Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT

“SEORANG PEREMPUAN USIA 61 TAHUN DENGAN ARTRITIS


REUMATOID”
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Pendidikan Dokter Umum Stase Ilmu Penyakit Dalam

Disusun Oleh:
ESHA PUTRININGTYAS SETIAWAN
J510170106
Pembimbing:
Dr. ASNA ROSIDA Sp.PD.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. HARJONO S. KABUPATEN PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
2

CASE REPORT
“SEORANG PEREMPUAN USIA 61 TAHUN DENGAN ARTRITIS
REUMATOID”

Oleh :

ESHA PUTRININGTYAS SETIAWAN


J510170106
Telah diajukan dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada hari
.......................tanggal...........................

Pembimbing:
Dr. Asna Rosida, Sp.PD. (..........................................)

Dipresentasikan dihadapan:
Dr. Asna Rosida, Sp.PD. (..........................................)

KEPANITERAAN KLINIK SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS
RSUD DR. HARJONO S. PONOROGO
2018
3

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

a. Nama : Ny. S
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Usia : 61 tahun
d. Pekerjaan : Swasta
e. Alamat : Ponorogo
f. Tanggal MRS : 09 Januari 2018
g. Tanggal Pemeriksaan : 11 Januari 2018

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Nyeri dan kaku pada lutut kanan, pergelangan kaki, pergelangan tangan
dan jari-jari tangan kanan dan kiri.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Harjono S. Ponorogo dengan keluhan


nyeri dan kaku pada lutut kanan, pergelangan kaki, pergelangan tangan dan
jari-jari tangan kanan dan kiri. keluhan dirasakan semenjak 1,5 bulan yang
lalu. Keluhan dirasakan pada pagi hari . sangat mengganggu aktifitas dan
sedikit membaik saat istirahat namun kembali nyeri jika sendi sendi
digerakkan. Pasien mengaku sekitar satu minggu keluhan pasien berobat ke
Puskesmas dan diberikan obat oleh puskesmas namun keluhan tidak
berkurang dan dirasakan semakin nyeri saat banyak beraktifitas.
Sebelumnya pasien tidak pernah mengeluhkan sakit serupa. Pasien tidak
mengeluhkan Pusing, Demam, Mual, Muntah.
4

C. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat sakit serupa : Disangkal


 Riwayat alergi obat : Disangkal
 Riwayat penyakit jantung : Disangkal
 Riwayat Stroke : Disangkal
 Riwayat hipertensi : Disangkal
 Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat opname : Disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat sakit serupa : Disangkal


 Riwayat hipertensi : Disangkal
 Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat Stroke : Disangkal
 Riwayat penyakit jantung : Disangkal

E. Anamnesis Sistem

 Sistem Serebro Spinal : Pusing (-), Demam (-)


 Sistem Respirasi : Batuk (-), Pilek (-), Sesak napas (-)
 Sistem Kardiovaskuler : Nyeri dada (-)
 Sistem Digestivus : Mual (-), muntah (-), BAB normal
 Sistem Urogenital : BAK kuning jernih
 Sistem Muskuloskeletal : nyeri Sendi (+), nyeri otot (+)
 Sistem Integumentum : Akral hangat

III. PEMERIKSAAN FISIK


5

A. Status Generalis

 Keadaan Umum : Tampak baik


 Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
 Gizi : Kesan cukup
 Vital Sign
o TD : 130/90
o Nadi : 80x/menit regular
o Respirasi : 20x/menit
o Suhu : 37.1oC
 Skala Nyeri

Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan Kepala
- Normocephal
- Leher : Pembesaran KGB (-/-)
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
 Pemeriksaan Thoraks Paru
- Inspeksi : Bentuk dada simetris, gerak napas tertinggal (-)
- Palpasi : Fremitus di seluruh lapang dada (+)
- Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Wh (-/-)
 Pemeriksaan Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
6

