambung dengan garis lengkung. Antara garis lurus dan garis
lengkung ini biasa terdapat lengkung peralihan. Kecelakaan lebih cenderung terjadi
pada tikungan daripada jalan lurus karena adanya permintaan ruang yang lebih luas
untuk pengemudi dan kendaraan

serta karena adanya friksi antara ban dan perkerasan. Efek keselamatan dari suatu
tikungan tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik geometriknya, tetapi juga oleh
geometri dari segmen jalan yang berdekatan, bahanya akan meningkat ketika tikungan
muncul secara tidak terduga, seperti ketika suatu tikungan ada ketika setelah jalan
yang cukup panjang atau ketika tersembunyi dari pandangan karena adanya bukit.
Efek keselamatan dari pelurusan tikungan adalah salah satu fokus yang utama.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 25
KAJIAN PUSTAKA

Bilamana suatu tikungan tajam diperbaiki, transisi dari bagian lurus ke lengkung dari
suatu jalan akan lebih halus, panjang bagian lengkung bertambah

besar dan panjang keseluruhan sedikit berkurang. Dalam hal ini diharapkan adanya
perubahan tingkat kecelakaan dengan adanya perbaikan tikungan didasarkan pada
perubahan derajat lengkung dengan memperhitungakan reduksi minorpada panjang
jalan yang mengikuti pelurusan engkung. Hubungan antara kecelakaan dengan derajat
lengkung harus diperlakukan sebagai hubungan yang kasar, karena lengkung
horizontal dpertimbangkan sebagai lengkung yang berdiri sendiri tanpa memperhatikan
alinyemen segmen jalan yang berdekatan dan area hubungan yang tidak sepenuhnya
benar untuk efek-efek yang berhubungan dengan elemen geometrik lainnya. Model

memperkirakan bahwa meningkatnya derajat lengkung akan menyebabkan


pengurangan jumlah kendaraan pada tikungan, rata-rata sebesar (tiga) 3 kecelakaan
per derajat lengkung setiap 100 juta tahun kendaraan yang melewati tikungan.
Pelurusan tikungan tajam di sebuah jalan dengan LHR 2000 kendaraan mengurangi
sekitar 1 kecelakaan setiap 8 tahun untuk setiap pengurangan derajat lengkung
sebesar 5 derajat (LPKM-ITB,1997).

3.4.3.2. Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah bidang tegak lurus melalui sumbu jalan atau proyeksi tegak
lurus bidang gambar. Profit ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka
tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam
keadaan naik dan bermuatan penuh. Dalam menetapkan besarnya landai jalan harus
diingat bahwa sekali suatu landai digunakan, maka jalan sukar di upgrade dengan
landai yang lebih kecil tanpa perubahan yang mahal. Maka penggunaan landai
maksimum sedapat mungkin dihindari. Landai maksimum digunakan apabila
pertimbangan biaya pembangunan adalah sangat memaksa, dan hanya untuk jarak
pendek. Dalam perencanaan landai perlu diperhatikan panjang landai tersebut yang
masih tidak menghasilkan pengurangan kecepatan yang dapat menggangu kelancaran
jalannya lalu-lintas. Panjang maksimum landai yang masih dapat diterima tanpa
mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu-lintas yang berarti, atau bias disebut
istilah panjang kritis landai, adalah panjang yang mengakibatkan pengurangan
kecepatan sebesar 25 km/jam.

3.5. Kelas Jalan

Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:


a. Fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan
Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. Daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan
Bermotor.
Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan terdiri atas:

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 26
KAJIAN PUSTAKA

a. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu
lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu
seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. Jalan kelas Khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran
panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari
10 (sepuluh) ton.

Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III dapat ditetapkan muatan sumbu
terberat kurang dari 8 (delapan) ton. Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan
prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Jalan. Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus diatur dengan
peraturan pemerintah.

Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh:


a. Pemerintah, untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d. pemerintah kota, untuk jalan kota.

Kelas jalan dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. Setiap Jalan memiliki batas
kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.
Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan
bebas hambatan.
Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah
Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas
absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 27
KAJIAN PUSTAKA

Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis
dan administratif. Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan
sebelum pengoperasian Jalan. Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan
fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan. Uji kelaikan fungsi
Jalan dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
Tim uji laik fungsi Jalan) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib
dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau
peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang
dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak, penyelenggara Jalan
wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas.
Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan
perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. Alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di
jalan dan di luar badan Jalan.

