Anda di halaman 1dari 27

Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik Karya Tulis Ilmiah

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

PROSEDUR PENANGANAN KORBAN BENCANA


JATUHNYA PESAWAT DI LAPANGAN TERBUKA

Oleh:
Nur Indah Tri Widya Putri NIM. 1710029004
Irvana Fatimah Sudrajat NIM. 1710029016
HJ. Riska Yulianti NIM. 1710029007
Mayang Larasati NIM. 1710029001
Dedy Sutriyatno NIM. 1710029011
Riska Putri Dewri NIM. 1710029012

Pembimbing
dr. Daniel Umar, SH. Sp.F

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda, 2018
Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik Karya Tulis Ilmiah
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

PROSEDUR PENANGANAN KORBAN BENCANA


JATUHNYA PESAWAT DI LAPANGAN TERBUKA

Oleh:
Nur Indah Tri Widya Putri NIM. 1710029004
Irvana Fatimah Sudrajat NIM. 1710029016
HJ. Riska Yulianti NIM. 1710029007
Mayang Larasati NIM. 1710029001
Dedy Sutriyatno NIM. 1710029011
Riska Putri Dewri NIM. 1710029012

Pembimbing
dr. Daniel Umar, SH. Sp.F

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda, 2018

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan karunia-Nya lah
penulisan karya tulis ilmiah yang berjudul “Prosedur Penanganan Korban Jatuhnya
Pesawat di Lapangan Terbuka” dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si, selaku Rektor Universitas Mulawarman.
2. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Daniel Umar, SH, Sp.F, selaku Kepala Laboratorium dan SMF Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, sekaligus sebagai
pembimbing klinik selama menjalani kepaniteraan klinik di Laboratorium Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
5. Seluruh staff di SMF Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda yang telah membimbing kami selama menjalani kepaniteraan klinik di SMF
Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
6. Teman-teman Dokter Muda yang menjalani kepaniteraan klinik di Lab/SMF Forensik
dan Medikolegal di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
7. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan doa serta semangat
dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun. Besar harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta bagi mereka yang membutuhkan.

Samarinda, Juli 2018


Penulis

(Kelompok 46)

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................... iii
Daftar Isi........................................................................................................... iv
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Tujuan .......................................................................................................... 4
1.3 Manfaat ........................................................................................................ 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 5
2.1 Fase I - TKP/The Scene ............................................................................. 6
2.2 Fase II - Pemeriksaan Post Mortem/The Mortuary ................................... 9
2.3 Fase III - Pengumpulan Data Ante Mortem .............................................. 13
2.3.1 Pengumpulan Data Ante Mortem .............................................................. 14
2.3.2 Mengumpulkan Data Ante Mortem dengan Wawancara .......................... 14
2.3.3 Dental ........................................................................................................ 14
2.3.4 Analisis Sidik Jari, Telapak Tangan dan Telapak Kaki ............................ 15
2.3.5 DNA .......................................................................................................... 16
2.3.6 Sampel Benda Dari Korban ...................................................................... 18
2.3.7 Menjaga Kualitas Data .............................................................................. 19
2.4 Fase IV – Rekonsiliasi .............................................................................. 19
2.5 Debriefing ................................................................................................. 20
Bab 3 Penutup .................................................................................................... 26
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 26
3.2 Saran ............................................................................................................. 26
Daftar Pustaka .................................................................................................... 27

