Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

“ANEMIA”

Disusun oleh:

KELOMPOK 7 & 8

Bernadeta Dwi Kumala (B1701046) Amirudin (B1701042)


Ika wahyu jati (B1701054) Andri agus k (B1701043)
Lina widyawti (B1701059) Anjar rokhani (B1701045)
Nanik hartini (B1701063) Emi kusrini (B1701050)
Novianti endah andayani (B1701064) Kristya suryani (B1701057)
Nurul faizah isnaniningtyas (B1701065) Yohana eko y (B1701072)
Siti farkanah (B1701068) Fatkhuroji (B1701075)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN ALIH JALUR


STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Anemia adalah suatu istilah yang menunjukkan rendahnya sel darah merah
dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Anemia bukan merupakan
penyakit, melainkan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh.
Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan. Anemia defisiensi besi merupakan masalah umum
dan luas dalam bidang gangguan gizi di dunia. Kekurangan zat besi bukan satu-satunya
penyebab anemia.
Secara umum penyebab anemia yang terjadi di masyarakat adalah kekurangan zat
besi. Prevalensi anemia defisiensi besi masih tergolong tinggi sekitar dua miliar atau
30% lebih dari populasi manusia di dunia.Prevalensi ini terdiri dari anak anak,
wanita menyusui, wanita usia subur, dan wanita hamil di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia (WHO, 2011).
Zat besi merupakan salah satu mikronutrien terpenting kehidupan anak.
Kekurangan atau defisiensi besi yang berat akan menyebabkan anemia atau kurang
darah. Di dunia, defisiensi besi terjadi pada 20-25% bayi. Di Indonesia, ditemukan
anemia pada 40,5% balita, 47,2% usia sekolah, 57,1% remaja putri, dan 50,9% ibu
hamil. Penelitian pada 1000 anak sekolah yang dilakukan oleh IDAI di 11 propinsi
menunjukkan anemia sebanyak 20-25%. Jumlah anak yang mengalami defisiensi besi
tanpa anemia tentunya jauh lebih banyak lagi.
Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang rentan masalah gizi
terutama anemia defisiensi besi. Wanita hamil berisiko tinggi mengalami anemia defisiensi
besi karena kebutuhan zat besi meningkat secara signifikan selama kehamilan. Pada
masa kehamilan zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh lebih banyak dibandingkan saat
tidak hamil menginjak triwulan kedua sampai dengan triwulan ketiga. Pada triwulan
pertama kehamilan, kebutuhan zat besi lebih rendah disebabkan jumlah zat besi yang
ditransfer ke janin masih rendah (Waryana, 2010).
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),prevalensi anemia
defisiensi besi pada ibu hamil sebesar 63,5% tahun 1995,turun menjadi 40,1% pada
tahun 2001, dan pada tahun 2007 turun menjadi24,5% (Riskesdas, 2007). Angka
anemia defisiensi besi ibu hamil di Indonesia masih tergolong tinggi walaupun terjadi
penurunan pada tahun 2007. Keadaan ini mengindikasikan bahwa anemia defisiensi besi
menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2010). Kekurangan zat besi akan berisiko
pada janin dan ibu hamil sendiri. Janin akan mengalami gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan, baik seltubuh maupun sel otak. Selain itu, mengakibatkan kematian
pada janin dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, dan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR)(Waryana, 2010).
Pada ibu hamil, anemia defisiensi besi yang berat dapat menyebabkan kematian
(Basari, 2007). Anemia defisiensi besi menyebabkan turunnya daya tahan tubuh
damembuat penderita rentan terhadap penyakit. Kekurangan zat besi pada kehamilan
memiliki konsekuensi negatif bagi bayi yaitu terjadi gangguan perkembangan kognitif
bayi serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu.
Upaya pemerintah dalam mengatasi anemia defisiensi besi ibu hamilyaitu terfokus
pada pemberian tablet tambahan darah (Fe) pada ibu hamil. Departemen Kesehatan masih
terus melaksanakan progam penanggulangan anemia defisiensi besi pada ibu hamil
dengan membagikan tablet besi atau tablet tambah darah kepada ibu hamil sebanyak
satu tablet setiap satu hari berturut-turut selama 90 hari selama masa kehamilan (Depkes
RI, 2010).
Tablet besi selama kehamilan telah direkomendasikan untuk wanita di negara
berkembang karena biasanya tidak ada perubahan mendasar yang terjadi dalam
komposisi diet. Program penanggulangan anemia melalui pemberian tablet besi pada ibu
hamil telah dilaksanakan sejak tahun1975 tetapi kenyataannya prevalensi anemia defisiensi
ibu hamil di Indonesia masih tinggi (Hadi, 2001).
Salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya anemia defisiensi besi pada
ibu hamil adalah rendahnya kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi.
Sebanyak 74,16% ibu hamil dinyatakan tidak patuhdalam mengkonsumsi tablet besi
dengan responden sebanyak 89 ibu hamil(Indreswari, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan ibu hamil dalam
mengkonsumsi tablet besi antara lain pengetahuan, sikap, danefek samping dari tablet
besi yang diminumnya. Faktor yang seringdikemukakan oleh ibu hamil ialah
pernyataan “lupa” untuk meminum tablet besi (Purwaningsih dkk, 2006).
Berdasarkan masalah diatas maka dalam makalah ini akan dibahas tentang berbagai
faktor yang mempengaruhi terjadi nya Anemia Defisiensi Zat Besi dan pencegahan untuk
mengatasinya.