- Perkusi : kanan atas SIC II linea parasternalis dextra, kanan


bawah SIC IV linea parasternalis dextra, kiri atas SIC II linea
parasternalis sinistra, kiri bawah SIC V linea midklavikularis
sinistra
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler
 Abdomen
- Inspeksi : Distended (-)
- Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : timpani (+) pada semua regio
- Auskultasi : Peristaltik (+)
 Ekstremitas
- Ekstremitas atas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)(status
lokalis)
- Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT <2”, edema (-/-)(status
lokalis)
B. STATUS LOKALIS :
a. Regio manus dextra sinistra
Look : Tampak oedem di sendi metacarpophalangeal (MCP III-IV
bilateral), eritema (-), deformitas (+/+)
Feel : Nyeri tekan (+/+) di MCP III-IV, hangat (+/+), crt <2 dtk
Move : Range of motion phalanx terbatas oleh nyeri
b. Regio carpalis dextra sinistra
Look : Tidak tampak kelainan, , deformitas (-)
Feel : Nyeri tekan (+/+), hangat (-/-), crt <2dtk
Move : Range of motion carpalis terbatas oleh nyeri
c. Regio genu dextra sinistra
Look : oedem (-/-) , deformitas (-/-), luka (-/-)
Feel : Nyeri tekan (-/-), hangat (-/-), crt <2dtk,
Move : Range of motion genu terbatas oleh nyeri ,nyeri gerak (+/-)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu : 127
2. Pemeriksaan Darah Lengkap
7

Nama Test Hasil Nilai rujukan

12.3 14.0 - 18.0


hemoglobin
8.4 4000 – 10000
Lekosit
37.9 40.0 - 48.0
hematokrit
150000 – 450000
Trombosit 383000

4.12 4.40 - 5.90


Eritrosit
92.1 75.0 - 100.0
MCV
29.9 26.0 - 34.0
MCH
32.4 32.0 - 36.0
MCHC
14.6 11.0 - 16.0
RDW
1.6 0.5 - 4.5
Limfosit

3. Pemeriksaan Kimia Darah


nama test Hasil Nilai rujukan

180 20 – 200
kolestrol total
42 40 – 200
HDL – Kolestrol
111 <130
LDL – Kolestrol
22.40 10 – 50
Ureum
0.89 0.6 - 1.3
Creatinin
4.3 2.5 - 7.0
Asam Urat
8

18 1 – 37
SGOT
12 1 – 40
SGPT
10 0 – 30
Gamma GT
54 30 – 120
Alkali fosfatase
5.0 6.2 - 8.5
Protein total
3.1 3.5 - 5.3
Albumin
2.0 1.5 - 3.0.
Globulin
0.40 0.2 - 1.2
Bilirubin total
0.19 0 - 0.5
Bilirubin Direk

4. Pemeriksaan Imunologi Klinik


Nama Test Hasil Nilai rujukan

Negatif Negatif
HBsAg Kualitatif

5. Pemeriksaan EKG
9

6. Foto X-ray genu dextra

Tampak normal

IV. PATIENT ORIENTED MEDICAL REPORT

Abnormalitas Problem Assessm Planning Planning Planning


ent Terapi Monitorin
Diagnosis
g

 Nyeri dan kaku Nyeri dan kaku Artritis  X-ray  inf. PZ 20  TTV

pada lutut, pada pagi hari Reumat Genu tpm  Klinis


pergelangan kaki, oid dextra et
Kekakuan  inj.
pergelangan tangan sinistra
lebih dari tiga Ketorolac 2
dan jari-jari tangan sendi serta  X-ray x 1 amp
kanan dan kiri saat pada metatarsal
 inj.
pagi hari. extremitas dextra et
Dexametaso
 Pada regio manus kanan dan kiri sinistra
n 1x1 amp
Tampak oedem di
Artritis pada  Pmx Lab
sendi
sendi tangan kimia
metacarpophalang
klinik
eal (MCP III-IV Artritis
simetris  RF
bilateral),
deformitas (+/+)  CRF
10

Nyeri tekan (+/+)  Anti-CCP

di MCP III-IV,  Anti-RA33

teraba hangat.
Rom terbatas oleh
nyeri.
 Pada regio
genu . Rom
terbatas oleh
nyeri
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Artritis Reumatoid

1. Definisi Artritis Reumatoid

Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun


sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang
etiologinya belum diketahui secara pasti dan dikarateristikkan dengan destruksi
sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling
umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris. Penyakit RA ini merupakan
kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan
mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis).