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana
alam maupun karena ulah manusia. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
bencana ini adalah kondisi geografis, iklim, geologis dan faktor-faktor lain seperti
keragaman sosial budaya dan politik. Secara geografis merupakan negara
kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng
benua Asia dan benua Australia serta lempeng samudera Hindia dan samudera
Pasifik. Terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam Tipe A,
Tipe B, dan Tipe C. Gunung api yang pernah meletus sekurang-kurangnya satu kali
sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung api tipe A, tipe B
adalah gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus dan tipe C adalah
gunung api yang masih di indikasikan sebagai gunung api aktif. Terdapat lebih dari
5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan padat
penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir bandang dan tanah longsor pada
saat musim penghujan (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia, bencana
yang paling banyak terjadi selama 10 tahun terakhir adalah banjir, diikuti oleh angin
beliung dan tanah longsor. Tahun 2018 sendiri terdapat 433 jumlah kejadian angin
puting beliung di Indonesia, 374 kejadian banjir, dan 268 tanah longsor. Bencana
lainnya adalah kebakaran hutan (38 kejadian), gelombang pasang (11 kejadian),
gempa bumi (5 kejadian), dan letusan gunung berapi (4 kejadian). Salah satu
bencana massal adalah kecelakaan pesawat. Kecelakaan pesawat yang terjadi di
Indonesia terakhir terjadi di Papua pada Juni 2016 yang menewaskan 7 korban, dan
terbanyak (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2018).
Bencana adalah kejadian yang mengganggu kondisi normal sebuah
eksistensi dan menyebabkan tingkat penderitaan yang melebihi kapasitas
penyesuaian dari komunitas yang terkena dampak (World Health Organization,
2002). Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI, bencana adalah
peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,

1
kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar
(Henky & Safitri, 2012).
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara singkat, bencana adalah suatu
kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka atau
meninggal dengan jumlah cukup banyak. Umumnya korban yang hidup telah
banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya.
Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus
dengan membentuk tim khusus pula.
Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh
alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-
lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk
menanggulanginya. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh
tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban
yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus
pula. Dalam penggolongannya bencana massal dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama,
Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan
sejenisnya. Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai ‘Man Made Disaster’ yang
dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti: kecelakaan udara, laut, darat,
kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat ulah manusia yang telah
direncanakannya seperti pada kasus terorisme (Singh, 2008).
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah
memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya
identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan
untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur
secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum

2
dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal
maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia. Oleh karena itu,
identifikasi korban bencana sangat penting.
INTERPOL memperkenalkan istilah DVI (Disaster Victim Identification).
DVI adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku INTERPOL. Terdapat
2 jenis klasifikasi bencana yaitu Open Disaster dan Close Disaster. Open disaster
adalah peristiwa bencana besar yang mengakibatkan kematian sejumlah individu
yang tidak diketahui dimana tidak adanya catatan atau data deskriptif sebelumnya.
Sedangkan, Close disaster adalah peristiwa bencana besar yang mengakibatkan
kematian sejumlah individu dalam sebuah grup yang tetap dan dapat diidentifikasi
(misalnya kecelakaan pesawat dengan daftar penumpang) (Internasional Criminal
Police Organization [INTERPOL], 2014).
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante
Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ dan ‘Debriefing’. Dalam
melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan teknik
identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian INTERPOL menentukan
Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta
Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography.
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers (INTERPOL, 2014).
Berbagai kejadian yang memakan banyak korban jiwa, membuat kegiatan
identifikasi korban bencana massal menjadi kegiatan yang penting dan
dilaksanakan hampir pada setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam
jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah
bencana massal adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat
selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya
menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi ini sangat penting bukan

3
hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan
psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban
(Prawestiningtyas & Algozi, 2009). Oleh karena itu penulis akan membahas
mengenai prosedur penanganan bencana massal termasuk identifikasi korban
bencana massal, terutama pada close disaster.

1.2 Tujuan
Mengetahui prosedur identifikasi korban bencana massal tertutup.

1.3 Manfaat
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis terkait prosedur
identifikasi korban bencana massal tertutup.
2. Memahami peranan dokter dalam identifikasi forensik.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Bencana adalah kejadian yang mengganggu kondisi normal sebuah


