Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban

sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah

usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of

membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau

preterm premature rupture of membranes (PPROM) (POGI, 2016). Ketuban

Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih kontroversial dalam ilmu

Kedokteran. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu

berubah. KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan

morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang

cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan

karena kematian akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena

partus tak maju, partus lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada

pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif.

Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya

yang cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada

sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm1 dan PPROM terjadi pada terjadi pada

sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar.

PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3 dari semua kelahiran prematur,

yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun 1981 (American College of

Obstetrics and Gynecology, 2007). Dapat diprediksi bahwa ahli obstetri akan

pernah menemukan dan melakukan penanganan kasus KPD dalam karir kliniknya.

1
2

Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003,

angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307 per 1000 kelahiran hidup atau setiap

jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal karena berbagai sebab. Salah satu

penyebab langsung kematian ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam

100.000 kelahiran hidup dan KPD merupakan penyebab paling sering

menimbulkan infeksi pada saat mendekati persalinan (Manuaba, 2004). Prevalensi

KPD berkisar antara 3-18 % dari seluruh kehamilan. Saat kehamilan aterm, 8-10

% wanita mengalami KPD dan 30-40 % dari kasus KPD merupakan kehamilan

preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. KPD diduga dapat berulang

pada kehamilan berikutnya. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko

morbiditas pada ibu maupun janin (Pitkin et al, 2003).

Pada praktiknya manajemen KPD saat ini sangat bervariasi. Manajemen

bergantung pada pengetahuan mengenai usia kehamilan dan penilaian risiko

relatif persalinan preterm versus manajemen ekspektatif. Seiring dengan

berkembangnya pengetahuan dan bertambah pemahaman mengenai risiko-risiko

serta faktor-faktor yang mempengaruhi (POGI, 2016).


3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda

persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadinya inpartu. Sebagian besar

ketuban pecah dini adalah hamil aterm diatas 37 minggu, sedangkan di bawah 36

minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2001). Menurut Achadiat (2004), Ketuban

pecah dini (KPD) ialah suatu keadaan dimana selaput ketuban pecah pada

kehamilan yang telah viabel dan 6 jam setelah itu tidak diikuti terjadinya

persalinan atau biasa disebut dengan Premature Rupture of Membrane (PROM).

POGI 2016 menyebutkan bahwa Ketuban pecah dini (KPD) ialah pecahnya

selaput ketuban sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi

pada atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature

rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD

preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


 Etiologi

Menurut Manuaba (2001), faktor penyebab KPD yakni: sosial ekonomi,

keturunan seperti kelainan genetik dan defisiensi Gizi, faktor obstetrik meliputi

overdistensi uterus, kehamilan ganda, hidramnion, serviks inkompeten,

sefalopelvik disproporsi, grandemultipara, kelainan letak, dan pendular abdomen.


4

Prawirohardjo (2011), mengatakan Patogenesis KPD berhubungan dengan hal-

hal berikut:

1. Adanya hipermotilitis rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban

pecah dini. Penyakit-penyakit seperti pielonefritis, sistitis, sevisitis, dan

vaginitis terdapat bersama-sama dengan hipermotilitas rahim ini.


2. Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban)
3. Infeksi (amnionitis atau koroamnionnitis)
4. Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah: multifara,malposisi,

servik inkompeten,dan lain-lain.


5. Ketuban pecah dini artificial (amniotomi),di mana berisi ketuban

dipecahkan terlalu dini.

 Faktor Risiko Ibu Bersalin Dengan Ketuban Pecah Dini

Berbagai faktor risiko berhubungan dengan KPD, khususnya pada kehamilan

preterm. Pasien berkulit hitam memiliki risiko yang lebih tinggi bila

dibandingkan dengan pasien kulit putih. Pasien lain yang juga berisiko adalah

pasien dengan status sosioekonomi rendah, perokok, mempunyai riwayat

infeksi menular seksual, memiliki riwayat persalinan prematur, riwayat

ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya, perdarahan pervaginam, atau

distensi uterus (misalnya pasien dengan kehamilan multipel dan

polihidramnion). Prosedur yang dapat berakibat pada kejadian KPD aterm

antara lain sirklase dan amniosentesis. Tampaknya tidak ada etiologi tunggal

yang menyebabkan KPD. Infeksi atau inflamasi koriodesidua juga dapat

menyebabkan KPD preterm. Penurunan jumlah kolagen dari membran


5

amnion juga diduga merupakan faktor predisposisi KPD preterm (Medina,

2006).

