DISUSUN OLEH
KELAS B2-3
Dosen Pengampu
SURAKARTA
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
I. Definisi
Penyakit Kelamin (veneral disease) sudah lama dikenal di Indonesia. Dengan
semakin majunya ilmu pengetahuan istilah tersebut sudah tidak digunakan lagi dan dirubah
menjadi SexuallyTransmitted Disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS). Sejak
tahun 1998, istilah STD berubah menjadi Sexually TransmittedInfection (STI) agar dapat
menjangkau penderita asimptomatik.
Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan memlalui hubungan
seksual, yang popular disebut penyakit kelamin. Semua tehnik hubungan seks – lewat
vagina, dubur atau mulut – bisa menjadi wahana penularan penyakit kelamin. Baik laki-laki
maupun perempuan bisa beresiko tertular penyakit kelamin. Perempuan beresiko lebih besar
untuk tertular karena bentuk alat reproduksi perempuan lebih rentan terhadap penularan IMS
Salah satu penyakit menular seksual adalah urethritis dan herpes genitalis. Uretritis
adalah peradangan pada uretra dan dibedakan menjadi Uretritis Gonokokus (UG) dan
Uretritis non Gonokokus (UNG). Gonore merupakan penyakit yang mempunyai insidens
yang tinggi di antara IMS. UNG yaitu peradangan uretra yang disebabkan oleh kuman lain
selain gonokok. Gonore dalam arti luas mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh
Neisseria gonorheae. Herpes genital adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2). Tipe 1 biasa
ditemukan di daerah mulut (herpes oral) dan tipe 2 disebut herpes genital. Herpes ditularkan
melalui kontak kulit dengan seseorang yang mengidap virus, termasuk kontak dengan kulit
yang terinfeksi sewaktu melakukan seks.
II. Etiologi
Berbagai varietas pathogen yang ditularkan dengan kontak seksual diantaranya yitu :
a. Bakteri, yaitu Neisseria gonorrhoeae, Treponemapallidum, Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealyticum,Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, Salmonella sp,
Shigellasp, Campylobacter sp, Streptococcus group B, Mobiluncus sp.
b. Chlamidyal yaitu Chlamidial trachomatis, Chlamidial trachomatis tipe L
c. Protozoa, yaitu Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia.
d. Viral yaitu, Human Immunodeficiency Virus(tipe 1 dan2), Herpes Simplex Virus (tipe 1
dan 2), Human papiloma Virus,Cytomegalovirus, Epstein-barr virus, Molluscum
contagiosum virus.
e. Parasitik yaitu, Phthirus pubis dan Sarcoptes scabei, enterobius vermicularis
III. Patofisiologi
a. Uretritis
b. Herpes Genital
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat terbentuk episode I infeksi primer
(inisial), episode I non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi
sama sekali. Pada episode I infeksi primer, virus yang berasal dari luar masuk ke dalam
tubuh hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes tersebut dan
mengadakan multiplikasi/ replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu
hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, hal ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada
daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut
saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis) dan menetap di sana serta
bersifat laten.
Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung, tetapi belum
menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya
episode I ini, kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer.
Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami
reaktivasi dan multiplikasi kembali, sehingga terjadilah infeksi rekurens. Pada saat ini dalam
tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik, sehingga kelainan yang timbul dan gejala
konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. Trigger factortersebut antara lain
adalah trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stress emosi,
kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid)
dan pada beberapa kasus sukar diketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat
mengenai terjadinya infeksi rekurens : (1). Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivasi
virus dalam ganglion dan virus akan turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang
dipersarafinya dan di sana akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulkan
lesi. (2). Virus secara terus menerus dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktor pencetus
ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekurens.