eksistensi dan menyebabkan tingkat penderitaan yang melebihi kapasitas
penyesuaian dari komunitas yang terkena dampak (World Health Organization,
2002). Berdasarkan penyebabnya bencana terbagi menjadi 2, yaitu Natural Disaster
dan Man Made Disaster. Natural Disaster merupakan bencana yang terjadi karena
kondisi alam seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya.
Sedangkan Man Made Disaster yang dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri
seperti: kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat
ulah manusia yang telah direncanakannya seperti pada kasus terorisme (Singh,
2008).
INTERPOL memperkenalkan istilah DVI (Disaster Victim Identification).
DVI adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku INTERPOL. Terdapat
2 jenis klasifikasi bencana yaitu Open Disaster dan Close Disaster. Open disaster
adalah peristiwa bencana besar yang mengakibatkan kematian sejumlah individu
yang tidak diketahui dimana tidak adanya catatan atau data deskriptif sebelumnya.
Sulit untuk mendapatkan informasi tentang sejumlah korban yang sebenarnya
setelah kejadian tersebut, karena biasanya tidak ada catatan atau referensi awal
mengenai daftar orang hilang. Oleh karena itu penyelidikan menyeluruh diperlukan
untuk memperoleh daftar korban yang akurat untuk memulai prosedur DVI. Contoh
open disaster adalah bencana yang terjadi di tempat umum, di mana banyak orang
berkumpul. Sedangkan, Close disaster adalah peristiwa bencana besar yang
mengakibatkan kematian sejumlah individu dalam sebuah grup yang tetap dan
dapat diidentifikasi (misalnya kecelakaan pesawat dengan daftar penumpang).
Sebagai pembanding, data ante-mortem dapat diperoleh lebih cepat dalam kasus
bencana tertutup karena ada referensi seperti manifes penumpang atau log peserta
di suatu acara (International Criminal Police Organization [INTERPOL], 2014).

5
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante
Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ dan ‘Debriefing’.

2.1 Fase I - TKP/The Scene


Fase tempat kejadian perkara (TKP)/The Scene merupakan tindakan awal
yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana
terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas
jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando
operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya
material yang efektif dalam penanganan bencana (INTERPOL, 2018).
Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut
(NPIA, 2011):
a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat
dipindahkan dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;
b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada
setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah
kemungkinan tercampur atau hilang;
c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh
dipisahkan;
d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh
korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni
masuk dalam fase kedua dan seterusnya.

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau memberikan label. Pada langkah to
secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk
mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut
antara lain adalah:

6
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil-wakil pers, dll), misalnya
dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja
yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus


mengumpulkan korban-korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi
korban. Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga langkah
tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke
dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi (NPIA, 2011).

Gambar 2.1 Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post


mortem.

7
Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:
1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;
2) memberikan tanda pada setiap sektor;
3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan
jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang
tercecer.
5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;
6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenazahnya;
7) isi dan lengkapi pada formulir INTERPOL DVI PM dengan keterangan
sebagai berikut:
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,
tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto
pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat
dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah,
dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas;
d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir
INTERPOL DVI PM
8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di
dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;
9) formulir INTERPOL DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenazah
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan diberi label sesuai nomor properti;
11) evakuasi jenazah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif
(NPIA, 2014) (Surjit, 2008).

8
2.2 Fase II - Pemeriksaan Post Mortem/The Mortuary
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada fase ini tubuh
korban diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase
pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi
forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya.
Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada
mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini
dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar INTERPOL (DVI, 2012).
Kegiatan pada fase kedua dapat dijabarkan sebagai berikut (NPIA, 2011):
1) Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;
2) Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan
jenazah dan barang‐barang;
3) Membuat foto jenazah;
4) Mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
5) Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir INTERPOL DVI PM yang
tersedia;
6) Melakukan pemeriksaan terhadap properti yang melekat pada mayat;
7) Melakukan pemeriksaan gigi‐geligi korban;
8) Membuat rontgen foto jika perlu;
9) Mengambil sampel DNA;
10) Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
11) Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat
yang ditemukan di TKP;
12) Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.

Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data


primer dan data sekunder sebagai berikut:
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA),
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)

Dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi


DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu
menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board
DVI Indonesia yaitu didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau

9
didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan
data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk
mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan
meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan
(DVI, 2012).
Data-data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan
pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum,
dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik. Dalam
melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik
identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian, INTERPOL sendiri membagi
pemeriksaan post mortem jenazah seperti dibawah ini:
Primary Indentifiers yang terdiri dari:
1) Fingerprints
2) Dental Records
3) DNA
Secondary Indentifiers yang terdiri dari:
1) Medical
2) Property
3) Photography

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary
Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary
Identifiers (INTERPOL, 2009).