Penyediaan perlengkapan Jalan diselenggarakan oleh:


a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau
d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 28
KAJIAN PUSTAKA

Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas,


intensitas, dan volume Lalu Lintas. Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan
Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau
gangguan fungsi Jalan. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan.

3.6. Terminal

Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan


intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan
Terminal. Terminal sebagaimana berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal
barang.
Terminal penumpang menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan
tipe C. Setiap tipe dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang
dilayani. Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah
ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.

 Penetapan Lokasi Terminal


Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan
Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:
a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota;
c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan,
jaringan trayek, dan jaringan lintas;
d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f. permintaan angkutan;
g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
i. kelestarian lingkungan hidup.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 29
KAJIAN PUSTAKA

 Fasilitas Terminal
Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi
persyaratan keselamatan dan keamanan. Fasilitas Terminal meliputi fasilitas utama dan
fasilitas penunjang. Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal, penyelenggara Terminal
wajib melakukan pemeliharaan.

 Lingkungan Kerja Terminal


Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas
Terminal.
Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh
penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan,
pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.
Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.

 Pembangunan dan Pengoperasian Terminal

Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:


a. rancang bangun;
b. buku kerja rancang bangun;
c. rencana induk Terminal;
d. analisis dampak Lalu Lintas; dan
e. analisis mengenai dampak lingkungan.

Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:


a. perencanaan;
b. pelaksanaan;
c. pengawasan operasional Terminal.

3.7. Jaringan Trayek

Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
disebutkan bahwa pengertian trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk
pelayanan jasa angkutan orang dengan mobil bus, yang mempunyai asal dan tujuan
perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak berjadwal. Sedangkan
jaringan trayek adalah kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi satu kesatuan
jaringan pelayanan angkutan orang.

Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum terdiri dari :


a. Angkutan antar kota yang merupakan pemindahan orang dari suatu kota ke kota
lain;

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 30
KAJIAN PUSTAKA

b. Angkutan kota yang merupakan pemindahan orang dalam wilayah kota;


c. Angkutan pedesaan yang merupakan pemindahan orang dalam dan/atau antar
wilayah pedesaan;
d. Angkutan lintas batas negara yang merupakan angkutan orang yang melalui lintas
batas negara lain.

Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum dapat dilaksanakan dengan


trayek tetap dan teratur atau tidak dalam trayek. Pengertian trayek tetap dan teratur
adalah pelayanan angkutan yang dilakukan dalam jaringan trayek secara tetap dan
teratur, dengan jadwal tetap atau tidak berjadwal. Sedangkan pengertian tidak dalam
trayek adalah pelayanan angkutan yang dilakukan dengan tidak terikat dalam jaringan
trayek tertentu dengan jadwal pengangkutan yang tidak teratur.

3.7.1. Jaringan Lalu lintas

Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
disebutkan bahwa pengertian jaringan lintas adalah jaringan pelayanan angkutan
barang yang ditetapkan berdasarkan kelas jalan yang sama, atau merupakan
kumpulan lintas-lintas yang menjadi satu kesatuan jaringan pelayanan angkutan
barang. Penetapan jaringan lintas diperlukan untuk keselamatan, keamanan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, yang dalam operasionalnya
dapat dilayani dengan kendaraan bermotor barang tertentu (mobil pengangkut peti
kemas, mobil pengangkut bahan berbahaya atau mobil pengangkut alat berat).
Jaringan lintas ditetapkan dengan memperhatikan :
a. Kebutuhan angkutan
b. Kelas jalan yang sama dan/atau yang lebih tinggi
c. Tingkat keselamatan angkutan
d. Tingkat pelayanan jalan
e. Tersedianya terminal angkutan barang
f. Rencana umum tata ruang
g. Kelestarian lingkungan

3.7.2. Konsep Pelayanan Angkutan Umum

3.7.2.1. Kuantitas Pelayanan

1). Frekuensi Pelayanan : Frekuensi adalah banyaknya kendaraan yang beroperasi


lewat selama selang waktu tertentu. Banyaknya frekuensi dapat juga diperoleh dengan
membagi jumlah permintaan penumpang dengan kapasitas kendaraan. Adapun rumus
yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut :
n
F 
N

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 31
KAJIAN PUSTAKA

dimana
F : Frekwensi (kendaraan / jam)
n : Besar permintaan untuk pelayanan (pnp / jam)
N : Kapasitas jumlah penumpang maksimum per kend.
Frekwensi berbanding terbalik dengan selang waktu atau headway (F = 60 / H),
dimana headway minimum dapat dihitung dengan rumus.

