A. Latar Belakang
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah Perang Padri pada tahun 1803 sampai 1838
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah terjadinya
Perang Padri di Sumatera Barat
Daftar isi :
Kata Pengantar
Pendahuluan
Daftar isi
Pembahasan Perang Padri
Keterlibatan Belanda
Gencatan Senjata
Tuanku Imam Bonjol
Peperangan Jilid 2
Perlawanan Bersama
Serangan Ke Bonjol
Benteng Bonjol
Pengepungan Bonjol
Perundingan
Akhir Peperangan
Warisan Sejarah
Referensi
Daftar Pustaka
Penutup
Perang Padri
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat
dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari
tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya
akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan.
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan
campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan
penyerangan Simawangdan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten
Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.
Kemudian pada 8 Desember1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah
dikuasai tersebut.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah
besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger,
untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan
tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam
kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian
Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun
seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda
setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri
terpaksa mundur dari kawasanluhak dan bertahan di Bonjol.
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri
saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah
Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut
"Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke
Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka
hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau
akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan
membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan,
membuat jalan, membukasekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka
penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan
dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga
kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam
menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan
pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil
mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di
Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang
masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran
sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung
selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah
pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri
terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah
Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini
dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan
menuju Bonjol.
Pengepungan Bonjol
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba
melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai
bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata
tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan
perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-
daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di
Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan
markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau
mati syahid.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen
Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol
menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan
tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera
putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang
ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma
jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di
bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit
langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk
selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan
ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon.
Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali
dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa
pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku
Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
Akhir peperangan
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan
Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih
berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan
Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28
Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur,
bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung
Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan
Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan
wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah
Hindia-Belanda.
Warisan sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme
kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya
Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen
untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa
lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan
sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan
Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di
Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmatNya-lah maka kami bisa menyelesaikan
makalah dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.