IV. Manifesti Klinik
IV.1. Gonorrhea
ekstragenital, baik yang menunjukan gejala maupun tanpa gejala sehingga spectrum presentasi
Infeksi yang paling umum terjadi adalah uretritis pada pria dan endo-servisitis pada
wanita. Pria dengan uretritis biasanya mengeluhkan discharge uretra pada sekitar 80% kasus
dan rasa terbakar saat berkemih sekitar separuh waktu. Meskipun sekitar 10% pasien dapat
asimtomatik pada saat diagnosis, banyak dari ini dianggap sebagai dalam tahap pra-gejala
gonorea. Masa inkubasi dari gonorea pada pria diperkirakan berkisar antara 1-57 haridengan
rata-rata 8,3 haridan rata-rata 5,8 hari sejak kontak. Wanita dengan servisitis terkadang
banyak wanita mengakui adanya discharge, tetapi tidak cukup bagi mereka untuk mencari
pengobatan (kasus oligosimptomatik). Infeksi genital asimptomatik lebih sering pada wanita
Yang termasuk dalam infeksi ini adalah infeksi dari anorektum, orofaring dan mata.
Proctitis, berhubungan dengan nyeri anorektal, tenesmus dan discharge dubur, merupakan
salah satu kompleks presentasi gonoreaano-rektal meskipun banyak infeksi tidak menunjukkan
gejala.Infeksi gonokokal faring jarang menunjukan gejala.Infeksi mata pada neonatus muncul
berupa konjungtivitis dengan discharge.Infeksi mata juga dapat terjadi pada orang
dewasa.Dalam kedua kelompok umur ini ada risiko pengembangan penyakit menuju
Manifestasi klinis dapat dipengaruhi oleh faktor hospes, pajanan terdahulu dari HSV,
episode terdahulu dan tipe virus.Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat
lebih lama.Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga asimtomatik, terutama bila
lesi ditemukan pada daerah servix.Pada penelitian retrospektif 50-70 % infeksi HSV-2 adalah
asimtomatik.
Biasanya didahului rasa terbakar dan gatal pada daerah lesi yang terjadi beberapa jam
sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi seperti malaise,
demam dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar
eritem.Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Tanpa infeksi sekunder,
penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut, tetapi
bila ada infeksi sekunder, penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan
jaringan parut.
Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama.Kelenjar limfe regional
dapat membesar dan nyeri pada perabaan.Infeksi di daerah servix dapat menimbulkan beberapa
perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multipel sampai terjadinya ulkus yang besar dan
nekrotik.Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan
memerlukan waktu yang cukup lama, dapat 2 sampai 4 minggu, sedangkan pada serangan
berikutnya, penyembuhan akan lebih cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi
disuria bila lesi terletak di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan retensi urin.
Hal lain yang menyebabkan retensi urin adalah lesi pada daerah sakral yang menimbulkan
Infeksi rekurens dapat terjadi dengan cepat/ lambat, sedangkan gejala yang timbul biasanya
lebih ringan, karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat. Seperti
telah disebutkan di atas, infeksi inisial dan rekurens selain disertai gejala klinis dapat juga tanpa
gejala.Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap HSV-2 pada orang yang
tidak ada riwayat penyakit herpes genitalis sebelumnya.Adanya antibodi terhadap HSV-1
menyebabkan infeksi HSV-2 lebih ringan.Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-2 berjalan
Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, corpus penis, dapat juga di
uretra dan daerah anal (para homoseks), sedangkan daerah skrotum jarang terkena.Lesi pada
wanita dapat ditemukan di daerah labia mayor/ minor, klitoris, introitus vaginae, servix;
sedangkan pada daerah perianal, gluteus dan mons pubis jarang ditemukan.Infeksi pada wanita
sering dihubungkan dengan servisitis, karena itu perlu dilakukan pemeriksaan sitologi secara
teratur.
V. Terapi farmakologi
1. Gonorrhea
Obat-obat yang digunakan sebagai terapi gonorrhoeae tergantung beberapa faktor,
yaitu :
Pola resistensi menurut areageografi maupun sub populasi.
Obat-obatan yang tersedia.
Efektivitas yang dikaitkan dengan harga obat.
Bila kemungkinan ada concomitant.
