Anda di halaman 1dari 24

Jejak Syekh Ahmad Syurkati dalam Memimpin Gerakan Al-Irsyad

Muhammad Khairul Febriyanto 1406537924 febrigest26@gmail.com


Rosyidah 1406536893 ida.bahfie@gmail.com

ABSTRAK

Pembaharuan Islam di era modern merupakan suatu hal yang begitu mendasar untuk kemajuan sebuah negara
yang berlandaskan Islam, dengan berbagai persoalan yang muncul menjadikan itu sebagai tantangan tersendiri
bagi umat Islam sehingga mendorong munculnya tokoh pembaharuan yang mampu mengembalikan nilai-nilai
Islam dan kembali kepada Alquran dan Alsunnah, dengan gerakan tajdid dalam purifikasi dan modernisasi
diharapkan mampu menjadikan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Jurnal ini menjelaskan tentang
seorang tokoh reformis yaitu Ahamd Syurkati. Tujuan penulisan ini adalah menjelaskan secara singkat tentang
jejak langkah Ahmad Syurkati dan mengetahui lebih jauh tentang gerakan Al-Irsyad. Metode yang dilakukan
untuk penelitian ini adalah studi pustaka. Hasil dari penelitian ini adalah Sejarah Hidup Syekh Ahmad Syurkati,
Perselisihan Antara Sayyid dan Non-Sayyid, Sejarah Berdirinya Al – Irsyad, Prinsip-Prinsip Al-Irsyad, Mabadi’
Al-Irsyad, Penyebaran Gerakan Al-Irsyad, Pemikiran Syekh Ahmad Syurkati Dalam Bidang Pendidikan, dan
karya-karya Syekh Ahmad Syurkati. Jurnal ini dibuat bertujuan tidak hanya untuk memenuhi tugas mata kuliah
Gerakan Pemikiran Islam saja, tetapi juga untuk menambah wawasan baik bagi penulis maupun bagi
pembacanya mengenai Ahmad Syurkati dan gerakan Al-Irsyad
Kata kunci : Ahmad Syurkati, Sayyid, Jami’at Khair, Al-Irsyad

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Pada awal abad ke-20 Munculah pembaharu dalam gerakan
Modernisme Islam di Indonesia yang dipengaruhi oleh berbagai variabel penting yang
melatar belakanginya. Menurut Steenbrink, setidaknya terdapat empat faktor penting
yang mendorong “perubahan dan pembaharuan Islam di Indonesia” pada saat itu.
Pertama, adanya tekanan kuat untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan Hadist, yang
keduanya dijadikan sebagai landasan berfikir untuk menilai pola keagamaan dan tradisi
yang berkembang di masyarakat. Tema sentral dari kecendrungan ini adalah menolak
setiap pengaruh budaya lokal yang dianggap mengontaminasi kemurnian ajaran Islam.
Sehingga upaya kembali pada ajaran Al-Qur`an dan Hadist dipilih sebagai jawaban
solutif atas problem keberagaman yang meluas di masyarakat.
Kedua, kuatnya semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Gerakan
perlawanan ini banyak direalisasikan oleh kelompok nasionalis yang terus berusaha
menentang kebijakan penjajah belanda, tetapi mereka juga enggan menerima gerakan
Pan-Islamisme. Ketiga, kuatnya motivasi dari komunitas muslim untuk mendirikan
organisasi dibidang sosial–ekonomi yang diharapkan bermanfaat demi kepentingan
mereka sendiri, maupun kepentingan publik. Keempat, gencarnya upaya memperbaiki
pendidikan Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas oleh penulis pada bagian pembahasan adalah
bagaimana sejarah Syekh Ahmad Syurkati dari kecil sampai dia menyebarkan pembaruan
Islam di Indonesia ini hingga berkembang Al-Irsyad, bagaimana Pemikiran Ahmad
Syurkati di bidang pendidikan, dan apa saja karya-karya Ahmad Syurkati.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dilakukan untuk memaparkan lebih jauh tentang sejarah Syekh
Ahmad Syurkati dari kecil sampai dia menyebarkan pembaruan Islam di Indonesia.
Sekaligus mengetahui pemikirin Ahmad Syurkati dalam bidang pendidikan. Dan
mengetahui karya-karya yang dibuatnya.

1.4 Metodologi
Penulisan ini menggunakan metode studi pustaka dengan mencari berbagai buku,
karangan ilmiah serta laporan penelitian sebagai referensi penulisan. Referensi yang
dipakai berjumlah lebih dari satu agar dapat dibandingkan satu dengan lainnya. Beberapa
proses yang dilalui yaitu mencari buku referensi, menandai bagian yang penting,
membandingkan dan melengkapi informasi dari berbagai buku, pembuatan kerangka
ilmiah dan penyempurnaan tulisan (termasuk edit, mengurangi dan menambah bahan).

II. Pembahasan
2.1. Sejarah Hidup Syekh Ahmad Syurkati
2.1.1. Di Sudan

Ahmad Syurkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, daerah Dongula, Sudan pada
1292 H/1875 M. Ayahnya bernama Muhammad dan masih mempunyai hubungan
keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Ansari. Karena masih keturunan Jabir bin
Abdullah al-Ansari, maka Syurkati memeliki nama lengkap Ahmad Muhammad
Syurkati al-Ansari. Sedang nama Syurkati sendiri berarti banyak kitab (dalam bahasa
setempat Sur artinya kitab, dan Katti artinya banyak ).1

1
Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) : Pembaharu dan pemurni Islam di Indonesia,
( Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1999 ), hlm. 4
Ahmad Syurkati berasal dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam.
Menurut penuturan saudara kandungnya, Syurkati sejak kanak-kanak telah ditandai
kelebihan berupa kejernihan pikiran dan kecerdasan, Hal ini cenderung membuat
ayahnya memperlakukan dia lebih istimewa dari saudara-saudara kandung lainnya.
Sejak kecil ayahnya sudah membiasakan Ahmad Syurkati menghadiri pengajian-
pengajian atau majelis-majelis ilmiah yang dihadiri oleh para guru agama. Dengan
begitu Ahmad Syurkati ikut mendengarkan diskusi-diskusi tentang agama. Ahmad
Syurkati memiliki kecerdasan yang luar biasa, dalam menghafalkan Alqurandia tidak
menemui kesulitan dalam menghafal Alquran seperti teman-temanya. Kebiasaan ini
berlanjut hingga usia tua.