10
Gambar 2.2 Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah.
Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut:
1) Mayat diletakkan pada meja otopsi atau meja lain;
2) Dicatat nomor jenazah;
3) Foto keseluruhan sesuai apa adanya;
4) Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya);

Gambar 2.3 Contoh pengambilan sidik jari

5) Deskripsi pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas dan dikumpulkan
serta diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan untuk mengambil foto
jika dianggap penting dan khusus);
6) Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan didiskripsi kemudian dikumpulkan
dan diberi nomor sesuai nomor jenazah;

Gambar 2.3 Contoh barang milik pribadi

7) Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki:
 Identifikasi umum (jenis kelamin‐umur‐BB‐TB, dll);
 Identifikasi khusus (tato, jaringan parut, cacat, dll).
8) Lakukan bedah jenazah dan diskripsikan temuan, prinsipnya mencari kelainan
yang khas, penyakit/patologis, bekas patah tulang, bekas operasi dan lain‐lain;

11
9) Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lain‐lain;
10) Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban;
11) Buat kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensik.

Gambar 2.5 Contoh foto rontgen telapak tangan

Urutan pemeriksaan gigi‐geligi:


1) Pemeriksaan dilakukan oleh dokter gigi atau dokter gigi forensik;
2) Jenazah diletakkan pada meja atau brankar;
3) Untuk memudahkan pemeriksaan jenazah, jenazah diberi bantalan kayu pada
punggung atas/bahu sehingga kepala jenazah menengadah ke atas;
4) Pemeriksaan dilakukan mulai dari bibir, pipi, dan bagian‐bagian lain yang
dianggap perlu;
5) Guna memperoleh hasil pemeriksaan yang maksimal, maka rahang bawah harus
dilepaskan dan jaringan kulit atau otot pada rahang atas dikupas ke atas agar gigi
tampak jelas kemudian dibersihkan. Hal ini untuk mempermudah melakukan
pemeriksaan secara teliti baik pada rahang atas maupun bawah;
6) Apabila rahang atas dan bawah tidak dapat dipisahkan dan rahang kaku, maka
dapat diatasi dengan membuka paksa menggunakan tangan dan apabila tidak bisa
dapat menggunakan `T chissel’ yang dimasukkan pada region gigi molar atas dan
bawah kiri atau kanan atau dapat dilakukan pemotongan musculus masetter dari
dalam sepanjang tepi mandibula sesudah itu condylus dilepaskan dari sendi;
7) Catat kelainan‐kelainan sesuai formulir yang ada;
8) Lakukan rontgen gigi;
9) Bila perlu rontgen tengkorak jenazah;

12
Gambar 2.6 Contoh foto Rontgen kepala

10) Selanjutnya bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih lanjut.

Gambar 2.7 Foto Gigi-geligi

2.3 Fase III - Pengumpulan Data Ante Mortem


Kegiatan dalam fase ini, antara lain (Departemen Kesehatan RI [Depkes RI],
2007):
1. Mengumpulkan data-data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya
dari instansi tempat korban bekerja, keluarga/kenalan, dokter gigi pribadi,
dan polisi (sidik jari).
2. Memasukkan data yang ada/masuk dalam formulir yang tersedia.
3. Mengelompokkan data-data ante mortem berdasarkan:
a. Jenis kelamin
b. Usia
4. Mengirimkan data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.

13
2.3.1 Pengumpulan Data Ante Mortem
Tim AM (ante mortem) harus memastikan bahwa semua data identifikasi
korban dikumpulkan sesuai dengan yang terdapat dalam INTERPOL DVI Ante
Mortem Form (kuning). Hal yang penting juga adalah untuk memastikan bahwa
data AM dikumpulkan oleh orang tertentu yang ditugaskan untuk mendapatkan
selengkap mungkin data yang diperlukan. Tidak didapatkannya data AM yang
dibutuhkan juga harus didokumentasikan. Untuk tujuan mengumpulkan data-data
identifikasi, baik tempat tinggal maupun tempat kerja dari setiap korban, harus
diperlakukan seperti TKP kejahatan dan pencarian menyeluruh serta lengkap.
Langkah-langkah yang sudah ditetapkan untuk melakukan kegiatan ini harus
dipastikan benar-benar dilakukan untuk menjamin setiap data yang akan diperoleh
(INTERPOL, 2014).