B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami tentang :
1. Pengertian Anemia.
2. Klasifikasi Anemia
3. Penyebab Anemia.
4. Batas Nilai Kadar Hemoglobin
5. Epidemiologi Anemia.
6. Gejala dan tanda anemia
7. Pencegahan Anemia.
8. Cara pengobatan Anemia.
9. Dampak Anemia

C. Manfaat penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan yaitu :
1. Mampu mengetahui tentang pengertian Anemia.
2. Mampu mengetahui tentang klasifikasi Anemia
3. Mampu mengetahui tentang penyebab Anemia.
4. Mampu mengetahui Batas Nilai Kadar Hemoglobin
5. Mampu mengetahui tentang epidemiologi Anemia.
6. Mampu mengetahui tentang gejala dan tanda anemia
7. Mampu mengetahui tentang pencegahan Anemia.
8. Mampu mengetahui tentang cara pengobatan Anemia.
9. Mampu mengetahui tentang Dampak Anemia

BAB II
PEMBAHASAN

A. PengertianAnemia
Anemia merupakan kondisi kurangnya sel darah merah (eritrosit) dalam tubuh
seseorang. Anemia dapat terjadi karena kurangnya haemoglobin yang berarti juga
minimnya oksigen ke seluruh tubuh. Apabila oksigen dalam tubuh berkurang maka
orang tersebut akan menjadi lemah, lesu dan tidak bergairah. Indikasinya penyakit ini
bisa diketahui dengan memeriksa kelopak mata bawah bagian dalam, ujung kuku, tangan
dan kaki, jari-jari tangan dan mukosa mulut.
Menurut WHO (1997) seseorang dinyatakan anemia bila kadar hemoglobin pada
laki-laki dewasa < 13 g/dl, pada anak umur 12-13 dan wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl,
pada umur 6 bulan sampai 5 tahun dan wanita hamil < 11 g/dl. Pada anak umur 5-11 tahun
dinyatakan anemia bila kadar hemoglobin < 11.5 g/dl. Anemia dalam kehamilan paling
sering dijumpai adalah anemia akibat kekurangan zat besi (Fe). Kekurangan ini dapat
disebabkan karena kurang intake unsur zat besi ke dalam tubuh melalui makanan,
karena gangguan absorbsi, gangguan penggunaan atau terlalu banyak zat besi yang
keluar dari badan, misalnya pada perdarahan. Keperluan zat besi akan bertambah dalam
kehamilan, terutama dalam trimester II hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan
janin yang dikandung oleh ibu.
Anemia gizi adalah keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb), hematokrit,
dan sel darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah satu
atau beberapa unsur makanan yang esensial. Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi
zat besi, asam folat, dan/atau vitamin B12.
B. Klasifikasi Anemia
Berdasarkan penyebab terjadinya anemia, secara umum anemia dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya
cadangan besi tubuh, sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang
yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi
dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi serta
kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Anemia jenis ini merupakan anemia
yang paling sering terjadi. Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi,
sehingga cadangan besi makin menurun. Apabila cadangan kosong, maka
keadaan ini disebut iron depleted state. Jika kekurangan besi berlanjut terus maka
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga dapat menimbulkan
anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada
beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan
faring serta berbagai gejala lainnya.
Gejala yang khas pada anemia jenis ini adalah kuku menjadi rapuh dan
menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok, gejala seperti ini disebut koilorika.
Selain itu, anemia jenis ini juga mengakibatkan permukaan lidah menjadi licin,
adanya peradangan pada sudut mulut dan nyeri pada saat menelan.Selain gejala
khas tersebut pada anemia defisiensi besi juga terjadi gejala umum anemia seperti
lesu, cepat lelah serta mata berkunang-kunang.
2. Anemia hipoplastik
Anemia hipoplastik disebabkan karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel-
sel darah baru. Penyebabnya belum diketahui, kecuali yang disebabkan oleh
infeksi berat (sepsis), keracunan dan sinar rontgen atau radiasi. Mekanisme
terjadinya anemia jenis ini adalah karena kerusakan sel induk dan kerusakan
mekanisme imunologis. Anemia jenis ini biasanya ditandai dengan gejala
perdarahan seperti petikie dan ekimosis (perdarahan kulit), perdarahan mukosa
dapat berupa epistaksis, perdarahan sub konjungtiva, perdarahan gusi,
hematemesis melena dan pada wanita dapat berupa menorhagia. Perdarahan organ
dalam lebih jarang dijumpai , tetapi jika terjadi perdarahan pada otak sering
bersifat fatal. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal jantung akibat anemia berat
dan kematian akibat infeksi yang disertai perdarahan.
3. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan defisiensi vitamin B12
dan asam folat. Anemia jenis ini ditandai dengan adanya sel megaloblast dalam
sumsum tulang belakang. Sel megaloblast adalah sel prekursor eritrosit dengan
bentuk sel yang besar.Timbulnya megaloblast adalah akibat gangguan maturasi
inti sel karena terjadi gangguan sintesis DNA sel-sel eritoblast akibat defiensi
asam folat dan vitamin B12 dimana vitamin B12 dan asam folat berfungsi dalam
pembentukan DNA inti sel dan secara khusus untuk vitamin B12 penting dalam
pembentukan myelin. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritoblast ini maka
maturasi inti lebih lambat, sehingga kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih
besar karena pembelahan sel yang lambat.Sel eritoblast dengan ukuran yang lebih
besar serta susunan kromatin yang lebih longgar disebut sebagai sel megaloblast.
Sel megaloblast ini fungsinya tidak normal, dihancurkan saat masih dalam
sumsum tulang sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih
pendek yang berujung pada terjadinya anemia.
Kekurangan asam folat berkaitan dengan berat lahir rendah, ablasio
plasenta dan Neural Tube Defect (NTD). NTD yang terjadi bisa berupa anensefali,
spina bifida (kelainan tulang belakang yang tidak menutup), meningo-ensefalokel
(tidak menutupnya tulang kepala). Kelainan-kelainan tersebut disebabkan karena
gagalnya tabung saraf tulang belakang untuk tertutup.Anemia defisiensi vitamin
B12 dan asam folat mempunyai gejala yang sama seperti terjadinya ikterus
ringan dan lidah berwarna merah. Tetapi pada defisiensi vitamin B12 disertai
dengan gejala neurologik seperti mati rasa.
4. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis adalah
penghancuran atau pemecahan sel darah merah sebelum waktunya. Hemolisis
berbeda dengan proses penuaan yaitu pemecahan eritrosit karena memang sudah
cukup umurnya. Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi dua
golongan besar yaitu anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri
(intrakorpuskular) yang sebagian besar bersifat herediter dan anemia hemolitik
karena faktor di luar eritrosit (ekstrakorpuskular) yang sebagian besar bersifat
didapatkan seperti malaria dan transfusi darah.
Proses hemolisis akan mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin yang akan
mengakibatkan anemia. Hemolisis dapat terjadi perlahan-lahan, sehingga dapat
diatasi oleh mekanisme kompensasi tubuh tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba sehingga
segera menurunkan kadar hemoglobin.Seperti pada anemia lainnya pada penderita
anemia hemolitik juga mengalami lesu, cepat lelah serta mata berkunang-kunang.
Pada anemia hemolitik yang disebabkan oleh faktor genetik gejala klinik yang
timbul berupa ikterus, splenomegali, kelainan tulang dan ulkus pada kaki.
C. Penyebab Anemia
Menurut Mochtar (1998) penyebab anemia adalah sebagai berikut:
1. Kurang gizi/malnutrisi.
2. Kurang zat besi dalam zat makanan.
3. Malabsorpsi.
4. Kehilangan darah yang banyak: persalinan yang lalu, haid, dan Penyakit kronik: TBC,
paru, cacing usus, malaria, dan lain-lain.
Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi (Fe) dan
perdarahan akut dan tidak jarang keduanya saling berintekrasi. Kurangnya zat besi
dalam tubuh orang dewasa maupun anakanak dapat disebabkan oleh beberapa
factor.Penyebab utamanya adalah karena faktor nutrisi.Yaitu kurangnya asupan zat
besi dan rendahnya absorpsi.Perkembangan terjadinya zat besi menurut (soemantri
2005)
Dalam Masyarakat yang diet sehari-harinya sebagian besar berawal dari sumber
nabati, adanya penyakit infeksi maupun investasi parasite sangat berperan dalam
terjadinya anemia gizi. Rendahnya kadar zat besi dalam diet sehari hari maupun kurangnya
tingkat absorbsi zat besi yang terkandung dalam sumber nabati hanya merupakan sebagian
dari alasan tingginya angka prevalensi anemia gizi besi di Indonesia. Investasi cacing
dalam usus terutama cacing tambang dan penyakit infeksi yang lain banyak dijumpai dan
menambah timbulnya anemia.
Menurut etiologinya anemia defisiensi zat besi dibagi atas:
1. Masukan/intake zat gizi kurang seperti pada KEP, defisiensi diet relative yang disertai
dengan pertumbuhan yang cepat
2. Absorpsi zat besi kurang seperti pada KEP, enteritis yang berulang, sindroma
malabsorbsi
3. Kebutuhan zat gizi yang bertambah seperti pada infeksi, pertumbuhan yang cepat
4. Pengeluaran zat besi yang bertambah disebabkan karena ankilostomiasis, amoebiasis
yang menahun, polip, hemolysis intravaskuler kronik yang menyebabkan
hemosideremia.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya anemia gizi pada usia remaja (Health
media nutrition series) adalah :
1. Adanya penyakit infeksi yang kronis
2. Menstruasi yang berlebihan pada remaja putri
3. Perdarahan yang mendadak seperti kecelakaan
4. Jumlah makanan atau penyerapan diit yang buruk dari zat besi, vitamin B12, Vitamin
B6, Vitamin C dan tembaga.