Ahmad Syurkati menghafalkan Alquran di Masjid al-Qaulid, suatu lembaga


Alquranterkenal di masa itu. Menghafal Alquran adalah bentuk permulaan dari
pendidikan agama Islam. Pada sistem pendidikan tradisional Sudan, guru Alquran
disebut feki, yang secara pribadi memiliki khalwa, biasanya beberapa khalwa berkait
dengan satu masjid. Namun demikian tidaklah dapat dipungkuri bahwa Syurkati kecil
juga butuh bermain seperti layaknya teman-teman seusianya. Pada waktu jam
menghafal yaitu sesudah shalat shubuh di Masjid al-Qaulid dia tidak datang dan
hanya sekali, tapi dua kali berturut-turut. Hal tersebut membuat pimpinan masjid
marah dan memerintahkan untuk mencari dan membawanya menghadap.

Setelah sekian lama dicari ternyata Syurkati dalam keadaan tidur nyenyak di
suatu bilik. Pimpinan masjid langsung menghukum dia dengan berdiri di depan
teman-temanya dan mendengarkan teman-teman yang menghafal Alquran. Dan
setelah temen-temannya selesai giliran Syurkati yang menghafal ayat yang dihafal
teman-temannya dan ternyata dia sudah hafal dengan benar. Sekilas tentang masa
kecil Syurkati.2

Setelah dari masjid al-Qaulid ayahnya mengirim Syurkati ke Ma’had Sharqi


Nawi, pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama besar dan terkenal di Dongula.
Setelah tamat dari ma’had tersebut ayahnya bermaksud mengirim putranya untuk
melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar untuk dapat meneruskan kedudukan ayahnya
dan memperoleh gelar Al-Azhari. Tapi kemudian hal tersebut tidak terlaksana karena

2
Ibid., hlm.5-6
pemerintah Mahdi yang pimpinannya dikenal dengan nama Abdullah al-Ta’ayishi
pada waktu itu melarang siapa saja orang Sudan pergi ke Mesir.3

Hal tersebut tidak membuat putus asa bagi seorang Syurkati untuk tetap
menuntut ilmu. Sehingga pada tahun 1314 H/1896 M dia menuju Mekkah dan
Madinah untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi.

2.1.2. Di Madinah

Kota ini adalah salah satu kota pusat perkembangan ilmu agama Islam pada
waktu itu. Sampai sekarang kota ini diyakini sebagai kota suci kedua setelah kota
Mekkah. Di kota ini terdapat masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat makam nabi
Muhammad SAW, yang setiap saat dikunjungi para peziarah atau jama’ah haji. Dapat
dikatakan di kota inilah Syurkati menimba ilmu agama Islam. Syurkati bermukim di
Madinah kurang lebih selama empat tahun untuk memperdalam ilmu agama Islam
dan bahasa Arab.

Diantara guru-guru dia di Madinah adalah Syekh Salih dan Syekh Umar
Hamdan (dua ulama’ besar ahli hadits asal Maroko). Dia juga belajar Alquran pada
ulama’ ahli qira’at yaitu Syekh Muhammad al-Khuyari al-Maghribi; belajar fikih pada
Syekh Ahmad bin al-Haji Ali al-Mahjub dan Syekh Mubarak al-Nismat; dan berguru
bahasa arab dari ahli bahasa yang bernama Syekh Muhammad al-Barzanji.4

Namun dia tidaklah seperti kebanyakan orang. Setelah merasa cukup


memperoleh ilmu, diab tidak bermaksud pulang ke Sudan. Dia bertekad melanjutkan
menuntut ilmu di Mekkah.

2.1.3. Di Mekkah

Syurkati Di Mekkah mendapatkan gelar al-Allamah dari Majelis Ulama Mekkah


dan merupakan ulama Sudan yang pertama kali namanya tertulis dalam daftar ulama
Mekkah, walaupun waktu itu tidak sedikit ulama Sudan yang berada di Mekkah.
Padahal konon ulama Mekkah sangat selektif untuk mencatat orang-orang Afagi
(orang yang bukan Hijaz) dalam daftar ulama, Dan hal itu dilakukan untuk

3
Ibid., hlm.7
4
Ibid., hlm. 8
memelihara penghargaan yang diberikan pada ulama yang terdaftar dalam
pemerintahan Usmaniyah dan berlaku bagi seluruh ulama yang berada di Mekkah.5

Seperti halnya di Madinah, di Mekkah pun Ahmad Syurkati juga berguru sesuai
dengan keahlian masing-masing. Diantara guru-guru dia adalah Syekh As’ad dan
Syekh Abd al-Rahman yaitu putra Syekh al-Kabir Ahmad al-Duhan. Selain itu adalah
al-Allamah Syekh Muhammad bin Yusuf al-Kayyath dan Syekh Shu’aib bin Musa al-
Maghribi.6

2.1.4. Di Indonesia

Syekh Ahmad Syurkati datang ke Indonesia pada tahun 1329 H/1911 M.


Syurkati didatangkan oleh Perguruan Jam’iat Khair, suatu lembaga yang berdiri sejak
1901 merupakan organisasi modern yang di dalamnya terdiri dari orang-orang
Indonesia keturunan Arab golongan Ba Alawi (Keluarga besar Alawi) di Jakarta.7

Tujuan pengurus Jam’iat Khair mendatangkan Syekh Ahmad Syurkati ialah


untuk mengajar di lembaga tersebut. Syekh Ahmad Syurkati merupakan pengajar
pertama dari Mekah yang di tempatkan di sekolah Jam’iat Khair di Pekojan. Bahasa
pengantar di Perguruan Jam’iat Khair adalah bahasa Melayu atau Indonesia.
Sedangkan bahasa asing yang digunakan selain bahasa Arab adalah bahasa Inggris
yang termasuk mata pelajaran wajib pengganti bahasa Belanda yang sengaja tidak
diajarkan di sekolah ini.