Terapi gonorrhoeae tanpa komplikasi
yaitu dapat diberikan antibiotik golongan Cephalosporin : Cefixime 400 mg per oral ;
Ceftriaxone 125 mg im. Golongan Quinolone : Ofloxacin 400 mg per oral ;
Ciprofloxacin 500 mg per oral. Spectinomycin : 2 gram IM. Semua diberikan dalam
dosis tunggal. Untuk Ciprofloxacin CDC menganjurkan untuk tidak diberikan pada area
geografi tertentu karena sudah resisten seperti Inggris, Wales, Kanada sedangkan Asia,
Kepulauan Pasifik, California dilaporkan masih peka dan sensitif.
Terapi gonorrhoeae dengan komplikasi
Yaitu Ciprofloxacin : 500 mg po per hari; Ofloxacin : 400 mg po perhari; Ceftriaxone :
125 mg im per hari; Spectinomycin : 2 gram im perhari.
2. Herpes genitalis
a. Tindakan profilaksis
Penderita diberi penerangan tentang sifat penyakitnya yang dapat menular terutama
bila sedang terkena serangan, karena itu sebaiknya melakukan abstinensia.
Proteksi individual. Digunakan 2 macam alat perintang, yaitu busa spermisidal dan
kondom. Kombinasi tersebut, bila diikuti dengan pencucian alat kelamin
menggunakan air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah transmisi herpes genitalis
hampir 100 % (RAAB dan LORINCZ, 1981). Busa spermisidal secara in
vitro ternyata mempunyai sifat virisidal dan kondom dapat mengurangi penetrasi
virus.
Faktor-faktor pencetus sedapat mungkin dihindari.
Konsultasi psikiatri dapat membantu karena faktor psikis mempunyai peranan untuk
timbulnya serangan.
b. Pengobatan non-spesifik
Rasa nyeri dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian analgetik, antipiretik dan
antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual.
Zat-zat pengering antiseptik seperti yodium povidon secara topikal mengeringkan
lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan.
Antibiotika atau Kotrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
c. Pengobatan spesifik
Khemoterapi antivirus memberikan manfaat klinis pada pasien yang simtomatik
dan merupakan pengelolaan yang utama. Sebagai tambahan, konsultasi dengan
memperhatikan riwayat herpes genital, penularan secara seksual dan perinatal, dan
metode untuk mengurangi penularan adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen
klinis.
Obat antivirus sistemik dapat mengontrol sebagian gejala dan tanda dari episode
herpes jika digunakan untuk mengobati episode klinis pertama dan episode kambuhan
atau jika digunakan sebagai terapi supresif secara harian. Akan tetapi obat-obatan ini
tidak dapat membunuh virus yang laten dan maupun mempengaruhi risiko, frekuensi
atau keparahan dari kekambuhan setelah obat dihentikan. Percobaan secara random
menunjukan bahwa 3 macam obat antivirus memberikan manfaat klinis untuk herpes
genital : acyclovir, valacyclovir dan famcyclovir. Valacyclovir merupakan ester L-
valin dari acyclovir dan meningkatkan absorbsi setelah pemberian oral. Famcyclovir
turunan dari pencyclovir juga mempunyai bioavalabilitas oarl yang tinggi. Terapi
topikal dengan obat antivirus memberikan manfaat klinis yang minimal dan
penggunaannya tidak direkomendasikan.
Riwayat Masuk RS :
Seorang pasien laki-laki mengalami nyeri pelvis, demam 4 hari dengan suhu 38-39 C, mual dan
muntah 5x sehari dan pusing, kesakitan bila BAK, Anuria, keluar lendir dan nanah dari alat
kelamin, pasien juga mengalami lesi-lesi pada mukosa kulit pemeriksaan serologi assay
terdeteksi adanya HSV1 dan HSV2.