D. Batas Nilai Kadar Hemoglobin


Hemoglobin merupakan zat warna yang terdapat dalam darah merah yang berguna
untuk mengangkut oksigen dan CO2 dalam tubuh. Hemoglobin adalah ikatan antara
protein, garam besi dan zat warna.
Kadar HB merupakan Parameter yang paling mudah digunakan untuk menentukan
status anemia pada skala luas. Sampel darah yang digunakan biasanya sampel darah tepi,
seperti dari jari tangan (finger prick), dapat pula dari jari kaki serta telinga untuk
memperoleh hasil yang lebih akurat dianjurkan menggunakan sampel darah vena. Akan
tetapi kadar hemoglobin bukan merupakan indicator yang sensitive untuk melihat status
besi seseorang, karena turunya kadar hemoglobin merupakan tahap yang sudah lanjut dari
adanya defisiensi besi.
Tiga tahap perkembangan defisiensi besi, tahap pertama terjdi bila simpanan besi
berkurang yang terlihat dari penurunan ferritin dalam plasma hingga 12 U/L. Hal ini
dikompemsasi dengan peningkatan obsorpsi besi yang terlihat dari peningkatan
kemampuan mengikat besi total. Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada
tubuh. Tahap kedua terlihat dengan habisnya simpanan besi, menurunkan jenuh transferrin
hingga kurang dari 16% pada orang dewasa, dan meningkatnya protoporfirin yaitu bentuk
pendahulu heme. Pada tahap ini nilai hemoglobin di dalam darah masih berada pada 95%
nilai normal. Pada tahap ketiga terjadi anemia gizi besi, dimana kadar hemoglobin total
turun dibawah nilai normal.
Namun untuk mempermudah pelaksanaan pengobatan dan menyuseksan program
penanggulangan anemia makan kriteria batasan kadar hemoglobin darah dapat digolongkan
pada tabel berikut :
Tabel 2.1.
Batas Normal Kadar Hemoglobin dan Hematokrit
Kelompok Umur Hemoglobin(gr/dL) Hematokrit(%)
Anak 6 Bulan – 5 Tahun 11,0 33
5 Tahun – 11 Tahun 11,5 34
12 Tahun – 13 Tahun 12,0 36
Dewasa Wanita 12,0 36
Wanita Hamil 11,0 33
Laki-Laki 13,0 39
Sumber : WHO/UNICEF/UNU, 1997