2. Epidemiologi Artritis Reumatoid

Prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di seluruh dunia


(Suarjana, 2009). Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan
prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan diantara berbagai grup etnik
dalam suatu negara. Misalnya, masyarakat asli Ameika, Yakima, Pima, dan suku-suku
Chippewa di Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi
sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia. Beda halnya,
dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan prevalensi lebih
rendah sekitar 0,2%-0,4% . Prevalensi RA di India dan di negara barat kurang lebih
sama yaitu sekitar 0,75%.

Sedangkan, di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri sendi kronik mulai dari
usia 20 tahun dan juga seperduanya berusia 40 tahun. Satu dari penyebab utama nyeri
yang timbul, dengan konsekuensi yang serius, merupakan RA . RA adalah penyakit
inflamasi reumatik yang paling sering dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada
populasi dewasa. Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa per
12

100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita dewasa. Studi RA di Negara
Amerika Latin dan Afrika menunjukkan predominansi angka kejadian pada wanita
lebih besar dari pada laki-laki, dengan rasio 6-8:1.

Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik didaerah
urban ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan
prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusai diatas 40 tahun
mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,5% didaerah kotamadya dan 0,6% didaerah
kabupaten. Di poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus
baru RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru pada tahun 2000 dan pada periode
januari s/d juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 12.346 orang (15,1%). Prevalensi RA lebih banyak ditemukan
pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada
semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade
keempat dan kelima .

Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia, pada wanita


di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak kejadian RA terjadi pada
usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para ahli dari universitas Alabama, AS,
wanita yang memderita RA mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk
meninggal dibanding yang tidak menderita penyakit tersebut.

Dari data presurvey di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung didapatkan bahwa penyakit
RA menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar sejak tahun 2011. Pada presurvey ini
dilakukan pengamatan data sejak tahun 2007 sampai dengan 2012. RA muncul pada
tahun 2011 menempati urutan kedelapan dengan angka diagnosa sebanyak 17.671
kasus (5,24%) dan naik ke urutan keempat pada tahun 2012 dengan 50.671 kasus
(7,85%).
13

Dan dari profil kesehatan di dinas kesehatan sejak tahun 2007-2011 didapatkan
penyakit RA muncul menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar di kota Bandar
Lampung pada tahun 2009 di urutan keempat dengan presentase sebesar 5,99%, tahun
2010 menjadi urutan ketiga sebesar 7,2% dan tahun 2011 pada urutan keempat dengan
presentasi sebesar 7,11% .

Di poliklinik penyakit dalam untuk pasien rawat jalan di RSUD Abdoel Meoloek, pada
presurvey yang telah dilakukan peneliti pada tahun 2012 periode Januari-Desember
terjadi 1.060 kasus.

3. Etiologi Artitis Reumatoid

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan


dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009)

a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.

b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental


Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA),
yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi
esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon
imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini .

c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang
(host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit
RA .

d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
14

epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya
reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis .

e. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok.

4. Faktor Resiko Artritis Reumatoid

Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin


perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat
dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir
sehari, khusunya kopi decaffeinated. Obesitas juga merupakan faktor resiko.

5. Patofisiologi Artritis Reumatoid

Arthritis rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang terjadi pada individu
rentan setelah respon imun terhadap antigen pemicu yang tidak diketahui. Agen
pemicunya adalah bakteri, mikoplasma, atau virus yang menginfeksi sendi atau mirip
sendi secara antigenik. Biasanya respon antibody awal terhadap mikroorganisme
diperantarai oleh IgG. Walaupn respon ini berhasil menghancurkan mikroorganisme,
individu yang mengalami AR mulai membentuk antibody lain, biasanya oleh IgM atau
IgG, terhadap antibody IgG awal. Antibody yang ditujukan ke komponen tubuh sendiri
ini disebut faktor rheumatoid (Rheumatoid factor/ RF). RF menetap di kapsul sendi
sehingga menyebabkan inflamasi kronis kerusakan jaringan .

