Oleh:
Nur Indah Tri Widya Putri NIM. 1710029004
Irvana Fatimah Sudrajat NIM. 1710029016
HJ. Riska Yulianti NIM. 1710029007
Mayang Larasati NIM. 1710029001
Dedy Sutriyatno NIM. 1710029011
Riska Putri Dewri NIM. 1710029012
Pembimbing
dr. Daniel Umar, SH. Sp.F
Oleh:
Nur Indah Tri Widya Putri NIM. 1710029004
Irvana Fatimah Sudrajat NIM. 1710029016
HJ. Riska Yulianti NIM. 1710029007
Mayang Larasati NIM. 1710029001
Dedy Sutriyatno NIM. 1710029011
Riska Putri Dewri NIM. 1710029012
Pembimbing
dr. Daniel Umar, SH. Sp.F
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan karunia-Nya lah
penulisan karya tulis ilmiah yang berjudul “Prosedur Penanganan Korban Jatuhnya
Pesawat di Lapangan Terbuka” dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si, selaku Rektor Universitas Mulawarman.
2. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Daniel Umar, SH, Sp.F, selaku Kepala Laboratorium dan SMF Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, sekaligus sebagai
pembimbing klinik selama menjalani kepaniteraan klinik di Laboratorium Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
5. Seluruh staff di SMF Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda yang telah membimbing kami selama menjalani kepaniteraan klinik di SMF
Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
6. Teman-teman Dokter Muda yang menjalani kepaniteraan klinik di Lab/SMF Forensik
dan Medikolegal di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
7. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan doa serta semangat
dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun. Besar harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta bagi mereka yang membutuhkan.
(Kelompok 46)
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................... iii
Daftar Isi........................................................................................................... iv
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Tujuan .......................................................................................................... 4
1.3 Manfaat ........................................................................................................ 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 5
2.1 Fase I - TKP/The Scene ............................................................................. 6
2.2 Fase II - Pemeriksaan Post Mortem/The Mortuary ................................... 9
2.3 Fase III - Pengumpulan Data Ante Mortem .............................................. 13
2.3.1 Pengumpulan Data Ante Mortem .............................................................. 14
2.3.2 Mengumpulkan Data Ante Mortem dengan Wawancara .......................... 14
2.3.3 Dental ........................................................................................................ 14
2.3.4 Analisis Sidik Jari, Telapak Tangan dan Telapak Kaki ............................ 15
2.3.5 DNA .......................................................................................................... 16
2.3.6 Sampel Benda Dari Korban ...................................................................... 18
2.3.7 Menjaga Kualitas Data .............................................................................. 19
2.4 Fase IV – Rekonsiliasi .............................................................................. 19
2.5 Debriefing ................................................................................................. 20
Bab 3 Penutup .................................................................................................... 26
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 26
3.2 Saran ............................................................................................................. 26
Daftar Pustaka .................................................................................................... 27
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar
(Henky & Safitri, 2012).
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara singkat, bencana adalah suatu
kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka atau
meninggal dengan jumlah cukup banyak. Umumnya korban yang hidup telah
banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya.
Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus
dengan membentuk tim khusus pula.
Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh
alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-
lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk
menanggulanginya. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh
tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban
yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus
pula. Dalam penggolongannya bencana massal dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama,
Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan
sejenisnya. Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai ‘Man Made Disaster’ yang
dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti: kecelakaan udara, laut, darat,
kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat ulah manusia yang telah
direncanakannya seperti pada kasus terorisme (Singh, 2008).
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah
memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya
identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan
untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur
secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum
2
dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal
maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia. Oleh karena itu,
identifikasi korban bencana sangat penting.
INTERPOL memperkenalkan istilah DVI (Disaster Victim Identification).
DVI adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku INTERPOL. Terdapat
2 jenis klasifikasi bencana yaitu Open Disaster dan Close Disaster. Open disaster
adalah peristiwa bencana besar yang mengakibatkan kematian sejumlah individu
yang tidak diketahui dimana tidak adanya catatan atau data deskriptif sebelumnya.
Sedangkan, Close disaster adalah peristiwa bencana besar yang mengakibatkan
kematian sejumlah individu dalam sebuah grup yang tetap dan dapat diidentifikasi
(misalnya kecelakaan pesawat dengan daftar penumpang) (Internasional Criminal
Police Organization [INTERPOL], 2014).
