Anda di halaman 1dari 26

MALNUTRISI

I. Pendahuluan
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau
ketidakseimbangan protein energi dan nutrien lain yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh (sudojo dkk., 2009). Secara
umum malnutrisi terbagi atas dua bagian yaitu undernutrisi dan
overnutrisi. Undernutrisi atau keadaan defisiensi terdiri dari marasmus,
kwashiorkor, serta marasmic – kwashiorkor. Sedangkan overnutrisi atau
kelebiahn nutrisi lebih dikenal dengan obesitas.
II. Epidemiologi
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178
balita mengalami gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan
prevalensi balita gizi buruk sebesar 8.8%. Pada tahun 2005 telah terjadi
peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang
tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005, Pemerintah Propinsi Nusa
Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang terjadi di NTT
sebagai KLB.
Di Indonesia prevalensi obesitas pada balita menurut SUSENAS
menununjukan peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Di
perkotaan pada tahun 1989 didapatkan 4,6% lelaki dan 5,6% perempuan.
Pada tahun 1992 didapatkan 6,3% lelaki dan 8% untuk perempuan.
Prevalensi obesitas tahun 1995 di 27 propinsi adalah 4,6%. Di DKI
Jakarta, prevalensi obesitas meningkat dengan bertambahnya umur. Pada
umur 6 – 12 tahun ditemukan obesitas sekitar 4%, pada anak remaja 12 –
18 tahun ditemukan 6,2 % dan pada umur 17 – 18 tahun11,4%. Kasus
obesitas pada remaja lebih banyak ditemukan pada wanita (10,2%)
dibanding lelaki (3,1%)3.
III. Etiologi
a. Marasmus
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut
(Alleyne et al., 1977) :
- Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat
masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si
anak.
- Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang
mempunyai hubungan orang tua – anak terganggu.
- Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic
hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.
- Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan,
penyakit Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis,
micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic
fibrosis pankreas.
b. Kwashiorkor
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein
yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan
kwashiorkor antara lain (Lauque dan Nourhashemi,1999):
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak
untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan
mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung
protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui
umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya,
namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber
lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak
berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan
untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-
turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak
tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi
kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP
dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi.
Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan
menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
c. Marasmic – kwashiorkor
Penyebab marasmic – kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua
penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder.
Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi
sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang
meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau peningkatan kehilangan
protein maupun energi dari tubuh.
d. Obesitas
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas
adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar
obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan
faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan
nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu
dini pada bayi (Freedman, 2004).
1. Faktor Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan
besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi
obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas
menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi
menjadi 14%. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas
melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non
exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang
jelek. Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan
secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe.
2. Faktor lingkungan
- Aktivitas fisik
Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara
aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu
dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko
peningkatan berat badan sebesar = 5 kg. Penelitian terhadap
anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama
menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam perhari
mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar
dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya.
- Faktor nutrisional
Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan
dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi
berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak
dipengaruhi oleh : waktu pertama kali mendapat makanan padat,
asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi.
Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga
akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi
konsumsi yang berlebihan.
Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat
berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-
80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai
kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan
lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar
96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak.
- Faktor sosial ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup,
pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi
pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu
data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat
adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan
aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan
kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan
rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar
rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer / games,
nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik.
Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang
mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.
IV. Patofisiologi
Kekurangan energi protein (KEP) adalah manifestasi dari
kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang
tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta
adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi
primer bila kejadian KEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada
umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta
rendahnya pengetahuan dibidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi
masalah nutrisi seperti diatas disebabkan karena adanya penyakit utama,
seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan
metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan
nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.Makanan yang
tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan
untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan
pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi)
maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada
saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah
kwashiorkor (malnutrisi akut/”decompensated malnutrition”). Pada
kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres
katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan
terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus
dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik
(malnutrisikronik/compensated malnutrition). Dengan demikian pada
malnutrisi dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan
kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan
tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim (Hidajat, 2008).
Sedangkan Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi
ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat
nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya
kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%).
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus
melalui 3 proses fisiologis, yaitu : pengendalian rasa lapar dan kenyang,
mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon.
Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-
sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal
aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal
tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan
pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia,
meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi
makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi
lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin
(CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang
diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur
penyimpanan dan keseimbangan energi.
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka
jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin
dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center
di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide –Y (NPY),
sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila
kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa
berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus
yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar
penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin
tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Hidajat, 2008).
V. Manifestasi Klinik
Marasmus Kwshiorkor Obesitas
 Pertumbuhan  Perubahan mental  wajah bulat dengan
berkurang atau sampai apatis pipi tembem dan
berhenti  Anemia dagu rangkap
 Terlihat sangat  Perubahan warna  leher relatif pendek
kurus dan tekstur rambut,  dada membusung
 Penampilan wajah mudah dicabut / dengan payudara
seperti orangtua rontok membesar
 Perubahan mental  Gangguan sistem - perut membuncit dan
 Cengeng gastrointestinal striae abdomen
 Kulit kering, dingin,  Pembesaran hati - pada anak laki-laki :
mengendor, keriput  Perubahan kulit Burried penis,
 Lemak subkutan  Atrofi otot gynaecomastia
menghilang hingga  Edema simetris - pubertas dini
turgor kulit pada kedua - genu valgum (tungkai
berkurang punggung kaki, berbentuk X) dengan
 Otot atrofi sehingga dapat sampai kedua pangkal paha
kontur tulang seluruh tubuh. bagian dalam
terlihat jelas saling menempel dan
 Vena superfisialis bergesekan yang
tampak jelas dapat menyebabkan
 Ubun – ubun besar laserasi kulit
cekung
 tulang pipi dan dagu
kelihatan menonjol
 mata tampak besar
dan dalam
 Kadang terdapat
bradikardi
 Tekanan darah lebih
rendah
dibandingkan anak
sebaya
*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran
gejala marasmus dan kwashiorkor (Pudjiati dkk, 2010)
VI. Diagnosis
1. Kekurangan Energi Protein:
Diagnosis ditegakkan dengan berdasarkan tanda dan gejala klinis
serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
- BB/TB < -3 SD atau , 70 % dari median (marasmus)
- Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
(kwashiorkor: BB/TB > - 3 SD atau marasmic kwashiorkor:
BB/TB < -3SD).
Jika BB/TB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai
jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat,
paha, tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.
Anak – anak dengan BB/U <60% belum tentu gizi buruk, karena
mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali
jiak ditemukan penyakit lain yang berat.
2. Obesitas
1. Anamnesis
- Saat mulainya timbul obesitas : prenatal, early adiposity
rebound, remaja
- Riwayat tumbuh kembang (mendukung obesitas endogenous)
- Adanya keluhan: ngorok (snoring), restless sleep, nyeri
pinggul
- Riwayat gaya hidup :
• Pola makan/kebiasaan makan
• Pola aktifitas fisik
- Riwayat keluarga dengan obesitas (faktor genetik), yang
disertai dengan resiko seperti penyakit kardiovaskuler di usia
muda, hiperkolesterolmia, hipertensi, diabetes melitus tipe II
2. Pemeriksaan fisik
Adanya gejala klinis obesitas seperti diatas.
3. Pemeriksaan penunjang
Analisis diet, laboratoris, radiologis, ekokardiografi dan tes fungsi
paru (jika ada tanda-tanda kelainan).
4. Pemeriksaan antropometri :
a. Pengukuran berat badan (BB) dibandingkan berat badan ideal
(BBI). BBI adalah berat badan menurut tinggi badan ideal.
Disebut obesitas bila BB > 120% BB Ideal.
b. Indeks massa tubuh (IMT). Obesitas bila IMT P > 95 kurva IMT
berdasarkan umur dan jenis kelamin dari CDC-WHO.
c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold
thickness (tebal lipatan kulit/TLK). Obesitas bila TLK Triceps
P > 85.
d. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri,
hidrometri.