H = 2 Td

dimana :

H : Headway minimum antar kendaraan (menit)


Td : Waktu menunggu rata-rata (menit)

2). Kapasitas Pelayanan : Kapasitas pelayanan rute diperoleh dari hasil perkalian
antara kapasitas penumpang per kendaraan dengan frekwensi kendaraan pada satuan
waktu tertentu yang melalui rute tersebut. Besarnya kapasitas pelayanan diperoleh
dengan rumusan sebagai berikut :
Re = 60 Ct / H = Ct x F

Ct = Ca + fCb

dimana :

Re : Kapasitas pelayanan rute maksimum (pnp / jam)


Ct : Total kapasitas kendaraan
Ca : Kapasitas duduk penumpang
F : Frekwensi pelayanan (kendaraan / jam)
Cb : Kapasitas berdiri
f : Friksi yang diizinkan dari kapasitas berdiri
3). Jumlah Permintaan. Langkah – langkah dalam menentukan jumlah permintaan
angkutan bis kota adalah :

 Jumlah Penumpang per Kendaraan per Link (Ruas Jalan). Jumlah rata-
rata penumpang yang ada didalam kendaraan pada suatu ruas jalan pelayanan
angkutan umum pada suatu trayek, sehingga untuk menentukan rata-rata jumlah
penumpang per kendaraan per ruas jalan terlebih dahulu ditentukan ruas-ruas pada
suatu trayek (zona angkutan umum) dengan memperhatikan ruas-ruas yang banyak
terjadi naik turun penumpang yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Pgz = Pg (z - 1) + Pgn – Pgt

dimana :

Pgz : Jumlah pnp dalam kendaraan per ruas jalan


Pg (z-1) : Jumlah pnp per kendaraan pada ruas jalan sebelumnya
Pgn : Jumlah pnp yang naik pada ruas jalan tersebut
Pgt : Jumlah pnp yang turun pada ruas jalan tersebut

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 32
KAJIAN PUSTAKA

 Faktor Muat per Ruas Jalan. Untuk mendapatkan faktor muat ini adalah
dengan membagi jumlah penumpang di dalam kendaraan pada suatu ruas jalan
dengan kapasitas tempat duduk, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

Lf = (Pgz / Td) x 100 %

dimana :

Pgz : Jumlah pnp dalam kendaraan per ruas jalan


Lf : Faktor muat
Td : Kapasitas tempat duduk
Setelah diketahui faktor muat per ruas jalan maka langkah selanjutnya adalah dapat
diketahui besarnya faktor muat dinamis pada suatu rute. Secara matematis untuk
menghitung faktor muat dinamis dipergunakan rumus sebagai berikut :
Σ  PL x Lf . I 
Lf. d 
Panjang rute

dimana :

PL : Panjang ruas jalan


Lf. l : Faktor muat pada suatu ruas jalan
Lf. d : Faktor muat dinamis

 Jumlah Penumpang per Hari. Jumlah penumpang per hari diperoleh dengan
cara mengalikan jumlah rata-rata penumpang per rit yang dihasilkan per hari dan
dihitung dengan menggunakan rumusan sebagai berikut :
Pgh = Pgr x R

dimana :

Pgh : Jumlah rata-rata penumpang per hari.


Pgr : Jumlah rata-rata penumpang per rit.
R : Jumlah rit dalam satu hari.

3.7.2.2. Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan dapat dilihat dari beberapa indikator unjuk kerja angkutan umum.
Untuk mengukur kualitas pelayanan didasarkan kepada Keputusan Dirertur Jenderal
Perhubungan Darat, Nomor 274/HK.105/DRJD/1996 dan Standar Bank Dunia dalam
“World Bank Technical Paper 68, bus Service : Reducing Cost, Raising Standards”.
Beberapa indikator kualitas pelayanan yang dipergunakan antara lain : Persyaratan
Umum. 1). Waktu tunggu di pemberhentian rata-rata 5 – 10 menit dan maksimum 10
– 20 menit. 2) Jarak untuk mencapai pemberhentian di pusat kota 300 – 500 meter,
sedangkan untuk pinggiran kota 500 – 1000 meter. 3). Penggantian rute dan moda
pelayanan, jumlah pergantian rata-rata 0-1 dan maksimum 2. 4). Lama perjalanan ke
dan dari tempat tujuan setiap hari rata-rata 1 – 1,5 jam dan maksimum 2 –3 jam.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 33
KAJIAN PUSTAKA

Persyaratan Khusus. 1). Faktor layanan, 2). Faktor keamanan penumpang, 3).
Faktor kemudahan penumpang mendapatkan kendaraan, 4). Faktor lintansan.

