Anda di halaman 1dari 5

Isu dan wacana ini adalah berisi persepsi saya yang mungkin bisa dijadikan pijakan awal, diolah,

dikembangkan untuk menjadi Konsep Pertunjukan. Wacana ini masih sangat perlu didiskusikan dan
membutuhkan pendalaman sehingga bisa lebih tajam dan strategis.

Isu dan Permasalahan Sungai


(Konteks “Kota Seribu Sungai” Banjarmasin)

Author : Dhany.R

Sungai dan Masyarakat Kota Banjarmasin

Sungai sebagai sebuah ekosistem yang terdiri dari komponen hidup dan tak hidup serta budaya
masyarakat sekitar. Komponen tak hidup (abiotik) Sungai terdiri dari gugusan bukit, gunung, tanah,
batuan, dll. Komponen hidup (biotik) diantaranya ada hutan, pepohonan, tetumbuhan, hewan, ikan-
ikan, dll. Komponen budaya (culture) adalah aktifitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan sungai
dan telah menjadi bagian dari peradaban masyarakat. Ketiga komponen tersebut menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari ekosistem sungai secara luas.

Kota Banjarmasin yang terletak di sebelah selatan Pulau Kalimantan, dikenal sebagai kota “Seribu
Sungai” karena dilalui oleh dua sungai besar yaitu sungai Barito dan sungai Martapura, dimana
kedua sungai ini kemudian “melahirkan” berpuluh-puluh sungai, anak-anak sungai, dan kanal-kanal
yang membelah ke-seluruh penjuru kota. Bagi masyarakat Banjarmasin keberadaan sungai telah
menjadi bagian integral dari kebudayaan tradisional dan aktifitas didaalamnya menjadi kearifan lokal
masyarakatnya.

Bagi masyarakat Banjarmasin, sungai juga merupakan simbol spiritualitas dan kesejahteraan
masyarakat Banjarmasin. Nilai spiritualitas dan kearifan lokal ini berakar dari sistem pengetahuan
dan pengelolaan lokal atau tradisional, yang secara turun temurun mewariskan hubungan yang
dekat antara masyarakat lokal/tradisional dengan lingkungan (sungai, hutan, gunung, dll) dan
sumber daya alam didalamnya. Masyarakat tradisional secara alamiah mengembangkan
pemahamannya terhadap sistem ekologi dimana mereka yang tinggal didalamnya harus
mempertahankan kelestarian lingkungan dan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan-
kegiatan yang dianggap merusak lingkungan. Berbagai cerita mitos dan legenda tentang sungai dan
hutan berkembang sebagai bagian kearifan lokal masyarakat yang mengakui bahwa masyarakat
perlu hidup harmonis dengan untuk menghindarkan diri dari bencana alam. Salah satu legenda yang
terkenal adalah adaanya mitos tentang ular dan buaya yang menjaga sungai Barito.

Sungai juga menjadi “halaman rumah” yang luas bagi seluruh masyarakat Banjarmasin untuk
melakukan berbagai aktifitas sosial, terutama untuk transportasi, perekonomian dan perdagangan.
Bahkan, sejak zaman kolonial, wilayah pertemuan sungai martapura dan Barito telah menjadi
gerbang lalu lintas transport barang dari singapura dan jawa, menuju ke wilayah timur Kalimantan
dan sebaliknya. Sungai sebagai pusat perekonomian dan perdagangan tradisional karena sungai
Barito sejak ratusan tahun lalu menjadi titik pertemuan pembeli dan penjual yang dikenal dengan
sebutan “pasar apung”.
Sungai sebagai sumber kehidupan dan bagian tak terpisahkan, mendorong masyarakat tradisional
Banjarmasin untuk memusatkan aktifitas di bantaran sungai hingga membuat rumah-rumah apung
(rumah lamin) di sepanjang bantaran sungai. Dalam aktifitas sosial sehari-hari, seperti menangkap
ikan, bertani, berdagang, masyarakat tradisional baik itu laki-laki, perempuan hingga anak-anak,
menggunakan perahu (jukung) untuk melintasi sungai, anak sungai dan kanal-kanal. Sungai telah
menjadi bagian integral dalam kebudayaan masyarakat Banjarmasin.

