Menimbang :
a. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan RSB Permata Sarana Husada, maka
diperlukan pengelolaan identifikasi pasien rumah sakit yang bermutu tinggi;
b. Bahwa agar pengelolaan identifikasi pasien di RSB Permata Sarana Husada dapat terlaksana
dengan baik, perlu adanya panduan Direktur RSB Permata Sarana Husada sebagai landasan bagi
penyelenggara identifikasi pasien di RSB Permata Sarana Husada;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan b, perlu ditetapkan dengan
keputusan Direktur RSB Permata Sarana Husada
Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tentang Kesehatan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit.
Menetapkan
Kesatu :PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BERSALIN PERMATA SARANA
HUSADA TENTANG
PEMBERLAKUAN KEBIJAKAN IDENTIFIKASI PASIEN RUMAH SAKIT
PERMATA SARANA HUSADA
Kedua :Memberlakukan kebijakan identifikasi pasien RSB Permata Sarana Husada
sebagaimana tercantum
dalam lampiran keputusan ini.
Ketiga :Dengan dikeluarkannya peraturan Direktur RSB Permata Sarana Husada ini, maka
apabila terdapat
peraturan yang bertentangan dengan peraturan Direktur ini maka peraturan-peraturan
yang terdahulu dinyatakan tidak berlaku.
Keempat :Apabila dikemudian hari terdapat kekurangan dan / atau kekeliruan dalam peraturan
Direktur RSB Permata Sarana Husada ini maka akan diadakan perubahan dan
perbaikan sebagaimana
Mestinya.
1. PENDAHULUAN
A. Salah pasien, prosedur yang tidak tepat dan lokasi operasi yang tidak
sesuai serta kekeliruan dalam penggunaan implan / protese maupun
peralatan adalah kejadian yang jarang terjadi, akan tetapi akan menjadi
masalah yang serius didalam pelayanan kesehatan. Apabila hal ini
terjadi dapat sangat merugikan tidak hanya untuk pasien dan
keluarganya tapi juga untuk seluruh staf yang terlibat
B. Kejadian salah pasien, salah prosedur, dan lokasi yang keliru adalah
kejadian yang dapat dicegah dan umumnya sebagian besar hal ini terjadi
diakibatkan oleh karena kurangnya komunikasi dan tidak tersedianya
atau tidak benarnya informasi yang diberikan kepada pasien. Faktor
utama yang berperan adalah kurangnya proses pemeriksaan yang telah
menjadi standar pelayanan dan staf medis maupun klinis tidak
melakukan prosedur ini sesuai standar.
2. TUJUAN
Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menjaga keselamatan pasien dengan
mencegah terjadinya kejadian salah pasien, salah satu prosedur serta lokasi
operasi yang tidak sesuai di RSB Permata Sarana Husada. Kebijakan ini akan
menjelaskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya
kesalahan seperti ini. Langkah-langkah tersebut mencakup :
A. Langkah 1 : melakukan informed consent yang sah telah dipilih
B. Langkah 2 : melakukan konfirmasi identitas pasien
C. Langkah 3 : menandai lokasi operasi atau prosedur invasive
D. Langkah 4 : melakukan suatu tim time out sebelum prosedur operasi
dilaksanakan
E. Langkah 5 : memastikan tersedianya semua dokumen dan gambar
diagnostik yang benar dan sesuai
3. RUANG LINGKUP
A. Kebijakan ini berlaku untuk semua staf medis dan klinis yang terlibat
dalam melaksanakan operasi dan prosedur invasif lainnya yang
memerlukan persetujuan pasien serta pemberian informasi mengenai
segala resiko dimulai dari yang paling minimal sampai yang paling
berat. Prosedur ini meliputi segala tindakan yang dilakukan diruang
operasi dan ruang lainnya seperti ICU, ruang intervensi radiologi, ruang
emergensi, klinik dan bagian rawat jalan.