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante
Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ dan ‘Debriefing’. Dalam
melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan teknik
identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian INTERPOL menentukan
Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta
Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography.
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers (INTERPOL, 2014).
Berbagai kejadian yang memakan banyak korban jiwa, membuat kegiatan
identifikasi korban bencana massal menjadi kegiatan yang penting dan
dilaksanakan hampir pada setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam
jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah
bencana massal adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat
selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya
menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi ini sangat penting bukan
3
hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan
psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban
(Prawestiningtyas & Algozi, 2009). Oleh karena itu penulis akan membahas
mengenai prosedur penanganan bencana massal termasuk identifikasi korban
bencana massal, terutama pada close disaster.
1.2 Tujuan
Mengetahui prosedur identifikasi korban bencana massal tertutup.
1.3 Manfaat
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis terkait prosedur
identifikasi korban bencana massal tertutup.
2. Memahami peranan dokter dalam identifikasi forensik.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante
Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ dan ‘Debriefing’.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau memberikan label. Pada langkah to
secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk
mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut
antara lain adalah:
6
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil-wakil pers, dll), misalnya
dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja
yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana
7
Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:
1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;
2) memberikan tanda pada setiap sektor;
3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan
jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang
tercecer.
5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;
6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenazahnya;
7) isi dan lengkapi pada formulir INTERPOL DVI PM dengan keterangan
sebagai berikut:
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,
tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto
pada lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat
dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah,
dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas;
d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir
INTERPOL DVI PM
8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di
dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;
9) formulir INTERPOL DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenazah
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan diberi label sesuai nomor properti;
11) evakuasi jenazah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif
(NPIA, 2014) (Surjit, 2008).
8
2.2 Fase II - Pemeriksaan Post Mortem/The Mortuary
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada fase ini tubuh
korban diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase
pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi
forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya.
Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada
mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini
dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar INTERPOL (DVI, 2012).
Kegiatan pada fase kedua dapat dijabarkan sebagai berikut (NPIA, 2011):
1) Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;
2) Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan
jenazah dan barang‐barang;
3) Membuat foto jenazah;
4) Mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
5) Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir INTERPOL DVI PM yang
tersedia;
6) Melakukan pemeriksaan terhadap properti yang melekat pada mayat;
7) Melakukan pemeriksaan gigi‐geligi korban;
8) Membuat rontgen foto jika perlu;
9) Mengambil sampel DNA;
10) Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
11) Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat
yang ditemukan di TKP;
12) Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
9
didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan
data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk
mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan
meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan
(DVI, 2012).
Data-data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan
pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum,
dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik. Dalam
melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik
identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian, INTERPOL sendiri membagi
pemeriksaan post mortem jenazah seperti dibawah ini:
Primary Indentifiers yang terdiri dari:
1) Fingerprints
2) Dental Records
3) DNA
Secondary Indentifiers yang terdiri dari:
1) Medical
2) Property
3) Photography
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary
Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary
Identifiers (INTERPOL, 2009).
10
Gambar 2.2 Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah.
Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut:
1) Mayat diletakkan pada meja otopsi atau meja lain;
2) Dicatat nomor jenazah;
3) Foto keseluruhan sesuai apa adanya;
4) Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya);
5) Deskripsi pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas dan dikumpulkan
serta diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan untuk mengambil foto
jika dianggap penting dan khusus);
6) Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan didiskripsi kemudian dikumpulkan
dan diberi nomor sesuai nomor jenazah;
7) Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki:
Identifikasi umum (jenis kelamin‐umur‐BB‐TB, dll);
Identifikasi khusus (tato, jaringan parut, cacat, dll).
8) Lakukan bedah jenazah dan diskripsikan temuan, prinsipnya mencari kelainan
yang khas, penyakit/patologis, bekas patah tulang, bekas operasi dan lain‐lain;
11
9) Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lain‐lain;
10) Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban;
11) Buat kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensik.
12
Gambar 2.6 Contoh foto Rontgen kepala
10) Selanjutnya bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih lanjut.