2.3 Epidemiologi

Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya

yang cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada

sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm1 dan PPROM terjadi pada terjadi pada

sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar.

PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3 dari semua kelahiran prematur,

yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun 1981 (American College of

Obstetrics and Gynecology, 2007). Dapat diprediksi bahwa ahli obstetri akan

pernah menemukan dan melakukan penanganan kasus KPD dalam karir kliniknya.

Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-

2003, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307 per 1000 kelahiran hidup atau

setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal karena berbagai sebab. Salah

satu penyebab langsung kematian ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam

100.000 kelahiran hidup dan KPD merupakan penyebab paling sering

menimbulkan infeksi pada saat mendekati persalinan (Manuaba, 2004). Prevalensi

KPD berkisar antara 3-18 % dari seluruh kehamilan. Saat kehamilan aterm, 8-10

% wanita mengalami KPD dan 30-40 % dari kasus KPD merupakan kehamilan

preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. KPD diduga dapat berulang

pada kehamilan berikutnya. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko

morbiditas pada ibu maupun janin (Pitkin et al, 2003).


6

2.4 Klasifikasi

1. KPD Preterm
Ketuban Pecah Dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti

dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+)

pada usia ˂37 minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm

adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai

kurang dari 34 minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan

ibu antara 34 minggu sampai kurang 37 minggu (). Definisi preterm

bervariasi pada berbagai kepustakaan, namun yang paling diterima

dan tersering digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu.


2. KPD pada Kehamilan Aterm
Ketuban Pecah Dini/ Premature Rupture Of Membranes (PROM)

adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan

vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia

kehamilan ≥ 37 minggu (Mercer, 2012).

2.5 Patofisiologi

Ketuban pecah dini dalam persalinan secara umum disebabkan oleh

kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada

daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban

inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.

Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraselular matriks.

Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas

kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.

Faktor risiko untuk terjadinya ketuban pecah dini adalah:


7

1) Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen;


2) Berkurangnya tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan

struktur abnormal karena antaralain, merokok.

Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang

dihambat oleh inhibitor jaringan spresifik dan inhibitor protease. Pada saat

mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah

pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran janin. Aktivitas

degradasi proteolitik ini meningkat pada saat menjelang persalinan. Pada penyakit

periodontitis di mana terdapat peningkatan MMP, cenderung terjadi ketuban pecah

dini.

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga

selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada

hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin.

Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban. Selain

itu, faktor yang paling sering menyebabkan ketuban pecah dini adalah factor

eksternal misalnya infeksi.


8

Gambar 2.1 Mekanisme reaksi inflamasi pada selaput ketuban

Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan proses biokimia yang terjadi

dalam kolagen matriks ektraseluler amnion, kotion, dan apoptosis membrane

janin. Membrane janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi, dan

peregangan selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti prostaglandin,

sitokinin, dan protein hormone yang merangsang aktivitas “matriks degrading

enzyme”.

Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan

retikuler korion dan trofoblas.Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen

dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin.

Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan

prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi

kolagen pada selaput korion / amnion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah

dan mudah pecah spontan.

Patofisiologi pada infeksi intrapartum :

1) Ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada hubungan langsung

antara ruang intraamnion dengan dunia luar.


2) Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan

penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang

intraamnion.
3) Mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin menjalar

melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal).


9

4) Tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan

dalam yang terlalu sering, dan sebagainya, predisposisi infeksi.

2.6 Diagnosis

Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm harus

meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi

janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua pemeriksaan

penunjang terbukti signifikan sebagai penanda yang baik dan dapat memperbaiki

luaran. Oleh karena itu, akan dibahas mana pemeriksaan yang perlu dilakukan dan

mana yang tidak cukup bukti untuk perlu dilakukan.

1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum)

KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi

adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui

waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi dan taksiran persalinan,

riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor risikonya. Pemeriksaan digital vagina

yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan

meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi

terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan

sebaiknya tidak menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk

menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah janin

(pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran serviks,

mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual. Dilatasi serviks

dan ada atau tidaknya prolap s tali pusat harus diperhatikan dengan baik. Jika

terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks


10

(satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai dengan

pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk

dikultur. Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan

lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak

dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH cairan

amnion biasanya ~ 7,1-7,3 sedangkan sekret vagina ~ 4,5-6) dan cari arborization

of fluid (cairan yang terkumpul) dari forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat

adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit,

kecuali jika terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi

bukan kepala yang datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital

vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali pusat.