E. Epidemiologi Anemia
1. Distribusi dan Frekuensi
a. Menurut Orang
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
merupakan usia yang mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena
akan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya,
berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami
anemia.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, prevalensi anemia
pada tahun 1999-2005 di dunia masih tinggi dimana prevalensi pada balita
47,4%, anak usia sekolah 25,4%, wanita tidak hamil 30,2%, wanita hamil
41,8%, pada lansia 23,9% dan terendah pada laki-laki 12,7%.
b. Menurut Tempat
Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di Negara sedang
berkembang ketimbang Negara yang sudah maju. Prevalensi anemia ibu
hamil pada tahun 2005 di beberapa Negara terbelakang sangat tinggi seperti
di Kongo adalah 67,30%, di Nigeria 65,51% dan di Eithopia 62,68%. Prevalensi
ini mulai berkurang di Negara berkembang seperti di India 44,33% dan
Indonesia 44,33%.
Sedangkan di Negara maju prevalensi anemia pada ibu hamil sangat rendah
yaitu 11,46% di Prancis dan 5,7% di United States.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PT Merck Tbk di Jawa Timur,
Jawa Barat, dan Sumatera Utara prevalensi anemia cukup tinggi. Di Jawa Timur
dengan melibatkan 5.959 peserta tes darah di tiga kota, Kediri, Jombang, dan
Mojokerto, didapat 33% di antaranya anemia. Di Jawa Barat dengan peserta tes
darah sebanyak 7.439 di tiga kota, Garut, Tasikmalaya, dan Cirebon, 41% di
antaranya anemia. Sedangkan di Sumatera Utara dengan peserta tes darah
sebanyak 9.377 orang di tiga kota, Medan, Pematang Siantar, dan Kisaran,
didapati 33% di antaranya anemia.
Beberapa penelitian yang di Provinsi Sulawesi Utara menemukan bahwa
prevalensi anemia pada anak panti asuhan usia sekolah dasar sebesar 62,8%
(Matondang, 2004), serta penelitian SMP Negeri Kecamatan Getasan dan
Semarang barat dengan sampel penelitian remaja putri di wilayah pegunungan
dan pesisir pantai didapatkan data bahwa Status anemia pada remaja putri di
wilayah pegunungan sebesar 58% sedangkan di wilayah pesisir pantai sebesar
56%.
c. Menurut Waktu
Besarnya angka kejadian anemia ibu hamil pada trimester I kehamilan
adalah 20%, trimester II sebesar 70%, dan trimester III sebesar 70%.4 Hal ini
disebabkan karena pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang
dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih
lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh
wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi
untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah harus mengangkut
oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan
besi 300 – 350 mg akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita
hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan
kondisi tidak hamil.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1986
proporsi ibu hamil yang menderita anemia adalah 73,3% menurun pada
tahun 1992 menjadi 63,5%, pada tahun 1995 menurun menjadi 50,9%, tahun
2001 menurun lagi menjadi 40,1%. Hasil Riskesdas 2007 proporsi ibu hamil yang
anemia adalah 24,5% . Hal ini menunjukkan keberhasilan program pemerintah
dalam hal penanggulangan anemia pada ibu hamil.
2. Determinan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia :
a. Jenis Kelamin.
Jumlah penderita anemia lebih banyak wanita dibanding pria. Beberapa alasan
wanita lebih banyak terkena anemia yaitu 1) Pada umumnya masyarakat
Indonesia lebih banyak mengonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani,
sehingga masih banyak yang menderita anemia; 2) Wanita lebih jarang makan
makanan hewani dan sering melakukan diit pengurangan makan karena ingin
langsing; 3) Mengalami haid setiap bulan, sehingga membutuhkan zat besi dua
kali lebih banyak daripada pria (Depkes 1998).
b. Besar Keluarga.
Menurut Prihartini et al. (1996) besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah
makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota kelurga maka
semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga.
Demikian juga, apabila jumlah anggota keluarga banyak, maka makanan yang
tersedia tidak mencukupi apabila pendapatan terbatas. Besar keluarga akan
mempengaruhi konsumsi gizi di dalam suatu keluarga dan akan mempengaruhi
pula pada kesehatan anak-anak dan ibu. Konsumsi pangan tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor ekonomi tetapi juga faktor non ekonomi. Faktor non
ekonomi tersebut di antaranya besar keluarga dan komposisi umur dalam keluarga
(Putri 2004)
c. Pendidikan
Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan
dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih
tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih
baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah 8 (Permaesih &
Herman 2005)
d. Pekerjaan.
Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu juga
lamanya waktu yang dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam dan di
luar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi susunan makanan dalam
keluarganya (Khumaidi 1989). Hasil penelitian Oktaviani (1989) diacu dalam
Putri (2004) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang berbeda akan
menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda. Golongan berpendapatan
rendah, proporsi pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran
lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan tinggi persentase pengeluaran
pangan lebih kecil dibandingkan pengeluaran lainnya.
e. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama (Supariasa et al. 2001). Menurut Thompson (2007) diacu dalam Arumsari
(2008), status gizi mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin,
artinya semakin buruk status gizi seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya.
Adapun penilaian status gizi berbeda-beda untuk setiap kelompok umur.
f. Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan ciri pribadi yang dimiliki oleh setiap orang. Sebagai ciri
atau karakteristik, gaya hidup banyak berpengaruh terhadap tingkah laku dalam
kehidupan individu dan dengan kata lain, gaya hidup merupakan disposisi atau
watak yang melatarbelakangi perilaku, reaksi atau respon seseorang terhadap diri
dan lingkungan yang mempengaruhinya (Mulyono 1994 12 dalam Andiyani
2007). Gaya hidup seperti kegiatan merokok, konsumsi alkohol dan aktifitas fisik
turut berperan dalam menentukan status kesehatan (Suharjo 1989).
g. Konsumsi Alkohol
Alkohol merupakan minuman yang hanya mengandung energi dan bersifat
diuretik. Metabolisme alkohol akan membutuhkan vitamin B1 dan niasin. Sifat
diuretik dari alkohol juga akan mengurangi vitamin-vitamin B, vitamin C, mineral
kalsium, kalium, dan magnesium. Minum alkohol secara berlebihan dapat
menurunkan penyerapan asam folat (Anonim 2007). Alkohol juga akan
menurunkan nafsu makan sehingga tubuh terhalang untuk memperoleh asupan
konsumsi gizi seimbang (Anonim 2009 & Khomsan 2002).
h. Riwayat Penyakit Infeksi dan parasite
dapat menyebabkan anemia melalui peningkatan kehilangan zat gizi terutama
besi. Prevalensi anemia yang tinggi pada laki-laki sering disebabkan karena
infeksi dan parasit (Yip 1994). Penyakit-penyakit yang dapat menjadi penyebab
anemia antara lain malaria, HIV, cacing tambang, dan diare kronis
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil adalah:
a. Usia
Umur ideal untuk kehamilan yang risikonya rendah adalah pada
kelompok umur 20-35 tahun. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2010, perempuan yang mengalami kehamilan pada usia
berisiko tinggi (35 tahun ke atas) 4,6% tidak pernah memeriksakan
kehamilan, dan yang berusia < 20 tahun 5,1% memeriksakan kehamilan
pada dukun.
Kehamilan pada remaja putri sangat berisiko terhadap dirinya karena
pertumbuhan linier (tinggi badan) pada umumnya baru selasai pada usia 16-
18 tahun, dan dilanjutkan dengan pematangan rongga panggul beberapa tahun
setelah pertumbuhan linier selesai.
b. Umur Kehamilan
Kebutuhan akan berbagai zat gizi termasuk zat besi pada trimester I
meningkat secara minimal. Setelah itu sepanjang trimester II dan III,
kebutuhan akan terus membesar sampai pada akhir kehamilan. Energi tambahan
selama trimester II diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu, yaitu penambahan
volume darah, pertumbuhan uterus dan payudara.
Menurut Doloksaribu (2006) persentase responden yang menderita anemia
tertinggi dijumpai pada umur kehamilan triwulan II (50%) dan triwulan ke III
(37,50%). Hal ini disebabkan karena kebutuhan zat besi pada triwulan II dan III
meningkat dengan pesat untuk janin, plasenta dan penambahan volume darah ibu.
c. Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran dapat menyebabkan hasil kehamilan yang kurang baik. Jarak
dua kehamilan yang terlalu pendek akan mempengaruhi daya tahan dan gizi
ibu yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil produksi.
Menurut Depkes RI (2004) jumlah kelahiran yang baik agar
terwujudnya keluarga sejahtera dan sehat adalah berjumlah 2 anak saja dengan
jarak kelahiran sama dengan atau lebih dari 3 tahun.6 Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Hendro di medan (2006) ibu hamil yang jarak kelahiran anaknya
< 2 tahun sebagian besar menderita anemia. Seorang wanita yang
melahirkan berturut-turut dalam jangka waktu pendek tidak sempat
memulihkan kesehatannya serta harus membagi perhatian kepada kedua anak
dalam waktu yang sama.
d. Konsumsi Tablet Fe
Kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi zat besi dengan cara yang benar
akan memnuhi kebutuhan zat besi dalam tubuh yang bisa meningkatkan kualitas
kehamilan. Banyak hal yang membuat ibu hamil tidak patuh mengkonsumsi
zat besi yang terdapat dalam tablet tambah darah yang diprogramkan pemerintah.
Salah satunya adalah gangguan pencernaan dapat berupa mual dan
muntah.Sehingga hal ini perlu mendapat perhatian khusus terutama dari
pemberian pelayanan kesehatan misalnya bidan dan dokter. Jumlah tablet zat
besi yang dikonsumsi ibu hamil adalah minimal 90 tablet dan dianjurkan kepada
ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet tambah darah dengan dosis satu kali sehari
selama masa kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan.
e. Penghasilan
Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang
adalah status ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan
keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar
kecilnya pendapatan keluarga dan harga bahan makanan itu sendiri. Keluarga
dengan pendapaan terbatas kemungkinan besar kurang dapat memenuhi
kebutuhan makanannya, terutama memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya.
Sementara dari hasil penelitian Hendro (2006) menyatakan bahwa keluarga
yang pendapatnya di atas UMR dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya
terutama ibu hamil sehingga diasumsikan dapat mencegah terjadinya anemia
sedangkan keluarga dengan pendapatan di bawah UMR dapat diasumsikan
belum memenuhi kebutuhan hidup keluarganya termasuk gizi ibu hamil.
f. Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku untuk hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
memudahkan seseorang untuk menyerap informasi-informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilakudan gaya hidup seharihari,khusunya
tingkat pendidikan wanita sangat mempengaruhi kesehatannya.
Dari hasil penelitian Hendro (2006), menyatakan ada hubungan yang
signifikan antara pendidikan dengan status anemia, karena dengan tingkat
pendidikan ibu yang rendah diasumsikan pengetahuannya tentang gizi
rendah, sehingga berpeluang untuk terjadinya anemia sebaliknya jika ibu hamil
berpendidikan tinggi maka kemungkinan besar pengetahuannya tentang gizi
juga tinggi, sehingga diasumsikan kecil peluang terjadinya anemia.
g. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan yang diberikan terhadap ibu
hamil oleh petugas kesehatan untuk memelihara kehamilannya yang
dilaksanakan sesuai standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam standar
pelayanan kebidanan.Tujuan pelayanan antenatal adalah mengantarkan ibu
hamil agar dapat bersalin dengan sehat dan memperoleh bayi yang sehat,
mendeteksi dan mengantisipasi dini kelainan kehamilan dan deteksi serta
antisipasi dini kelainan janin.Pelayanan antenatal meliputi lima hal yang dikenal
dengan istilah 5T yaitu timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi
fundus uteri, nilai status imunisasi TT dan pemberian tablet tambah darah.3
Konsumsi zat besi sangat diperlukan oleh Ibu hamil yang ditujukan untuk
mencegah ibu dan janin dari anemia, dan faktor risiko lainnya. Diharapkan
ibu hamil dapat mengonsumsi tablet Fe lebih dari 90 tablet selama kehamilan.
Berdasarkan laporan Riskesdas (2010) 80,7% ibu hamil tablet/membeli tablet
Fe, dengan jumlah hari minum 0-30 hari (36,3%), 90 hari atau lebih (18%),
60-89 hari (8,3%), dan 31-59 hari (2,8%). Dijumpai 38% ibu hamil di
Sumatera Utara dan 3,6% di DI Yogyakarta yang tidak pernah minum tablet
Fe. K1 adalah kunjungan pertama ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan
untuk mendapat pelayanan antenatal yang dilakukan pada trimester pertama
kehamilan. Sedangkan K4 adalah kunjungan ibu hamil untuk mendapatkan
pelayanan ante natal minimal 4 kali yaitu 1 kali pada trimester pertama
kehamilan, 1 kali pada trimester kedua dan 2 kali pada trimester ketiga.
Beberapa Faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja putri :
pendidikan, jenis kelamin, usia, masa tinggal, kebiasaan sarapan, penyakit
mengeluh dan ringannya kondisi tubuh (Permeasih,2005)
F. Prevalensi Anemia
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat apabila melebihi prevalensi sebagai
berikut.
Kelompok Jumlah
Ibu Hamil 63,5%
Anak Balita 55,5%
Anak Usia Sekolah 24%-34%
Wanita Dewasa 30%-40%
Pekerja Berpenghasilan Rendah 30%-40%
Pria Dewasa 20%-40%
(Sumber supariasa dkk, 2002)
Anemia gizi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Hasil SKRT 1986, 1992
dan 1995 berdasarkan pengukuran Hb pada wanita hamil dan balita menunjukkan bahwa
masalah anemia gizi pada wanita hamil di Indonesia telah mengalami penurunan,
meskipun keadaannya masih tetap tinggi yaitu dari 73,7% pada tahun 1986 menjadi 63,5%
pada tahun 1992 dan 51,3% pada tahun 1995.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), prevalensi anemia
defisiensi besi pada ibu hamil sebesar 63,5% tahun 1995, turun menjadi 40,1% pada tahun
2001, dan pada tahun 2007 turun menjadi 24,5% (Riskesdas, 2007). Angka anemia
defisiensi besi ibu hamil di Indonesia masih tergolong tinggi walaupun terjadi
penurunan pada tahun 2007. Keadaan ini mengindikasikan bahwa anemia defisiensi besi
menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2010).

