TINEA KAPITIS
Oleh :
DEDY SUTRIYATNO
NIM. 1710029011
Pembimbing :
dr. Nancy N. Sitohang, M.Ked (DV), Sp.DV
i
Refleksi Kasus
TINEA KAPITIS
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Dermatologi dan
Venereologi
DEDY SUTRIYATNO
NIM. 1710029011
Menyetujui,
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Laporan
yang berjudul “Tinea Kapitis” ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian/SMF Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit Umum Daerah
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis, yaitu:
1. dr. Nancy N. Sitohang, M.Ked (DV), Sp. DV, sebagai dosen pembimbing
klinik selama berada di stase Dermatologi dan Venereologi.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2017 khususnya tim Dokter Muda 46
yang telah bersedia memberikan saran kepada penulis.
4. Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi kesempurnaan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-
hari sebagai dokter. Terimakasih.
Samarinda, Maret 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB 2 RESUME KASUS ...................................................................................... 3
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
3.1 Definisi ..................................................................................................... 7
3.2 Epidemiologi ............................................................................................ 8
3.3 Etiopatogenesis ....................................................................................... 10
3.4 Manifestasi Klinis................................................................................... 11
3.5 Diagnosis ................................................................................................ 14
3.6 Diagnosis Banding ..................................................................................... 15
3.7 Penatalaksanaan ...................................................................................... 16
3.8 Komplikasi ............................................................................................. 18
BAB 4 PEMBAHASAN ....................................................................................... 19
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi ini terdistribusi merata di seluruh dunia dan sebagian besar
kasus didiagnosis di negara-negara Afrika, Asia, serta Eropa Selatan dan Timur.
Transmisi antar manusia pada tinea kapitis merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang memerlukan perhatian khusus karena meningkatnya jumlah anak
yang terkena tinea kapitis maka risiko penularan di sekolah juga akan meningkat.
(Hibstu & Kebede, 2017).
1
1.2 Tujuan
Mengetahui tentang tinea kapitis dan perbandingan antara teori dengan kasus
nyata tinea kapitis.
1.3 Manfaat
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang dermatologi dan venereologi, khususnya tentang tiena kapitis.
2
BAB 2
RESUME KASUS
2.1 Anamnesa
a) Identitas Pasien
Nama : An. YA
Usia : 5 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : Belum Sekolah
Pekerjaan :-
Alamat : Tenggarong
Datang ke Poli Dermatologi dan Venereologi RSUD AWS pada tanggal 28
Februari 2018. Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dengan Ibu
pasien.
b) Keluhan Utama
Gatal di daerah kepala.
3
sisik-sisik halus berwarna putih di bagian atasnya. Beberapa hari kemudian
keluhan juga dirasakan pada di daerah belakang kepala. Dan dari dokter
pasien mendapat terapi cetirizine sirup, ketokonazole 20 g + hidrokortisone
2,5% 5g 2x/hari, griseofulvin 150 mg 2x1. Dengan pengobatan ini pasien
mengaku keluhan membaik. Selain itu, semenjak dari poli pasien
melakukan keramas 2x/hari dengan menggunakan selsun.
Tetapi sekitar 2 minggu yang lalu keluhan gatal dan bercak merah yang
disertai peninggian muncul kembali. Pasien sudah dibawa ke puskesmas
tetapi keluhan tidak membaik.
Riwayat alergi terhadap snack, telur, ayam potong.
4
Inspeksi : bentuk dan pergerakan simetris dextra=sinistra
Palpasi : fremitus raba dextra=sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas kanan ICS 2 parasternal line dextra
batas kiri ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat (+/+)
e) Status dermatologi
1) Lokasi : 1. regio parietal , 2. regio oksipital
2) Efloresensi : 1. Plaque solitar eritematosa.diselimuti oleh squama halus
berwarna keabu-abuan dan rambut berwarna abu-abu
2. Terlihat alopesia
f) Status venerologi
Tidak dilakukan.
2.6 Penatalaksanaan
Cetirizine syr 1 x 1 cth
5
Ketokonazol cream 30 g + Hidrokortisone 2,5% 10 g 2x/hari
Griseofulvin 150 mg 2x1
2.7 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam :dubia ad bonam
Ad kosmetikam : malam
2.8 Dokumentasi
6
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
Rambut yang ada di kepala melindungi dari trauma dan sinar UV, serta
mengurangi hilanganya panas pada daerah kepala. Eyebrows dan eyelashes
melindungi mata dari corpus alienum seperti fungsi rambut yang ada di nostril dan
external ear canal (Tortora & Derrickson, 2012).