Kondisi geografis bantaran sungai Barito sebagian besar adalah daerah tergenang, rawa-rawa dan
lahan gambut. Kondisi Lahan rawa/tergenang bagi sebagian masyarakat di wilayah lain, dianggap
sebagai lahan marjinal yang sulit untuk dikelola karena kondisinya yang selalu terendam, dan juga
tingkat keasamaan tanah yang tinggi. Namun masyarakat tradisional Banjarmasin secara alami,
mampu beradaptasi dan mengembangkan teknologi pertanian yang efektif di lahan-lahan rawa
sehingga menjadi lahan produktif. Masyarakat Banjarmasin juga mempunyai teknologi yang akurat
dalam memprediksi musim dengan bio-indikator hewan-hewan maupun dengan menganalisa
gugusan bintang dilangit, sehingga dapat membuat prediksi akurat mengenai waktu yang baik untuk
memulai musim tanam dan juga memprediksi adanya ancaman atau bencana. Masyarakat tradisonal
Banjarmasin juga mengembangkan sistem pertanian yang heterogen dengan menanam berbagai
jenis buah dan sayur di kebun-kebun rawanya sehingga dianggap mempunyai ketahanan pangan dan
kedaulatan pangan yang baik.

Kapitalisme Pembangunan di Era Modernisme (dari “Era Sungai” ke “Era Darat”)

Perkembangan zaman atau modernisme yang ditandai dengan kemajuan teknologi, berdampak
signifikan pada perubahan kebudayaan masyarakat Tradisional Banjarmasin. Banjarmasin kini telah
menjadi kota. Kota dengan gaya urban nya sangat lekat dengan ideologi pembangunan ala
modernisasi. Ideologi modernisasi yang kapitalistik dan konsumeris, masuk dan menawarkan fasilitas
dan teknologi yang modern serta peluang kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Pola kehidupan
tradisional masyarakat secara cepat mulai bertransformasi. “Era sungai” pun mulai perlahan-lahan
ditinggalkan dan beralih ke “Era darat”.

Kondisi perubahan ini ditandai dengan terbangunnya akses dan fasilitas transportasi darat, seperti
pembukaan Jalan-jalan baru, jembatan penghubung, dan moda transportasi yang menjamur
jumlahnya. Kebudayaan sungai yang organik dan berkelanjutan, perlahan berganti menjadi
kebudayaan darat yang sifatnya fisik, beresiko pada lingkungan dan tak terbarukan. Kemajuan
teknologi memang menawarkan kemudahan dan layanan hidup yang disatu sisi dapat dinilai lebih
baik, namun disisi lainnya keadaan ini menghancurkan sendi kebudayaan lokal masyarakat dan juga
kelestarian lingkungan.

Dampak kapitalisme pembangunan di era modernisme, dapat dirasakan dengan berangsur sepinya
“pasar terapung” yang menjadi ciri khas Banjarmasin. Pasar terapung yang merupakan bagian dari
“kebudayaan sungai” kini beralih menjadi “kebudayaaan darat” dengan ditandai gedung-gedung
pasar modern. Perubahan ini menjadikan masyakat kelas menengah-atas yang lebih memiliki
ketahanan finansial memilih beralih ke pasar-pasar modern dan menjadi sangat konsumtif.
Sementara masyarakat tradisional yang berada di lapisan “ekonomi bawah” kehilangan sumber
pendapatan utama. Hal yang menarik untuk dicermati adalah, aktifitas pasar apung tradisional
didominasi oleh kaum perempuan yang berada di lapisan “ekonomi bawah”, dengan melakukan
aktifitas dagang hasil hasil bumi dari perahu ke perahu. Ketika pembeli di pasar apung mulai sepi
karena lebih memilih pasar-pasar darat dengan fasilitas yang lebih baik dan lengkap, maka
perempuan-perempuan itu yang merupakan mitra suaminya dalam menopang (menyeimbangkan)
perekonomian keluarganya menjadi kehilangan pendapatan tambahan. Dampak selanjutnya adalah
ekonomi keluarga akan semakin terpuruk terlebih ketika pendapatan suami juga menurun.