Transportation Research Board USA menentukan standar kualitas pelayanan angkutan


umum berdasarkan beberapa kriteria, seperti yang disampaikan oleh CH Alter (1976)
dalam tulisannya “Evaluation of Publik Transit Service, Transportation Research Board
USA”. Rangkuman kriteria standar pelayanan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.5. : Kriteria Standar Pelayanan Angkutan Umum

Frekwensi Pelayanan

Kepadatan Penduduk / Km2 Kepadatan Penduduk / Km2


Tingkat
> 4.000 3.000-4.000 2.000-3.000 750-2.000
layanan
Headway (mnt) Headway (mnt) Headway (mnt) Headway (mnt)

Sibuk Tidak Sibuk Tidak Sibuk Tidak Sibuk Tidak


Sibuk Sibuk Sibuk Sibuk
A <2 <5 4 <9 <9 < 14 <9 < 14

B 2–4 15 – 19 5–9 10 – 14 10 – 15 15 – 19 10 – 14 15 – 29

C 5–9 10 – 14 10 – 14 15 – 20 15 – 24 20 – 30 15 – 24 30 – 44

D 10 – 14 15 – 20 15 – 20 20 – 29 25 – 39 31 – 45 25 – 39 45 – 59

E 15 – 20 21 – 30 21 – 30 30 – 60 40 – 60 45 – 60 40 – 60 60 – 90

F > 20 > 30 > 30 > 60 > 60 > 60 > 60 > 60

Aksesibilitas Pindah Angkutan Waktu Menunggu (menit)

Tingkat Waktu Jarak Jumlah


Waktu
layanan berjalan berjalan per >8 9 – 12 13 – 20 21
tunggu
kaki kaki pindah
(menit)
(mnt) (mnt) an
A <2 0 -100 0 - 65-100% 90-100% 95-100% 89-100%

B 2,0 - 4 100-200 1 <5 75-84 80-89 90-94 95-98

C 4,0 - 7,5 202-400 1 5 - 10 66-74 70-79 80-89 90-94

D 7,5 - 12 401-600 1 > 10 55-65 60-69 65-79 75-89

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 34
KAJIAN PUSTAKA

E 12,0 - 20 601-1.000 2 >5 50-54 50-59 50-64 50-74

F > 21 >1.000 >2 >5 < 50 < 50 < 50 < 50

Waktu Perjalanan
Tingkat
Kepadatan Penumpang Indek
layanan
Waktu Keterangan
Perjalanan
Tempat duduk per penumpang terpisah
A <1
dengan sandaran yang tinggi

Tempat duduk sejajar membujur per


B 1 – 1,1
penumpang minimum 0,46 m2 / pnp
Indeks : Waktu perjalanan
Tempat duduk sejajar melintang per menggunakan bis dibagi
C 2 1,1 - 1,3
penumpang minimum 0,46 m / pnp perjalanan menggunakan mobil
Luas tempat duduk 0,28 – 0,46 / orang atau pribadi
D 1,35 – 1,50
faktor muat 100 – 110 %

E Faktor muat 111 – 125 % 1,51 – 2,00

F Faktor muat > 125 % >2

3.7.2.3. Klasifikasi Rute

Rute dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, seperti; tipe pelayanan, tipe
jaringan dan peran dalam jaringan. Ditinjau berdasarkan tipe pelayanannya, rute
dibagi menjadi 4 jenis yaitu:

Rute tetap (fixed routes)


Pada rute jenis ini pengemudi bus diwajibkan hanya mengemudikan
kendaraannya pada rute atau jalur yang telah ditentukan. Sama sekali tidak
diperkenankan untuk menyimpang dari rute yang telah ada.

Rute tetap dengan deviasi tertentu


Pada rute jenis ini selain pada rute wajib, jika diperlukan pengemudi dapat
dapat mengambil rute tambahan.