Setiap rambut terdiri dari sel-sel epidermis berkeratinasi yang terikat satu
sama lain oleh protein ekstraselular. Shaft adalah bagian superfisial rambut yang
berada di atas permukaan kulit (gambar). Sedangkan root adalah bagian dari rambut
yang berada di bawah permukaan kulit dan biasanya sampai di bagian dermis atau
bahkan terkadang sampai ke lapisan hipodermis. Shaft dan root terdiri dari sel-sel
yang terkonsentrasi yaitu deri profundus ke superfisial adalah medulla, korteks, dan
cuticle (gambar). Medulla terdiri dari dua sampai tiga baris sel-sel ireguler yang
banyak mengandung granul pigmen warna pada rambut hitam, sedikit granul
pigmen pada rambut abu-abu, dan tidak ada granul pigmen dan ada balon udara
pada rambut putih. Korteks membentuk bagian utama pada shaft dan terdiri dari
sel-sel yang memanjang. Cuticle adalah lapisan terluar dari rambut yang terdiri dari
satu lapis sel tipis yang mengandung banyak keratin. Cuticle pada bagian shaft
tersusun seperti atap yang saling tumpan tindih (Tortora & Derrickson, 2012).
Di sekitar root rambut terdapat folikel rambul yang terdiri dari external root
sheath dan internal root sheath, yang semuanya disebut sebagai epithelia root
sheath (gambar). External root sheath berasal dari epidermis sedangkan internal
root sheath berasal dari matrix dan membentuk selubung tabung dari epitelium
7
antra external root sheath dan rambut. Bagian dermis yang mengelilingi folikel
rambut disebut sebagai dermal root sheath (Tortora & Derrickson, 2012).
Bagian bawah dari setiap folikel rambu dan struktur di sekitarnya berbentuk
seperti bawang yang disebut sebagai bulb. Struktur ini terdapat penonjolan yang
disebut sebagai papila rambut. Papila rambut terdiri dari jaringan ikat areolar dan
banyak mengandung pembululh darah yang memberikan nutrisi kepada folikel
rambut yang sedah tumbuh. Sel-sel matrix rambut berasal dari starum basal. Oleh
karena itu, sel-sel ini bertanggung jawab untuk pertumbuhan rambut dan
menhasilkan rambut baru ketika rambut yang sudah lama rontok. Sel-sel matriks
rambut juga berfungsi untuk membentuk dari sel-sel internal root sheath (Tortora
& Derrickson, 2012).
3.2 Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
golongan jamur dermatofita (Microsporum, Trichophyton, Epidermophyton).
Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan korenum dan menghasilkan gejala
melalui aktivasi respon imun penjamu. Tinea kapitis (ringworm of the scalp) yang
merupakan salah satu dari dermatofitosis adalah kelainan pada kulit dan rambut
kepala yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai
dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi
gambaran klinis yang lebih berat yang disebut kerion (Moriary, 2012; Widaty &
Budimulja, 2017). Tinea kapitis dapat terjadi di kepala, alis dan bulu mata yang
memiliki kecenderungan menyerang hair shaft dan folikel (Handler, 2017;
Murtiastutik, Ervianti, Agusni, & Suyoso, 2016).