13
2.3.1 Pengumpulan Data Ante Mortem
Tim AM (ante mortem) harus memastikan bahwa semua data identifikasi
korban dikumpulkan sesuai dengan yang terdapat dalam INTERPOL DVI Ante
Mortem Form (kuning). Hal yang penting juga adalah untuk memastikan bahwa
data AM dikumpulkan oleh orang tertentu yang ditugaskan untuk mendapatkan
selengkap mungkin data yang diperlukan. Tidak didapatkannya data AM yang
dibutuhkan juga harus didokumentasikan. Untuk tujuan mengumpulkan data-data
identifikasi, baik tempat tinggal maupun tempat kerja dari setiap korban, harus
diperlakukan seperti TKP kejahatan dan pencarian menyeluruh serta lengkap.
Langkah-langkah yang sudah ditetapkan untuk melakukan kegiatan ini harus
dipastikan benar-benar dilakukan untuk menjamin setiap data yang akan diperoleh
(INTERPOL, 2014).
2.3.3 Dental
Seperti halnya dengna sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi
yang khas. Dengan demikian, dapat dilakukan identifikasi dengan cara
membandingkan data temuan dengan data pembanding AM (Bufiyanto, et al.,
1997). Setelah kejadian suatu bencana yang melibatkan jumlah korban yang
signifikan, kantor polisi setempat dan petugas lain yang memiliki kewenangan akan
menghubungi dokter gigi yang diidentifikasi memiliki data gigi spesifik pada
korban tertentu. Dengan cara ini dapat membantu kepolisian dalam memperoleh
data AM yang sesuai. Perlu digarisbawahi, dokter gigi sering tidak memberikan
14
data pasien yang asli untuk kepentingan indentifikasi korban bencana ini. Tetapi,
yang menjadi masalah adalah untuk kepentingan identifikasi korban bencana kita
memerlukan data yang asli. Pada kasus ini, polisi berkewenangan untuk meminta
dokter gigi menyimpan salinan dan memberikan data yang asli untuk kepentingan
dalam hal identifikasi. Tipe data atau dokumen yang dapat dimiliki oleh dokter gigi
berupa (Bufiyanto, et al., 1997; INTERPOL, 2014):
a. Data rekam medik
b. Radiografik gigi, rahang dan atau kepala
c. Prostesis dental
15
internasional dapat digunakan secara efektif dan andal selama fase permintaan dan
resgistrasi serta fase pembandingan (INTERPOL, 2014).
Terdapat dua tipe utama sidik jari ante-mortem. Pertama adalah diambil dari
data tempat dimana korban pernah menyimpan rekam sidik jari dan kedua adalah
sidik jari yang didapatkan dari benda-benda yang ada. Investigator harus lebih teliti
untuk semua setiap benda yang kemungkinan terdapat sidik jari korban
(INTERPOL, 2014).
Pada kasus korban anak, analisis sidik jari, telapak tangan dan telapak kaki
sangat penting dikarenakan sedikit atau tidak adanya data dental ante-mortem.
Dokumentasi seharusnya terdiri dari tipe sidik, nama petugas tim ante-mortem yang
mendapatkan sidik dan lokasi dimana sidik itu didapatkan (INTERPOL, 2014).
2.3.5 DNA
Analisis DNA adalah salah satu dari metode primer untuk identifikasi.
Setiap bencana memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga pendekatan
untuk identifikasi korban juga berbeda. Sementara pada banyak kasus investigasi
dental dan sidik akan sangat berarti, pada kasus lain seperti pada kasus yang
melibatkan korban berusia muda atau sudah terjadi dekomposisi, penggunaan
analisis dan pembandingan DNA menjadi metode yang lebih baik. Pada keadaan
ini, DNA mungkin menjadi satu-satunya identifikasi primer yang dapat diandalkan.
Keputusan apakah suatu identifikasi memerlukan analisis DNA dilakukan oleh
Kepala Tim Identifikasi Korban dengan berkonsultasi dengan laboratorium
forensik (INTERPOL, 2014).
16
Profil DNA dari sanak saudara tingkat pertama akan selalu memberikan
informasi yang adekuat. Pada sebagian besar kasus, itu akan sangat berguna untuk
mendapatkan lebih dari satu sampel DNA. Pada kasus tertentu, seperti adopsi, tidak
mungkin untuk memperoleh sampel DNA dari saudara kandung dan acuan DNA
akan menggunakan benda-benda yang berhubungan dengan korban (INTERPOL,
2014).
17
2.3.6 Sampel Benda Dari Korban
Selain sumber sampel di atas, sumber DNA yang lain adalah dari objek yang
sering digunakan oleh korban (INTERPOL, 2014).