Rute dengan batasan koridor


Pada rute jenis ini pengemudi mengambil rute pada koridor yang telah
ditetapkan, sesuai dengan kebutuhan pada saat beroperasi.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 35
KAJIAN PUSTAKA

Rute dengan deviasi penuh (demand responsive routing)


Rute jenis ini bersifat fleksibel berdasarkan kebutuhan penumpang pada kondisi
tertentu yang berkembang.

3.7.3. Transportasi Intermoda dan Multimoda

Transportasi intermoda adalah suatu sistem transportasi yang secara


berkesinambungan (single seamless services) dapat memindahkan penumpang
maupun barang dari titik asal ke titik tujuan, diarahkan pada keterpaduan jaringan
pelayanan dan jaringan prasarana transportasi antarmoda yang efektif dan efisien
dalam bentuk interkoneksi pada simpul transportasi yang berfungsi sebagai titik temu
yang memfasilitasi alih moda.

Dalam lingkup yang lebih luas baik dalam skala sistem maupun skala wilayah dewasa
ini telah dikembangkan apa yang disebut dengan Transportasi Multimoda. Terminologi
ini dipergunakan untuk sistem angkutan barang dan penumpang yang menggunakan
minimal dua moda yang berbeda, yang dilakukan berdasarkan suatu kontrak berupa
dokumen angkutan multimoda (DAM) antara pelaku usaha dan pengguna jasa. Tujuan
utama yang ingin dicapai dalam sistem pengangkutan multimoda adalah efisiensi biaya
pengangkutan dengan memperhatikan faktor kecepatan dan ketepatan waktu barang
sampai di tangan penerima tanpa melupakan faktor keamanan penumpang dan barang
yang diangkut.

Dalam sistem pengangkutan multimoda ini, terdapat satu pelaksana dan penanggung
jawab pengangkutan barang sejak dari tempat pembuatan sampai di tempat
penggunaannya, yaitu perusahaan pelaksanaan pengangkutan multimoda. Perusahaan
yang bertindak sebagai pelaksana pengangkutan multimoda adalah freight forwarder.
Kendati demikian, pengangkutan multimoda tetap melibatkan berbagai pihak atau
unsur pengangkut, yaitu perusahaan angkutan darat, perkeretaapian dan perusahaan
angkutan laut. Perusahaan yang memberi jasa pengangkutan ini merupakan subsistem
dari sistem pengangkutan multimoda.

1. Pengertian
1.a. Transportasi antarmoda diartikan sebagai transportasi penumpang dan atau
barang yang menggunakan lebih dart satu moda transportasi dalam satu

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 36
KAJIAN PUSTAKA

perjalanan yang berkesinambungan. Transportasi antarmoda lebih menekankan


pada upaya pemaduan jaringan pelayanan dan prasarana
1.b. Transportasi multimoda adalah transportasi barang dengan menggunakan paling
sedikit dua moda transportasi yang berbeda, atas dasar satu kontrak yang
menggunakan dokumen transportasi multimoda dari suatu tempat barang
diterima oleh operator transportasi multimoda ke suatu tempat yang ditentukan
untuk barang tersebut. Transportasi multimoda lebih menekankan aspek
pelayanan pengangkutan barang dan penumpang. Namun dari sisi penggunaan
alat angkut untuk kelancaran arus barang dan mobilitas orang, transportasi
antarmoda dan multimoda membutuhkan keterpaduan lebih dari dua moda, baik
dalam wujud jaringan pelayanan maupun jaringan prasarana.
1.c. Badan Usaha Angkutan Multimoda adalah Badan Usaha Indonesia yang
mempunyai izin dari pemerintah untuk bertindak atas namanya sendiri atau
melalui badan hukum lain yang mewakilinya, menutup dan menyelesaikan
kontrak angkutan multimoda dan menerbitkan dokumen angkutan barang.
2. Dasar Hukum

Penyelenggaraan angkutan antarmoda/multimoda diamanatkan dalam undang-undang


di bidang transportasi yaitu undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tentang
LLAJ keterpaduan antarmoda multimoda diatur pada berbagai pasal yaitu :

