PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jengkol (Archidendron pauciflorum) merupakan salah satu jenis makanan
yang tidak asing lagi bagi penduduk Asia terutama Indonesia, Malaysia, Thailand,
dan Myanmar. Biji jengkol dapat dikonsumsi dalam kondisi mentah maupun
setelah dimasak. Beberapa individu yang mengkonsumsi jengkol dapat
mengalami keracunan tyang disebut jengkolisme yang disebabkan oleh
kandungan asam jengkolat didalamnya.12
Asam jengkolat terdapat pada biji jengkol. Strukturnya mirip dengan asam
amino sistein tetapi tidak dapat dicerna sehingga tidak memberikan manfaat
apapun bagi tubuh. Kandungan asam jengkolat per-100 gram biji sebesar 0,3-1,3
gram dan sebanyak 93% dalam bentuk asam jengkolat bebas yang tentunya
berbahaya. Molekul asam jengkolat mengandung sulfur yang berperan dalam
pembentukan bau. Asam jengkolat tidak larut dalam air sehingga dalam jumlah
tertentu akan membentuk Kristal yang berperan dalam patogenesis gagal ginjal.12
Gagal ginjal akut akibat asam jengkolat merupakan kejadian yang langka
namun penting untuk diperhatikan karena mampu menyebabkan kematian. Secara
epidemiologi, prevelensi dan insiden jengkolisme didunia jarang dilaporkan.
Namun, secara geografis pohon jengkol hanya tersebar di area tropis Asia
terutama Asia Selatan dan banyak digunakan sebagai bahan makanan dan
berpotensi sebagai obat herbal terutama antioksidan.12
Pencegahan kejadian jengkolisme sulit dilakukan karena kejadian dan pola
kerentanan individu terdapat asam jengkolat yang berbeda. Insidennya sangat
langka. Sindrome jengkolisme sangat beragam, bahkan tidak tergantung dari
prosedur pengolahannya. Tidak semua individu dapat terkena jengkolisme dengan
memakan olahan jengkol denag prosedur pengolahan yang sama. Kerentangan
individu terhadap GGA juga tidak tergantung dari frekuensi konsumsi.12
1
racun, gejala-gejala dan pengobatan pada penyakit keracunan jengkol melalui
tinjauan pustaka.
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
3
Tidak satupun text book Urologi ataupun pediatrik non Indonesia yang
membahas masalah keracunan jengkol. Hal ini disebabkan karena penyakit ini
spesifik muncul di Indonesia terutama di Jawa Barat. 4-6
4
Gambar 2. Struktur asam jengkolat
Senyawa ini bersifat amfoter, dapat larut dalam suasana asam amupun
basa. Kristal berwarna putih dan tidak berbau. Daya larut dalam air sangat kecil,
yaitu sekitar 10-20 mg dalam 10 ml air, dan pada pH isoelektrik 5,5, terjadi
pengendapan kristal asam jengkol.15
Isolasi asam ini pertama kali dikerjakan oleh Van Veen and Hyman8 dari
urin penduduk yang mengalami keracunan jering / jengkol. Mereka berhasil
mengisolasi kristal asam ini dari biji jering menggunakan barium hidroksida
(Ba(OH)2) pada 30°C dan ditunggu beberapa waktu.9
5
efisiensi penyerapan yang tinggi dari usus, dan ginjal terkesan sebagai alat
ekskresi utama bagi asam jengkolat, dan bahan ini tidak mengalami metabolisme
berarti dalam hati. Di dalam darah, asam jegnkolat ditransportasikan dalam bentuk
ikatan longgar dengan albumin sehingga dengan mudah dilepaskan oleh albumin
dan lolos dari saringan glomerulus.15
Asam jengkolat mampu merembes ke jaringan sekitar (imbibisi), sehingga
pada beberapa kasus keracunan jengkol yang disertai sumbatan di uretra, asam ini
keluar ke jaringan sekitar (ekstravasasi) bersama dengan air kemih dan tertimbun
di jaringan tersebut sehingga terbentuk infiltrat air kemih yang mengandung
kristal asam jengkolat pada penis, skrotum dan di daerah suprapubis. Hal ini lebih
sering terlihat pada anak-anak (Moenanjat dkk, 1936). Pada anak laki-laki, hablur
asam jengkolat banyak berkumpul di fossa naviculare penis. Pada 20% penderita
keracunan yang ditemukan inflitrat di daerah penis dan suprapubis. Bila dilakukan
torehan (excisie), infiltrat ini mengandung hablur asam jengkolat (Sadatun dan
suharjono,1968). Rembesan cairan urin (mengandung kristal asam jengkolat)