2.3.2 Mengumpulkan Data Ante Mortem dengan Wawancara


Petugas yang mengumpulkan data AM harus berpengalaman dalam
memperoleh data yang terperinci dan harus memiliki pengetahuan menyeluruh
tentang bentuk format dari lember yang digunakan. Petugas yang tidak terbiasa
dengan INTERPOL DVI Ante Mortem Forms kuning sebaikan diberi pemahaman
terlebih dahulu. Wawancara dengan langsung bertemu adalah cara yang terbaik.
Tetapi, pada keadaan tertentu mungkin hanya bisa dilakukan melalui telepon.
Lokasi dan kapan waktu untuk melakukan wawancara tergantung dari lokasi dari
keluarga korban yang hilang serta fasilitas yang tersedia (INTERPOL, 2014).

2.3.3 Dental
Seperti halnya dengna sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi
yang khas. Dengan demikian, dapat dilakukan identifikasi dengan cara
membandingkan data temuan dengan data pembanding AM (Bufiyanto, et al.,
1997). Setelah kejadian suatu bencana yang melibatkan jumlah korban yang
signifikan, kantor polisi setempat dan petugas lain yang memiliki kewenangan akan
menghubungi dokter gigi yang diidentifikasi memiliki data gigi spesifik pada
korban tertentu. Dengan cara ini dapat membantu kepolisian dalam memperoleh
data AM yang sesuai. Perlu digarisbawahi, dokter gigi sering tidak memberikan

14
data pasien yang asli untuk kepentingan indentifikasi korban bencana ini. Tetapi,
yang menjadi masalah adalah untuk kepentingan identifikasi korban bencana kita
memerlukan data yang asli. Pada kasus ini, polisi berkewenangan untuk meminta
dokter gigi menyimpan salinan dan memberikan data yang asli untuk kepentingan
dalam hal identifikasi. Tipe data atau dokumen yang dapat dimiliki oleh dokter gigi
berupa (Bufiyanto, et al., 1997; INTERPOL, 2014):
a. Data rekam medik
b. Radiografik gigi, rahang dan atau kepala
c. Prostesis dental

Semua informasi diatas dibutuhkan untuk menentukan status dental dari


korban. Hal penting lainnya adalah memastikan bahwa semua rekam medik dan
radiografik pasein berlabel sesuai dengan nama dan tanggal lahir dari korban serta
tanggal pengobatan, tanggal pembuatan radiografik, stempel dan tanda tangan dari
dokter pemberi terapi termasuk identitas dari dokter gigi (nama, alamat, nomor
telepon dan email) (INTERPOL, 2014).
Kecepatan dalam hal memperoleh data AM memang sangat penting, tetapi
yang perlu ditekankan tidak boleh mengorbankan untuk mendapatkan data yang
akurat. Permintaan informasi dental dan rekam medik harus segera ditanggapi oleh
dokter gigi yang bersangkutan. Dokter seharusnya juga diminta untuk memberikan
saran untuk memperoleh sumber data lain, seperti dokter spesialis lain yang pernah
merawat korban (INTERPOL, 2014).

2.3.4 Analisis Sidik Jari, Telapak Tangan dan Telapak Kaki


Metode ini membandingkan gambaran sidik jari korban dengna data sidik
jari AM. Samapai sati ini, pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang diakui
paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang (Bufiyanto, et al.,
1997).
Syarat untuk bisa dilakukan identifikasi korban dengan menggunakan sidik
jari, telapak tangan dan telapak kaki adalah keterseiaan rekam sidik ante-mortem
dan post-mortem yang layak, serta ahli yang mendalami ilmu ini. Dalam hal ini,
teknologi Automated Fingerprint Identification System (AFIS) yang diakui secara