VII. Penatalaksanaan

Tatalaksana umum malnutrisi energi protein:


 Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan tatalaksana syok pada
anak
dengan gizi buruk
 Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes mata
kloramfenikol/tetrasiklin dan atropin; tutup mata dengan kasa yang
telah dibasahi dengan larutan garam normal, dan balutlah. Jangan beri
obat mata yang mengandung steroid.
- Jika terdapat anemia berat, diperlukan penanganan segera (lampiran 2)
- Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 3 fase yaitu:
fase stabilisasi, fase transisi, fase rehabilitasi dan fase tindak lanjut.
1. Mencegah dan mengatasi hipoglikemi
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar
gula darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi
buruk harus diberi makan atau larutan glukosa/gula pasir 10% segera
setelah masuk rumah sakit.
Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa
kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap
menderita hipoglikemia dan segera ditangani sesuai panduan.
Tatalaksana
- Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya
memungkinkan.
- Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50
ml larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh gula dalam 50 ml
air) secara oral atau melalui NGT.
- Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam selama
minimal dua hari.
- Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
- Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan
glukosa/larutan gula pasir 50 ml dengan NGT.
- Beri antibiotik.
Pemantauan
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah
setelah 30 menit.
- Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi
pemberian larutan glukosa atau gula 10%.
- Jika suhu rektal < 35.5° C atau bila kesadaran memburuk,
mungkin hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi
pengukuran kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan
(hipotermia dan hipoglikemia).
Pencegahan
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau
jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur
setiap 2-3 jam siang malam.

2. Mencegah dan mengatasi hipotermia


Diagnosis
Suhu aksilar < 35.5° C
Tatalaksana
- Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
- Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup
dengan selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah
langsung kepada anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak
langsung pada dada atau perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode
kanguru). Bila menggunakan lampu listrik, letakkan lampu pijar 60
W dengan jarak 60 cm dari tubuh anak.
- Beri antibiotik sesuai pedoman.
Pemantauan
- Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat
menjadi 36.5° C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu
tiap setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5° C
- Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama
pada malam hari
- Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia
Pencegahan
- Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang
bebas angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut
- Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat
tidur tetap kering
- Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah
mandi, atau selama pemeriksaan medis)
- Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat,
terutama di malam hari
- Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera
mungkin, sepanjang hari, siang dan malam.
3. Mencegah dan mengatasi dehidrasi
Diagnosis
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan
estimasi yang berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak
dengan gizi buruk. Hal ini disebabkan oleh sulitnya menentukan status
dehidrasi secara tepat pada anak dengan gizi buruk, hanya dengan
menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair,
bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan.
Tatalaksana
- Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi
berat dengan syok.
- Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
disbanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
- Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
- Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-
seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama
10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja
yang keluar dan apakah anak muntah.
- Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
- Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th:
50-100ml setiap buang air besar, usia ≥ 1 th: 100-200 ml setiap
buang air besar.
4. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit
Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis
setiap setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai
10 jam berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang
sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan gagal jantung dan kematian.
Periksalah:
- frekuensi napas
- frekuensi nadi
- frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
- frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang
dan mulai ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah cekung mata
dan fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda
membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak
memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi,
sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat
5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian
cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.
Pencegahan
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan
pada anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal
sebagai pengganti larutan oralit standar.
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
- Pemberian F-75 sesegera mungkin
- Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Tatalaksana
- Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan
Magnesium, yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix
yang ditambahkan ke dalam F-75, F-100 atau ReSoMal
- Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
- Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).
5. Mengobati infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti
demam, seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal
yang sering terjadi. Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi
buruk mengalami infeksi saat mereka datang ke rumah sakit dan segera
tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia merupakan
tanda infeksi berat.
Tatalaksana
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
- Antibiotik spektrum luas
- Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah
pernah diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan.
- Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas
- Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri
Kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12
jam selama 5 hari
- Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
 Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari),
dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8
jam selama 5 hari) ATAU, jika tidak tersedia amoksisilin,
beri Ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5
hari) sehingga total selama 7 hari
DITAMBAH:
 Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7
hari.
- Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan
dan obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10
hari
- Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia,
tuberkulosis, malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak),
beri antibiotik yang sesuai.
- Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi ditemukan parasit
malaria.
- Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang umum terdapat,
obat anti tuberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau
sangat diduga menderita tuberkulosis.
Pemantauan
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan
pengobatan sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum
membaik, lakukan penilaian ulang menyeluruh pada anak.

6. Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro


Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase
awal, tetapi tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik
dan mulai bertambah berat adannya (biasanya pada minggu kedua,
mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah infeksi.
Tatalaksana
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:
- Multivitamin
- Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
- Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
- Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
- Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi)
- Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah
diberikan sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini :
Umur dosis
<6 bulan 50 000 (1/2 kapsul biru)
6 – 12 bulan 100 000 (1 kapsul biru)
1 – 5 tahun 200 000 (1 kapsul merah)

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1,
2, dan 15.

7. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi


Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara
hati-hati sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh.
Tatalaksana
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah:
- Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas maupun rendah laktosa
- Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan
parenteral
- Energi: 100 kkal/kgBB/hari
- Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
- Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100
ml/kgBB/hari)
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa
jumlah
- F-75 yang ditentukan harus dipenuhi seperti di bawah ini:

Har Frekuens Volume/kgBB/pemberia Volume/kgBB/har


i ke i n i
:
1 – 2 jam 11 ml 130 ml
2 3 jam 16 ml 130 ml
3 – 4 jam 22 ml 130 ml
5
6 dst

Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas
dapatdipercepat menjadi 2-3 hari. Jika jumlah petugas terbatas, beri
prioritas untuk pemberian makan setiap 2 jam hanya pada kasus yang
keadaan klinisnya paling berat, dan bila terpaksa upayakan paling tidak
tiap 3 jam pada fase permulaan. Libatkan dan ajari orang tua atau
penunggu pasien.
Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak
tidak terlalu lama tanpa pemberian makan (puasa dapat meningkatkan
risiko kematian). Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal
tidak mencapai kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan
sisanya melalui NGT. Jangan melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase
awal ini.
Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anak
perlu mendapat ekstra air/cairan.
Pemantauan
Pantau dan catat setiap hari:
 Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
 Muntah
 Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
 Berat badan.
8. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:
• Kembalinya nafsu makan
• Edema minimal atau hilang.
Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula
tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi):
• Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan
F-75 selama 2 hari berturutan.
• Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali
pemberian sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa
sedikit. Biasanya hal ini terjadi ketika pemberian formula mencapai
200 ml/kgBB/hari.
• Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang
dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding
dengan F-100.
• Setelah transisi bertahap, beri anak:
- pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas
(sesuai kemampuan anak)
- energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
- protein: 4-6 g/kgBB/hari.
Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi
pastikan anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI
tidak mengandung cukup energi untuk menunjang tumbuh-kejar.
Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to use therapeutic food = RUTF)
yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92g dapat
digunakan pada fase rehabilitasi.
Pemantauan
Hindari terjadinya gagal jantung.
Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat dan napas cepat). Jika nadi
maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik 5x/menit dan
nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali
pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini
merupakan tanda bahaya (cari penyebabnya).
Lakukan segera:
- kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24
jam
- kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
- 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
- 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya
- selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
- atasi penyebab
Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah
taha ptransisi dan mendapat F-100:
 Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
 Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam
gram/kgBB/hari
 Jika kenaikan berat badan:
- kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang
lengkap
- sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan
terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.
- baik (> 10 g/kgBB/hari).

9. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang


- ungkapan kasih sayang
- lingkungan yang ceria
- terapi bermain terstruktur selama 15–30 menit per hari
- aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
- keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi
makan, memandikan, bermain)
10. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah
Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat
dianggap anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U
rendah karena anak berperawakan pendek. Pola pemberian makan
yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua:
- Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta
frekuensi pemberian makan yang sering.
- Terapi bermain yang terstruktur
Sarankan:
- Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
- Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)
Pemulangan sebelum sembuh total
Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh.
Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor
risiko. Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan
perawatan lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase
rehabilitasi serta untuk mencegah kekambuhan.
Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil:
Anak seharusnya:
• telah menyelesaikan pengobatan antibiotik
• mempunyai nafsu makan baik
• menunjukkan kenaikan berat badan yang baik
• edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang.
Ibu atau pengasuh seharusnya:
• mempunyai waktu untuk mengasuh anak
• memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis,
jumlah dan frekuensi)
• mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak
mungkin, nasihati tentang dukungan yang tersedia.
Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebelum sembuh
Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut
sampai anak sembuh:
• Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local
untuk melakukan supervisi dan pendampingan.
• Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan
kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi
penurunan berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.

