Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan seseorang yang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart & Sundeen, 2010).
Menurut Stuart dan sundeen (2010) menyatakan pengertian perilaku
kekerasan (kemarahan) adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konduktif pada
waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk
mengerti perasaan yang sebenarnya.
Perasaan marah seperti berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan
maladaptive. Kelliat (2011) menyatakan bahwa kemarahan (perilaku
kekerasan) merupakan reaksi sehat dan normal yang dapat terjadi dalam
merespon situasi atau keadaan yang tidak adil, ketika hak seseorang tidak
dihormati atau ketika harapan individu tidak terpenuhi. Apabila individu dapat
mengungkapkan kemarahannya dengan asertif penyelesaian atau resolusi
konflik dapat terjadi. Kemarahan menjadi konsep negatif ketika individu
menyangkal atau menekan perasaan marah atau ketika dia mengungkapkannya
secara tidak tepat (Hawari, 2008).
Sedangkan menurut Depkes RI, Asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan penyakit jiwa, Jilid III Edisi I, hlm 52 tahun 2007 : “Marah
adalah pengalaman emosi yang kuat dari individu yang hasil atau tujuannya
harus dicapai terhambat”.
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit
sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan
dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu
dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Untuk itu

3
perawat harus pula mengetahui tentang respons kemarahan sesorang dan fungsi
positif marah.
Menurut Townsend (2009), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang
bertujuan untuk mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga
diartikan sebagai perang atau menyerang.
Jadi berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat kita simpulkan
bahwa amuk merupakan suatu tindakan kekerasan yang dapat membayakan
diri sendiri maupun orang lain yang ditandai dengan ekspresi kemarahan,
melakukan tindakan yang berbahaya, mengeluarkan kata-kata ancaman dan
melukai diri, dari tahap yang paling ringan sampai berat/serius.

B. Etiologi Perilaku Kekerasan


Menurut Stearan, kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang
tidak enak, cemas, tegang, demam, sakit hati dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan, yaitu frustasi, hilangnya harga diri,
kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
a. Frustasi: seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan /
keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa
terancam dan cemas. Jika tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan
cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan di sekitarnya
misalnya dengan kekerasan.
b. Hilangnya harga diri: pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan
yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya
individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak,
gampang tersinggung, gampang marah dan sebagainya.
c. Kebutuhan akan status dan pretise; manusia pada umumnya mempunyai
keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui
statusnya.

4
Faktor-faktor yang menimbulkan amuk :
a. Faktor Predisposisi
1) Psikologi
Suatu kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat menimbulkan sikap agresif/ amuk. Pada masa anak-
anak, faktor penyebab seperti perasaan ditolak, dihina, dianiaya dan
saksi penganiayaan dapat menimbulkan perilaku amuk pada masa
remaja ataupun dewasa.
2) Perilaku
a) Reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan.
b) Sering mengobservasi kekerasan di rumah/ di luar rumah
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya
a) Kontrol yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan.
b) Budaya tertutup dan membalas secara diam-diam (pasif-agresif).
c) Menciptakan situasi seolah-olah perilaku kekerasan diterima
(Permisive).
4) Bioneurologis
Kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal dan
ketidakmampuan interpesonal bisa menjadi penyebab perilaku
kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
1) Pasien, seperti: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan dan
kurang percaya diri.
2) Lingkungan, seperti: lingkungan yang berisik, padat, kritik yamg
mengarah pada penghinaan pada kehilangan orang yang dicintai.

5
C. Rentang Respon Perilaku Kekerasan
Respon kemarahan dapat di fluktuasi dalam rentang adaptif – mal
adaptif. Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut:
(Keliat, 2011)
a. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
c. Pasif adalah respon individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami.
d. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain.
e. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain.

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Assertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 1. Rentang Respon Perilaku Kekerasan

6
1. Tanda dan Gejala
a. Muka merah.
b. Pandangan tajam.
c. Otot tegang.
d. Nada suara tinggi.
e. Berdebat dan sering pula klien tampak memaksakan kehendak.
f. Memukul jika tidak senang.