daerah suprapubis, dapat terjadi bila ureter atau vesika urinaria mengalami
peregangan berlebihan, dan cairan keluar melalui celah antar sel epitel permukaan
(Junqueira dkk, 1998).19
6
Mathew & George (2011) mengungkapkan bahwa jengkol merupakan
penyebab utama dari Gagal ginjal akut akibat bahan makanan yang terjadi di Asia
Tenggara. Karbon disulfida yang terkandung dalam asam jengkolat merupakan zat
yang bersifat nefrotoksik sehingga berbahaya bagi ginjal. Karbon disulfida
menyebabkan nekrosis pada tubulus dan glomerulus ginjal. 11
Patogenesis terjadinya Gagal ginjal akut akibat jengkol sampai saat ini
masih belum diketahui secara menyeluruh. Patogenesis terjadinya jengkolisme
diduga berkaitan dengan interaksi host dan agent. Beberapa studi memberikan
pendapat bahwa kerusakan ginjal yang terjadi akibat adanya reaksi hipersentivitas,
efek toksis langsung asam jengkolat terhadap parenkim ginjal, endapan metabolik
jengkol, spasme ureter, atau adanya obstuksi saluran kemih oleh kristal jengkolat
(urolitiasis jengkolat). Hipersensitivitas terhadap salah satu komponen dalam
jengkol diduga berperan penting dalam etiologi jengkolisme sehingga senyawa
tersebut bisa bersifat nefrotoksik bagi host. 12
Studi eksperimental pada tikus dan mencit yang pernah dilakukan, tidak
memberikan kesimpulan yang berarti selain adanya nekrosis tubular akut (NTA).
Nekrosis tubular akut dapat terjadi akibat obstruksi kristal jengkolat pada tubulus
renal. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan karena tidak adanya bukti
histologis renal pada penderita gagal ginjal akut akibat jengkolat. 12
Karyadi dan Muhilal (1994), telah melakukan percobaan untuk melihat
kecukupan kebutuhan asam amino perhari pada hewan percobaan, menyimpulkan
bahwa suplementasi asam amino berlebihan dapat menimbulkan keracunan. Bila
masukan protein rendah, maka toleransi terhadap pemberian asam amino tertentu
yang berlebihan, lebih rendah dibanding pada mereka yang mendapat masukan
protein lebih tinggi. Berikut ini dapat dilihat perkiraan kebutuhan asam amino
pehari pada seorang anak.19
7
Isoleusin 70 31 28 10
Leusin 161 73 44 12
Lisin 103 64 44 12
Metionin + 58 27 22 13
Sistin
Penilalanin + 125 69 22 14
tirosin
Threonin 87 37 28 7
Triptopan 17 12,5 3,3 3,5
Valin 93 38 25 10
Sumber : FAO/WHO/UNU, 1985 (Karyadi dan Muhilal, 1994)
8
pembentukan kristal kemungkinan akibat orang tersebut banyak berkeringat,
sehingga seolah-olah ada kekurangan cairan badan dengan akibat kadar asam
jengkolat dalam badan relatif bertambah, sehingga penghabluran menjadi lebih
mudah. Selanjutnya dikatakan bahwa sungguhpun hablur tidak ditemukan secara
mikroskopik dalam sedimen urin, tetapi pada beberapa sitoskopi hablur itu dapat
terlihat secara kasat mata. Dengan ditemukannya fakta ini, dikatakan bahwa
dugaan terdahulu adalah benar yaitu anuria terjadi akibat masalah mekanik.19
Walaupun dalam urin secara mikroskopik tidak selalu dapat ditemukan kristal,
penyelidikan Oen dkk (1972), dengan cara khromatografi kertas, mengemukakan
bahwa pada semua pemakan jengkol, urin mengandung bahan asam jengkolat.15
Peny dkk (1984), menjelaskan bahwa pmbentukan kristal diawali oleh
terbentuknya inti kristal, dan disusul dengan bertumbuhnya kristal menjadi besar.
Pengkristalan dimungkinkan terjadi bila bahan terlarut menjadi sangat jenuh
(supersaturated). Supersaturasi terjadi bila larutan encer dipekatkan melalui
penarikan bahan pelarut (solvent).
Royer dkk (1974), tentang proses litogenesis, menjelaskan bahwa dalam
keadaan normal, urine merupakan pelarut yang lebih baik dari air. Cairan kemih
mengandung berbagai bahan dalam kondisi supersaturasi dan secara
fisikokimiawi berada dalam keadaan tidak stabil. Proses pengendapan bahan
untuk menjadi kalkuli di urin, bergantung pada kecepatan aliran, volume air, daya
tarik ionik, pH, bahan terlarut lainnya, dan telah terbentuknya nukleus kristal.