2.a. Pasal 2, menyatakan bahwa lalu lintas dan angkutan jalan diselenggarakan
dengan asas terpadu;
2.b. Pasal 33 ayat 1 menyatakan bahwa untuk menunjang kelancaran perpindahan
orang danjatau barang serta keterpaduan antarmodajmultimoda ditempat
tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan terminal;
2.c. Pasal 93 ayat 2 menyatakan bahwa manajemen dan rekayasa lalu lintas
dilakukan dengan pemaduan berbagai moda angkutan;
2.d. Pasal165 ayat 1 dan 2 antara lain menyatakan bahwa angkutan umum di jalan
yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum
angkutan multimoda, dan dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat
antara badan hukum angkutan jalan dan badan hukum angkutan multimoda
danjatau badan hukum moda lain.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 37
KAJIAN PUSTAKA

Pada undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran mengatur keterpaduan


antarmoda/multimoda antar lain diatur pada :

a. Pasal 2, menyatakan bahwa pelayaran diselenggarakan berdasarkan asas


keterpaduan;
b. Pasal 9 ayat 4, menyatakan bahwa jaringan trayek dan teratur angkutan laut
dalam negeri disusun dengan memperhatikan keterpaduan intra dan antarmoda
transportasi;
c. Pasal18 ayat 4 menyatakan bahwa kegiatan angkutan sungai dan danau disusun
dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan intra dan antarmoda yang
merupakan satu kesatuan Sistem Transportasi Nasional;
d. Pasal 22 ayat 2 menyatakan bahwa penetapan lintas angkutan Laut dilakukan
dengan mempertimbangkan jaringan trayek angkutan laut sehingga mencapai
optimalisasi keterpaduan angkutan antar dan intramoda;
e. Pasal 50-55 menyatakan bahwa angkutan perairan dapat merupakan bagian dari
angkutan multimoda, dan dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang
dilaksanakan antara penyedia jasa angkutan perairan dan badan usaha angkutan
multimoda dan penycdia jasa moda lainnya;
f. Pasal 68 menyatakan bahwa pelabuhan memiliki peran sebagai tempat kegiatan
alih moda transportasi;
g. Pasal 96 ayat 2, menyatakan bahwa pembangunan pelabuhan laut harus
memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian lingkungan dan
memperhatikan keterpaduan intra dan antarmoda transportasi.

3. Elemen Transportasi Multi Moda


Elemen transportasi antarmoda/multimoda dalam proses distribusi barang dan
perjalanan orang terdiri dari :

3.a. Badan Usaha Angkutan Multimoda (Service Provider)


Penyelenggara transportasi antarmoda/multimoda disebut sebagai badan usaha
angkutan multimoda Badan usaha ini dapat bertindak sebagai principal dan bukan
prinsipal atau mewakili kepentingan pemilik barang. Sebagai prinsipal menjalankan

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 38
KAJIAN PUSTAKA

fungsi penyedia jasa angkutan multimoda, dan dapat mengontrakkan sebagian dari
kegiatan angkutan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pengangkut pelaksana
(performing carrier).

Sedangkan dalam hal mewakili kepentingan pemilik barang (bukan prinsipal) berfungsi
sebagai :

a. pengangkut sub kontrak sebagai pelaksana angkutan unimoda yang merupakan


bagian dari keseluruhan pelaksanaan angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh
badan usaha angkutan multimoda lain;
b. penyedia jasa pengurusan transportasi (freight forwarder);
c. penyedia jasa pergudangan;
d. penyedia jasa konsolidasi muatan;
e. agen muatan;
f. penyedia jasa logistik lainnya terkait dengan angkutan barang.

3.b. Jaringan pelayanan


Jaringan pelayanan adalah susunan rute-rute pelayanan dari berbagai moda
transportasi yang membentuk satu kesatuan hubungan.

3.c. Jaringan prasarana


Jaringan prasarana terdiri dari simpul dan ruang lalu lintas. Simpul berfungsi sebagai
ruang yang dipergunakan untuk keperluan menaikkan dan menurunkan penumpang,
membongkar dan memuat barang, serta perpindahan intra dan antar moda Ruang lalu
lintas berfungsi sebagai ruang gerak untuk sarana transportasi, namun khusus untuk
ruang lalu lintas transportasi jalan, disamping untuk lalu-lintas sarana transportsi juga
memiliki fungsi lain yaitu untuk lalu lintas orang dan hewan.

RENCANA INDUK TRANSPORTASI DARAT


KABUPATEN BALANGAN
bab 3 - 39

Anda mungkin juga menyukai