Tabel 2.1 Diagnosis Cairan Vagina

Gejala dan tanda selalu Gejala dan tanda kadang- Diagnosis

ada kadang ada kemungkinan


Ketuban pecah tiba-tiba

Keluar cairan ketuban Cairan tampak di introitus Ketuban pecah dini

Tidak ada his dalam 1 jam


Riwayat keluar cairan
Cairan vagina berbau
Uterus nyeri
Demam/ menggigil Amnionitis
Denyut jantung janin cepat
Nyeri perut
Perdaraham pervaginam sedikit
Cairan vagina berbau Gatal Vaginitis/ servisitis
11

Keputihan
Tidak ada riwayat
Nyeri perut
ketuban pecah
Dysuria
Nyeri perut

Cairan vagina berdarah Gerak janin berkurang Perdarahan antepartum

Perdarahan banyak
Pembukaan dan pendataran
Cairan berupa darah Awal persalinan aterm
serviks
lendir atau preterm
Ada his

2) Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai

indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan

amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya

pertumbuhan janin terhambat (PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah

sangatlah besar, walaupun normalnya volume cairan ketuban tidak menyingkirkan

diagnosis. Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai taksiran berat janin, usia

gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital janin.

3) Pemeriksaan laboratorium

Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan

kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika diagnosis

KPD aterm masih belum jelas setelah menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin

dan tes fern, dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan seperti insulin-like growth

factor binding protein-1 (IGFBP-1) sebagai penanda dari persalinan preterm,

kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina terbukti memiliki sensitivitas yang
12

rendah. Penanda tersebut juga dapat dipengaruhi dengan konsumsi alkohol. Selain

itu, pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan vagina

tidak memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm.

2.7 Penatalaksanaan

Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen

aktif dan ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan

pendekatan tanpa intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk

lebih aktif mengintervensi persalinan. Berikut ini adalah tatalaksana yang

dilakukan pada KPD berdasarkan masing-masing kelompok usia kehamilan

(POGI, 2016).

A. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu

Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm

didapatkan bahwa morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia

dan takipnea transien lebih besar apabila ibu melahirkan pada usia tersebut

dibanding pada kelompok usia lahir 36 minggu.

B. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu.

Pada usia kehamilan antara 30-34 minggu, persalinan lebih baik

daripada mempertahankan kehamilan dalam menurunkan insiden

korioamnionitis Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu

Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan

kehamilan akan meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis. Pada

saat ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan lebih

buruk dibanding melakukan persalinan (POGI, 2016).


13

2.7.1 Penatalaksanaan Konservatif

Yang dilakukan pada saat pasien lebih dianjurkan untuk mempertahankan

kehamilannya yaitu:

1. MRS

2. Memberikan antibiotik (Ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak

tahan ampisilin)

3. Jika UK >32-34 minggu, maka akan dirawat selama ketuban masih keluar

hingga ketuban tidak keluar lagi.

4. Jika UK 32-37 minggu, belum inpartu dan tidak ada infeksi, serta tes busa

negatif, maka diberikan deksametason, lalu diobservasi ada tidaknya tanda

infeksi dan kesejahteraan janin, dan direncanakan terminasi saat UK 37

minggu. Namun jika sudah inpartu, maka diberikan tokolitik (salbutamol),

deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. Di lain sisi jika terdapat

infeksi, maka diberikan antibiotik dan dilakukan induksi.

5. Nilai tanda infeksi (suhu, leukosit, dan tanda-tanda infeksi intrauterin)

6. Jika UK 32-34 minggu. Diberikan kortikosteroid untuk memacu

pematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan

spingomielin tiap minggu. Dosis deksametason 12 mg/24 jam dosis

tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg tiap 6 jam sebanyak 4 kali

(Saifuddin dkk, 2009)

Pada KPD yang memanjang (>24 jam) antibiotik profilaksis disarankan

pada kejadian KPD preterm karena dapat menurunkan secara signifikan dari

korioamnionitis sehingga mengurangi morbiditas maternal dan neonatal dengan

menunda kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan
14

kortikosteroid prenatal. Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat

menyebabkan neonatal necrotizing enterocolitis sehingga antibiotik ini tidak

disarankan. Pemberian eritromisin atau penisilin adalah pilihan terbaik.14

Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan digunakan bila KPD memanjang (>