Kecepatan aliran merupakan faktor terpenting dan menjadi faktor predisposisi
untuk pembentukan kalkuli, sedang pH merupakan faktor fundamental. Dijelaskan
lebih lanjut bahwa kejadian pembentukan kalkuli, mudah terjadi pada bayi dan
anak, karena sering mengalami kekurangan air secara tidak wajar, misalnya diare
dan demam, Tempat yang paling ideal untuk terbentukanya kristal, adalah di
kaliks ginjal, karena di tempat ini kepekatannya tertinggi.19
Pada ginjal, filtrat glomerulus awalnya encer, dan filtrat menjadi sangat
pekat di daerah tubulus proksimal karena penarikan air secara reabsorpif aktif
sebanyak 95%. Penarikan air menjadi maksimal setelah tubulus distal
menjalankan perannya dengan menarik air sekitar 4% lagi bila tubuh perlu lebih
banyak air dikembalikan ke dalam tubuhn sehingga dengan bantuan vasopresin,
9
konsentrasi bahan dapat mencapai kepekatan 1.200 mosm/l saat meninggalkan
tubulus kontortus.20
Meatabolisme dalam tubuh meninggalkan produk sampah metabolisme
yang menghasilkan banyak asam. Penumpukan asam harus dibuang dan ginjal
merupakan salah satu organ yang melaksanakan pengeluaran asam tubuh,
sehingga cairan kemih cenderung mejadi lebih asam dan pH cairan kemih
menurun.20 Turunnya pH dapat sebegitu rendahnya dan dapat mencapai pH 5,5
atau lebih rendah lagi. Pada Ph 5,5 ini merupakan pH isoelektrik asam
jengkolat.Sehingga membantu proses pengkristalan.15
Batuan urin pada awalnya berupa bahan dasar kristal yang kemudian
menyatu menjadi senyawa kompleks yang padat dan keras dengan permukaan luar
yang kasar dan runcing. Penyatuan terjadi setelah kristal satu dengan lainnya
diikat oleh matrik organik yang terdapat dalam cairan kemih, dimana kadar matrik
organik berkisar 2,5 – 10% dari berat batuan. Penyatuan dalam bentuk senyawa
komplek yang besar, memerlukan waktu yang cukup lama karena penyatuannya
berlangsung secara bertahap hari demi hari. Setelah berbentuk batuan keras mirip
batu karang, barulah kalkuli ini bepotensi melukai dinding saluran kemih baik saat
terkelupasnya batuan dari tempat perlekatannya, ataupun sepanjang perjalanannya
pada saluran kemih. Dengan demikian pada hematuria, perlu sekali diperhatikan
apakah kristal yang ditemukan telah menyatu dan telah merupakan bentukan
senyawa komplek yang keras, sehingga mampu melukai dinding saluran kemih.19
Kristal asam jengkolat dalam urin, dapat berbentuk jarum gelendong
(spindle), bila dalam keadaan terpisah atau berbentuk bunga mawar (rosete) bila
dalam bentuk berkelompok. Gambar berikut memperlihatkan kristal asam
jengkolat.
10
Gambar 3. Bentuk kristal asam jengkolat (Oen dkk, 1972)
Kristal asam jengkolat ternyata tidak ditemukan pada semua urin penderita
kracunan jengkol, bahkan penderita keracunan berat dan gagal ginjal akut, lebih
banyak ditemukan negatif, padahal hematuria selalu ada.1
Tabel 3. Kristal asam jengkolat dalam urin yang ditemukan pada berbagai
pemeriksaan
Pemeriksaan Jumlah bahan Jumlah kristal %
Sadatun dan Suharjono, 1968 50 30 60
Oen dkk, 1972 11 2 18
Alatas, 1994 39 ? ?