Riwayat penyakit :
1) Riwayat Hepatitis B
2) Riwayat Hipertensi
3) Suspect CRD ( Chronic Renal Disease)
Diagnosa :
Urethritis (duh uretra)
STD (Sexual Transmitted Disease)
Herpes Genitalis
Kultur sekret
Jenis AB Kuman N gonorhe M genitalis
Ciprofloxacin S R
Penisilin S R
Amoksilin S S
Cefotaxim S S
Ceftriazon R S
Doksisiklin S S
ofloksasin S S
gatifloksasin R S
azitromisin S R
Riwayat Pengobatan :
Nama obat 1/8/13 2/8/13 3/8/13
Infus RL 20 tpm √ √ √
Sistenol tab 3x1 √ √ √
Acyclovir tablet √ √ √
200
mg 3x1
Cefotaxim inj 1 √ √ √
gram
3x1
Azihtromisin 500 √ √ √
mg
1x1
Ranitidine inj 2x1 √ √ √
HP pro kaps √ √ √
Parolit ad lib √ √ √
Perkembangan
penyakit
I. IDENTITAS PASIEN
Nama :bapak W No rekammedik :-
Usia : 33 tahun Dokterygmerawat :-
Alamat :- Agama :-
Tempt/tgllahir :- Status :-
Ras :- Sosial :-
Pekerjaan : swasta
Kegiatan
Polamakan/diet
- rendahkarbohidrat Ya /tidak
MeminumAlkohol Ya/tidak
Obyektif
1. adanya HSV 1 dan HSV 2
2. BB/TB : 45 kg/ 154 cm
Diagnosis
1. Urethritis
2. STD (Sexual Transmitted Disease)
3. Herpes Genitalis
OBAT YANG DIGUNAKAN SAAT INI
Rute
No Namaobat Indikasi Dosis Pemberia Interaksi ESO Outcome Terapi
n
1 Sistenol tab Untuk demam dan 3x sehari 1 Oral - Jarang menunjukan efek Suhu badan
3x1 nyeri tablet samping, reaksi alergi, normal
mual
2 Acyclovir Inveksi virus Herpes 200 mg 3x Oral - Kerusakan ginjal, Herpes teratasi
tablet sehari 1
tablet hepatitis,
3 Cefotaxim Menangani infeksi 1 gram 3 x Intravena - Diare, demam, ruamkulit, Mengatasi infeksi
inj akibat bakteri N sehari 1 tablet pusing bakteri
gonorhea dan M
genitalis
4 Azihtromisi Menangani infeksi 500 mg 1 x Oral - pankreatitis, hepatitis, Mengatasi infeksi
n akibat bakteri N sehai 1 tablet syncope, pusing, sakit bakteri
gonorhea dan M kepala, mengantuk,
genitalis agitasi, ansietasgagal
ginjal akut
5 Ranitidine Menuunan sekresi 2 x sehari 1 intravena - Skit kepala, agitasi depresi Tidak nyeri
inj 2x1 asam lambung tablet lambung
mentaal, halusinasi,
insomnia, vertigo.
6 HP pro kaps Suplemen hati untuk 200 mg 1 x Oral - - Pemeliharaan
pemeliharaan sehari 1 tablet fungsi hati
Hepatitis kronik
7 Parolit Mencegah dan ad lib Oral - - Mengembalikan
mengobati dehidrasi cairan elektrolit
ASSESMENT
(antipiretik) danN-
Azihtromisin dikontraindikasikan
Azihtromisin
Terapifarmakologi
1. Pemberian infus RL (ringer laktat) tetapdilanjutkan. Pemberian parolit dihentikan, karena
pemberian infus RL sudah cukup untuk mengganti cairan
2. Sistenol tab 3 x sehari 1 tablet, pemberiannya sudah tepat
3. Domeperidon 10 mg 3 x sehari dapat diberikan untuk mengurangi mual dan muntah
4. Obat Acyclovir 400 mg secara oral 3 x sehari 1 tablet tetap digunakan sebagai terapi herpes
genetalis, selama 7-10 hari.
5. Cefotaxim inj 1 gram 3x sehar 1 tablet, diberikan untuk terapi terhadap Infeksibakteri M
gonorrhea dan M genitalis. Dari hasil kultur menunjukan kedua kuman masih sensitif
dengan cefotaxim.