Kematian pasar apung ini, mungkin juga bisa diartikan sebagai “kematian” sebagian peran
perempuan. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, untuk bertahan hidup mereka (perempuan-
perempuan perahu) tidak punya pilihan, perahu-perahu terpaksa harus “menepi” dan pekerjaan pun
harus berganti. Entah itu beralih ke pasar-pasar darat, bekerja sebagai buruh pabrik/perkebunan,
atau terpaksa harus menjual murah sepetak tanah kebunnya ke pihak swasta. Sedikit kepedulian
dari pemerintah, kini pasar terapung terkesan “dipaksa” bertahan dengan direkayasa sebagai situs
wisata saja untuk memanjakan para wisatawan yang datang ke Kota Banjarmasin. Tak ada lagi
aktifitas alami di dalamnnya. Lalu apa bedanya kondisi ini dengan museum.

Kesenjangan Pembangunan (Rantai Panjang Dampak Sosial dan Lingkungan)

Pembangunan yang cepat dan kemajuan teknologi sebagai produk modernisasi, juga berimplikasi
pada semakin gencarnya upaya eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam lokal, pendirian pabrik-
pabrik, Industri, alih fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan sawit, serta pembukaan kawasan
pertambangan yang semakin tak terkendali. Alih fungsi lahan menjadi berbagai peruntukan adalah
produk-produk kapitalisme pembangunan yang bersembunyi dibalik isu pemanfaatan sumber daya
alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Namun kenyataannya kesejahteraan hanya
untuk golongan tertentu saja. Sementara masyarakat lokal dengan pola hidup tradisional cenderung
tak berdaya dan terabaikan hak-haknya, bahkan sepetak lahan sumber kehidupan utama keluarga
terpaksa dijual ke swasta karena terdesak kebutuhan ekonomi.

Kesenjangan dari modernisme dalam pembangunan ini membawa kita pada kesadaran bahwa ada
ketidakadilan sosial dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal, karena masyarakat lokal hampir
tidak pernah menikmati kelimpahan sumber daya alam yang ada. Ada struktur massive kapitaslisme
yang bekerja dalam sistem penguasaan sumber daya alam, dimana korporasi menempatkan
masyarakat lokal, terutama kelas ekonomi bawah sebagai bagian yang paling rentan dan hampir tak
diperhitungkan hak-haknya. Sumber daya alam (batubara, sawit, kayu, dll) sebagian besar
diperuntukan untuk kebutuhan eksport dalam hal ini mensejahterakan negara lain, sementara
kesejahteraan masyarakat lokal hampir tidak terpikirkan.

Model pembangunan fisik di era modernisme ini selalu dikaitkan dengan isu maskulinitas. Dominasi
laki-laki dalam struktur menjadi keniscayaan karena dianggap sebagai pelopor sekaligus pelaku
utama pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari aspek keterlibatan masyarakat lokal dalam
pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam, pembangunan gaya (maskulin) ini umumnya
mengarusutamakan potensi laki-laki di strukturnya. Sementara perempuan lagi lagi menjadi
golongan yang paling rentan dan hampir tidak diperhitungkan. Kalaupun dilibatkan, perannya hanya
menjadi buruh kasar pabrik/perkebunan dengan resiko pekerjaan yang tinggi namun minim
perlindungan hak. Lebih mirisnya lagi, kasus di lahan-lahan perkebunan sawit, banyak perempuan
yang tak memiliki pekerjaan karena sepetak lahan kebun telah dijual, hanya bisa memungut sisa-sisa
buah sawit yang jatuh di kebun sawit untuk dijual kembali demi menyambung hidup. Namun
resikonya sangat besar jika ketahuan, karena para perempuan ini akan ditangkap dan bahkan
mendapatkan penyiksaaan oleh penjaga kebun.

selain mempunyai dampak sosial yang besar, pembukaan dan pembakaran lahan secara massiv
untuk kepentingan ekspansi perkebunan dan pertambangan, juga menyebabkan keseimbangan
lingkungan terganggu dalam hal ini hewan-hewan liar mulai kehilangan habitat alami dan terancam
punah, ikan ikan pun banyak mati karena sungai tercemar limbah pabrik, industri dan
pertambangan. Pembuangan limbah-limbah sisa proses produksi pabrik dan pertambangan yang
dilepas ke sungai secara bebas dan tak terkelola melahirkan dampak yang luas. Sebagai contoh,
dalam eksploitasi SDA seperti pertambangan batubara yang memanfaatkan alur sungai sebagai
transport bahan tambang ke kapal tongkang. Keadaan ini berdampak pada pencemaran sungai
karena banyak sisa-sisa batubara yang tertumpah di sungai dan meracuni sungai dengan kandungan
logam berat. Sungai kini terlihat coklat pekat karena mengandung limbah yang banyak. Sungai yang
tercemar ini menyebabkan tangkapan ikan juga jauh berkurang, produktifitas pertanian mulai
menurun, dan gangguan kesehatan karena air sungai masih banyak dimanfaatkan masyarakat untuk
keperluan sehari-hari seperti sumber air minum, makan, mandi dan mencuci pakaian. Dari kasus ini
kita melihat fakta bahwa, perempuan lagi-lagi menjadi bagian yang terdampak besar karena lebih
sering bersentuhan/terpapar dengan urusan domestik seperti, membuat makan, minuman, mencuci
piring, baju dll sehingga lebih sering terpapar pencemaran.