Segasothy, 1995 4 0 0
Vachcanichsanong dan Lebel, 40 0 0
1997
Noviendri, 2000 (marmut) 20 9 45
11
adanya fokus-fokus nekrosis tubuler yang tersebar luas, edema jaringan intersisial,
sedangkan dari delapan glomerulus yang ditemukan, kesemuanya terkesan
normal.19
Aliran darah ginjal yang menuju glomerulus hanya 20%, sedang 80%
lainnya mengalir melalui kapiler peritubuler. Dengan demikian klirens glomerulus
hanya membersihkan 20% darah yang mengalir ke ginjal. Hal ini memberi
pengertian bahwa pembersihan lainnya sebanyak 80%, dilaksanakan langsung
dari darah yang mengalir dari peritubuler dan kerja ini dilakukan oleh sel tubulus
yang menerima kiriman bahan langsung dari kapiler peritubuler.20
Melalui penjelasan ini dapat diduga bahwa bahan perusak (asam jengkolat
atau metabolitnya) akan masuk ke dalam sel tubulus melalui 2 jalur yaitu sebagai
bahan yang masuk kembali melalui reabsorbsi, dan dari hasil perembesan
langsung dari pembuluh darah peritubular.19
Bahan berasal dari jalur reabsorbsi, terjadi karena sifat reabsorbsi tubulus
proksimal yang uncontrolled, akan menyerap kembali bahan penting, termasuk
(mungkin) asam jengkolat sebagai asam amino non esensial. Sifat reabsorbsi
tubulus, tidak berbeda dengan usus dan bentukan asam amino L-isomer akan
dirabsorbsi secara aktif oleh sel tubulus.20 Asam jengkolat sangat mungkin
mengalami hal yang sama, sehingga bersama dengan hasil perembesan melalui
kapiler peritubuler, akan menyebabkan asam jengkolat terkonsentrasi di daerah
kortikal ginjal secara cukup.19
Togi berasumsi bahwa akibat konsentrasi yang tinggi dari asam jengkolat
atau metabolitnya, mengakibatkan terjadinya nekrosis jaringan tubulus yang akut,
dan gangguan timbul melalui :19
1. Asam jengkolat atau metabolitnya memgakibatkan kelumpuhan kerja
berbagai enzim seperti Na-K-ATPase, yang mengakibatkan
menumpuknya ion H, ion Na, dan air dalam cairan intrasel. Terjadinya
pembengkakan sel dan organel, selanjutnya akan mengakibatkan
kematian sel.20
2. Asam jengkolat merupakan asam amino, dan asam amino merupakan
suatu bentukan protein yang lebih kecil. Remuzzi dkk (1997)
12
menjelaskan bahwa lisosom akan segera mencerna dan mengolahnya,
dan dengan segera bertindak melakukan endositosis. Struktur asam
jengkolat merupakan L-asam amino, dan tubuh memang hanya
mempunyai enzim pencerna untuk L-asam amino.Tetapi asam
jengkolat tidak termasuk dalam 20 asam amino pembentuk protein,
sehingga tubuh akan menolak untuk mengolahnya. Karyadi dan
Muhilal (1994), menjelaskan potensi toksik dari asam amino yang
diberikan secara berlebih. Sesuai dengan umur terbanyak penderita (4-
7 tahun), kebutuhan metionin + sistin berkisar antara 22-27
mg/kgBB/hari. Dengan bobot badan rata-rata 15 Kg, maka kebutuhan
metionin + sistin maksimal 405 mg perhari. Dengan makan 1 jengkol,
seorang anak telah mengkonsumsi 150 mg asam jengkolat yang
notabene juga merupakan sistin, sehingga dengan memakan 2 jengkol,
kebutuhan maksimalnya cenderung telah dilampaui. Sifat sel tubulus
untuk mereabsorbsi asam amino asam jengkolat ditambah masuknya
asam jengkolay dari kapiler peritubuler, dan terlebih lagi dengan sel
tubuli yang tidak mampu mengolah asam amino jengkolat,
memungkinkan asam jengkolat sebagai asam amino bermasalah berada
pada sel tubulus ginjal dalam jumlah berlebih. Kondisi ini
memungkinkan asam jengkolat secara langsung dapat mengakibatkan
terjadinya stres protein. Organel akan bengkak dan akhirnya pecah.
Enzim pencerna sel akan keluar ke sekitarnya. Keluarnya enzim
pencerna seluler ini ke jaringan sekitar, tentu bersifat sangat merusak
dan akan mengakibatkan hancurnya dinding sel tubulus dan endotel
pembuluh darah peritubuler.
3. Kerusakan organel juga akan mengakibatkan rusaknya peroksikom,
ayng kaya dengan ion H+.20 Keluarnya asam ini akan menyebabkan
sinyal untuk ginjal mengeluarkan lebih banyak asam dan pH urin akan
menurun secara bertahap.19
4. Gangguan pH dan stres protein dapat menyebabkan enzim asetilkolin
esterase terhambat kerjanya, dan akan terbentuk oksigen reaktif.