15
internasional dapat digunakan secara efektif dan andal selama fase permintaan dan
resgistrasi serta fase pembandingan (INTERPOL, 2014).
Terdapat dua tipe utama sidik jari ante-mortem. Pertama adalah diambil dari
data tempat dimana korban pernah menyimpan rekam sidik jari dan kedua adalah
sidik jari yang didapatkan dari benda-benda yang ada. Investigator harus lebih teliti
untuk semua setiap benda yang kemungkinan terdapat sidik jari korban
(INTERPOL, 2014).
Pada kasus korban anak, analisis sidik jari, telapak tangan dan telapak kaki
sangat penting dikarenakan sedikit atau tidak adanya data dental ante-mortem.
Dokumentasi seharusnya terdiri dari tipe sidik, nama petugas tim ante-mortem yang
mendapatkan sidik dan lokasi dimana sidik itu didapatkan (INTERPOL, 2014).

2.3.5 DNA
Analisis DNA adalah salah satu dari metode primer untuk identifikasi.
Setiap bencana memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga pendekatan
untuk identifikasi korban juga berbeda. Sementara pada banyak kasus investigasi
dental dan sidik akan sangat berarti, pada kasus lain seperti pada kasus yang
melibatkan korban berusia muda atau sudah terjadi dekomposisi, penggunaan
analisis dan pembandingan DNA menjadi metode yang lebih baik. Pada keadaan
ini, DNA mungkin menjadi satu-satunya identifikasi primer yang dapat diandalkan.
Keputusan apakah suatu identifikasi memerlukan analisis DNA dilakukan oleh
Kepala Tim Identifikasi Korban dengan berkonsultasi dengan laboratorium
forensik (INTERPOL, 2014).

1. Acuan Sampel DNA


Pilihan sample DNA ante-mortem seharusnya terbatas pada (INTERPOL,
2014):
 Sanak saudara tingkat pertama (lebih dari satu jika memungkinkan)
 Darah atau biopsy dari korban
 Properti tertentu yang biasanya digunakan oleh korban

16
Profil DNA dari sanak saudara tingkat pertama akan selalu memberikan
informasi yang adekuat. Pada sebagian besar kasus, itu akan sangat berguna untuk
mendapatkan lebih dari satu sampel DNA. Pada kasus tertentu, seperti adopsi, tidak
mungkin untuk memperoleh sampel DNA dari saudara kandung dan acuan DNA
akan menggunakan benda-benda yang berhubungan dengan korban (INTERPOL,
2014).

2. Tipe Sampel DNA AM


Sampel yang baik dipakai (INTERPOL, 2014):
 Swab dari mukosa mulut
 Darah yang diambil dari ujung jari.
Untuk mendapatkan kecocokan yang optimal, penting untuk mendapatkan
sampel dari donor yang secara biologis terkait dengan korban. Pembuktian
hubungan biologis antara donor dan korban penting untuk integritas proses
indentifikasi. Pendonor yang sesuai untuk identifiaksi ini adalah (INTERPOL,
2014):
 Ibu kandung dan ayah kandung dari korban\
 Ibu kandung atau ayah kandung dari korban dan jika mungkin saudara
kandung
 Kembaran korban
 Anak kandung
 Saudara kandung dari korban

3. Sampel Darah/Biopsi Korban


Sumber lain yang dapat dipertimbangkan untuk identifkasi DNA adalah dari
sampel darah atau biopsi yang pernah diambil dan disimpan sebelum korban
meninggal. Dalam hal ini, tim harus berkonsultasi dengan dokter keluarga untuk
mencari tahu apakah terdapat sample darah atau biopsi pasien pada kasus dimana
keluarga yang berhubungan secara biologi tidak dapat diperoleh (INTERPOL,
2014).