24 jam) dan pasien sebaiknya tetap dalam perawatan sampai berada dalam fase

aktif (POGI, 2016):

Gambar 2.2 Antibiotik pada KPD yang memanjang

2.7.2 Penaktalaksanaan Aktif pada KPD

Pada kehamilan ≥ 37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun

demikian, jika pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai. Lamanya

waktu 9 manajemen ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien dan keputusan

dibuat berdasarkan keadaan per individu. Induksi persalinan dengan prostaglandin

pervaginam berhubungan dengan peningkatan risiko korioamnionitis dan infeksi

neonatal bila dibandingkan dengan induksi oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih

dipilih dibandingkan dengan prostaglandin pervaginam untuk induksi persalinan

pada kasus KPD (POGI, 2016).

Kemajuan pada pelayanan maternal dan manajemen PPROM pada batas

yang viable dapat mempengaruhi angka survival; meskipun demikian untuk

PPROM <24 minggu usia gestasi morbiditas fetal dan neonatal masih tinggi.

Konseling kepada pasien untuk mengevaluasi pilihan terminasi (induksi


15

persalinan) atau manajemen ekspektatif sebaiknya juga menjelaskan diskusi

mengenai keluaran maternal dan fetal dan jika usia gestasi 22-24 minggu juga

menambahkan diskusi dengan neonatologis (POGI, 2016).

Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD preterm telah

dibuktikan manfaatnya. Kortikosteroid antenatal dapat menurunkan risiko

respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikkular dan enterokolitis

nekrotikan, dan mungkin dapat menurunkan kematian neonatus (POGI, 2016).

Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan. Tiga uji

teracak 235 pasien dengan KPD preterm melaporkan bahwa proporsi wanita yang

tidak melahirkan 10 hari setelah ketuban pecah dini tidak lebih besar secara

signifikan pada kelompok yang menerima tokolisis.

Jika dirangkumkan, penatalaksaan aktif pada KPD adalah sebagai berikut:

1. Jika UK >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal lakukan seksio

sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50 ug intravaginal tiap 6 jam

maksimal 4 kali.

2. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan

diakhiri. Jika skor pelvik <5, maka dilakukan pematangan serviks,

kemudian diinduksi. Jika gagal maka dilakukan seksio sesarea. Jika skor

pelvik >5, induksi persalinan dan dilahirkan secara pervaginam (Saifuddin

dkk, 2009).
16

Berikut adalah obat-obatan yang boleh digunakan pada KPD:

Tabel 2.3 obat-obatan yang aman digunakan pasien dengan KPD


Jika dirangkumkan, berikut adalah gambaran algoritma penanganan KPD:
17

Gambar 2.2 Algoritma Manajemen Ketuban Pecah Dini


18

2.8 Komplikasi

1. Persalinan Prematur.

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode

laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi

dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu

persalinan dalam 24 jam.Pada kehamilan kurang dari 26 minggu

persalinan terjadi dalam 1 minggu.

2. Infeksi

Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini.Pada ibu

terjadi korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia,

omfalitis.Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.Pada

Ketuban Pecah Dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara

umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini meningkat

sebanding dengan lamanya periode laten.

Komplikasi Ibu:

- Endometritis
- Penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia)
- Sepsis (daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat

banyak)
- Syok septik sampai kematian ibu.
Komplikasi Janin
- Asfiksia janin
- Sepsis perinatal sampai kematian janin.
19

Gambar 2.3 .Infeksi intrauterin progresif pasca PPROM

3. Hipoksia dan Asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali

pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara

terjadinya gawat janin dan oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban,

janin semakin gawat.

4. Sindrom Deformitas Janin

Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan

janin terhambat, kelainan disebabkan oelh kompresi muka dan anggota

badan janin serta hipoplasi pulmonary.

Gambar 2.4. Deformitas Janin


20

2.9 Pencegahan

Pada pasien perokok, diskusikan tentang pengaruh merokok selama

kehamilan usaha untuk menghentikan, motivasi untuk menambah berat badan

yang cukup selama hamil, anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada

trimester akhir (Soewarto, 2014).