3.3 Epidemiologi
Tinea kapitis merupakan infeksi dermatofita yang umum terjadi pada anak-
anak, tetapi jarang terjadi pada orang dewasa (Arshah, Issa, & Dwibe, 2016). Tinea
kapitis sering terjadi pada anak yang berusia antara 3 – 14 tahun. Setelah pubertas,
insidensi dari kelainan ini menurun drastis. Penurunan insidensi pada pubertas
mungkin berkaitan dengan efek fungistatik dari asam lemak pada sebum yang
8
banyak diproduksi ketika seseorang mengalami masa pubertas. Prevalensi di
Amerika Serikat secara keseluruhan sekitar 4%. Tanpa diketahui alasan yang jelas,
tinea kapitis lebih sering terjadi pada anak keturuan Afrika. Di Ethiopia, Nigeria
dan Palestina, prevalensi tinea pada kalangan anak-anak sekolah masing-masing
sebesar 47,5%, 40% dan 27%. Tetapi, di negara maju jarang ditemukan kasus tinea
kapitis. Hal ini mungkin diakibatkan oleh peningkatan kondisi sosialekonomi dan
pengembangan pengobatan yang lebih efektif. Transmisi akan meningkat jika
hiegien personal buruk, tinggal ditempak yang padat, dan status sosioekonomi yang
rendah. Dermatofita Trichophyton tonsurans spesies yang paling sering ditemukan
di Amerika Serikat, sedangkan Microsporum canis masih menjadi penyebab
tersering tinea kapitis di benua Eropa. Organisme penyebab tinea kapitis sudah
pernah dikultur dari fomite seperti sisir, topi, sarung bantal, mainan anak dan tempat
duduk di teater. Studi yaang dilakukan di Nigeria memperlihatkan bahwa 3 faktor
predisposisi terbanyak yang menyebabkan tine kapitis adalah membawa barang
dengan meletakkan di atas kepala, sisir, dan kondisi lingkungan yang padat
(Gambar 1). Setelah rontok atau dipotong ,rambut mungkin masih bisa menjadi
tempat hidup dari organisme ini selama 1 tahun. Tingginya prevalensi karier
asimtomatik dari kuman ini menyebabkan kita sulit untuk membasmi penyakit ini
(Schieke & Garg, 2012) (Hibstu & Kebede, 2017) (Ayanlowo, Akinkugbe, Oladele,
& Balogun, 2014).
9
Gambar 1. Faktor predisposisi tinea infection
3.4 Etiopatogenesis
Tinea kapitis digambarkan sebagai infeksi dermatofita dari rambut dan kepala
yang umumnya disebabkan oleh genus Trichophyton and Microsporum, dengan
pengecualian Trichophyton concentricum (Schieke & Garg, 2012). Infeksi rambut
oleh dermatofita memiliki 3 bentuk utama yaitu exothrix, endothrix dan favus.
Dermatofita menyebabkan infeksi pada perifollicular di stratum korneum dan
menyebar ke hair shaft dari rambut anagen dan masuk ke bagian dalam yaitu folikel
sampai menembus korteks. Ketika rambut tumbuh, bagian rambut yang terinfeksi
akan naik keatas permukaan kulit kepala dimana bagian tersebut mungkin bisa
patah akibat rapuh (Schieke & Garg, 2012).
Pada infeksi ectohtrix (gambar), arthronocidia terlihata pada permukaan dari
hair shaft. Pada tipe ini cutikel sudah rusak. Pada pemeriksaan lampu Wood,
fluoresensi mungkin bisa terlihat tergantung dari spesies penyebabnya. Pada infeksi
endothrix, arthroconidia dan hifa berda di dalam hair shaft dan untuk korteks dan
cutikel masih intak. Tinea kapitis pola ini berkaitan dengan penampakan “black
10
dots” yang merupakan bagian rambut yang tertinggal di atas permukaan kulit kepala
ketika sebagian dari rambut patah. Pada Endothrix tidak memperlihatkan
fluorosensi pada pemeriksaan lampu Wood. Untuk favus memiliki karakteristik
berupa hifa yang tersusung longitudinal dan ruan berudara di dala hair shaft.
Arthroconidia mungkin tidka terilhat pada tipe ini (Schieke & Garg, 2012).
11
fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melampaui batas-
batas patch tersebut. Pada kasus-kasus tanpa keluhan, pemeriksaan dengan
lampu Wood ini banyak membantu diagnosis. Tinea kapitis yang disebabkan
oleh Microsporum audouini biasanya disertai tanda peradangan ringan, hanya
sekali-sekali dapat terbentuk kerion.
b. Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yagn
padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum
gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak kurang bila
penyebabnya trichopyhyton tonsurans, dan sedikit sekali bila penyebabnya
adalah Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan
parut dan kerakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol
kadang-kadang dapat terbentuk.
c. Black dot ringworm, terutama disebabkan oleh trichophyton tonsurans dan
trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya
menyerupai kelainan yang disebabkan oelh genus microsporum. Rambut yang
terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel, dan tertinggal adalah ujung
12
rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam folikkel rambut
ini memberi gambarankhas, yaitu black dot. Ujung rambut yang patah, kalau
tumbuh kadan-kadang masuk ke bawah permukaan kulit.
13
3.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis sama halnya pada penyakit lain diawali dengan
anamnesis untuk mencari tahu sumber dari mana infeksi ini berasal. Kita bisa
menanyakan faktor-faktor predisposisi seperti yang ada pada gamba 1. Untuk
pemeriksaan fisik sendiri bisa dilakukan dengan menilai efloresensi yang sesuai
dengan efeloresesni dari tinea kapitis, baik itu berupa grey patch, kerion, atau black
dot.