Pemberian azitromicin tidak disarankan karena sudah tidak sensitif dengan salah satu
bakteri, azitroicin juga tidak disarankan diberikan untuk pasien gagal ginjal dan hati.
6. Ranitidine injeksi 2 x 1tetap digunakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya stress
ulcer akibat terapi selama di RS yang dapat berpotensi meningkatkan produksi asam
lambung yang dapat memicu mual muntah.
7. Hp pro diindikasikan untuk terapi pemeliharaan hepatitis
Terapi non farmakologi.
1) Minum banyak air terutama selama terapi acyclovir untuk mencegah terjadinya
presipitasi asiklovir dalam tubulus ginjal yang disebabkan oleh dehidrasi
2) Penyuluhan dan pemeriksaan pada kelompok risiko tinggi. partner seksual penderita
IMS, terutama bagi suami/pasangan perlu dilakukan pemeriksaan karena penyakit ini
merupakan penyakit infeksi menular salah satunya akibat hubungan seksual.
3) Pada saat timbulnya infeksi hindari hubungan seksual dan jaga agar lesi tetap bersih dan
kering. Selalu cuci tangan sebersih mungkin setiap kali brsentuhan dengan lesi. Dan
hubungan seksual harus dihindari hingga semua lesi sembuh total.
4) Untuk suami/pasangan dianjurkan untuk pemeriksaan pap smear periodic untuk
mendeteksi adanya tanda-tanda dini infeksi herpes simpleks.
MONITORING
1. Monitoring outcome terapi, apakah pengobatan yang diberikan sudah tepat (berhasil) atau
belum (gejala masih menetap).
2. Monitoring suhu tubuh pasien secara berkala.
3. Monitoring kondisi hematologi pasien (Hb, Hct, dan leukosit).
4. Monitoring kultur bakteri, pastikan hingga kultur bakteri (-).
.
KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI
1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita, bahwa pasien menderita
infeksi gonorrhoe dan herpes genitalis yang dapat menular ke pasangan (suami), sehingga
perlu pencegahan kepada suami agar tidak tertular.
2. Pasien harus patuh dalam meminum obat, karena infeksi gonorrhoe harus diobati sampai
tuntas agar tidak menular ke pasangan dan tida membahayakan janin yang dikandung.
3. Untuk sementara jangan melakukan kontak/hubungan seksual, sampai infeksi sudah
benar-benar sembuh, dapatdilakukan denganpemeriksaansecara berkalakulturbakteri.
4. Obat mual muntah yaitu Ondansetron hanya digunakan 1 kali sehari dan bila perlu, jika
sudah tidak mual muntah maka dihentikan.
5. Menjaga kebersihan organ intim, agar tidak menyebabkan infeksi datang kembali.
6. Mengobati sendiri cukup berbahaya
7. IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual.
8. IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV.
9. IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas.
10. Kondom dapat melindungi diri dari infeksi IMS dan HIV.
11. Tidak dikenal adanya pencegahan primer terhadap IMS dengan obat.
12. Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dipiro et al. 2014. Pharmoceterapy a Phatofisiology Aproach 9th editon,
McGraw Hill Companies, Manufactured in the United States of America.
2. Dipiro et al. 2005. Pharmoceterapy a Phatofisiology Aproach 6th editon,
McGraw Hill Companies, Manufactured in the United States of America.
3. Behrman AJ. Shoff W.H. 2009. Gonorrhea, University of Pennsylvania.
4. Daili SF. 2009. Pemeriksaan Klinis pada Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F.,
et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI
5. DepKes RI. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil dan Menyusui.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Bakti Husada.
6. Ernawati. Uretritis Gonore. Fakultass Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
Surabaya.
7. Hakim, L., 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al.,
Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 3-16.
8. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.Bakti Husada.
9. Gouverment Western Australia. King Edward Memorial Hospital.
10. Price SA, Wilson LMC. Pathophysiology Clinical Concept of Disease Processes.
Edisi 6.2002: p. 1336-7.
11. Priyanto. 2008. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Penerbit: Leskonfi.