Antibody RF berkembang dan melawan IgG untuk membentuk kompleks imun.


IgG sebagai antibody alami tidak cukup kemudian tubuh membentuk antibody (RF)
yang melawan antibody itu sendiri (IgG) dan akibatnya terjadi transformasi IgG
menjadi antigen atau protein luar yang harus dimusnahkan. Makrofag dan limfosit
menghasilkan sebuah proses pathogenesis dari respon imun untuk antigen yang tidak
spesifik. Bentuk kompleks imun antigen-antibodi ini menyebabkan pengaktifan sistem
complement dan pembebasan enzim lisosom dari leukosit. Kedua reaksi ini
menyebabkan inflamasi.
15

Kompleks imun yang tersimpan didalam membrane synovial atau lapisan


superficial kartilago, adalah pagositik yang terdiri atas polimorphonuklear (PMN)
leukosit, monosit, dan limfosit. Pagositik menonaktifkan kompleks imun dan
menstimulasi produksi enzim additional (radikal oksigen, asam arasidonik) yang
menyebabkan hyperemia, edema, bengkak, dan menebalkan membrane synovial.

Hipertropi synovial menyebabkan aliran darah tersumbat dan lebih lanjut


manstimulasi nekrosis sel dan respon inflamasi. Sinovium yang menebal menjadi
ditutup oleh jaringan granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat menyebar
keseluruh sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan parut
lebih lanjut. Proses ini secara lambat akan merusak tulang dan menimbulkan nyeri
hebat deformitas.

Pannus menutupi kartilago dan kemudian masuk ke tulang sub chondria.


Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi
kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.

Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila


kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena
jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau
dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan
osteoporosis setempat.
16
17
18

6. Diagnosa Artritis Reumatoid

Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid dari
American Rheumatism Association tahun 1987

Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the


Classification of Rheumatoid Arthritis

Kriteria Definisi

1. Kekakuan pagi Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,

hari lamanya setidaknya 1 jam


19

Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan


peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
2. Artritis pada tiga kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri
atau lebih area proksimal interfalangs (PIP), metacarpofalangs (MCP),
sendi pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metatarsofalangs (MTP)

3. Artritis pada sendi Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
tangan sendi MCP atau sendi PIP

Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama


4. Artritis simetris pada kedua bagian tubuh

5. Nodul-nodul Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau

reumatoid permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular

Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor


6. Serum faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
reumatoid positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal

Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada

7. Perubahan radiografik tangan dan pergelangan tangan

radiografik posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi


terlokalisasi yang tegas pada tulang.

Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien


memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.
20

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:

 Inspeksi pada saat diam


 Inspeksi pada saat gerak
 Palpasi
a) Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan segera
mengangkat tungkai yang nyeri atau deformitas, sementara tungkai
yang nyeri akan lebih lama diletakkan dilantai, biasanya diikuti oleh
gerakan lengan yang asimetris, disebut gaya berjalan antalgik.
b) Sikap/fostur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan artikular
pada sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendi tersebut senyaman
mungkin, biasanya dalam posisi pleksi.
c) Deformitas, akan lebih terlihat pada saat bergerak
d) Perubahan kulit, kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar
sendi menunjukkan adanya inflamasi pada sendi.
e) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di
daerah sendi tersebut
f) Bengkak sendi, bisa disebabkan oleh cairan, jaringan lunak, atau tulang.
g) Nyeri raba
h) Pergerakan, sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi
pada semua arah.
i) Krepitus, merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang
gerakan struktur yang diserang.
j) Atropi dan penurunan kekuatan otot
k) Ketidakstabilan
l) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi pada
penggunaan normal, seperti bangkit dari kursi atau kekuatan
menggenggam
21