Poovala dkk,mengatakan bahwa oksigen reaktif ini akan
13
mengakibatkan rusaknya tubulus ginjal melalui kerusakan lisosom, dan
senyawa radikal bebas ini akan bekerja secara langsung, dan akan
mengakibatkan kerusakan sel tubulus. Lameire dan Vanholder (2001)
menjelaskan terjadinya sejumlah respon metabolik bila tubulus
mengalami iskemia atau nefrotoksik yang mengakibatkan deplesi ATP
sel, pembengkakan sel, meningkatnya kadar ion Ca bebas dalam
intrasel, aktifnya enzim fosfolipase yang akan merusak lapisan lemak
pada plasma membran dan organel subseluler, akrtfinya protease, dan
meningkatkan pembentukan oksigen radikal. Oksigen radikal seperti
NO (nitrogen monoksida), akan menyebabkan terkelupasnya epitel
tubulus (detachment) dan degan cepat berkembang menjadi nekrosis
tubulus akut.
Nekrosis yang terjadi bisa sangat luas, dan bersifat sangat akut, sehingga
mampu
menimbulkan gagal ginjal akut. Perdarahan yang ditimbulkannya juga dapat
bersifat masif, dan akibat dinding tubulus juga rusak, darah dapat masuk ke
tubulus, keluar bersama urin, sehingga dapat dilihat secara kasat mata (gross
hematuria). Kemungkinan hebatnya perdarahn ini dapat menjelaskan bahwa
kadang-kadang dapat ditemukan gumpalan darah di kandung kemih.19
Di lain pihak, obstruksi oleh kristal dapat juga mengakibatkan
meningkatnya tekanan intraluminar sehingga cairan dari lumen berbalik kearah sel
tubulus dan jaringan intersisial (back leak). Sel ini akan mengakibatkan
menumpuknya cairan dan sampah metabolisme dalam sel tubulus dan jaringan
intersisial dan bila prosesnya berlanjut, akan mengakibatkan kematian jaringan
yang luas. Nekrosis tubulus dapat terjadi. Bila kerusakannya berat, perdarahan
dapat juga terjadi. Selain itu, pembentukan kristal juga daoat menyebabkan
terjadinya perdarahan akibat perlukaan dinding yang dilengkapi oleh otot polos.
Pada perdarahn akibat pergesekan ini, kristal harus dalam bentuk kristal komplek
yang sudah keras. Tipe perdarahan seperti ini, dapat terjadi dari ureter sampai
uretra, Dalam masalah keracunan jengkol yang disertai obstruksi oleh kristal, baik
yang mengakibatkan nekrosis jaringan, ataupun yang menimbulkan perdarahan,
prosesnya berlangsung lama. Mengingat cepatnya muncul gejala keracunanm sulit
14
untuk menjelaskan bahwa kristal menjadi penyebab pokok pada masalah
keracunan jengkol.19
15
Untuk masalah keracunan jengkol ini, hematuria oleh kristal asam
jengkolat, bila timbul akibat robekan dinding oleh ketajaman kristal maka sebagai
konsekuensi perdarahan terbuka, akan ditemukan penyebab terletak pada segmen
bawah sistem kemih (ureter sampai uretra), butiran eritrosit tidak ditemukan di
daerah nefron fungsional khusunya pada segmen atas. Eritrosit baru kemudian
dapat ditemukan bila sumbatan oleh kristal telah mengakibatkan pembendungan
lanjut yang telah mencapai glomerulus.19
Bila masalahnya diakibatkan bahan nefrotoksik, dan dengan mengingat
kemungkinan awal terjadi lebih dahulu di daerah tublus proksimal, maka butiran
eritrosit mungkin dapat ditemukan mulai dari tubulus daerah kortikal ginjal
sampai ke kandung kemih. Butir eritrosit tidak ditemukan di lumen kapsula
bowman sepanjang anyaman glomerular tidak mengalami kerusakan.19
Pemeriksaan struktur mikroskopik eritrosit memakai kontras, tidak
menunjukan adanya anisomorfisme butir darah, dan ini mengindikasikan bahwa
darah berasal dari keluarnya darah langsung dari pembuluh darah yang terbuka.