G. Tanda dan Gejala Anemia


1. Menurut Anie Kurniawan, dkk (1998), tanda-tanda Anemia meliputi:
a. Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L)
b. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
c. Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan
menjadi pucat.
2. Menurut Handayani dan Haribowo (2008), gejala anemia dibagi menjadi tiga
golongan besar yaitu sebagai berikut:
a. Gejala Umum anemia
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic syndrome.
Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua
jenis Anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di
bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala
tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah:
1) Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas
saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.
2) Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada
ekstremitas.
3) Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.
4) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta
rambut tipis dan halus.
b. Gejala Khas Masing-masing anemia
Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah sebagai
berikut:
1) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.
2) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
3) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
4) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tandatanda infeksi.
c. Gejala Akibat Penyakit Dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia. Gejala ini timbul karena
penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya anemia defisiensi
besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan
gejala seperti pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti
jerami.
H. Pencegahan Anemia
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan kejadian
suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Promosi kesehatan,
pendidikan kesehatan dan perlindungan kesehatan adalah tiga aspek utama di
dalam pencegahan primer. Dalam hal ini pencegahan primer ditujukan kepada
ibu hamil yang belum anemia. Tujuan pencegahan ini untuk mencegah atau
menunda terjadinya kasus baru penyakit dan memodifikasi faktor risiko atau
mencegah berkembangnya faktor risiko.
Pencegahan primer meliputi:
a. Edukasi (Penyuluhan)
Petugas kesehatan dapat berperan sebagai edukator seperti memberikan
nutrition education berupa dorongan agar ibu hamil mengkonsumsi bahan
makanan yang tinggi Fe dan konsumsi tablet besi atau tablet tambah darah
minimal selama 90 hari. Edukasi tidak hanya diberikan pada saat ibu hamil,
tetapi ketika belum hamil.Penanggulangannya, dimulai jauh sebelum
peristiwa melahirkan. Selain itu, petugas kesehatan juga dapat berperan sebagai
konselor atau sebagai sumber berkonsultasi bagi ibu hamil mengenai cara
mencegah anemia pada kehamilan.
Suplementasi Fe adalah salah satu strategi untuk meningkatkan intake Fe
yang berhasil hanya jika individu mematuhi aturan konsumsinya.Banyak
faktor yang mendukung rendahnya tingkat kepatuhan tersebut, salah satunya
adalah efek samping yang tidak nyaman dari mengkonsumsi Fe adalah
melaluipendidikan tentang pentingnya suplementasi Fe dan efek samping akibat
minum Fe.
b. Suplementasi Fe (Tablet Besi)
Anemia defisiensi besi dicegah dengan memelihara keseimbangan antara
asupan Fe dan kehilangan Fe.Jumlah Fe yang dibutuhkan untuk memelihara
keseimbangan ini bervariasi antara satu wanita dengan yang lainnya
tergantung pada riwayat reproduksi.Jika kebutuhan Fe tidak cukup terpenuhi
dari diet makanan, dapat ditambah dengan suplemen Fe terutama bagi wanita
hamil dan masa nifas.24 Suplemen besi dosis rendah (30mg/hari) sudah mulai
diberikan sejak kunjungan pertama ibu hamil.
c. Fortifikasi Makanan dengan Zat Besi
Fortifikasi makanan yang banyak dikonsumsi dan yang diproses secara terpusat
merupakan inti pengawasan anemia di berbagai Negara. Fortifikasi makanan
merupakan cara terampuh dalam pencegahan defisiensi besi. Produk makanan
fortifikasi yang lazim adalah tepung gandum serta roti makanan yang terbuat dari
jagung dan bubur jagung serta beberapa produk susu.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder lebih ditujukan pada kegiatan skrining kesehatan dan
deteksi untuk menemukan status patogenik setiap individu di dalam populasi.
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan penyakit
menuju suatu perkembangan kearah kerusakan atau ketidakmampuan. Dalam hal
ini pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakukan pada ibu hamil
yang sudah mengalami gejalagejala anemia atau tahap pathogenesis yaitu mulai pada
fase asimtomatis sampai fase klinis atau timbulnya gejala penyakit atau gangguan
kesehatan.
Pada pencegahan sekunder, yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
diantaranya adalah :
a. Skrining diperlukan untuk mengidentifikasi kelompok wanita yang harus
diobati dalam mengurangi morbiditas anemia. Bagi wanita hamil harus dilakukan
skrining pada kunjungan I dan rutin pada setiap trimester. Skrining
dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin (Hb) untuk mendeteksi apakah
ibu hamil anemia atau tidak, jika anemia, apakah ibu hamil masuk dalam
anemia ringan, sedang, atau berat.
Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan terhadap tanda dan gejala yang
mendukung seperti tekanan darah, nadi dan melakukan anamnesa berkaitan
dengan hal tersebut. Sehingga, tenaga kesehatan dapat memberikan tindakan
yang sesuai dengan hasil tersebut. Jika anemia berat ( Hb< 9 g/dl) dan Hct
<27%) harus dirujuk kepada dokter ahli yang berpengalaman untuk mendapat
pertolongan medis.
b. Pemberian terapi dan Tablet Fe
Jika ibu hamil terkena anemia, maka dapat ditangani dengan memberikan
terapi oral dan parenteral berupa Fe dan memberikan rujukan kepada ibu
hamil ke rumah sakit untuk diberikan transfusi (jika anemia berat).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier mencakup pembatasan terhadap segala ketidakmampuan
dengan menyediakan rehabilitasi saat penyakit, cedera atau ketidakmampuan
sudah terjadi dan menimbulkan kerusakan. Dalam hal ini pencegahan tersier
ditujukan kepada ibu hamil yang mengalami anemia yang cukup parah dilakukan
untuk mencegah perkembangan penyakit ke arah yang lebih buruk untuk
memperbaiki kualitas hidup klien seperti untuk mengurangi atau mencegah
terjadinya kerusakan jaringan, keparahan dan komplikasi penyakit, mencegah
serangan ulang dan memperpanjang hidup. Contoh pencegahan tersier pada anemia
ibu hamil diantaranya yaitu :
a. memeriksa ulang secara teratur kadar hemoglobin
b. mengeliminasi faktor risiko seperti intake nutrisi yang tidak adekuat pada
ibu hamil, tetap mengkonsumsi tablet Fe selama kehamilan dan tetap
mengkonsumsi makanan yang adekuat setelah persalinan.