Tata laksana Obesitas:


Prinsipnya adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan
keluaran energi, dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik,
dan mengubah/modifikasi pola hidup.
1. Menetapkan target penurunan berat badan
Untuk penurunan berat badan ditetapkan berdasarkan :
· Usia anak : 2-7 tahun dan diatas 7 tahun
· Derajat obesitas
· Ada tidaknya penyakit penyerta/komplikasi.
Pada anak obesitas usia dibawah 7 tahun tanpa komplikasi,
dianjurkan cukup dengan mempertahankan berat badan. Pada anak
obesitas usia dibawah 7 tahun dengan komplikasi dan usia diatas 7
tahun (dengan/tanpa komplikasi) dianjurkan untuk menurunkan berat
badan (diet dan aktifitas fisik). Target penurunan berat badan dengan
kecepatan 0,5-2 kg per bulan, sampai mencapai berat badan ideal.
2. Pengaturan diet
Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang
sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG), hal ini karena anak masih
mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Intervensi diet harus
disesuaikan dengan usia anak, derajat obesitas dan ada tidaknya
penyakit penyerta. Pada obesitas tanpa penyakit penyerta, diberikan diet
seimbang rendah kalori dengan pengurangan asupan kalori sebesar
30%. Dapat pula memakai perhitungan kebutuhan kalori berdasarkan
berat badan sebagai berikut :
BB ideal + (BB aktual-BB ideal) X 0,25
Dalam pengaturan diet ini perlu diperhatikan tentang :
· Menurunkan berat badan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan
normal.
· Diet seimbang dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 20-30%
dengan lemak jenuh < 10% dan protein 15-20% energi total serta
kolesterol < 300 mg per hari.
· Diet tinggi serat, dianjurkan pada anak usia > 2 tahun dengan
penghitungan dosis menggunakan rumus : (umur dalam tahun + 5)
gram per hari.
3. Pengaturan aktifitas fisik
Latihan fisik yang diberikan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan motorik, kemampuan fisik dan umurnya. Aktifitas fisik
untuk anak usia 6-12 tahun lebih tepat yang menggunakan keterampilan
otot, seperti bersepeda, berenang, menari dan senam. Dianjurkan untuk
melakukan aktifitas fisik selama 20-30 menit per hari.
4. Mengubah pola hidup/perilaku
Diperlukan peran serta orang tua sebagai komponen intervensi, dengan
cara :
· Pengawasan sendiri terhadap: berat badan, asupan makanan dan
aktifitas fisik serta mencatat perkembangannya.
· Mengontrol rangsangan untuk makan. Orang tua diharapkan dapat
menyingkirkan rangsangan disekitar anak yang dapat memicu
keinginan untuk makan.
· Mengubah perilaku makan, dengan mengontrol porsi dan jenis
makanan yang dikonsumsi dan mengurangi makanan camilan.
· Memberikan penghargaan dan hukuman.
· Pengendalian diri, dengan menghindari makanan berkalori tinggi yang
pada umumnya lezat dan memilih makanan berkalori rendah.
5. Peran serta orang tua, anggota keluarga, teman dan guru.
Orang tua menyediakan diet yang seimbang, rendah kalori dan
sesuai petunjuk ahli gizi. Anggota keluarga, guru dan teman ikut
berpartisipasi dalam program diet, mengubah perilaku makan dan aktifitas
yang mendukung program diet.
6. Konseling problem psikososial, terutama untuk peningkatan rasa
percaya diri
7. Terapi intensif
Terapi intensif diterapkan pada anak dengan obesitas berat dan
yang disertai komplikasi yang tidak memberikan respon pada terapi
konvensional, terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie
diet), farmakoterapi dan terapi bedah.
Indikasi terapi diet dengan kalori sangat rendah bila berat badan >
140% BB Ideal atau IMT P > 97, dengan asupan kalori hanya 600-800
kkal per hari dan protein hewani 1,5-2,5 gram/kg BB Ideal, dengan
suplementasi vitamin dan mineral serta minum > 1,5 L per hari. Terapi ini
hanya diberikan selama 12 hari dengan pengawasan dokter.
Farmakoterapi dikelompokkan menjadi 3, yaitu : mempengaruhi
asupan energi dengan menekan nafsu makan, contohnya sibutramin;
mempengaruhi penyimpanan energi dengan menghambat absorbsi zat-zat
gizi contohnya orlistat, leptin, octreotide dan metformin; meningkatkan
penggunaan energi. Farmakoterapi belum direkomendasikan untuk terapi
obesitas pada anak, karena efek jangka panjang yang masih belum jelas.
Terapi bedah di indikasikan bila berat badan > 200% BB Ideal.
Prinsip terapi ini adalah untuk mengurangi asupan makanan atau
memperlambat pengosongan lambung dengan cara gastric banding, dan
mengurangi absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari
lambung ke bagian akhir usus halus. Sampai saat ini belum banyak
penelitian tentang manfaat dan bahaya terapi ini pada anak.