Kedatangnya disambut gembira dan penuh hormat oleh pengurus dan warga
Jam’iat Khair. Bahkan salah seorang pemukanya, Syekh Muhammad bin Abd al-
Rahman Shihab menyerukan pada masyarakat Arab untuk menghormati Ahmad
Syurkati. Penghormatan itu bukan saja karena Syurkati mempunyai ilmu yang
mendalam, tapi kesabaran, ketekunan, dan keikhlasannya mengajar murid-muridnya,
dan dalam usaha mengembangkan perguruan Jam’iat Khair. 8

2.2. Perselisihan Antara Sayyid dan Non-Sayyid


Perselisihan antara golongan sayyid atau biasa disebut Ba Alawi dengan
golongan non-sayyid berdasarkan atas perubahan tatanan sosial yang terjadi di

5
Ibid
6
Ibid., hlm. 9.
7
Ibid., hlm. 10.
8
Ibid
Hadramaut. Faktor keturunan yang menjadi alasan bahwa seseorang yang bergelar
sayyid secara otomatis memperoleh kedudukan yang paling mulia di tengah
masyarakatnya. 9
Golongan sayyid meminta perlakuan khusus dari golongan non-sayyid seperti
seorang non-sayyid wajib mencium tangan orang sayyid saat bertemu dan seorang
sayyid tidak bisa menikahkan anak perempuannya (Sharifah) dengan laki-laki non-
sayyid.
Jam’iat Khair mendatangkan guru dari luar termasuk Ahmad Syurkati. Ahmad
Syurkati sangat dipercaya dan dihormati pada golongan sayyid. Hingga dia dipercaya
untuk menjadi pengawas seluruh madrasah Jami’at Khair di Jakarta. Ahmad Syurkati
mengajar di Jami’at Khair dengan menekankan pengajaran bahasa Arab untuk
memahami teks dasar Islam. Penekanan ini sejalan dengan metode yang diajarkan
oleh Muhammad Abduh. Muhammad Abduh menyatakan bahwa bahasa Arab adalah
tujuan pokoknya. Membangkitkan kembali pengetahuan dasar bahasa Arab yang
merupakan cara untuk mereformasikan agama.
Ahmad Syurkati mencoba membimbing siswannya untuk berpikir rasional.
Ahmad Syurkati mendorong masyarakat untuk membuang kebiasaan mencium
tangan orang-orang sayyid (taqbil). Ahmad Syurkati mendorong masyarakatnya
untuk menyetarakam golongan sayyid dengan penduduk lain. Namun ternyata ajaran
Ahmad Syurkati bertolak belakang dengan ajaran golongan sayyid. Ajaran bahwa
semua manusia sejajar dirasakan akan mengancam posisi golongan sayyid yang
diistimewakan di Indonesia
Perselisihan antara golongan sayyid dan non-sayyid meletup ketika Ahmad
Syurkati mengunjungi temannya yang menjadi Ketua Masyarakat Arab di Solo,
Syekh Awad Sungkar dan tokoh-tokoh lain. Di sana Ahmad Syurkati membuat fatwa
yang dikenal sebagai “Fatwa Solo”10

2.2.1 Fatwa Solo


Latar belakang konteks Fatwa Solo berkaitan dengan pernikahan antara
seorang Muslim India dan sharifah pada 1905. Kasus tersebut mengundang
kehebohan di kalangan orang-orang sayyid, disusul desakan orang-orang sayyid agar
tokoh sayyid terkemuka di Singapura, Umar bin Salim bin Attas mengharamkan

9
Ibid, hlm. 235
10
Ibid, Hlm. 236
pernikahan tersebut. Lalu Umar bin Salim bin Attas menulis surat ditujukan kepada
Syekh Rashid Ridha agar Syekh Rashid Ridha mendukung fatwanya. Berikut fatwa
yang ditulis oleh Umar bin Salim bin Attas dengan judul “Pernikahan orang sharifah
dan non-sharif dan posisi istimewa Ahl al-Bayt (keturunan Ali), tertanggal
Muharram, 1323 H (Maret 1905 M) :
1. Non-Arab tidak sejajar dengan keturunan Arab
2. Non-Quraish tidak sejajar dengan keturunan suku Quraish
3. Keturunan suku Quraish tidak sejajar dengan Bani Hasyim
4. Bani Hasyim tidaklah sejajar dengan keturunan Fatimah melalui Hasan dan
Husain
Berdasarkan kriteria itulah Umar bin Salim bin Attas menyimpulkan bahwa
tidak diperbolehkan untuk menikahkan wanita sharifah dengan non-sayyid,
walaupun ia menyetujuinnya dan mengesampingkan hak kesejajarannya bahkan
dengan persetujuan wali. Hak kesejajaran didasari harga diri
Syekh Rashid Ridha menolak pendapat Umar bin Salim bin Attas. Dia
menegaskan bahwa pernikahan antara sharifah dengan golongan non-sayyid
tersebut halal. Dia pun berpendapat bahwa pernikahan didasari oleh kepentingan
bersama. Semua kelompok mempunyai pendapat tersendiri mengenai hal-hal yang
dianggap penting. Hukum Islam tidak menghalangi orang untuk memilih mana yang
baik untuk mereka sendiri tetapi akan melarang tindakan-tindakan yang merugikan
mereka. Rashid Ridha mengajarkan kesetaraan antara manusia tanpa melihat garis
keturunan dan sukunya. 11
Golongan sayyid tetap tidak bisa menerima penghalalan pernikahan tersebut
karena dianggap melanggar hak-hak istimewa mereka. Kemudian kembali meletup
di tahun 1912 ketika Ahmad Syurkati mengunjungi sahabatnya yaitu Syekh Awad
Sungkar di Solo. Pada pertemuan tersebut terdapat tokoh-tokoh lain seperti saudara
Syekh Awad Sungkar yang bernama Syekh Umar Sa’id bin Sungkar. Syekh Umar
Sa’id bin Sungkar mempertanyakan kasus pernikahan semacam yang terjadi antara
Muslim India dan wanita golongan sayyid atau syarifah. Ahmad Syurkati menjawab
singkat dan tegas: “Boleh menurut hukum syara’ yang adil.” Ahmad Syurkati

11
Ibid, hlm. 207
memperbolehkan pernikahan antara orang non-sayyid dan anak perempuan
keturunan sayyid12
Ahmad Syurkati pun mengeluarkan fatwa kembali untuk menekankan bahwa
Islam memperjuangkan kesetaraan Muslim dan tidak mengakui pengistimewaan
kelompok berdasarkan keturunan, kekayaan atau status.13 Ahmad Syurkati
memperkuat argumentasinya dengan menyebutkan pernikahan yang terjadi pada
masa Nabi seperti pernikahan :
1. Zaynab binti Jahsh (Bani Hasyim) dan Zayd bin Harithah (keturunan budak
belian)
2. Ummu Kulthum binti ‘Uqbah (Quraysh) dan Zayd bin Harithah
3. Fatimah binti Qays (Quraysh) dan Usamah Ibn Zayd (keturunan budak belian)
4. Ummu Kulthum binti Muhammad SAW (Hasyim) dan Uthman (bukan
Hasyim)
5. Ruqayah binti Muhammad SAW (Hasyim) dan Uthman (bukan Hasyim)
Contoh-contoh yang dikemukakan oleh Ahmad Syurkati mematahkan
argumentasi golongan sayyid. Tidak dapat dipungkiri fatwa di atas menimbulkan
permusuhan yang sangat hebat antara golongan sayyid dan Ahmad Syurkati. Mereka
menganggap bahwa fatwa tersebut dianggap sebagai penghinaan. Golongan sayyid
bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmad Syurkati telah membuat kesalahan
besar yang tidak akan pernah mereka maafkan.
Golongan sayyid menuntut pada pengurus Jami’at Khair agar Ahmad Syurkati
mencabut fatwanya. Ahmad Syurkati keberatan menarik fatwanya dikarenakan
pernyataan yang dikemukakannya berdasarkan Alquran dan Hadits senada dengan
pendapat Rashid Ridha.
Mengetahui bahwa Ahmad Syurkati enggan mencabut dan tetap
mempertahankan fatwa itu, maka para pengurus Jami’at Khair menjauhkan diri dari
Ahmad Syurkati. Semenjak peristiwa itu pula Ahmad Syurkati tak pernah diundang
lagi dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan pengurus Jami’at Khair. Ahmad
Syurkati merasa dikucilkan dan dimusuhi. Setelah mengabdi kurang lebih dua tahun,
akhirnya dia mengundurkan diri dari jabatannya pada 6 September 1914 M atau
bertepatan dengan 15 Syawal 1332 H. 14