I. Pengobatan Anemia
Pengobatan anemia Menurut Handayani dan Haribowo (2008), pada setiap kasus anemia
perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini:
1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan.
2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien.
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:
1. Terapi gawat darurat
Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka harus
segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang dimampatkan
(PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.
2. Terapi khas untuk masing-masing anemia
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat besi untuk
anemia defisiensi besi.
3. Terapi kausal
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi
penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi
cacing tambang harus diberikan obat anti-cacing tambang.
4. Terapi ex-juvantivus (empiris)
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini
berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi hanya dilakukan jika tidak tersedia
fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini, penderita harus
diawasi dengan ketat. Jika terdapat respons yang baik, terapi diteruskan, tetapi jika
tidak terdapat respons, maka harus dilakukan evaluasi kembali.
Menurut Yayan Ahyar Israr (2008) Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana
pemberian terapi, terapi terhadap anemia difesiensi besi dapat berupa
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya, misalnya, pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau
tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a. Besi per oral merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman.
preparat yang tersedia, yaitu:
1) Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan
efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
2) Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate,
harga lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek samping hampir sama.
b. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu :
3) Intoleransi oral berat
4) Kepatuhan berobat kurang 20
5) Kolitis ulserativa
6) Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
3. Penatalaksanaan yang juga dapat dilakukan :
a. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan
antelmintik yang sesuai.
b. Pemberian preparat Fe : Pemberian preparat besi
(ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg BB/hari
dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan
sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.
c. Bedah : Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan
karena diverticulum Meckel.
d. Suportif : Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi
yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-
kacangan).
Menurut Ahmad Syafiq, dkk (2008) screening diperlukan untuk mengidentifikasi
kelompok wanita yang harus diobati dalam mengurangi mordibitas anemia. CDC
menyarankan agar remaja putri dan wanita dewasa yang tidak hamil harus di-screening tiap
5- 10 tahun melalui uji kesehatan, meskipun tidak ada faktor risiko anemia seperti
perdarahan, rendahnya intake Fe, dan sebagainya. 21 Namun, jika disertai adanya faktor
risiko anemia, maka screening harus dilakukan secara tahunan.
Penderita anemia harus mengkonsumsi 60-120 mg Fe per hari dan meningkatkan
asupan makanan sumber Fe. Satu bulan kemudian harus dilakukan screening ulang. Bila
hasilnya menunjukkan peningkatan konsentrasi Hb minimal 1 g/dl atau hematokrit minimal
3%, pengobatan harus diteruskan sampai tiga bulan.
J. Dampak Anemia
Banyak dampak yang dapat ditimbulkan akibat anemia. Anemia pada remaja dapat
mengakibatkan menurunnya kemampuan dan konsentrasi belajar, mengganggu
pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal, menurunkan kemampuan fisik
olahragawan dan olahragawati, dan mengakibatkan muka pucat, serta dapat menurunkan
daya tahan tubuh sehingga mudah sakit (Grantham et al. 2001), sedangkan anemia pada
kelompok dewasa dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit, menurunkan
produktivitas kerja, dan menurunkan kebugaran (Hass & Brownlie 2001).
Menurut Reksodiputro (2004) yang dikutip oleh Tarwoto, dkk (2010), komplikasi dari
anemia yaitu: Gagal jantung kongesif; Parestesia; Konfusi kanker; Penyakit ginjal;
Gondok; Gangguan pembentukan heme; Penyakit infeksi kuman; Thalasemia; Kelainan
jantung; Rematoid; Meningitis; Gangguan sistem imun.