B. Kebijakan ini tidak berlaku untuk prosedur non invasif dan prosedur
rutin minor seperti pengambilan darah vena, pemasangan infus,
pemasangan NGT atau pemasangan kateter urin.
D. Langkah 4: Lakukan suatu final tim time out dalam ruang operasi, area
pengobatan atau pemeriksaan.
1) Final ‘tim time-out’ harus dilakukan didalam ruangan dimana
prosedur akan dilaksanakan. Ini dilakukan dengan cara fail-safe
(yaitu prosedur tidak akan dimulai sampai semua pertanyaan atau
kekhawatiran terselesaikan).
2) Semua anggota tim yang melakukan prosedur harus berpartisipasi
dalam final ’tim time out‘ dan secara terpisah melakukan verifikasi
rincian berikut ini.
a. Identitas pasien yang benar
b. Konfirmasi bahwa lokasi dan sisi yang benar ditandai
c. Prosedur formulir persetujuan akurat
d. Kesepakatan untuk prosedur yang akan dilaksanakan
e. Posisi pasien yang benar
f. Imaging yang relevan (X-rays, scans dsb ) dengan hasil yang
diberi label yang benar dan ditampilkan dengan tepat
g. Keperluan pemberian antibiotik atau cairan untuk tujuan irigasi
h. Tersedianya prothese/implant yang benar, termasuk jenis,
ukuran dan/atau peralatan khusus atau persyaratan (bila
diperlukan)
3) Keberhasilan bergantung kepada komunikasi aktif sesama seluruh
anggota tim yang melaksankan prosedur. ‘Time-Out’ harus
diprakarsai dan diselesaikan oleh ketua tim yang ditunjuk. Ketua
Tim adalah Scout / perawat keliling. Ketua Tim bertanggung jawab
untuk memastikan bahwa Time out diselesaikan. Prosedur harus
tidak dimulai sampai semua anggota tim puas bahwa proses
verifikasi pasien telah selesai dan bahwa verifikasi pasien adalah
benar.
4) Seluruh anggota tim yang melaksanakan prosedur berbagi
tanggung jawab untuk memastikan bahwa ‘Time-Out’ dijalankan.
Ini berarti jika ketua tim gagal memprakarsa ‘Time-Out’ dengan
alasan, semua anggota tim bertanggung jawab untuk mengingatkan
ketua Tim bahwa itu harus terjadi
5) Bila ditemukan ketidak cocokan atau ketidak sepakatan didalam
verifikasi saat ‘Time-out’ atau pada setiap titik perjalanan pasien
maka prosedur harus ditunda sampai masalah terselesaikan. Hanya
untuk alasan urgensi klinis prosedur dapat dimulai. Pembenaran
untuk melakukan prosedur dengan adanya inkonsistensi harus
didokumentasikan oleh dokter/procedularist ke dalam rekam
medik pasien segera sesudah prosedur selesai dilaksanakan dan
formulir laporan kejadian juga harus dilengkapi.
6) Bila langkah verifikasi sebelumnya memuaskan tetapi pada saat
‘Time-Out’ ditemukan inkonsistensi dalam informasi atau
ketidaksepakatan dalam verifikasi maka laporan kejadian harus
dilengkapi meskipun masalah terselesaikan dengan memuaskan.
7) Jika terjadi ketidaksepakatan dalam situasi emergensi yang
ekstrim, ahli bedah/procedularist bertanggung jawab untuk
perawatan pasien dan harus menentukan tindakan yang paling
sesuai.
8) Proses-proses tersebut harus tidak menghalangi penggunaan
kebijaksanaan dokter yang mengobati untuk merubah prosedur
dengan alasan penilaian klinis. Akan tetapi, perubahan yang
signifikan harus tetap didokumentasikan dan harus
dikomunikasikan dengan seluruh anggota tim yang melaksanakan
prosedur serta dicatat dalam rekam medik pasien.