12
H. Hussein Badjerei, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Jakarta: Presto Prima Utama. 1996. hlm. 29
13
Ibid, hlm. 28
14
Ibid, hlm. 31
Setelah mengundurkan diri dari Jami’at Khair, Syekh Ahmad Syurkati
mendirikan kursus sore yang dihadiri oleh para pemuda Arab. Kursus ini bertujuan
untuk melihat adanya kemungkinan memperbaiki pemahaman Muslim di Indonesia
Dengan kursus ini, Syekh Ahmad Syurkati mencari teman untuk diajak
bekerjasama. Lalu Syekh Ahmad Syurkati bertemu dengan para pemuka masyarakat
Arab Jakarta dari golongan non-sayyid, yaitu Syekh Umar Mangqush serta dua
sahabatnya, Syekh Saleh Ubaid Abdat (seorang pedagang kaya) dan Syekh Said
Salim Masy’abi (tokoh terkemuka non-sayyid). mereka meminta Syekh Ahmad
Syurkati untuk tidak kembali ke Mekkah. Syekh Umar Mangqush mengajak Ahmad
Syurkati pindah dari Pekojan ke Jati Petamburan Jakarta dan mempercayakan
padanya untuk memimpin madrasah yang akan mereka dirikan. Syekh Ahmad
Syurkati menerima ajakan dan permintaan tersebut. Disusul oleh guru-guru asing
dan anak golongan non-sayyid mereka pun pindah dari Jami’at Khair ke madrasah
baru tersebut.

2.3. Sejarah Berdirinya Al – Irsyad


Pada 6 September 1914 secara resmi diakui oleh pemerintah, Syekh Ahmad
Syurkati membuka serta memberi nama dengan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah
yang terletak di Jati Petamburan Jakarta.15 Nama “Irsyad” mengacu pada nama
Jam’iyat al-Da’wah wa Al-Irsyad yang didirikan oleh Rashid Ridha yang terletak di
pulau Rodah Kairo, Mesir. Pendirian Jam’iyat al-Dakwah wa Al-Irsyad adalah usaha
Rashid Ridha yang menginginkan agar para Muslim mengabdikan dirinya pada bakti
yang termulia yaitu mendirikan madrasah. Madrasah tersebut dihentikan dan ditutup
saat perang besar terjadi.
Bersamaan dengan pembukaan madrasah tersebut, Syekh Ahmad Syurkati
juga menyetujui didirikannya Jam’iyah yang akan menaunginya. Jam’iyah itu dia
namakan Jam’iyah al-Islah wa Al-Irsyad al-Arabiyah. (Asosiasi Arab untuk
Perbaikan dan Pembimbingan) yang secara resmi diakui oleh pemerintah Belanda
pada tanggal 11 Agustus 1915. Kemudian berganti nama menjadi Jam’iyah al-Islah
wa Irsyad al-Islamiyah.
Al-Irsyad merupakan organisasi Islam nasional. Dan tujuan didirikannya Al-
Irsyad ini ialah untuk memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah Islam serta untuk

15
Ibid, hlm. 32
memajukan pengetahuan agama Islam yang murni di kalangan masyarakat Arab di
Indonesia

2.4. Prinsip-Prinsip Al-Irsyad


Gerakan Al-Irsyad didirikan dengan didasari lima prinsip yaitu :
1. Meneguhkan doktrin persatuan dengan membersihkan sholat dan doa dari
kontaminasi unsur politeisme
2. Mewujudkan kesetaraan di antara kaum Muslim dan berpedoman pada Alquran
dan Sunnah serta mengikuti perilaku ulama salaf dalam persoalan khilafiyah
3. Memberantas taqlid a’ma yang bertentangan dengan Alquran dan Hadits
4. Menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Arab-Islam
5. Untuk mempersatukan kaum Muslimin dan bangsa Arab
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, gerakan Al-Irsyad juga menyusun
Anggaran Dasar (AD) pada 1914. Ayat 2 dari Anggaran Dasar ini menyebutkan tiga
pengembangan Al-Irsyad di masa depan, yaitu :
1. Memperbaiki kondisi religius dan sosio-ekonomi kaum Muslim dan Arab dengan
mendirikan madrasah, panti asuhan dan rumah sakit
2. Menyebarkan reformasi Islam di antara para Muslim melalui tulisan dan
publikasi, pertemuan, kuliah, dan kelompok studi
3. Membantu organisasi lain yang mempunyai kepentingan bersama dengan Al-
Irsyad
Tak lama setelah pendirian Al-Irsyad ini berjalan, Ahmad Syurkati
menyerahkan kepengurusan madrasah yang dikelolannya kepada ketua umum Salim
Awad Balweel dan Ahmad Syurkati sendiri menjabat sebagai kepala sekolah.16

2.5. Mabadi ‘Al-Irsyad


Seperti yang diajarkan oleh Muhammad Abduh, bahwa Al-Irsyad mementingkan
pelajaran bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dan sumber-
sumber pokoknya. Konsep gerakan pembaharuan yang digali Ahmad Syurkati
bersama guru-guru yang datang dari Timur Tengah telah dirumuskan dalam bentuk
Mabadi’ Al-Irsyad17, yaitu :
1. Memahami ajaran Islam dari Alquran dan Sunnah