BAB III.
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Anemia merupakan kondisi kurangnya sel darah merah (eritrosit) dalam tubuh
seseorang. Anemia dapat terjadi karena kurangnya haemoglobin yang berarti juga
minimnya oksigen ke seluruh tubuh.
2. Klasifikasi anemia yaitu Anemia Defisiensi Besi, Anemia hipoplastik, Anemia
Megaloblastik dan Anemia Hemolitik
3. Penyebab anemia yaitu Kurang gizi/malnutrisi, Kurang zat besi dalam zat makanan,
Malabsorpsi, Kehilangan darah yang banyak: persalinan yang lalu, haid, dan
Penyakit kronik: TBC, paru, cacing usus, malaria, dan lainlain. Kebanyakan anemia
dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi (Fe) dan perdarahan akut dan tidak
jarang keduanya saling berintekrasi.
4. Epidemiologi Anemia yaitu berdasarkan distribusi dan frekuensi yang dilihat
menurut Orang dimana wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari
35 tahun merupakan usia yang mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil,
menurut tempat, anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di Negara
sedang berkembang ketimbang Negara yang sudah maju, menurut Waktu, besarnya
angka kejadian anemia ibu hamil pada trimester I kehamilan adalah 20%,
trimester II sebesar 70%, dan trimester III sebesar 70%.4. Berdasarkan determinan,
beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil adalah usia,
umurkehamilan, jarak kelahiran, konsumsi tablet Fe, penghasilan, pendidikandan
pelayanan antenatal.
5. Gejala dan tanda pada orang anemia, umumnya mereka yang mengalami sakit
anemia, mudah sekali untuk dikenali dan dilihat secara fisik oleh mata. Untuk
mengetahui sendiri apakah terserang sakit anemia atau tidak adalah dengan cara
mengecek warna kulit pada kantung mata bagian dalam bawah. Jika terdapat
warna kurang merah berarti anda dapat dikatakan mengalami anemia.
6. Pencegahan anemia dibagi atas tiga pencegahan yaitu pencegahan primer,
penceganhan sekunder dan pencegahan tersier. Pencegahan primer meliputi segala
kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum
hal itu terjadi, dalam hal ini pencegahan primer ditujukan kepada ibu hamil
yang belum anemia. Pencegahan sekunder lebih ditujukan pada kegiatan skrining
kesehatan dan deteksi untuk menenmukan status patogenik setiap individu di dalam
populasi, dalam hal ini pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakukan
pada ibu hamil yang sudah mengalami gejala-gejala anemia dan pencegahan tersier
mencakup pembatasan terhadap segala ketidakmampuan dengan menyediakan
rehabilitasi saat penyakit, cedera atau ketidakmampuan sudah terjadi dan
menimbulkan kerusakan, dalam hal ini pencegahan tersier ditujukan kepada ibu
hamil yang mengalami anemia yang cukup parah.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat dari pembahasan, maka dapat disarankan agar
mahasiswa dapat memahami dengan baik tentang anemia sehingga dapat membantu
dalam kegiatan promosi kesehatan tentang anemia. Disarankan untuk memahami tentang
pengertian, penyebab, gejala, cara penanganan dan pencegahan anemia sehingga angka
kejadian anemia dapat menurun.

DAFTAR PUSTAKA

Barasi M.E., 2007. At a Glance: Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga

Depkes RI, 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta. pp: 106-7.www.DepkesRI.com
Waryana, 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihanga.

WHO. 2011. Nutrition: Iron Deficiency Anaemia. www.who. Int .

Hadi H., 2001. Meningkatkan Kepatuhan Minum Tablet Besi Ibu Hamil:Pentingnya Peranan
Suami. Berita Kedokteran Masyarakat XVII (2):51-62.

Indreswari M. , Hardinsyah, & Damanik M.R. , 2008. Hubungan antaraIntensitas Pemeriksaan


Kehamilan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan,dan Konsumsi Tablet Besi dengan Tingkat Keluhan
selama Kehamilan. Jurnal Gizi dan Pangan. 3(1): 12-21.

Purwaningsih M. , Akhmadi N. , & Wenny A., 2006. Analisis Faktor yang Mempengaruhi
Ketidakpatuhan Ibu Hamil dalam Mengkonsumsi Tablet Besi. Jurnal Ilmu Keperawatan. 1 (2):
72-81.

Ghea Yanna Aulia dkk. 2017. Gambaran Status Anemia Pada Remaja Putri Di Wilayah
Pegunungan Dan Pesisir Pantai (Studi di SMP Negeri Kecamatan Getasan dan SemarangBarat).
Jurnal Kesehatan Masyarakat.

Adriani,M., Bambang W. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Kencana. Jakarta

file:///C:/Users/windows%208.1/Downloads/kupdf.com_makalah-anemia.pdf

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/118/jtptunimus-gdl-arumwulann-5862-2-babii.pdf

Permeasih., Sosilowati Herman., 2005, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia Remaja Vol
33. Buletin Penelitian Kesehatan. Diakses melalui
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/BPK/article/view/219

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11373/BAB+II+Tinjauan+Pustaka_+I09ai
y.pdf;jsessionid=6E58190D5AED2AF500225DCF7B1D35ED?sequence=6

MODEL TIMBULNYA MASALAH ANEMIA

1. Jaring- Jaring Masalah


ANEMIA

KURANG GIZI

Makan Tidak Penyakit Infeksi


Seimbang

Tidak Cukup Pola Asuh Anak Tidak Sanitasi dan air


Persediaan Pangan Memadai bersih/Pelayanan kesehatan
dasar tidak memadai

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Ketrampilan

Kurang Pemberdayaan Wanita dan Keluarga, Kurang Pemanfaatan


Sumber Daya Manusia

Pengangguran, Inflasi, Kurang Pangan, dan Kemiskinan

Krisis Ekonomi , Politik dan Sosial

2. Segitiga Epidemiologi
UMUR, SEX, IMUNOLOGI, KEBIASAAN

HOST

ANEMIA

AGENT ENVIRONMENT

Gizi(Unsur gizi dapat menyebabkan Fisik : cuaca, tanah, air.


defisiensi zat gizi) Biologis: Kependudukan
Kimia dari Luar (Obat-obatan, bahan kimia Tumbuh-tumbuhan
dalam makanan, zat aditif)
Hewan
Kimia dari dalam (Agens berasal dari kimia
dalam yang dihubungkan dengan Sosial ekonomi: Pekerjaan
metabolisme dalam tubuh seperti
Urbanisasi
malabsorbsi)
Fisik : cuaca, tanah, air.
Faktor Faali (Kehamilan)
Biologis: Kependudukan
Penyakit Kronik : TBC, paru, cacing usus,
malaria, dan lain-lain Tumbuh-tumbuhan

Faktor Psikis Hewan

Sosial ekonomi:

Pekerjaan

Urbanisasi

Anda mungkin juga menyukai