Hasil pemeriksaan histopatologi yang menunjukkan bahwa ureter dan vesika
urinaria hanya menunjukkan dilatasi ringan tanp ada kerusakan pada epitel
dinding, dapat memastikan bahwa sumber perdarahn terletak pada bagian yang
lebih tinggi. Pengamatan histopatologi pada tubulus moduler yang juga cenderung
tergolong gangguan ringan, juga mengindikasikan bahwa sumber perdarahan
bukan dari bagian medula ginjal, tetapi berasal dari bagian yang lebih tinggi.19
16
Untuk rasa nyeri ini, kolik akan lebih dominan bila ada sumbatan pada
ureter, dan rasa pegal akan lebih dominan bila reseptor nyeri pada kapsul ginjal
terangsang. Perlu dicatat disini bahwa frekuensi kolik dan pegal terjadi sama
banyak pada penderita yang dirawat.19
Bila asam jengkolat mebimbulkan masalah awal melalui pemebntukan
kristal yang menymbat ureter, kolik akan mengawali segala keluhan. Bila bahan
nefrotoksik menimbulkan masalah awal melalui kerusakan jaringan, maka rasa
pegal akan mengawali keluhan.19
Kerusakan sel di daerah tubulus kortikal, dapat mengakibatkan
dikeluarkannya kinin-kinin seperti bradikinin, dan bersamaan dengan
dikeluarkannya prostaglandin ke daerah kerusakan, akan timbul rasa nyeri hebat.
Hal ini dapat menjawab mengapa muncul nyeri kolik dan nyeri pinggang dalam
waktu singkat, sejalan dengan munculnya hematuria.19
17
membuang kelebihan asam dalam tubuh, bila lini pertama (dapar kimiawi) dan
lini kedua (dapar respirasi) mengalami kesulitan dalam mempertahankan pH
tubuh agar tetap diatas pH 7,35 (pH terendah tubuh). Ini mengindikasikan bahwa
ginjal telah memperoleh sinyal adanya kelebihan asam, baik ekstrasel maupun
intrasel, sehingga segera bekerja membuang kelebihan beban asam dalam tubuh,
apapun penyebabnya. 20
Dalam penelitian Togi (2002) terhadap marmut, ia mendapatkan kristal
asam jengkolat pada beberapa urin marmut, ini menunjukkan bahwa pada sistem
nefron ginjal, kemungkinan telah terjadi penurunan pH isoelektrik 4,5 telah
tercapai, walaupun pH urin yang terendah hanya tercatat sebesar 7,30. Kristal
yang ditemukan pada keadaan pH yang basa ini, dapat dimungkinkan selama
tingkat kejenuhan kelarutannya maksimal.19
Terbukti secara statistik bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pH
urine antara paparan jengkol dengan kelompok tanpa paparan jengkol dan
perbedaan tersebut berhubungan dengan perbedaan dosis paparan jengkol. Akan
tetapi tidak terdapat hubungan yang bermakna kadar ion bikarbonat (HCO3)
dalam darah dengan pemberian jengkol.17
18
dengan diperintahkannya glomerulus mengurangi laju filtrasinya, akan
menyebabkan terhentinya aliran kemih, dan terjadilah anuria.19
Kristal-kristal asam jengkolat yang telah terbentuk, pada gilirannya akan
mengendap sejalan dengan berhentinya aliran kemih. Endapan yang banyak akan
mampu mengakibatkan sumbatan, dan ini akan mengakibatkan bertambah
beratnya keadaan.19
19
mengkonsumsi jengkol. Gejala yang muncul lebih banyak terjadi pada sistem
nefrourologi. 12
Bunawan et al. (2014) telah membuat laporan kasus pasien penderita
jengkolisme. Gejala jengkolisme muncul 2-12 jam paska konsumsi biji jengkol
berupa nyeri kostovertebrae (flank pain), spasme vesika urinari (VU), disuria,
kolik, flatulen, muntah, dan gangguan gastrointestinal berupa diare atau
12,13
konstipasi. Dimana bila dipersenkan, gejala-gejala dominan yang muncul
adalah nyeri kolik abdomen 70%, disuria 66%, oligouria 59%, hematuria 55% dan
hipertensi 36%. 12
Urin penderita pada awalnya akan berwarna putih seperti susu yang
kemudian menjadi merah akibat hematuri. Hasil urinalisis didapatkan albumin, sel
epitel, cast, eritrosit, dan terkadang ditemui kristal jengkolat yang berbentuk
seperti jarum. Pembentukan kristal jengkolat dipengaruhi oleh derajat keasaman
(pH) dimana asam jengkolat akan mengkristal pada suasana asam. 12
Jengkolisme memiliki 2 gambaran klinis berupa: 1) gejala ringan berupa
nyeri dan hematuria akibat obstruksi ureter oleh kristal jengkolat (ureterolitiasis)
dan 2) gejala yang berat berupa hipertensi, oligouria, dan azotemia walaupun
jarang. Jengkolisme dan anuria mampu menyebabkan kematian walaupun
kasusnya jarang. Pemeriksaan laboratorium pada anuria digunakan untuk
mendukung gagal ginjal akut. Diagnosis klinis berupa flank pain, mual, muntal,
dan hematuria yang nyata terjadi karena adanya obstruksi di ureter maupun
uretra.13 Kristal melukai jaringan ginjal sehingga menyebabkan perdarahan.