17
2.3.6 Sampel Benda Dari Korban
Selain sumber sampel di atas, sumber DNA yang lain adalah dari objek yang
sering digunakan oleh korban (INTERPOL, 2014).
Berikut ini adalah tindakan pencegahan yang seharusnya dilakukan untuk
meminimalisir risiko terjadinya kontaminasi dan untuk menjaga integritas dari
objek yang diperoleh (INTERPOL, 2014):
 Setiap obejek seharusnya diletakkan pada tempat yang terpisah.
 Setiap tempat bukti harus disegel.
 Tempat objek seharusnya diberi label/tanda.
 Daftar objek harus disiapkan untuk mendokumentasi penerimaan,
transportasi dan pengembalian objek

Tabel 2.1 Sampel Benda dari Korban


 Mengambil sampel dari keluarga biologis terdekat seperti orang
tua, anak dan saudara kandung. Bila mungkin, ambil dua atau
Keluarga biologis
lebih sample.
 Swab mukosa bibir dan sampel darah
 Profil DNA korban dapat diperoleh dari:
 Gigi yang diekstraksi
 Sampel dari sumsung tulang
Sample korban
 Sampel darah
 Sample dari bank sperma
 Tali pusat
 Contoh barang yang dapat dijadikan sample:
 Sikat gigi
 Pencukur rambut
 Sisir
Benda pribadi
 Lipstick, deodorant
 Cangkir dan gelas
 Celana dalam
 Motor, helm, topi

18
 Headphone
 Kacamata
 Perhiasan
 Jam tangan

2.3.7 Menjaga Kualitas Data


Pengumpulan dan penyimpanan yang dikerjakan secara berhati-hati
merupakan syarat mutlak untuk pencocokan sampel korban tertentu. Semua
formulir yang berisi informasi korban yang diperoleh dari sanak saudara harus
ditinjau dan segera dikoreksi jika ada kesalahan sebelum data dimasukkan.
Dokumen yang sudah didapatkan dan sesuai harus menyertai semua sampel korban.
Semua sampel dan dokumen yang didapat diteruskan ke laboratorium secepat
mungkin. Petugas laboratorium harus sangat berhati-hati dalam menggunakan dan
menyimpan bahan-bahan ini dan segera mengembalikan barang-barang tersebut ke
kantor polisi yang akan dikembalikan ke keluarga setelah identifikasi korban
bencana selesai (INTERPOL, 2014).

2.4 Fase IV - Rekonsiliasi


Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Pada fase rekonsiliasi ini
seorang ahli forensik perlu untuk mengumpulkan data terkait jenazah misalnya
pada identifikasi primer (gigi, sidik jari atau DNA dari korban). Proses identifikasi
ini membutuhkan beberapa data lain dari identifikasi sekunder misalnya bukti
medis, pakaian, tattoo, perhiasan, pakaian dan dokumentasi. Hal ini dibutuhkan
untuk memastikan identitas dari korban tersebut (Khambali, 2017; INTERPOL,
2014).
Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi
positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka
identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai

19
ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah
(Khambali, 2017).
Setelah file rekonsiliasi dinilai dan konten dianggap dapat diandalkan dan
aman untuk menyimpulkan identitas positif, Dewan Identifikasi (IB) diadakan.
Hasil perbandingan antara informasi post mortem dan ante mortem disajikan
kepada IB, yang diselenggarakan oleh otoritas lokal dan dipimpin oleh Koroner
atau otoritas yang setara. Pemeriksa atau yang setara, yang memiliki tanggung
jawab keseluruhan untuk identifikasi orang yang meninggal, diberitahu tentang
hasil yang mendukung kesimpulan identifikasi dan diberikan dengan laporan
perbandingan dan sertifikat Identifikasi untuk setiap manusia yang diidentifikasi
tetap, termasuk setiap sisa manusia yang terfragmentasi (INTERPOL, 2014).
Secara singkat, pada fase rekonsiliasi ini terdiri dari beberapa kegiatan,
diantaranya (INTERPOL, 2014):
1) mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit
TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;
2) mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat
Rekonsiliasi;
3) mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit
Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;
4) Membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;

2.5 Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem
jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang
memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan medikolegal serta
administratif untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan
jenazah (Singh, 2008).
Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase
debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk

20
melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses
identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil
identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang,
apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa
datang, kesulitan apa yang ditemui dan apa yang harus dilakukan apabila
mendapatkan masalah yang sama di kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib
dibahas pada saat debriefing (Henky & Safitry, 2012).
Kegiatan dalam tahap V ini, antara lain (Depkes RI, 2007):
1. Cek dan cek ulang hasil unit pembanding data.
2. Mengumpulkan hasil identifikasi korban.
3. Membuat surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan surat-
surat lain yang diperlukan.
4. Menerima keluarga korban.
5. Publikasi yang benar dan terarah oleh Tim identifikasi sangat membantu
masyarakat dalam mendapat informasi yang terbaru dan akurat.