m) Nodul, sering ditemukan pada berbagai atropi, umumnya ditemukan


pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang,
sacrum)
n) Perubahan kuku, adanya jari tabuh, thimble pitting onycholysis atau
serpihan darah
o) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang
pergerakan sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.
p) Rheumatoid arthritis mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya,
yaitu:
1) Kulit: nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada banyak
pasien dengan RA yang nilai RF nya normal, sering lebih dari titik-
titik tekanan (misalnya, olekranon. Lesi kulit dapat bermanifestasi
sebagai purpura teraba atau ulserasi kulit.
2) Jantung: morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang meningkat
pada pasien dengan RA. Faktor risiko non tradisional tampaknya
memainkan peran penting. Serangan jantung , disfungsi miokard,
dan efusi perikardial tanpa gejala yang umum, dan gejala
perikarditis konstriktif jarang. Miokarditis, vaskulitis koroner,
penyakit katup, dan cacat konduksi kadang-kadang diamati.
3) Paru: RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk,
termasuk efusi pleura , fibrosis interstisial, nodul (Caplan sindrom),
dan obliterans bronchiolitis-pengorganisasian pneumonia.
4) GI: keterlibatan usus, seperti dengan keterlibatan ginjal, merupakan
komplikasi sekunder akibat efek obat-obatan, peradangan, dan
penyakit lainnya. Hati sering terkena pada pasien dengan sindrom
Felty (yaitu splenomegali, dan neutropenia).
5) Ginjal: Ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA langsung.
Umumnya akibat pengaruh, termasuk karena obat-obat (misalnya,
22

obat anti-inflammatory peradangan (misalnya, amyloidosis ), dan


penyakit yang terkait (misalnya, sindrom Sjögren dengan kelainan
tubulus ginjal).
6) Vascular: lesi vasculitik dapat terjadi di organ mana saja namun
yang paling sering ditemukan di kulit. Lesi dapat hadir sebagai
purpura gamblang, borok kulit, atau infark digital.
7) Hematologi: Sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit anemia
kronis, termasuk anemia normokromik-normositik, trombositosis,
dan eosinofilia, meskipun yang terakhir ini jarang terjadi.
Leukopenia ditemukan pada pasien dengan sindrom Felty.
8) Neurologis: biasanya saraf jeratan, seperti pada saraf median di
carpal, lesi vasculitik, multipleks mononeuritis, dan myelopathy
leher rahim dapat menyebabkan konsekuensi serius neurologis.
9) Okular: keratoconjunctivitis sicca adalah umum pada orang dengan
RA dan sering manifestasi awal dari sindrom Sjögren sekunder.
Mata mungkin juga episkleritis , uveitis, dan scleritis nodular yang
dapat menyebabkan scleromalacia.
Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan
deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal
interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP).
Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu
deformitas swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan
fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat
mungkin untuk menggantinya dengan protesa silikon.
23

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara lain,


pemeriksaan serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF, analisis cairan
sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound .

7. Diagnosis banding
Gambaran Artritis Osteoartritis
Gout
Radiologi Reumatoid

Periartrikular, Intermitten, tidak


Soft tissue swelling Esentrik, tophi sejelas yang lain
simetris

Subluksasi Ya Tidak biasa Kadang-kadang

Menurun di Baik
Mineralisasi Baik
periartrikular
Kadang-kadang Tidak
Kalsifikasi Tidak
pada tophi
Baik hingga Menyempit
Celah sendi Menyempit
menyempit
Punched out Ya, pada
Erosi Tidak dengan garis intraartikular
sklerotik
Menjalar ke tepi Ya
Produksi tulang Tidak
korteks
Bilateral, Bilateral, simetri
Simetri Asimetri
simetri
Kaki,
Proksimal ke Distal ke proksimal
Lokasi pergelangan kaki,
distal
tangan dan siku
24

Seagull appearance
Karakteristik yang Pembentukan pada sendi
Poliartrikular
membedakan kristal interfalangeal

8. Terapi Artritis Reumatoid

Tujuan utama dari program pengobatan adalah untuk menghilangkan nyeri dan
peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari klien, serta
mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi. Penatalaksanaan
yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan – jutuan itu meliputi pendidikan,
istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi, serta obat – obatan. Pengobatan dapat
dimulai secara lebih dini. Klien harus diterangkan mengenai penyakitnya dan diberikan
dukungan psikologis. Nyeri dikurangi atau bahkan dihilangkan, reaksi inflamasi harus
ditekan, fungsi sendi dipertahankan, dan deformitas dicegah dengan obat antiinflamasi
nonsteroid, alat penopang ortopedis, dan latihan terbimbing.

Pada keadaan akut kadang dibutuhkan pemberian steroid atau imunosupresan.


Sedangkan, pada keadaan kronik sinovektomi mungkin berguna bila tidak ada
destruksi sendi yang luas. Bila terdapat destruksi sendi atau deformitas dapat
dianjurkan dan dilakukan tindakan artrodesis atau artroplastik. Sebaiknya pada
revalidasi disediakan bermacam alat bantu untuk menunjang kehidupan sehari – hari
dirumah maupun ditempat karja.
Langkah pertama dari program penatalaksanaan Artritis reumatoid adalah
memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada klien,
keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan klien. Pendidikan kesehatan
yang diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologi penyakit, penyebab dan
prognosis penyakit, semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen
obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit, dan metode-
metode yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan.
Proses pendidikan kesehatan ini harus dilakukan secara terus – menerus. Pendidikan
dan informasi kesehatan juga dapat diberikan dari batuan klub penderita, badan – badan
25

kemasyarakatan, dan orang – orang lain yang juga menderita Artritis reumatoid, serta
keluarga mereka.
Istirahat adalah penting karena Artritis reumatoid biasanya disertai rasa lelah
yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat timbul setiap hari, tetapi ada masa –
masa dimana klien marasa keadaannya lebih baik atau lebih berat. Kekakuan dan rasa
tidak nyaman dapat meningkat apabila beristirahat. Disamping itu latihan – latihan
spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup
gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, dan sebaiknya dilakukan
sedikitnya dua kali sehari. Obat-obatan penghilang nyeri mungkin perlu diberikan
sebelum latihan, dan mandi parafin dengan suhu. Contoh-contoh obat yang dapat
diberikan :
 NSAIDs
Obat anti-infalamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi gejala nyeri
dan mengurangi proses peradangan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
ibuprofen dan natrium naproxen. Golongan ini mempunyai risiko efek samping
yang tinggi bila di konsumsi dalam jangka waktu yang lama.
 Kortikosteroid
Golongan kortikosteroid seperti prednison dan metilprednisolon dapat
mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam jangka
pendek kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila di konsumsi
dalam jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek samping
yang serius.
 Obat remitif (DMARD)
Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena itu
diberikan pada stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan
melindungi sendi dan jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk
dalam golongan ini adalah klorokuin, metotreksat salazopirin, leflunomide dan
garam emas.

9.Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid
drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada
arthritis reumatoid.
26

Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar


dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan
dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat
vaskulitis.

9.Prognosis
Beberapa tampakan klinis pada pasien artritis reumatoid nampaknya
memiliki nilai prognostik. Remisi dari aktivitas penyakit cenderung lebih
banyak terjadi pada tahun pertama. Jika aktivitas penyakit berlangsung lebih
dari satu tahun biasanya prognosis buruk. Wanita kulit putih cenderung
memiliki sinovitis yang lebih persisten dan lebih erosif dibanding pria.
Harapan hidup rata-rata orang dengan artritis reumatoid memendek 3-7 tahun
dari orang normal. Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada
pasien dengan penyakit sendi yang lebih berat, sehubungan dengan infeksi dan
perdarahan gasrointestinal. Faktor yang dihubungkan dengan kematian dini
mencakup disabilitas, durasi dan tingkat keparahan penyakit, penggunaan
glukokortikoid, umur onset, serta rendahnya status sosio-ekonomi dan
pendidikan.
27

BAB III
PEMBAHASAN
Pada saat dilakukan anamnesis pasien mengeluh nyeri dan kaku pada lutut kanan,
pergelangan kaki, pergelangan tangan dan jari jari tangan kanan dan kiri. Nyeri
dirasakan pada pagi hari. Organ yang di curigai dari gejala tersebut adalah ekstremitas
baik regio manus, carpalis, genu. Nyeri ini di sebabkan oleh proses inflamasi pada
celah sendi synovial dan cairan persendian menyebabkan gejala nyeri pada sendi dan
pembengkakan. Hal ini merupakan akibat dari pelepasan prostaglandin dan leukotrien
dari sel polymorphonuclear. Penghancuran tulang rawan dan tulang disebabkan oleh
adanya inflammatory proteinases dan prostanoids yang diaktifkan oleh limfosit dan
monosit. Kekakuan dirasakan pada pagi hari disebabkan imobilisasi pasien saat tidur,
sehingga otot tendo mengalami pemendekan. Sehingga memerlukan waktu untuk
mengembalikan otot dan tendo seperti normal. Pada pasien arthritis rheumatoid waktu
yang diperlukan lebih lama, yaitu sekitar 1-2 sebab diserti beratnya inflamasi sehingga
mengurangi pergerakan sendi baik aktif maupun pasif. Kekakuan pada sendi
disebabkan karena pannus menumpuk pada kartilago yang menghambat proses difusi,
nutrisi dikartilago.sehingga rusak dan terjadi kekakuan sendi.
Pada pemeriksaan fisik pada regio manus terdapat oedem, nyeri tekan didigiti
III-V MCP, deformitas, nyeri saat di gerakan , ROM terbatas oleh nyeri. Untuk regio
carpalis dan regio genu nyeri saat digerakan, ROM terbatas oleh nyeri.
Oedem sendi yang terjadi dikarenakan proses inflmasi disertai membran synovial
menebal sehingga menyebabkan bengkak pada sendi dan perubahan warna kulit (kulit
memerah). Deformitas pada jari yang terjadi dikarenakan proses peradangan yang lama
akan menyebabkan kelemahan dari jaringan lunak disertai pula dengan subluksasi
falang proksimal sehingga menyebabkan deviasi jari-jari tangan kearah ulnar (ulnar
aeviation) .
Diagnosis pada pasien ini menurut criteria for the classification of rheumatoid
atrthritis american rheumatoid association didapatkan hasil 4 dari 7 kriteria yang
menunjukan pasien menderita rheumatoid atrtritis.
Terapi pada pasien ini meliputi Ketorolac yang merupakan obat dengan fungsi
mengatasi nyeri sedang hingga nyeri berat untuk sementara. Ketorolac
adalah golongan obat nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) yang bekerja
dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan inflamasi. Efek
ini membantu mengurangi bengkak, nyeri, atau demam. Dosis yang dianjurkan .
Golongan kortikosteroid diberikan seperti Dexametason, prednison dan
metilprednisolon dapat mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan
28

sendi. Dalam jangka pendek kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun
bila di konsumsi dalam jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek
samping yang serius.
Diberikan Obat remitif (DMARD) untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena
itu diberikan pada stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan
melindungi sendi dan jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk
dalam golongan ini adalah klorokuin, metotreksat salazopirin, leflunomide dan garam
emas.
29

DAFTAR PUSTAKA

Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76

Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential Diagnosis. In:
St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1 st ed. New
York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23

Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books; 2004.p.50-5

Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S.


Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image
Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-398

Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic Pathology 4th


ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5

Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and Orthopaedics 1st ed.
New York : Mosby; 2004.p.51-9

Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in Health
and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5
30

Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair EW, Pisetsky
DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins; 2004.p.80-9
31
32

Anda mungkin juga menyukai