VIII. Komplikasi
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara
lain :
 Masalah pada mata
 Anemia berat
 Lesi kulit pada kwashiorkor
 Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi
laktosa, diare osmotik)

Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain:

- Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler


- Diabetes Mellitus tipe-2
- Obstruktive sleep apnea
- Gangguan ortopedik
- Pseudotumor serebri

IX. Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi,
kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat
dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri.
Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan.
Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila
penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin disebabkan
perubahan yang irrever-sibel dari set-sel tubuh akibat under nutrition
maupun overnutrition.
DAFTAR PUSTAKA

1. Syam Fahrial. Malnutrisi. Dalam: Sudojo A, Bambang S, Alwi I,


Simbadibrata M, Setiadi S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009;355 – 65
2. Direktorat Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB – Gizi
Buruk. Jakarta: Depkes RI Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 2008; 1
3. Susanto J.C, Mexitalia M, Nasar S. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas. Dalam: Syarif D, Lestari E, Mexitalia M, Nasar S,
penyunting. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik jilid 1
cetakan I. Jakarta: IDAI.2011;128 – 45
4. Yaszero. Epidemiologi Penanggulangan Marasmus
http://epiders.blogspot.com/2011/11/epidemiologi-penanggulangan-
marasmus.html
5. Yaszero. Mengenal Kwashiorkor
http://epiders.blogspot.com/2011/11/mengenal-kwashiorkor.html
6. Hidajat B, Irawan R, Hidjati S. Kurang Energi Protein (KEP)
http://pediatrik.com/pdt/07110-rswg255.html
7. Hidajat B, Irawan R, Hidjati S. Obesitas Pada Anak
http://www.pediatrik.com/isi03.php
8. Pudjiati A, Hegar B, Hendryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E, et
al. Pedoman Pelayanan Medik Jilid 1. Jakarta: IDAI. 2010;183 – 87
9. World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta: WHO Indonesia. 2009. 193 – 221
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Petunjuk Teknis
Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I. Jakarta: Departemen Kesehatan.2009.
3
11. Barnes Lewis, Curran John. Nutrisi. Dalam: Wahab S, editor. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak jilid 1 Edisi 15. Jakarta: EGC. 2000;179 – 232
12. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit edisi 2. Jakarta: EGC. 2005;258 – 66
13. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. Jakarta:
FKUI.2007;360 – 69
14. Lailani D, Hakimi. Pertumbuhan Fisik Anak Obesitas. Dalam: Sari Pediatri
Volume 5. 2003; 99 – 102
15. Lubis N, Marsida A. Penatalaksanaan Busung Lapar pada Balita. Aceh
Timur: Bagian IKA RSU Langsa.2002;12

Anda mungkin juga menyukai