Berikut ini adalah tindakan pencegahan yang seharusnya dilakukan untuk
meminimalisir risiko terjadinya kontaminasi dan untuk menjaga integritas dari
objek yang diperoleh (INTERPOL, 2014):
Setiap obejek seharusnya diletakkan pada tempat yang terpisah.
Setiap tempat bukti harus disegel.
Tempat objek seharusnya diberi label/tanda.
Daftar objek harus disiapkan untuk mendokumentasi penerimaan,
transportasi dan pengembalian objek
18
Headphone
Kacamata
Perhiasan
Jam tangan
19
ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah
(Khambali, 2017).
Setelah file rekonsiliasi dinilai dan konten dianggap dapat diandalkan dan
aman untuk menyimpulkan identitas positif, Dewan Identifikasi (IB) diadakan.
Hasil perbandingan antara informasi post mortem dan ante mortem disajikan
kepada IB, yang diselenggarakan oleh otoritas lokal dan dipimpin oleh Koroner
atau otoritas yang setara. Pemeriksa atau yang setara, yang memiliki tanggung
jawab keseluruhan untuk identifikasi orang yang meninggal, diberitahu tentang
hasil yang mendukung kesimpulan identifikasi dan diberikan dengan laporan
perbandingan dan sertifikat Identifikasi untuk setiap manusia yang diidentifikasi
tetap, termasuk setiap sisa manusia yang terfragmentasi (INTERPOL, 2014).
Secara singkat, pada fase rekonsiliasi ini terdiri dari beberapa kegiatan,
diantaranya (INTERPOL, 2014):
1) mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit
TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;
2) mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat
Rekonsiliasi;
3) mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit
Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;
4) Membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
2.5 Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem
jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang
memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan medikolegal serta
administratif untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan
jenazah (Singh, 2008).
Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase
debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk
20
melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses
identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil
identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang,
apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa
datang, kesulitan apa yang ditemui dan apa yang harus dilakukan apabila
mendapatkan masalah yang sama di kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib
dibahas pada saat debriefing (Henky & Safitry, 2012).
Kegiatan dalam tahap V ini, antara lain (Depkes RI, 2007):
1. Cek dan cek ulang hasil unit pembanding data.
2. Mengumpulkan hasil identifikasi korban.
3. Membuat surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan surat-
surat lain yang diperlukan.
4. Menerima keluarga korban.
5. Publikasi yang benar dan terarah oleh Tim identifikasi sangat membantu
masyarakat dalam mendapat informasi yang terbaru dan akurat.
21
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prosedur penanganan korban bencana massal apapun mengacu pada
prosedur DVI (Disaster Victim Identification) yang dikeluarkan oleh INTERPOL.
Proses DVI terdiri dari 5 fase, yaitu the scene (penanganan di tempat kejadian,
termasuk evakuasi dan transportasi jenazah dan barang), post mortem examination
(pemeriksaan jenazah yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi korban), ante
mortem information retrieval (mencari tahu kembali data-data korban semasih
hidup, guna identifikasi korban lebih lanjut), reconciliation (mengoordinasikan
rapat-rapat penentuan identitas korban antar setiap unit), dan debriefing (cek dan
cek ulang hasil identifikasi dengan unit pembanding data, dan membuat surat
keterangan kematian serta publikasi yang benar dan terarah dalam membantu
masyarakat mendapat informasi yang terbaru dan terakurat).
Kelima fase tersebut harus dilakukan secara seksama dan benar untuk hasil
yang akurat. Penanganan bencana dan kedaruratan harus dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu dengan lebih menekankan aspek penangangan bencana ke
upaya penanggulangan kedaruratan yang memerlukan kecepatan dan ketepatan
bertindak.
5.2 Saran
Diperlukan pembelajaran lebih lanjut mengenai penanganan bencana
massal yang bersumber pada DVI. Sehinga ketika terdapat bencana, Dokter-dokter
sudah siap melakukan tindakan penanganan yang optimal terhadap setiap jenazah
yang ditemukan. Penanganan optimal juga dapat dilakukan baik dari pihak
masyarakat, kepolisian, maupun dari tim medik agar memudahkan proses
identifikasi dan penyidikan. Untuk itu, sosialisasi terhadap masyarakat oleh pihak
kepolisian dan tim medik mengenai undang-undang yang berlaku dan tindakan
yang perlu dilakukan bila menemukan mayat perlu digalakan.
22
DAFTAR PUSTAKA
23