16
Opcit. hlm. 213
17
H. Hussein Badjerei, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Jakarta: Presto Prima Utama. 1996. hlm. 213
2. Beriman dengan akidah Il;amiyah berdasarkan kitab Alquran dan hadits yang
sahih, terutama bertauhid kepada Allah yang bersih dari syirik, takhayul dan
khurafat
3. Beribadah menurut tuntunan Alquran dan Hadits, bersih dari bid’ah
4. Berakhlak baik
5. Memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan duniawi
dan akhirat

2.6. Penyebaran Gerakan Al-Irsyad

Setelah tiga tahun berdiri, Al-Irsyad mulai membuka sekolah dan cabang-cabang
organisasi di berbagai kota di Pulau Jawa. Pada 1917 Al-Irsyad membuka cabang yang
pertama di Tegal diketuai Ahmad Ali Baisa didampingi oleh Muhammad bin Muhammad
Ganis sebagai sekretaris dan Said bin Salim Ba’asyir sebagai bendahara sedangkan
madrasahnya dipimpin oleh Abdulla Salim Alattas murid Syekh Ahmad Syurkati lulusan
angkatan pertama.18

Al-Irsyad membuka cabang yang kedua di pekalongan pada 20 November 1917


diketuai Said bin Salim Sahaq, didampingi Muhammad bin Mubarak bin Haidarah
sebagai sekretaris dan Abdullah bin Rais Nahdi sebagai bendahara. Madrasah Al-Irsyad
dipimpin oleh Umar Sulaiman Naji.19

Pada tanggal 1 September 1918 dibuka sekolah di Krukut dan tanggal 14 oktober
1918 dibuka pula cabang yang ketiga di Bumiayu diketuai Husein bin Muhammad
Alyazidi dibantu Ahmad bin Ali bin Nagib sebagai sekretaris dan Ali bin Muhsin Albakri
sebagai bendahara sedangkan madrasahnya dipimpin oleh Ustadz Hasan Hamid
Alanshary bekas guru Jam’iat Khair di Krukut. Dan bersamaan Al-Irsyad membuka
cabang yang keempat di Cirebon diketuai Awad Baharmus didampingi Ahamd Bashandid
sebagai sekretaris dan Ahmad Maqad sebagai bendahara serta Salim Baisa sebagai
penasehat. Sedangkan madrasahnya dipimpin oleh Awad Albarqy bekas guru madrasah
AlIrsyad di Molenvliet West Jakarta.20

18
H. Hussein Badjerei, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Jakarta: Presto Prima Utama. 1996. hlm. 77
19
Ibid. hlm. 77
20
Ibid. hlm. 78
Pada 21 januari 1919 Al-Irsyad membuka cabang yang kelima di Surabaya
diketuai Muhammad bin Rayis bin Thalib. Sampai pada 1970 Al-Irsyad telah tersebar
cabangnya sampai ke seluruh Provinsi Sulawesi Utara

Perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat, kemudian menurun drastis


bersamaan dengan masuknya pasukan penduduk Jepang ke Indonesia. Dan wafatnya
Ahmad Syurkati pada 1943 di Bogor dan dimakamkan di Jakarta, mengakibatkan sekolah
Al-Irsyad hancur, diporak-porandakan Belanda karena menjadi markas laskar pejuang
kemerdekaan.

Sampai pada 1985, Al-Irsyad tinggal memiliki 14 cabang yang seluruhnya berada di
wilayah Jawa. Namun Al-Irsyad bangun dari keterpurukan dan kembali berkembang
sejak 1986 puluhan cabang baru berdiri dan kini tercatat sekitar 130 cabang dari Sumatera
hingga Papua

2.7. Pemikiran Syekh Ahmad Syurkati Dalam Bidang Pendidikan


Pada masanya Ahmad Syurkati sudah mengkaji secara langsung tentang
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pandangan hidup yang
melatarbelakangi kemajuan Barat. Menurut Donald E. Smith bahwa Ahmad Syurkati
dan para reformis lainnya menerima nilai-nilai budaya dinamis kemajuan Barat,
karena dianggap sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sehingga penerimaan terhadap nilai-
nilai budaya Barat seperti rasionalisme, sains, material progress, individual freedom
dan demokrasi adalah kembali pada bentuk Islam yang asli.21
Menurut G.F. Pijper yang pernah belajar agama pada Ahmad Syurkati
mengatakan adanya pengertian antara dia dan Ahmad Dahlan tentang
Muhammadiyah, organisasi yang perjuangannya dalam satu mata rantai dengan ide
pembaharuan dan pemurniaan Islam yang bersumber dari Ibn Taymiyayh dan Ibn
Qayyim. Keduanya menentukan sandaran perjuangan yang berbeda. Ahmad Syurkati
di wilayah masyarakat Arab dan Ahmad Dahlan pada masyarakat lainnya.
Dalam menyusun program, dia mempelajari dulu apa yang terjadi dalam
masyarakat terlebih dulu. Program yang dijalankan sesuai dengan Muhammad
Abduh, yaitu transformasi pendidikan dan pemurnian ajaran Islam dari praktik-
praktik menyimpang. Kesesuaian tersebut adalah sebagai berikut :

21
Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) : Pembaharu dan pemurni Islam di
Indonesia, ( Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1999 ), hlm. 117
1. The purificatiom of Islam from Corrupting Influence and practice
(pemurnian Islam dari pengaruh dan kebiasaan yang merusak)
2. The reformation of Muslim higher education (penyusunan kembali
pendidikan tinggi bagi umat Islam)
3. The reformulation of Muslim higher education (reformulasi pendidikan
tinggi bagi umat Islam)
4. The defence of Islam againt Eurephean influence and Christian attacks
(mempertahankan Islam dari pengaruh Eropa dan serangan Nasrani).

Diantara pemikiran dia dalam bidang pendidikan terbagi beberapa aspek,


diantaranya konsep pendidikan, kurikulum, metode dan pendekatan, dan media
pendidikan, yang akan kita bahas secara detail sebagi berikut :

a. Konsep Pendidikan
Pendidikan Menurut Syekh Ahmad Syurkati kebodohan harus di
berantas. Dia berpendapat bahwa perbuatan mendidik dan mengajar adalah
pekerjaan yang termulia di sisi Allah SWT. Keyakinan ini dikuatkan dengan
penjelasan Rasulullah bahwa sebaik-baik di antara manusia adalah yang
melakukan perbuatan mengajar.

Keyakinan tersebut sejalan dengan pendapat Clifford Geertz yang


menyatakan bahwa pendidikan mempunyai arti sebagai lembaga induk dalam
usaha-usaha yang paling sungguh-sungguh untuk memodernisasi tradisi dan
masyarakat. Dia meyakini bahwa pengajaran adalah segalanya dan merupakan
kunci kemajuan.