2. Akibat dari Perilaku Kekerasan


Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri,
orang lain dan lingkungan.

3. Proses Marah
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari
yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan
kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan
terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini
digambarkan proses kemarahan :( Keliat, 2007)
a. Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat
diungkapkan melalui 3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal,
menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah
konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
b. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan
dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak
sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.

7
4. Gejala Marah
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang
menimbulkan pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu
bahasa. Gejala-gejala atau perubahan-perubahan yang timbul pada klien
dalam keadaan marah di antaranya adalah ;
a. Perubahan fisiologik : Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan
pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual,
frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks
tendon tinggi.
b. Perubahan emosional : Mudah tersinggung, tidak sabar, frustasi,
ekspresi wajah nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri.
c. Perubahan perilaku : Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis,
curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.

5. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung
dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart
dan Sundeen, 2010 hal 33).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul
karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada
klien marah untuk melindungi diri antara lain (Maramis, 2008, hal 83):
a. Sublimasi: Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di
mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi: Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan

8
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
c. Represi: Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci
pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran
atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga
perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
d. Reaksi formasi: Mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
e. Displacement: Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang
pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy
berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.

D. Penatalaksanaan Medis
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada
2 yaitu:
a. Medis
1) Nozinan, yaitu sebagai pengontrol perilaku psikososial.
2) Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan perilaku merusak
diri.
3) Thrihexiphenidil, yaitu mengontrol perilaku merusak diri dan
menenangkan hiperaktivitas.
4) ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien
bila mengarah pada keadaan amuk.

9
b. Penatalaksanaan keperawatan
1) Psikoterapeutik
2) Lingkungan terapeutik
3) Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
4) Pendidikan kesehatan

E. Pengkajian Keperawatan
1. Data yang perlu dikaji
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data Subyektif :
a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah.
c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

2). Data Objektif :


a) Mata merah, wajah agak merah.
b) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
c) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d) Merusak dan melempar barang-barang.
b. Perilaku kekerasan / amuk
1). Data Subyektif :
a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Obyektif
a) Mata merah, wajah agak merah.
b) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
c) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.

10
d) Merusak dan melempar barang-barang.
c. Gangguan harga diri : harga diri rendah
1). Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-
apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan
malu terhadap diri sendiri.
2). Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

F. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan/amuk.
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri
rendah.

2. Intervensi keperawatan/Rencana Keperawatan


a. Tujuan Umum: Klien tidak mencederai dengan melakukan manajemen
kekerasan
b. Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.


Tindakan:
2.1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.

11
2.2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal.
2.3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.

3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.


Tindakan :
3.1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan
saat jengkel/kesal.
3.2. Observasi tanda perilaku kekerasan.
3.3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal yang
dialami klien.

4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa


dilakukan.
Tindakan:
4.1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
4.2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
4.3. Tanyakan "Apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai ?"

5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.


Tindakan:
5.1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
5.2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
5.3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.

12
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan.
Tindakan :
6.1. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
6.2. Diskusikan cara lain yang sehat. Secara fisik : tarik nafas dalam
jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal/kasur.
6.3. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau
kesal/tersinggung.
6.4. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan
untuk diberi kesabaran.

7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.


Tindakan:
7.1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
7.2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
7.3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
7.4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam
simulasi.
7.5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat
jengkel/marah.

8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.


Tindakan :
8.1. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
pertemuan keluarga.
8.2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).


Tindakan:
9.1. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi,
efek samping).

13
9.2. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama
klien, obat, dosis, cara dan waktu).
9.3. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan.

3. Perencanaan pulang
Perawatan di rumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan di rumah.
Untuk itu semua rumah sakit perlu membuat perencanaan pulang.
Perencanaan pulang dilakukan sesegera mungkin setelah klien dirawat dan
diintegrasikan di dalam proses keperawatan.
Jadi bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari sebelum klien
pulang.
Tujuan perencanaan pulang:
a. Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial.
b. Klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungannya.
c. Klien tidak terisolasi sosial.
d. Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap (Kelliat, 2011).

14

Anda mungkin juga menyukai