Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan
protein energi dan nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada
tubuh1 . Secara umum malnutrisi terbagi atas dua bagian yaitu undernutrisi dan
overnutrisi. Undernutrisi atau keadaan defisiensi terdiri dari marasmus,
kwashiorkor, serta marasmic – kwashiorkor.
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di
dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk
adalah marasmik-kwashiorkor. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta
orang yang menderita gizi buruk pada tahun 2000–2002, dan 815 juta diantaranya
hidup di negara berkembang. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun (balita). Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di
Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat
76.178 balita mengalami gizi buruk dan data Susenas (Survei Sosial dan Ekonomi
Nasional) tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%.
Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa
propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan
Nusa Tenggara Barat.1,2
Untuk Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan riskesdas 2010, angka kejadian
gizi kurang pada balita sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan indikator
berat badan per umur. Sebagai perbandingan berdasarkan laporan yang ada dalam
profil kesehatan Kota Palembang tahun 2007 dijelaskan bahwa angka gizi buruk
tahun 2007 adalah 1,4% menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu 2,21%, angka
KEP total tahun 2007 adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006 yaitu 12,9%,
sedangkan gizi lebih tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding dengan tahun
2006 yaitu 4% dan balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12% bila dibanding
tahun 2006 terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%. Pada tahun
2008 dari 144 ribu balita dikota Palembang, 400 diantaranya mengalami kurang

1
gizi atau berada dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil pantauan di
889 posyandu aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk Kota Palembang,
angka kurang gizi pada balita juga masih tegolong tinggi. Pada tahun 2010, angka
kejadian gizi buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi gizi buruk tertinggi
terjadi di wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8 kasus (33,3%). Angka
kejadian gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan prevalensi gizi kurang tertinggi
terjadi di wilayah Kecamatan Ilir Timur 1 sebanyak 143 kasus.
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut
saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak
kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak
menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan
akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk
yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang
memadai, dan sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan
kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga.3
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala
klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor) umumnya disertai
dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),
tuberculosis (TB), serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan
bahwa 54% angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19% diare,
19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria, dan 32% penyebab lainnya.4
Mengingat banyaknya masalah serta tingginya angka morbiditas dan
mortalitas anak dengan gizi buruk, maka kami menulis referat yang berjudul
“Patogenesis, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Marasmik-Kwashiorkor pada
Anak”.

2
1.2.Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
tentang patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan marasmik kwashiorkor
pada anak.

1.3.Manfaat Penulisan
Melalui penulisan referat ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan
informasi dan pengetahuan mengenai patogenesis, diagnosis, dan
penatalaksanaan marasmik kwashiorkor pada anak.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi

Gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki atau adanya severe wasting
(BB/TB < 70% atau <-3SD), atau ada gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor,
marasmus atau marasmik-kwashiorkor). Menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang
gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor
dan marasmus-kwashiorkor.1,2

2.2Epidemiologi

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah


Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan
bahwa jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989
meningkatdari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 %
padatahun 1995. Upaya pemerintahan tara lain melalui Pemberian Makanan
Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi
melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan,
berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1%
tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan
kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus,
kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi
seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta
penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka
kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18%
perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.3

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini
dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari

4
5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi
penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.3

2.3Klasifikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-


kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis
dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.

2.3.1 Marasmus

Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup
karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti
mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolik
atau malformasi kongenital. Gangguan berat setiap sistem tubuh dapat
mengakibatkan malnutrisi.6

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang


timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot
di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan
kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati
dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun
setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus
adalah: 4

a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan
otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit

b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung

d. Otot paha mengendor (baggy pant)

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

5
2.3.2 Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun
dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat
kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.

Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan
kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak
cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu,
seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pada proteinuria
(nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein,
seperti pada penyakit hati kronik .4

Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan
masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang
berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik,
akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan
gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol
di dunia saat ini terutama berada di daerah industri belum bekembang.4

Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis
atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup,
kurang stamina, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap
infeksi, dan udem. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari
manifestasi yang paling serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia,
kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat
terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi
awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam
organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal,
laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil
pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini
sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi
tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat

6
terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering
jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam,
dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna rambut
(hipokromotrichia) .4

Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual,
muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi
kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental,
terutama iritabilitas dan apati sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat
menyertai.4

Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :

a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut,
pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala
kusam.

c. Wajah membulat dan sembab

d. Pandangan mata anak sayu

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan
terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

2.3.3 Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik


kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung
protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian
disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-
tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan
kelainan biokimiawi terlihat pula.4

7
2.4 Diagnosis

Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari
derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi
disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang
menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang
ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang
dibandingkan dengan anak yang sehat.5

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran


antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :

 BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)

 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor :


BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.

Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan
lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga
terlihat jelas dengan atau tanpa adanya edema.5

Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.6

Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :

 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lender)

 Kapan terakhir berkemih

 Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin

8
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.

Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana


selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan tertangani)

 Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit

 Riwayat pemberian ASI

 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

 Hilangnya nafsu makan

 Kontak dengan campak atau tuberculosis paru

 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

 Batuk kronik

 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

 Berat badan lahir

 Riwayat tumbuh kembang

 Riwayat imunisasi

 Apakah ditimbang setiap bulan

 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)

 Diketahui atau tersangka infeksi HIV.5

Pemeriksaan Fisik6

 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung
kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB

 Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk

9
 Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran
menurun

 Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)

 Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung

 Sangat pucat

 Pembesaran hati dan ikterus

 Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites

 Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)

 Ulkus pada mulut

 Fokus infeksi : THT, paru, kulit

 Lesi kulit pada kwashiorkor

 Tampilan tinja

 Tanda dan gejala infeksi HIV

Pemeriksaan Penunjang

- Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap,
elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin
- Tes mantoux
- Radiologi (dada,, AP, dan lateral)
- EKG

10
2.5 Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk6

Berikut disertakan alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

MEP berat ditatalaksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi)


dengan 10 langkah tindakan seperti pada tabel di bawah ini:

11
Tabel 1.Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk

Tatalaksana Anak Gizi Buruk (10 Langkah utama)

o Langkah Ke-1: Pengobatan / Pencegahan Hipoglikemia

Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali


sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia
( suhu ketiak <36C/suhu dubur <36C). Pemberian makanan yang sering
penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut.7,8
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah< 3
mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makan
atau larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit (lihat
bawah). Pemberian makan yang sering sangat penting dilakukan ada anak gizi
buruk.Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar
gula darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita
hipoglikemia dan segera ditangani sesuai panduan.

12
Tatalaksana:

 Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya


memungkinkan.
 Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml
larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml
air) secara oral atau melalui NGT.
 Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam selama
minimal dua hari.
 Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
 Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula
pasir 50 ml dengan NGT.
 Beri antibiotik.

Pemantauan

 Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula
darahsetelah 30 menit.
 Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi
pemberianlarutan glukosa atau gula 10%.
 Jika suhu rektal < 35.5° C atau bila kesadaran memburuk,
mungkinhipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran
kadar guladarah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan
hipoglikemia).

Pencegahan

 Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin (lihat
 Pemberian makan awal halaman 205) atau jika perlu, lakukan rehidrasi
lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang malam.

13
Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia7,8

o Bila suhu ketiak <36C :

Periksalah suhu dubur dengan menggunakan termometer suhu rendah.


Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah
pada pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita
hipotermia.4,15

o Bila suhu dubur <36C :


- Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila
perlu)
- Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala,
letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas)
atau peluk anak di dada ibu, selimuti (metoda kanguru).
- Berikan antibiotika (lihat langkah 5).

o Pemantauan:

- Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C, bila
memakai pemanas ukur setiap 30 menit
- Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama
malam hari
- Raba suhu anak
- Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.

o Pencegahan:

- Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).
- Sepanjang malam selalu beri makan
- Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat
tidur)
- Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan
medis terlalu lama).

14
Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi7,8

Jangan menggunakan “jalur intravena / i.v.” untuk rehidrasi kecuali pada


keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati,
tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung. (Lihat
penanganan kegawatan).

Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak natrium


dan kurang kalium untuk digunakan pada penderita KEP berat/gizi buruk.
Sebagai pengganti, berikan larutan garam/elektrolit khusus yaitu Resomal.
Tidaklah mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat/gizi
buruk dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak
KEP berat/gizi buruk dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus
diberi:4,15

 Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit


selama 2 jam secara oral atau lewat pipa nasogastrik.
 Selanjutnya beri 5–10 ml/kg/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah
tepat yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak
menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan
muntah.
 Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan
formula khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi
menetap/stabil.
 Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).
 Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik
dan anak mulai kencing.

o Pemantauan

Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama 2
jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya.dengan
memantau: denyut nadi, pernafasan, frekwensi kencing, frekwensi
diare/muntah.

15
Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar
yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi
telah berlangsung, tetapi pada KEP berat/gizi buruk perubahan ini seringkali
tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi
yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau
kelebihan cairan.

Tanda kelebihan cairan: frekwensi pernafasan dan nadi meningkat, edema


dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut,
hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.

o Pencegahan:

- Bila diare encer berlanjut:Teruskan pemberian formula khusus (langkah


6)
- Ganti cairan yang hilang dengan Resomal / pengganti (jumlah + sama)
- Sebagai pedoman, berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml
setiap kali buang air besar cair
- Bila masih mendapat ASI, teruskan.

Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit7,8

Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun
kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering
terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.Ketidakseimbangan
elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati edema dengan
pemberian diuretikum).

o Berikan :
- Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
- Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2
/kgBB/hari)
- Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.

16
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang
ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut
pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6
untuk cara pembuatan larutan).

Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi7,8

Pada KEP berat/gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya


infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.Karenanya pada semua KEP
berat/gizi buruk beri secara rutin:

 Antibiotik spektrum luas


 Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah
diimunisasi (tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah
keadaan gizi anak menjadi baik.

Catatan:

Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7


hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat
perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan
infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.

o Pilihan antibiotik spektrum luas:


1. Bila tanpa komplikasi:Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara
oral, 2 x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg),Atau
2. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi
(hipoglikemia: hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran
kencing), beri :

- Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari,


dilanjutkan dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8
jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50
mg/kgBB setiap 6 jam secara oral. Dan Gentamicin 7.5 mg
/Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.

17
3. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan
kloramfenikol 25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.
4. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik
spesifik yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan
darah untuk malaria positif.
5. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari.
6. Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap,
termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten
serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.

Langkah Ke-6: Mulai Pemberian Makanan

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati


karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi
metabolisme basal.7,8

Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :

 Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-
osmolar.
 Berikan secara oral/nasogastrik
 Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari
 Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari
 Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)
 Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian
formula.

Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian


makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut
di atas: (lihat tabel 2 halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila
anak terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.7,8

18
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian
makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari
untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg
BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan
lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini.7,8

Pantau dan catat:Jumlah yang diberikan dan sisanya, Muntah, Frekwensi


buang air besar dan konsistensi tinja, BB (harian).Selama fase stabilisasi, diare
secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi pada penderita dengan
edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya edema,
baru kemudian BB mulai naik.

Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah


berhati-hati, lihat bab diare persisten.

Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar

Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar


tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan
50g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan,
biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan
untuk menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang
dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara
mendadak.Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-
lahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan :7,8

- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100
ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram
per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan
keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein
yang sama.
- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200
ml/kgBB/hari).

19
Pemantauan pada masa transisi: frekwensi nafas, frekwensi denyut nadi.
Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit
dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian
formula.Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.

Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:

- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.


- Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
- Protein 4-6 gram/kgBB/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula,
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-
kejar.

Pemantauan setelah periode transisi : kemajuan dinilai berdasarkan


kecepatan pertambahan berat badan : timbang anak setiap pagi sebelum
diberi makan, evaluasi kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan BB:

- Kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh :cek apakah


asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat
diatasi.
- Baik ( 50 g/minggu), lanjutkan pemberian makanan

Langkah Ke-8: Koreksi Defisiensi Mikronutrien

Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun


anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe),
tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik
(biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat
memperburuk keadaan infeksinya.Berikan setiap hari:7,8

- Suplementasi multivitamin
- Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
- Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
- Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari

20
- Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10
mg/kgBB/hari
- Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak
sudah mendapat suplementasi vitamin A pada 1 bulan terakhir. Bila
ada tanda/ gejala defisiensi vitamin A, berikan vitamin dosis terapi.

Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional

Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,


karenanya berikan:7,8

 Kasih sayang
 Lingkungan yang ceria
 Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
 Aktifitas fisik segera setelah sembuh
 Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah

Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80%
BB/U, dapat dikatakan anak sembuh.Pola pemberian makan yang baik dan
stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita
dipulangkan.Peragakan kepada orangtua tentang pemberian makan yang
sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat dan terapi bermain
terstruktur.7,8

Nasehatkan kepada orang tua untuk :

 Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di


Puskesmas
 Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh
PMT-Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan

21
(lihat lampiran 5) dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan
secara teratur di posyandu/puskesmas.
 pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien
yang padat
 Penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu
 Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal

Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau


100.000 SI) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.

Pengobatan Penyakit Penyerta

1. Defisiensi vitamin A

Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2


dan14 atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan
klinis diberikan vitamin A dengan dosis:7,8

 umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali


 umur 6 - 12 bulan : 100.000 SI/kali
 umur 0 - 5 bulan : 50.000 SI/kali

Bila ada ulkus dimata diberikan : tetes mata khloramfenikol atau salep
matatetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari, teteskan tetes mata
atropin, 1 tetes 3 kalisehari selama 3-5 hari, tutup mata dengan kasa yang
dibasahi larutan garam faal.4,15

2. Dermatosis

Dermatosis ditandai adanya: hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi (kulit


mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai
infeksisekunder, antara lain oleh Candida.7,8

Tatalaksana :

a. Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan kmno4


(Kpermanganat) 1% selama 10 menit

22
b.Beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)
c. Usahakan agar daerah perineum tetap kering
d.Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral
3. Parasit/Cacing

Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau


preparatantihelmintik lain.7,8

4. Diare Melanjut

Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan
umum. Berikan formula bebas / rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa
usus dan giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila
mungkin,lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5
mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.7,8

5. Tuberkulosis

Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberculin / Mantoux (sering
kali anergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB,
diobati sesuai pedoman pengobatan TB.7,8

23
2.6 Langkah Promotif dan Preventif 10

- Pola makan
Penyuluhan pada masyaarakat mengenai gizi seimbang (perbandingan
jumlah karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral berdasarkan umur
dan berat badan)
- Pemantauan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara berkala
(sebulan sekali pada tahun pertama)
- Faktor sosial
Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk menggunakan bahan makanan
tertentu yang sudah berlangsung secara turun-temurun dan dapat menyebabkan
terjadinya MEP
- Faktor ekonomi
Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974 telah dikemukakan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang ceoat tanpa diimbangi dengan
bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai merupakan
sebab utama krisis pangan, sedangkan kemiskinan penduduk merupakan akibat
lanjutannya. Ditekankan pula perrlunya bahan makanan yang bergizi baik di
samping kuantitasnya.
- Faktor infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan status gizi. MEP walaupun
dalam derajat ringan, menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.

24
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit KEP atau Protein Energy Malnutrition (kekurangan energi dan


protein) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi negara-
negara tertinggal maupun negara berkembang seperti Indonesia dan lainnya.
Prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak dibawah umur lima tahun (balita), dan
ibu yang sedang mengandung atau menyusui. Pada kondisi ini ditemukan berbagai
macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam
tingkat yang bermacam-macam. Akibat dari kondisi tersebut, ditemukan malnutrisi
dari derajat yang ringan hingga berat. Pada keadaan yang berat ditemukan dua tipe
malnutrisi, yaitu marasmus dan kwashiokor, serta marasmus-kwashiokor.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain
hambatan pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot, perubahan
tekstur dan warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang tegas dalam,
pembesaran hati, anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain.
Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik (gejala klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan
laboratorium yang memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol, glukosa,
gangguan keseimbangan elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi mikronutrien yang
penting bagi tubuh.
Penatalaksanaannya dilakukan secara bersama-sama dengan memperbaiki
keadaan gizinya. Walaupun prognosisnya terlihat buruk tetapi dengan penganganan
yang cepat dan tepat dapat menghindarkan penderitanya dari kematian.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang


Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak.

2. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

3.Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan


Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi
Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2011.

4. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta : EGC.

5. World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Anak di Rumah Sakit. 2009. Hal 193-222.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak
Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2011.
7. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis
pada Anak edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
2005 : 95-137
8. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Severe
Malnutrition in Management of The Child With a Serious Infection or Severe
Malnutrition, World Health Organization, 2004 : 80-91
9. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta:
Pengurus Pusat IDAI

26

Anda mungkin juga menyukai