Sehingga yang menjadi prioritas adalah melaksanakan pendidikan


formal untuk menghasilkan guru-guru agama yang sekaligus sebagai penganjur
atau dalam bahasa kita sering disebut da’i.22

b. Lembaga Pendidikan
Aspek yang sering terlupakan dalam sistem pendidikan secara
umum adalah aspek kelembagaan. Suatu kemajuan pada waktu itu Syekh
Ahmad Syurkati sudah memperhatikan aspek kelembagaan. Hal ini terbukti

22
Ibid, hlm. 122.
dengan terbentuknya organisasi Al-Irsyad sesuai dengan tujuan-tujuan
pembentukan, diantaranya didirikannya sekolah-sekolah yang peserta
didiknya terbuka untuk umum asalkan beragama Islam, yang tidak
membedakan suku, ras dan kedudukan.
Secara kelembagaan program pendidikan Al-Irsyad pada 1913 dengan
jenjang sebagi berikut :
a. Madrasah Awwaliyah berjenjang tiga tahun

b. Madrasah Ibtidaiyyah berjenjang empat tahun

c. Madrasah Tajhiziyyah berjenjang dua tahun

d. Madrasah Mu’allimin berjenjang empat tahun

Pada 1915 Syurkati mendirikan Takhassus yang berjenjang dua tahun


sebagai jenjang pendidikan tertinggi atau setara dengan perguruan tinggi
diploma.23

c. Kurikulum
Secara umum kurikulum merupakan program yang dibuat untuk
mencapai tujuan pendidikan. Tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan sangat
bergantung pada kurikulum yang dibuat.

Kurikulum yang diterapkan Ahmad Syurkati, khususnya pada


pendidikan formal lebih menekankan pada pendidikan dengan muatan religius
yang ditunjang guru-guru yang kompeten dalam bidangnya. Prioritas ilmu yang
harus dipelajari tergambar jelas dalam tiap jenjang sebagai berikut :

a. Madrasah Awwaliyah berjenjang tiga tahun, kurikulumnya adalah


muhadatsah, baca bahasa Arab, disamping pelajaran yang lain seperti
bahasa Indonesia, berhitung, dan olah raga.
b. Madrasah Ibtidaiyyah berjenjang empat tahun, kurikulumnya adalah Al-
Qur’an, fikih, nahwu, sharaf, muthala’ah dan imla’. Sebagai tambahan
diajarkan sejarah, geografi, bahasa Indonesia, berhitung, menggambar, dan
olah raga.

23
Ibid, hlm. 214-215.
c. Madrasah Tajhiziyyah berjenjang dua tahun, yang diajarkan adalah
fikih, tauhid, tafsir dan hadits, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
d. Madrasah Mu’allimin berjenjang empat tahun diajarkan bahasa Arab,
tafsir, hadits dan ilmu hadits, pedagogi, bahasa Inggris, dan bahasa
Indonesia
e. Tahassus yang berjenjang dua tahun diajarkan sepenuhnya religius
yaitu adab al-lughah al-arabiyah (litrratur Arab), mantik (logika),
balaghah (retorika), fiqh wa ushul al-fiqh, tafsir, hadits, ilmu hadits dan
filsafat.

Mata pelajaran yang telah tersebut di atas dapat dikatakan bahwa


kurikulum yang dibuat bersifat nondikotomik. Tidak ada pembedaan yang
bersifat diskriminatif antara ilmu agama dengan ilmu umum. Selain itu,
kurikulum yang dibuat menekankan pada ilmu alat dalam hal ini bahasa Arab
sebagai alat untuk mempelajari dan memahami sumber-sumber ajaran Islam.24

d. Metode dan Pendekatan


Metode dan pendekatan merupakan aspek yang penting diperhatikan dalam
proses belajar mengajar. Sampai tidaknya materi sangat dipengaruhi oleh cara
menyampaikannya. Metode mengajar adalah cara yang digunakan oleh
pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik, yang
berlangsung dalam interaksi edukatif.

Ahmad Syurkati menerapkan metode dan pendekatan dalam belajar


mengajar pada sekolah Al-Irsyad dapat dilihat dari apa yang dilihat dan terima
oleh para murid dia. Metode dan pendekatan yang dia terapkan adalah sebagai
berikut :

a. Pembiasaan, dilakukan dalam pelajaran bahasa Arab dengan mengajak


salah satu murid dia untuk jalan dan kemudian mengajarkan bahasa
arab dari benda-benda yag dijumpai, hal ini dialami oleh H. Abdul
Halim

24
Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), Cet. IV, hlm. 161
b. Pendekatan psikologis dan konseling dalam melihat minat dan bakat
serta tingkat kemampuan intelegensi para siswa yang diajar.
c. Demokratis dalam suasana belajar mengajar dan menggunakan
pendekatan akliyah yang mengembangkan tingkat kemampuan berpikir
siswa
d. Metode Diskusi juga sering diterapkan.
Metode ini sangat populer. Dalam metode ini terjadi tukar menukar
informasi, pendapat dan unsur-unsur pengalaman secara teratur.
Tujuannya adalah memperoleh pengertian bersama yang lebih jelas dan
lebih teliti tentang sesuatu dan juga mempersiapkan dan merampungkan
keputusan bersama. Dalam metode ini mengandung nilai-nilai
demokratis. Anak didik berpacu dalam mengeluarkan pendapat, tentunya
dengan aturan main yang ditetapkan oleh kelompok tersebut.
Dengan metode diskusi, peserta didik lebih bebas untuk mengeksplorasi
pemikiran tanpa harus merasa minder. Dengan sedirinya akan muncul karakter
diri anak didik tanpa ada pemaksaan, dan yang muncul adalah keunikan-
keunikan pribadi yang harus dihormati menurut nilai-nilai kemanusiaan.

e. Media Pendidikan
Media pendidikan merupakan alat-alat fisik yang menjelaskan isi
pengajaran seperti film, video kaset, gambar dan lain-lain, yang berfungsi
sebagai alat bantu yang memperlancar dan mempertinggi proses belajar
mengajar.
Ahmad Syurkati dalam proses belajar mengajar sudah menggunakan
media pendidikan walaupun masih sangat sederhana dengan menggunakan
buku-buku bergambar, terutama gambar manusia yang oleh sebagian
kelompok dianggap haram, untuk menjelaskan maksud dari materi yang
disampaikan.25
2.8. Karya-karya Syekh Ahmad Syurkati
Disamping sebagai guru, pendidik, ulama, dan tokoh pergerakan Islam, dia juga
seorang penulis yang produktif. Dia mampu menulis berbagai cabang ilmu
diantaranya akidah, ibadah, kandungan Alquran dan al-Hadits. Sebagian karya-
25
Ibid
karyanya dibuat dalam rangka menyanggah paham keagamaan yang dia anggap
menyimpang dari Alquran dan sunnah. Diantara karya-karya tersebut ada yang
berbentuk risalah maupun berbentuk artikel di majalah maupun surat kabar.
Karena menurut dia masih banyak perbuatan-perbuatan beragama yang
menyimpang, yang seharusnya ditujukan kepada Allah tapi ditujukan kepada yang
lainnya. Diantanya adalah sebagai berikut :