Seiring meningkatnya jumlah penduduk, tekanan kebutuhan lahan untuk perumahan pun semakin
pesat. Sistem membangun rumah secara terapung dianggap sudah tidak sesuai dengan konsep ala
modernisasi, sehingga mulai ditinggalkan. Solusinya, lahan-lahan rawa dibantaran sungai pun mulai
direklamasi (ditimbun), untuk dibuat kawasan perumahan. Lahan-lahan resapan air di bantaran
sungai dari tahun ketahun kini semakin berkurang jumlahnya, sungai makin menyempit dan
sedimentasi (pendangkalan) sungai semakin cepat. Ekosistem sungai terpengaruh secara signifikan,
dan dampaknya adalah banjir saat musim hujan yang kini semakin sering dirasakan. Hal ini
penyebabnya sederhana karena “rumah-rumah air” telah berkurang drastis luasannya berganti
menjadi tutupan semen dan beton. Masyarakat lokal yang masih bertahan di bantaran sungai
terpaksa harus siap menerima dampak dari banjir tersebut.

Masih dalam aspek dampak lingkungan, dimana sepanjang alur sungai dari hulu kehilir adalah
kawasan hutan yang luas dengan dipenuhi dengan pohon-pohon besar dan juga keberadaan hutan
gambut. Penjarahan kayu secara ilegal dan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan gambut,
menjadi ancaman nyata. Meskipun merupakan hutan lindung, hukum seakan tidak mampu menahan
segala bentuk pengrusakan. Hutan Kalimantan yang terkenal sebagai “paru-paru dunia” yang
memasok oksigen dan penyimpan karbon terbesar bagi kehidupan di bumi, serta memiliki kekayaan
keanekaragaman hayati (Flora dan fauna langka) tinggi, kini kondisinya semakin terdesak.

Dampak pembangunan fisik di era modernisme cenderung eksploitatif, dan berorientasi penguasaan
atas sumber sumber daya alam, dikelola secara tidak berkelanjutan dan mengabaikan hak-hak sosial,
perempuan dan lingkungan. Kerusakan pada ekosistem sungai, dan hutan adalah salah satu dampak
dari pembangunan eksploitatif yang juga melahirkan rantai dampak lanjutan, diantaranya
berubahnya kondisi sosial masyarakat, kebudayaan, dan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat
sekitar. Hilangnya lahan-lahan rawa tergenang, lahan gambut, dan hutan tropis, menjadi kawasan
perkebunan sawit, pertambangan dan ataupun perumahan, telah secara nyata merubah sebagian
besar pola mata pencaharian masyarakat yang dahulu adalah bertani kini menjadi buruh di kebun-
kebun sawit, atau di lahan pertambangan. Pencemaran sungai juga menjadi penyebab karena air
sungai yang merupakan sumber pengairan di lahan-lahan pertanian tradisional telah tercemar airnya
dan mengganggu produktifitas padi. Aktifitas perdagangan di pasar terapung juga semakin sepi
karena ekspansi “pasar darat” modern. Kehilangan sumber penghidupan memberi tekanan terhadap
pemenuhan kebutuhan dasar semakin mendesak. Hampir tak ada pilihan lain, akhirnya masyarakat
lokal pun menjadi bagian dari pengrusakan alamnya sendiri dengan melakukan pembalakan liar dan
perburuan hewan hewan liar untuk dijual. Kondisi ini perlu dilihat dari kerangka dampak
keserakahan modernisasi dalam mengeksploitasi sumber daya alam, yang mengabaikan keadilan
sosial dan hak-hak masyarakat lokal, dan hak-hak lingkungan sehingga melahirkan rantai dampak
yang panjang pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai