Anda di halaman 1dari 16

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga


orang Haji dari Mekkahsekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum
sempurna dijalankan oleh masyarakatMinangkabau. Mengetahui hal
tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan
ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang
tergabung dalam Harimau Nan Salapan.

Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak


Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat
untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum
Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan
Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah
pimpinan Tuanku Pasamanmenyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah
peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.
Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungiPagaruyung pada tahun 1818,
menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisaIstana Kerajaan
Pagaruyung yang sudah terbakar.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah Perang Padri pada tahun 1803 sampai 1838

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah terjadinya
Perang Padri di Sumatera Barat
Daftar isi :
 Kata Pengantar
 Pendahuluan
 Daftar isi
 Pembahasan Perang Padri
 Keterlibatan Belanda
 Gencatan Senjata
 Tuanku Imam Bonjol
 Peperangan Jilid 2
 Perlawanan Bersama
 Serangan Ke Bonjol
 Benteng Bonjol
 Pengepungan Bonjol
 Perundingan
 Akhir Peperangan
 Warisan Sejarah
 Referensi
 Daftar Pustaka
 Penutup
Perang Padri
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat
dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari
tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya
akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan.

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama


yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak
dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud
seperti perjudian,penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman
keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai
warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam
untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri,
sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang


saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan
ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat
dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin
Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan
kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru
memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan
Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya
peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup


panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain
meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya
perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan
masyarakat dari kawasan konflik.
Keterlibatan Belanda
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan
Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan
Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21
Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu
dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan
Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda
penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda,
kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah
Datar.

Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan
campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan
penyerangan Simawangdan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten
Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.
Kemudian pada 8 Desember1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah
dikuasai tersebut.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan


Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung.
Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan
namaFort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan
bertahan diLintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff
di Tanjung Alamdihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat
terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran
di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada
5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa
kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang
dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba


kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan
perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke
Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan
Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel
Raaff, namun pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan
kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal
dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah
sebelumnya mengalami demam tinggi.

Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah


pimpinanMayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di
Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka
juga telah mendudukiBiaro dan Kapau, namun karena luka-luka yang
dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.
Gencatan senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga
sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda
melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu
telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
"Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi
karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam
menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba


memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat.
Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat
Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan
konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang
artinya adat Minangkabauberlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama
Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang
diilustrasikan oleh de Stuers pada tahun 1820.Tuanku Imam Bonjol yang
bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang
Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam
di Bonjol. Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah
Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.

Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan


kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya,
sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi
lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air

Peperangan jilid kedua


Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda
di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan
Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan
penanaman kopiyang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau
(darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu
produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada
perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat
Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai
barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih
atau monopoli.

Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar


perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai
Sikekyang merupakan salah satu kawasan yang mampu
memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat
kedudukannya, Belanda membangun benteng diBukittinggi yang dikenal
dengan nama Fort de Kock.Persiapan pasukan Belanda diFort de Kock.

Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan,


menjadikanLuhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku
Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.
Sementara ketikaLetnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap
Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari
pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran
Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-
Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout
berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan
masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan
kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri
sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa,
Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya,
dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya
kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan
ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan.
Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara
Belanda.

Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah
besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger,
untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan
tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam
kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian
Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun
seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda
setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri
terpaksa mundur dari kawasanluhak dan bertahan di Bonjol.

Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa


kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833,
pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun
sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang
oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak
korban di pihak Belanda. Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada
tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat
dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum
lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya
kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Perlawanan bersama
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum
Padri. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam
konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir
selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai
perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.

Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun


Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;
[21]
disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi
terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh
Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel
Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan.
Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan Belanda
Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan
beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau
mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya.
Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan
Gadang di Batipuh.

Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri
saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah
Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut
"Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke
Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka
hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau
akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan
membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan,
membuat jalan, membukasekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka
penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-


Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke
Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh
pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan
dengan KomisarisPesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan
Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando
pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang
baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena
kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat
mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den
Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat
tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari
sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil
memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam
beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda
seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya
dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya.
Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-
Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan
bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi
guna penyerangan selanjutnya.

Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan
dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga
kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam
menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan
pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.

Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali


mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya.
Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin
oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua
bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini
mesti menyeberangi sungaiyang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk
menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah;
guna membuka jalur baru menuju Bonjol.

Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil
mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di
Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang
masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran
sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung
selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah
pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri
terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah
Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini
dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan
menuju Bonjol.

Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat


lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah
Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah
Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun
pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.

Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali


bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu
pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di
seberangnya. Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira
hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka
mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan
menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki
Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan
meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang
menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.

Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan


sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada
tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai
gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas,
dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini
mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran
yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat
panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi
kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam
dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik
pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya
ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum
Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan
kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan
Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri
untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas
utama Tuanku Imam Bonjol.

Pengepungan Bonjol
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba
melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai
bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata
tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan
perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-
daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di
Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan
markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau
mati syahid.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan


kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang,
maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap
kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan
Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu
persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit
Tajadi.[27] Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum
berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum
Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit
Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk
ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang
dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan
banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer,
salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim
ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.

Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan


semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang
pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan
Alahan Matimengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan
Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah
datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan
Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836,
pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng
Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini
mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat
masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam
Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri
kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan
terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali
korban jiwa di masing-masing pihak.

Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur


Jenderal Hindia-Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang
oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837
mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal
Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol
untuk kesekian kalinya. Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda
yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.

Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala


jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin
oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri
dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148
perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
termasuk di dalamnyaSumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan
pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan
Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel
Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak,
Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga
nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche
Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko,
Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda,


dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah
orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara
Belanda, direkrut dariGhana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan
112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.

Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari


pasukanartileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6
bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada
tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai
komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan,
dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan
pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat
ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari
benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah
Marapak.
Perundingan
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus
mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah
bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan
Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan
masih siap untuk bertempur kembali.

Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen
Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol
menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan
tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera
putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang
ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma
jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di
bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit
langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk
selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan
ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon.
Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali
dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa
pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku
Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
Akhir peperangan
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan
Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih
berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan
Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28
Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur,
bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung
Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan
Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan
wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah
Hindia-Belanda.

Warisan sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme
kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya
Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen
untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa
lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan
sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan
Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di
Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong


pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku
Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmatNya-lah maka kami bisa menyelesaikan
makalah dengan tepat waktu.

Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang


“Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda”, yang menurut kami dapat
memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari berbagai sejarah
tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa mengetahui perjuangan dari
rakyat-nya itu sendiri.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa


terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat
memberikan manfaat untuk semua pihak. Amin.

Anda mungkin juga menyukai