21
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prosedur penanganan korban bencana massal apapun mengacu pada
prosedur DVI (Disaster Victim Identification) yang dikeluarkan oleh INTERPOL.
Proses DVI terdiri dari 5 fase, yaitu the scene (penanganan di tempat kejadian,
termasuk evakuasi dan transportasi jenazah dan barang), post mortem examination
(pemeriksaan jenazah yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi korban), ante
mortem information retrieval (mencari tahu kembali data-data korban semasih
hidup, guna identifikasi korban lebih lanjut), reconciliation (mengoordinasikan
rapat-rapat penentuan identitas korban antar setiap unit), dan debriefing (cek dan
cek ulang hasil identifikasi dengan unit pembanding data, dan membuat surat
keterangan kematian serta publikasi yang benar dan terarah dalam membantu
masyarakat mendapat informasi yang terbaru dan terakurat).
Kelima fase tersebut harus dilakukan secara seksama dan benar untuk hasil
yang akurat. Penanganan bencana dan kedaruratan harus dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu dengan lebih menekankan aspek penangangan bencana ke
upaya penanggulangan kedaruratan yang memerlukan kecepatan dan ketepatan
bertindak.

5.2 Saran
Diperlukan pembelajaran lebih lanjut mengenai penanganan bencana
massal yang bersumber pada DVI. Sehinga ketika terdapat bencana, Dokter-dokter
sudah siap melakukan tindakan penanganan yang optimal terhadap setiap jenazah
yang ditemukan. Penanganan optimal juga dapat dilakukan baik dari pihak
masyarakat, kepolisian, maupun dari tim medik agar memudahkan proses
identifikasi dan penyidikan. Untuk itu, sosialisasi terhadap masyarakat oleh pihak
kepolisian dan tim medik mengenai undang-undang yang berlaku dan tindakan
yang perlu dilakukan bila menemukan mayat perlu digalakan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2018. Data Informasi Bencana


Indonesia . Retrieved from Badan Nasional Penanggulangan Bencana Web
site: http://dibi.bnpb.go.id/dibi/
Bufiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Mun'im, W., Hertian , S., Sampurna,
B., . . . Purnomo, S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik FKUI.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat Bencana (Mengacu pada Standar Internasional). Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Henky, & Safitri, O. 2012. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI
Antara Teori dan Kenyataan. Indonesian Journal of Legal and Forensics
Sciences, 5-7.
INTERPOL (International Criminal Police Organization). Disaster Victim
Identification Guide. 2009
INTERPOL (International Criminal Police Organization). Disaster Victim
Identification Guide. March 2014
INTERPOL (International Criminal Police Organization). Disaster Victim
Identification Guide. 13 Februari 2018
Khambali, I. 2017. Manajemen Penanggulangan Bencana. Yogyakarta: Penerbit
ANDI.
National Policing Improvement Agency (NPIA). Guidance On Disaster Victim
Identification. London: ACPA, ACPOS, NPIA, 2011.
Prawestiningtyas, E., & Algozi, A. M. 2009. Identifikasi Forensik Berdasarkan
Pemeriksaan Primer dan Sekunder sebagai Penentu Identitas Korban pada
Dua Kasus Bencana Massal. Jurnal Kedokteran Brawijaya, XXV, 87-94.
Singh, S. (2008). Penatalaksanaan Identifikasi Korban Bencana Massal. Majalah
Kedokteran Nusantara, 41, 254-258.
Surjit S. Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati Bencana Massal. Majalah
Kedokteran Nusantara 2008; 41(4): 254-8.
World Health Organization. 2002. Disasters & Emergencies. Addis Ababa:
WHO/EHA.

23

Anda mungkin juga menyukai