Endapan metabolik juga mampu menyebabkan obstruksi uretra sehingga
menyulitkan pemasangan kateter. 12
Kejadian jengkolisme pada anak jarang terjadi. Studi kasus oleh
Vachvanichsanong & Lebel (1997) pada pasien anak yang menderita jengkolisme,
12
sindrom ini terjadi setelah anak tersebut mengkonsumsi jengkol 4 kali.
Penderita jengkolisme dapat mengalami gangguan elektrolit dan asidosis. Urin
dan nafas penderita yang berbau sulfur juga bisa menjadi diagnosis presumtif
terjadinya intoksikasi asam jengkolat.16
20
2.2.5. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
Pada jengkolisme dapat dilakukan laboratorium rutin dan pemeriksaan
penunjang berupa Faal ginjal (kadar ureum, kreatinin), urinalisa (untuk
menentukan kadar eritrosit dalam urine), pemeriksaan urin dan sedimen (Untuk
menentukan PH urin dan ada atau tidaknya kristal asam jengkol), histopatologi
ginjal, radiologi (foto polos abdomen, BNO) dan USG Abdomen.17,18
Parameter untuk menyatakan bahwa seseorang keracunan jengkol dapat
dinilai dari pemeriksaan urin. 1). Terjadinya hematuria mikroskopik atau
makroskopik dan 2). Terdapat kristal asam jengkolat dalam urin. yang diperiksa
melalui pemeriksaan mikroskopik pembesaran 10 x 45. Kristal masih dapat
ditemukan bila contoh urin segar kita ambil, tetapi beberapa lama kemudian
kristal akan menghilang bila urin disimpan lama. Khusus untuk butir eritrosit, bila
ditemukan eritrosit dalam urin, dilakukan pemeriksaan mikroskopik lanjutan
memakai fase kontras. Biasanya ditemukan bentuk eritrosit yang isomorfik. Selain
itu dari urin juga dapat dinilai Warna dan kekeruhan urin yang dilihat secara kasat
mata, bau dengan menciumnya dan menentukan pH dengan kertas lakmus Merck
pH 0 - 14.19
Pada pemeriksaan faal ginjal dapat ditemukan kadar kreatinin yang normal
atau dapat juga meningkat12,19 Untuk mengetahui adanya obstruksi akibat spasme
atau kelainan pada sistem saluran kemih dapat dibuktikan dengan penunjang
radiologis seperti foto polos abdomen atau BNO.12
Pada pemeriksaan USG abdomen dapat ditemukan adanya hidronefrosis
ginjal.12 Pemeriksaan histiopatologis (biopsi) ginjal dan saluran kemih dapat
ditemukan adanya hiperemi pada ginjal dan hemoragi pada uretra.17 Sagasothy
dkk (1995) tidak menemukan adanya kerusakan pada glomerulus namun terjadi
nekrosis yang luas pada tubulus. Pemeriksaan biopsi ginjal oleh Alatas (1994),
menemukan adanya kerusakan epitel pada tubulus daerah proksimal. Namun,
biopsi masih diperdebatkan penggunaanya karena pasien jengkolisme biasanya
datang dengan kondisi akut.12
21
2.2.6. Penatalaksanaan Jengkolisme
Reimann & Sukaton (1956) melaporkan bahwa pasien dengan jengkolisme
sebagian besar memerlukan tindakan suportif selama 3 hari. Jengkolisme ringan
tidak memerlukan terapi spesifik selain kontrol nyeri dan hidrasi (banyak minum).