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan dioagosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain, seperti
pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa
kerokan kulit dan rambut. Bahan pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan
sebagai berikut. Terlebih dahulu tempat kelainan diberishkan dengan spiritus 70%.
Rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan, kulit di daerah tersebut
dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit. Pemeriksaan dengan lampu Wood
dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang
terkena infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus-kasus tinea
kapitis tertentu (Widaty & Budimulja, 2017).
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-
mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesran 10x45. Pemeriksaan
dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan (Widaty & Budimulja,
2017).
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH 10%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan
KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemnansan sediaan basah di atas api
kecil. Pada saat mulai ke luar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup.
Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang
diinginkan tidak teracapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchorrm blue
black (Widaty & Budimulja, 2017).
14
Pada sediaan kulit dan kuku yang terihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang, maupun spora berderet (anrtrospora) pada
kelainan kulit lama dan atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah
spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di luar
rambut (ekstotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat
juga hifa pada sedaian rambut (Widaty & Budimulja, 2017).
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik saat ini adalah medium agar dekstrosa sabouraoud. Pada agar sabouraud
dapat ditambahakan antbiotik (kloramfenikol) atau ditambah pula klorhesimid.
Kedua zat tersebut diperulakn untuk mengindarkan kontaminasi bakterial maupn
jamur kontaminan (Widaty & Budimulja, 2017).
15
(pseudopelade brocq) memerlukan pemeriksaan lebih lengkap untuk
membedakannya dengan favus. Pemeriksaan dengan lampu Wood menunjukkan
fluoresensi pada rambut yang terserang oleh favus (Widaty & Budimulja, 2017).
3.7 Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana dari kelainan ini adalah untuk mengeradikasi organisme
penyebab tinea kapitis sehingga menyebabkan perbaikan baik secara klinis dan
secara mikologi secepat serta seaman mungkin, menurunkan gejala, mencegah
timbulnya scar dan mengurangi transmisi ke orang lain. Dan untuk mencapai semua
di atas diperlukan terapi oral (Fuller, et al., 2014).
Kita idealnya memulai terapi ketika mendapatkan konfirmasi adanya fungus
pada hasil pemeriksaan mikroskopi atau kultur. Pada daerah yang berisiko tinggi,
dengan menunggu hasil tersebut akan menyebabkan keterlambatan terapi dan
mungkin akan menyebabkan penyebaran ke orang sekitar pasien. Sehingga, dengan
adanya kerion atau ketika diagnosis dari infeksi fungal secara kuat sudah diduga
secara klinis dengan adanya squama, limfadenopapti atau alopecia, maka terapi bisa
diberikan secepatnya (Fuller, et al., 2014).
Meskipun hanya sedikit pasien yang sembuh dengan pengobatan topikal,
saat ini terapi topikal tidak direkomendasikan untuk tatalaksana tinea kapitis.
Tetapi, obat topikal ini bisa digunakan untuk mengurangi transmisi dari spora.
Contoh obat topikal ini adalah povidone iodine, ketoknazol 2% dan shampoo
selenium sulfide 1% (Fuller, et al., 2014).
Sejalan dengna penetrasi dermatofita ke dalam folikel rambut, maka infeksi
yang mengenai daerah berambut memerlukan pengobatan oral. Selama ini
pengobatan standar untuk tinea kapitis di Amerika Serikat adalah griseofulvin,
sedangkan golongan triazol dan alilamin menunjukkan keamanan, efikasi dan
manfaat lebih karena penggunaannya yang memerlukan waktu singkat, namun
semenjak tahun 2007, terinafin juga direkomendasikan untuk pengobatan tinea
kapitis pada anak berusia 4 tahun, khususnya yang disebabkan oleh T. Tonsurans
(Fuller, et al., 2014) (Widaty & Budimulja, 2017). Shemer, et al., 2013 menyatakan
bahwa griseofulvin sedikit lebih baik dibandingkan dengan fluconazole. Dengan
dosis rendah baik griseofulvin dan fluconazole membutuhkan waktu terapi yagn
16
lebih lama untuk mengeradikasi fungi dibandingkan dengan penggunaan dosis
tinggi (Widaty & Budimulja, 2017).
Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin
dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g utnuk orang dewasa
dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kgBB. Diberkan 1-2 kali
sehari, lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakti, penyebab penyakit, dan
keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis pengobatan dilanjutkan hingga
2 minggu. Untuk mempercepat waktu penyembuhan, kadang-kadang diperlukan
tindakan khusus atau pemerian obat topikal tambahan (Widaty & Budimulja, 2017).
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama
iala cefalgia, dizziness dan insomnia. Efek samping yang lain dapat beruap
gangguan trakturs digestivus ialah nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga
bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar (Widaty & Budimulja,
2017).
Obat peroral, yang juga efektif utnuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang
bersifat fungistatik pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan
obat tersebut sebanyak 200 mg/hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari
setelah makan. Ketokenazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan
hepar (Widaty & Budimulja, 2017).
Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik
terutama bila diberkan lebih dari sepuluh hari., dapat diberkan suatu obat triazol
yaitu itrakonazol yagn merupakan pemilihan yang baik. Pemberian obat tersebut
utnuk penyakti kulit dan selaput lendir oleh penyakit jaumr biasanya cukup 2 x 100-
200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari (Widaty & Budimulja, 2017).
Obat antijamur golongan azol dan golongan alilamin mengalami proses
metabolisme oleh enzim sitokrom P450 sehingga dapat terjadi interaksi dengna
berbagai obat lain yang mengalami metabolisme oleh kelompok enzim yang sama
misalnya rifampisin, cemetidine, cimetidine. Sebagai contoh interaksi itrakonazol
dengan berbagai obat lain (Widaty & Budimulja, 2017).
Terbinafin yang bersfiat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 – 250 mg sehari bergantung pada
berat badan (Widaty & Budimulja, 2017).
17
Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10% penderita, yang
tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung,
diarea, kosntipasi, umumnya ringan. Efek smaping yang lain dapt beruap gangguan
pengecapan, presentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya
setealh beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Cefalgia ringan dapat
pula terjadi. Gangguan fungsi heapr dilaporkan pda 3,3-7% kasus. Interaksi obat
dapat terjadi antara lain dengan enmetideine dan rotompisin (Widaty & Budimulja,
2017).
Pada masa kini selain obat-obat topikal konvensional, misalnya asam
salisilat 2-4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%, viorform 3%, asam undesilenat
2-5%, dikenal banyak obat topikal baru. Obat-obat baru ini di antaranya tolnaftat
2%, tolsiklat, haloprogin, derivat-derivat imidazol, sklopiroksolamin, dan naftifine
masing-masng 1% (Widaty & Budimulja, 2017).
3.8 Komplikasi
Pada tinea kapitis, organisme penyebab tinea kapitis menyebabkan
kerusakan rambut dan sturuktur pilosebasea yang mengakibatkat kebotakan dan
alopecia. Di Amerika Serikat, tinea kapitis menajdi infeksi dermatofita banyak
dialami oleh populasi usia anak. sehingga tanpa diagnosis yang akurat dan terapi
yang akurat dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental anak. pasien muda yang
mengalami gatal kepala dan patch atau hilang rambut total sering ditertawakan,
dimusuhi dan dibuli oleh teman-temannya (Handler, 2017).
18
BAB 4
PEMBAHASAN
Kasus ditelaah pada pasien An. YA usia 5 tahun, perempuan dengan keluhan gatal
di daerah kepala sejak 2 minggu sebelum kunjungan ke poliklinik dermatologi dan
venereologi RSUD A.W. Sjahranie. Pasien didiagnosis menderita Tinea Kapitis.
Diagnosis penyakit ini ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Identitas & Anamnesis
Fakta Teori
Tinea kapitis sering terjadi pada anak
yang berusia antara 3 – 14 tahun. Setelah
Pasien: anak usia 5 tahun .
pubertas, insidensi dari kelainan ini
menurun drastis.
Keluhan utama: gatal di daerah Tinea kapitis (ringworm of the scalp)
kepala yang merupakan salah satu dari
dermatofitosis adalah kelainan pada kulit
dan rambut kepala yang disebabkan oleh
spesies dermatofita.