1. Shalat, puasa, haji, dan sedekah yang dikerjakan bukan karena Allah
2. Penyembelihan yang bertujuan untuk mengagungkan, dalam
pandangan kerohanian, atau untuk menolak keburukan, misalnya
dihadiahkan kepada jin atau yang lainnya menurut Ahmad Syurkati
adalah syirik.
3. Bernadzar karena selain Allah.
4. Istighatsah (mohon bantuan pertolongan) kepada selain Allah
5. Bersumpah kepada selain Allah
6. Berdo’a kepada selain Allah
7. Takut kepada selain Allah.
8. Mengharamkan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang
diharamkan Allah.
9. Memakai jimat atau benda bermantera yang diyakini berkekuatan
ghaib untuk kepentingan tertentu.

Di antara karya Ahmad Syurkati baik dalam bahasa Arab maupun yang
suda diterjemahkan dakam bahasa Indonesia, baik yang sudah diterbitlan maupum
yamg disimpan murid-muridnya adalah sebagai berikut :

a. Risalah Surat al-Jawab ( 1915 )

Risalah ini merupakan jawaban dari H.O.S Tjokroaminoto


(pimpinan surat kabar Suluh Hindia) sehubungan makin meluasnya
pembicaraan tentang kafa’ah. Ahmad Syurkati berpendapat bahwa
seorang wanita syarifah yang menurut golongan Alawi (keturunan
Nabi) tidak boleh menikah dengan laki-laki selain Alawi adalah salah.
Tidak ada ayat dan hadits nabi yang menyatakan seperti itu.
Dia mengajak agar kafa’ah diletakkan pada orientsi ajaran
Islam yang lebih luas, yiatu musawah ( persamaan ). Dengan demikian
tidak ada keutamaan seseorang atas dasar keturunan. Dan hal ini
membuat reaksi keras dari kalangan Arab Hadrami golongan Alawi.26

b. Risalah Taujih Alquranila Adab Alquran( 1917 )

Risalah ini berisi penguatan pemikiran dia pada risalah di atas,


antara lain :

Pertama, kedekatan pada nabi Muhammad bukan berdasarkan


atas keturunan, tapi lebih dari itu berdasarkan ketekunan dan
kesungguhan dalam mengikuti jejaknya.

Kedua, kedekatan pada Nabi lebih ditekankan pada


ketekunan dan kesungguhan dalam menjalankan ilmu dan agama.

Ketiga, berisi tentang kritik terhadap kebodohan dan


penyimpangan terhadap ajaran agama. Yakni dengan adanya
kelompok-kelompok yang membanggakan diri sebagai keturunan Nabi
dan memandang rendah umat Islam lainnya.27

c. Al-Dakhirah al-Islamiyah ( 1923 )


Merupakan majalah bulanan yang dia pimpin dan dibantu
oleh Muhammad Nur al-Anshari sebagai administrator. Majalah ini
terbit pada 1 Muharam 1342 H/Agustus 1923 dan terbit hingga 10
edisi. Majalah ini merupakan penyaluran pemikirannya pada
masyarakat Muslim Indonesia.

Dalam pendahuluan dia menuliskan tentang dasar-dasar


perbuatan beragama yang dipandang salah, misalnya perbuatan itu
ternyata didasarkan pada hadits yang palsu. Disamping itu, dia juga
menyatakan bahwa Islam yang bisa cocok atau bersesuain dengan
segala bangsa dan waktu. Yang terakhir dia menghimbau untuk

26
Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) : Pembaharu dan pemurni Islam di Indonesia, ( Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 1999 ), hlm. 40
27
Ibid
melakukan gerakan yang berorientasikan pendidikan dalam arti yang
luas.

Diantara artikel Ahmad Syurkati yang dimuat dalam


majalah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tulisan tentang fatwa-fatwa yang berisi jawaban atas pertanyaan-


pertanyaan yang oleh kaum muda dipandang sebagai bid’ah atau
khurafat, musalnya ushulli, tawassul qubur, jimat, talqin, manaqib,
berdiri pada saat pembacaan shalawat nabi.
2. Kitab hak-hak suami istri
3. Alquran dan Buddha
4. Tafsir surat al-Fatihah
5. Hadits lemah dan Dusta
6. Golongan al-Irsyad dan golongan Sayyid di Jawa
7. Khilafat
8. Berbagai bertuk nasihat dan peringatan, misalnya “Seruan”, “Penutur
Kata”, “Peringatan”, “Tegoran”, dan Keterangan-keterangan”.28

d. Al-Masail al-Tsalat ( 1925 )


Tulisan ini berisi pandangan Ahmad Syurkati tentang tiga masalah
yang berhubungan dengan pemurnian ajaran agama Islam, yaitu
tentang ijtihad dan taqlid, sunnah dan bid’ah, serta tentang zayarat al-
qubur, dan tawassul melalui nabi dan orang-orang yang dipandang
saleh. Tulisan ini dibuat dalam rangka persiapan dalam forum debat
denga wakil golongan Alawi yaitu Ali al-Thayib yang mengaku
sebagai alumnus Al-Azhar dan pernah menjadi sekretaris Fatwa al-
Syafi’iyyah di Madinah.