2.10 Prognosis

Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :

 Usia kehamilan

 Adanya infeksi / sepsis

 Factor risiko / penyebab

 Ketepatan Diagnosis awal dan penatalaksanaan

Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat kehamilan,

lebih sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi yang lahir

antara 34 dan 37 minggu mempunyai komplikasi yang tidak serius dari kelahiran

premature (Suwarto, 2014).


21

BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetrik

berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi

korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas

perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.

Beberapa peneliti melaporkan insidensi KPD berkisar antara 8 – 10 % dari

semua kehamilan. Hal ini menunjukkan, KPD lebih banyak terjadi pada

kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %,

sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm

terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur.

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih

kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih

belum ada, selalu berubah. Protokol pengelolaan yang optimal harus

mempertimbangkan adanya infeksi dan usia gestasi serta faktor-faktor lain seperti

fasilitas serta kemampuan untuk merawat bayi yang kurang bulan. Meskipun tidak

ada satu protokol pengelolaan yang dapat untuk semua kasus KPD, tetapi harus

ada panduan pengelolaan yang strategis, yang dapat mengurangi mortalitas

perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat baik pada anak maupun

pada ibu.
22

Gambar 2.5 Algoritma Manajemen Ketuban Pecah Dini


23

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, 2004, Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi, Jakarta: EGC.

American College of Obstetrics and Gynecology, 2007, ACOG Practice Bulletin

No. 80: Premature rupture of membranes. Clinical management guidelines

for obstetrician- gynecologists. Obstet Gynecol. Apr; 109 (4) :1007-19.

Angelini DJ, Afontaine D. Obstetric triage and emergency care protocols.

Academic Emergency Medicine. Volume 20, Issue 4, page E10, April 2013.

New York, NY: Springer Publishing Co., 2013; 336.

Caughey AB, Robinson JN, Norwitz ER, Contemporary diagnosis and

management of preterm premature rupture of membranes. Rev Obstet

Gynecol, 2008, Winter; Vol.1(1): Pp 11-22.

Manuaba IBG, 2001, Kapita Selekta penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi

dan KB, Jakarta:EGC.

Manuaba IBG, 2004, Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi.

Edisi ke-2. Jakarta: EGC; Hal.73

Manuaba IBG, Chandranita M, Fajar M, 2012, Buku Ajar Patologi Obstetri untuk

mahasiswa kebidanan, Jakarta:EGC.

Medina TM, Hill DA, Preterm Premature Rupture of Membranes: Diagnosis and

Management, Am Fam Physician, 2006 Feb, Vol.15;73(4): Pp 659-664.

Mercer B, Antibiotics in the management of PROM and preterm labor, Obstet

Gynecol Clin North Am, 2012 Mar; 39(1): Pp 65-76.


24

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016, Pedoman Nasional

Pelayanan Kedokteran Ketuban Pecah Dini, Jakarta: Penerbit POGI

Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA, 2003, Obstetrics and Gynaecology, USA:

Elsevier Science Limited; Hal.19.

Royal Hospital for Women. Obstetric clinical guidelines group: preterm premature

rupture of membranes assessment and management guideline. 2009 Oktober.

Diunduh dari seslhd.health.nsw.gov.au pada 24 Agustus.

Royal Hospital for Women. Obstetric clinical guidelines group: preterm premature

rupture of membranes assessment and management guideline. 2009 Oktober.

Diunduh dari seslhd.health.nsw.gov.au pada 24 Agustus.

Soewarto S, 2014, Ketuban Pecah Dini. Dalam: Winkjosastro H., Saifuddin A.B.,

dan Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Hal. 677-680.

Saifudin, Abdul B. 2009. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &

Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Torbé AI, Kowalski K. Maternal serum and vaginal fluid C-reactive protein levels

do not17 predict early-onset neonatal infection in preterm premature rupture

of membranes. J Perinatol. 2010 Oct;30(10):655-9. doi: 10.1038/jp.2010.22.

Epub 2010 Mar 4.

Varney H, 2003, Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Jakarta.


25

Vogel I, Grønbaek H, Thorsen P, Flyvbjerg A. Insulin-like growth factor binding

protein 117 IGFBP-1) in vaginal fluid in pregnancy. In Vivo. 2004 Jan-

Feb;18(1):37-41.

Women and Newborn Health Service. King Edward Memorial Hospital. Clinical

Guidelines Obstetrics and Midwifery Guidelines. Septem ber 2002.

www.kemh.health.wa.gov.au/development/manuals/O&G_guidelines/sectio

nb/2/5172.pdf

Anda mungkin juga menyukai