Gray patch ringworm merupakan tinea
kapitis yang biasanya disebabkan oleh
genus Microsporum dan terasa gatal
Pasien juga menyampaikan Gray patch ringworm merupakan tinea
bahwa terdapat rambut rontok kapitis yang biasanya disebabkan oleh
di daerah tersebut dan benjolan genus Microsporum dan sering ditemukan
merah di kepala bagian atas pada anak-anak. Penyakit mulai dengan
belakang. Tidak ada tetangga papul merah kecil di sekitar rambut. Papul
atau teman bermain yang ini melebar dan membentuk bercak, yang
memiliki keluhan yang sama. menajadi pucat dan bersisik
Pasien berdomisili di Tenggarong Studi yaang dilakukan di Nigeria
memperlihatkan bahwa 3 faktor
predisposisi terbanyak yang menyebabkan
tine kapitis adalah membawa barang
dengan meletakkan di atas kepala, sisir,
dan kondisi lingkungan yang padat
19
Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Plaque solitar Penyakit mulai dengan papul merah kecil di
eritematosa.diselimuti oleh sekitar rambut. Papul ini melebar dan
squama halus berwarna membentuk bercak, yang menajdi pucat dan
keabu-abuan dan rambut bersisik. Warna rambut menjadi abu-abu dan
berwarna abu-abu. tidak berkilat lagi
Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
Tidak dilakukan Pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum
pemeriksaan pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas
penunjang. daerah yang terkena infeksi dengan kemungkinan
adanya fluoresensi pada kasus-kasus tinea kapitis
tertentu
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan
diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan
basah dan biakan. Sediaan basah akan terlihat hifa dan
biakan untuk menentukan spesies jamur
Diagnosis
Fakta Teori
Diagnosis banding: Tinea kapitis ditegakkan dari anamnesis dan
Tinea kapitis efloresensi yang khas dari setiap tipe (gray patch,
kerion, black dot)
Alopesia areata
Jika memungkinkan bisa dilakukan pemeriksaan
Dermatitis Seboroik mikologik
Diagnosis kerja:
tinea kapitis
20
Penatalaksanaan
Fakta Teori
Medikamentosa Terapi medikamentosa utama adalah oral : ,
Cetirizine syr 1 x 1 griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat
diberikan dengan dosis 0,5-1 g utnuk orang dewasa
cth
dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25
Ketokonazol cream mg/kgBB. Diberkan 1-2 kali sehari, lama
pengobatan bergantung pada lokasi penyakti,
30 g +
penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita
Hidrokortisone Terapi topikal bisa diberikan untuk mencegah
transmisi: povidone iodine, ketoknazol 2% dan
2,5% 10 g 2x/hari
shampoo selenium sulfide 1%
Griseofulvin 150
mg 2x1
21
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
22
DAFTAR PUSTAKA
Arshah, T., Issa, H., & Dwibe, H. (2016). Tinea Capitis in adult Libyan female.
Lebda Medical Journal, 65-67.
Ayanlowo, O., Akinkugbe, A., Oladele, R., & Balogun, M. (2014). Prevalence of
Tinea Capitis Infection Among Primary School Children in a Rural Setting
in South-West Nigeria. Journal of Public Health in Africa.
Fuller, L., Barton, R., Mustapa, M., Proudfoot, L., Punjabi, S., & Higgins, E.
(2014). British Association of Dermatologists' guidelines for the
Management of tinea Capitis 2014. British Journal of Dermatology, 454-
463.
Handler, M. (2017, Juni 13). Diambil kembali dari Medscape:
https://emedicine.medscape.com/article/1091351-overview#a4
Hibstu, D., & Kebede, D. (2017). Epidemiology of Tinea Capitis and Associated
Factors among School Age Children in Hawassa Zuria DIstrict, Southern
Ethiopia, 2016. JOurnal of Baacteriology and Parasitology, 1-5.
Moriary, B. (2012). The Diagnosis and management of tinea. BMJ.
Murtiastutik, D., Ervianti, E., Agusni, I., & Suyoso, S. (2016). Atlas Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 2. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair
(AUP).
Schieke, S., & Garg, A. (2012). Superficial Fungal Infection. Dalam L. A.
Goldsmith, S. I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, D. J. Leffell, & K. Wolff,
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (hal. 2272-2297). New
York: McGrawHill Medical.
Shemer, A., Plotnik, I., Davidovici, B., Grunwald, M., Magun, R., & Amichai, B.
(2013). Treatment of tine capitis-griseofulvin versus fluconazole-a
comparative study. JDDG, 737-741.
Widaty, S., & Budimulja, U. (2017). Deramtofitosis. Dalam S. L. SW Menaldi, K.
Bramono, & W. Indriatmi, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (hal. 109-116).
Jakarta: Badan Peneribit FKUI.
23