Perdebatan yang telah direncanakan Persis tersebut gagal karena Ali


menghendaki perdebatan dilakukan di Masjid Ampel Surabaya.
Namun setelah Ali membaca tulisan tersebut menyatakan telah

28
Ibid, hlm. 41
memahami pandangan Syurkati, sehingga tidak perlu lagi mengadakan
forum yang telah direncanakan.29

e. Al-Wasiyyat al-Amiriyah ( 1918 )


Merupakan buku yang berisi tentang anjuran berbuat kebajikan. Buku
ini dapat juga digunakan sebagai pegangan ajaran akhlak yang didasarkan
pada Alqurandan Hadits. Pada setiap pasal pada buku ini diawali dengan
ayyyuha al-Mu’minun oleh G.F Pijper disamakan dengan karya Al-
Ghazali yang berjudul Ayyuha al-Walad. Buku ini diterbitkan di
Surabaya.30
f. Zedeleer Uit Den Qoran ( 1932 )
Buku ini berbahasa Belanda terjemahan dari risalahnya yang bejudul
al-Adab al-Qur’aniyyah yang berisi tentang nukilan ayat-ayat Alquran
yang berhubungan dengan akhlak yang diberi komentar-komentar dan
disertai dengan hadits Nabi, Dalam proses penerjemahan dibantu oleh Ch.
O. Van Der Plas dan diberi pengantar oleh Voorzitter Hoofbestuur Jong
Islamieten Bond, yang menurut Van Der Plas buku ini ditujukan kepada
orang-orang yang berlatar belakang pendidikan Barat.31

g. Al-Khawatir al-Hisan ( 1941 )


Merupakan kumpulan sajak-sajak kenangan terhadap para
sahabatnya seperjuangan termasuk pendiri Muhammadiyah dan tokoh
Persis A. Hasan. Pada saat itu dia telah berusia lanjut dan mengalami
sakit mata yang akhirnya menyebabkan kebutaan, Walaupun usaha
telah dilakukan, namun akhirnya pada awal bulan Rajab 1359 H/1940
M dia menerima pasrah dan beristirahat di Bogor.

Sajak-sajak ini hampir semua dilandasi pengalaman dia ketika


dia melakukan perjalanan sebagai penilik ke daerah-daerah. Dalam
perjalanan dia banyak bertemu dengan kader-kader dan tokoh-tokoh
reformis lainnya, walaupun tidak menyebutkan satu persatu nama
orang yang masuk dalam kenangan belaiu. Misal dari sajak-sajak dia :

29
Ibid, hlm. 42
30
Ibid
31
Ibid
Dan arahkan tujuanmu ke arah Bangil, kepada seorang cerdik pandai dan
mereka berada dalam satu organisasi.

Di antara daerah atau kota yang terkenang dalam sajak dia dan
pernah dikunjunginya adalah Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cirebon,
Purwakarta, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bogor, Brebes, Tegal,
Pemalang, Comal, Indramayu, Pekalongan, Surabaya, Bangil,
Pasuruan, dan Bondowoso.

Disamping sajak di atas dia juga memperingatkan adanya


watak tercela yang masih selalu muncul di kalangan Arab Hadrami di
Indonesia :

Orang-orang pelit berpandangan bahwa harta adalah kemuliaan.


Padahal harta itu bencana dan hina bagi si penumpuknya.32

h. Fatwa kepada Muhammadiyah


Fatwa ini dikeluarkan atas permintaan PP Muhammadiyah ketika
menghadapi Muktamar Tarjih Muhammadiyah pada 1939, Dan oleh
pengurus Al-Irsyad makalah itu diberi judul Fatwa Sjech As-Surkaty
kepada PP Muhammadiyah.
i. Muhadharat Islamiyah (1937 )
Murid-murid Ahmad Syurkati memintanya untuk memberikan kuliah
umum yang berjudul Muhadharat Islamiyah tentang tafsir. Adapun isi
dari kuliah umum tersebut adalah sebagai berikut :
1) Penguasaan Ilmu

Dia menjelaskan bahwa agar diperoleh pengertian yang luas


tentang penafsiran, seorang mufassir harus konsultasi dengan
berbagai macam ilmu, baik ilmu agama Islam maupum Ilmu
umum.

2) Pendekatan Ma’thur

Di samping menggunakan uraian kebahasaan Ahmad Syurkati juga


menggunakan pendekatan ma’thur yaitu menafsirkan ayat-ayat

32
Ibid, hlm. 43-44
Alquran berdasarkan atas keterangan dari Alquran sendiri dan dari
Hadits.

3) Pendekatan Tauhid

Pendekatan lain yang dipandang sangat penting dalam kuliah dia


adalah pendekatan tauhid. Sebagai contoh adalah sebagai berikut :

Iyyaka na’bud wa iyyaka nasta’in artinya katakannlah


demikian secara lisan sesuai dengan perbuatan dan
keyakinan. Dan maka Iyyaka na’bud wa iyyaka nasta’in
ialah kami menyembah hanya kepada Engkau sendiri dan
tidak menyekutukanMu semata dan tidak meminta
pertolongan kepada orang lain, siapapun dalam
kepentingan urusan kita dengan pertolongan yang siatnya
ghaib atau kerohanian, tidak dengan pertolongan raja,
tidak pula nabi atau wali, ataupun jin dan lainnya.

Karena menurut dia masih banyak perbuatan-perbuatan


beragama Arab Hadramaut yang menyimpang, yang seharusnya
ditujukan kepada Allah tapi ditujukan kepada yang lainnya.33

Syekh Ahmad Syurkati wafat pada hari kamis 16 September


1943 pukul 09.00 di kediamannya, Jalan KH. Hasyim Asy’ari No. 25
Jakarta,dan dimakamkan di pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta.

III. Kesimpulan

Syekh Ahmad Syurkati merupakan pembaharu dan pemurni ajaran Islam yang
pemikirannya ditujukan pada kalangan masyarakat Arab Indonesia asal Hadramaut.
Syekh Ahmad Syurkati menularkan ide-ide dan ajarannya kepada masyarakat Arab
Indonesia dengan pemikiran-pemikirannya sangat berpengaruh terhadap pembaharu dan
pemurnian Islam di Indonesia didukung oleh kepribadian yang penuh kesungguhan dalam
mengetengahkan pandangan keagamaan secara benar.

Ide-ide dan ajaran Syekh Ahmad Syurkati berdasarkan pada Alquran dan Hadits yang
bergulir ke arah diskusi panjang antara golongan sayyid dan non-sayyid. Peran Syekh

33
Ibid, hlm. 47-48
Ahmad Syurkati bersama dengan Al-Irsyad menjadi salah satu penyumbang besar ide-ide
reformasi dan pemurnian Islam di negera ini. Ide-ide reformasi kini dilanjutkan oleh
Organisasi Al-Irsyad dan organisasi lain seperti Muhammadiyah
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, bisri. 1999, Syekh Ahmad syurkati (1874-1943) pembaharu dan pemurni islam di
Indonesia. Jakarta: pustaka al-kautsar
Khurzman, Charles. 2002. Modernist Islam, 1840—1940; A Sourcebook. Oxford University
Press
Ali, mukti. Alam pikiran islam modern di timur tengah. Jakarta : penerbit djambatan
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES Anggota
IKAPI

Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1997

Badjerei, H. Hussein. 1996, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa. Jakarta: Presto Prima Utama.

Anda mungkin juga menyukai