Jengkolisme berat dengan gejala anuria dan diduga mengalami GGA memerlukan
analgesik, hidrasi cepat, dan alkalinisasi urin menggunakan sodium bikarbonat
sebagai antidotum untuk meningkatkan kelarutan kristal asam jengkolat. Dosis
yang dapat diberikan 0,5 – 2 gram 4x/hari secara oral pada anak-anak dan 4x2
gram hari pada orang dewasa.3,20 Namun, apabila tidak didapatkan sodium
bikarbonat, terapi dapat diganti menggunakan minuman berkarbonasi. 12
Dalam kondisi keracunan penting untuk pemantauan ketat status cairan
dan elektrolit pasien karena kondisi pasien dapat memburuk secara tiba-tiba dan
berat. Bila telah terjadi gagal ginjal akut atau komplikasi dari gagal ginjal akut
maka berikan terapi sesuai gagal ginjal akut atau komplikasi yang muncul, tidak
ada antidotum yang spesifik. Seperti tabel dibawah ini: 3,20
Tabel 4. Pengobatan Suportif pada Gagal Ginjal Akut
22
operasi. 12 Laporan kasus yang dilakukan oleh Wong et al. bahwa obstruksi pada
saluran kemih akibat endapan metabolik dan kalkuli dari kristal jengkolat perlu
dilakukan irigasi uretra, kateterisasi, atau pemasangan stent dan bypass untuk
mengurangi obstruksi. 18
Pencegahan kejadian jengkolisme sulit dilakukan karena kejadian dan pola
kerentanan individu terhadap asam jengkolat yang berbeda. Insidensinya sangat
langka. Sindrom jengkolisme sangat beragam, bahkan tidak tergantung dari
prosedur pengolahannya. Tidak semua individu dapat terkena jengkolisme dengan
memakan olahan jengkol dengan prosedur pengolahan yang sama. Kerentanan
individu terhadap GGA juga tidak tergantung dari frekuensi konsumsinya.12
Namun demikian, untuk meminimalisir terjadinya keracunan akibat
mengkonsumsi jengkol, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut ini :3
- Hindari mengkonsumsi jengkol pada saat perut kosong (sebelum makan)
dan/atau jangan disertai makanan/ minuman lain yang besifat asam.
- Hindari mengkonsumsi jengkol dalam keadaan mentah. Sebaiknya jengkol
dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi agar kandungan asam
jengkolatnya dapat berkurang. Jengkol mentah mengandung asam
jengkolat lebih banyak daripada jengkol yang sudah dimasak.
- Biji jengkol dapat dipendam dahulu di dalam tanah sebelum dimasak agar
kandungan asam jengkolatnya dapat berkurang.
- Jangan mengkonsumsi jengkol secara berlebihan, terutama bagi individu
yang mengalami gangguan ginjal.
23
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Jengkol mengandung asam jengkolat yang berperan utama dalam
etiopatogenesis jengkolisme melalui reaksi hipersentivitas, efek toksis
langsung asam jengkolat terhadap parenkim ginjal, endapan metabolik
jengkol, spasme ureter, atau adanya obstuksi saluran kemih oleh kristal
jengkolat (urolitiasis jengkolat).
2. Gambaran klinis jengkolisme: a) gejala ringan berupa nyeri dan hematuria
akibat obstruksi ureter oleh kristal jengkolat (ureterolitiasis) dan b) gejala
yang berat berupa hipertensi, oligouria, dan azotemia.
3. Diagnosa keracunan didasarkan atas adanya tanda dan gejala yang sesuai
dengan racun penyebab. Dengan analisis kimiawi dapat dibuktikan adanya
racun pada sisa barang bukti. Yang terpenting pada penegakan diagnosis
keracunan adalah dapat ditemukan racun/sisa racun dalam tubuh/cairan tubuh
korban, jika racun menjalar secara sistemik serta terdapatnya kelainan pada
tubuh korban, baik mikroskopik yang sesuai dengan racun penyebab.
Disamping itu perlu pula dipastikan bahwa korban tersebut benar-benar
kontak dengan racun.
4. Parameter untuk menyatakan bahwa seseorang keracunan jengkol dapat
dinilai dari pemeriksaan urin. 1). Terjadinya hematuria mikroskopik atau
makroskopik dan 2). Terdapat kristal asam jengkolat dalam urin. yang
diperiksa melalui pemeriksaan mikroskopik pembesaran 10 x 45. Selain itu
dari urin juga dapat dinilai Warna dan kekeruhan urin yang dilihat secara
kasat mata, bau dengan menciumnya dan menentukan pH dengan kertas
lakmus Merck pH 0 - 14.
5. Jengkolisme ringan tidak memerlukan terapi spesifik selain kontrol nyeri dan
hidrasi (banyak minum)..
6. Pencegahan kejadian jengkolisme sulit dilakukan karena kejadian dan pola
kerentanan individu terhadap asam jengkolat yang berbeda.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
13. Majid, AM. & Nahdzatul SM. Pithecellobium jiringa: A Traditional
Medicinal Herb. WebmedCentral, 2010; 1-4
14. Budiyanto, A et al. Ilmu Kedokteran Forensik, Ed.2. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik FK UI, 1997.
15. Oen LH. Peranan Asam Jengkol Pada Keracunan Buah Jengkol. Dalam
Simposium Nasional Masalah Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih di
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1982; 28:59−60.
16. Adler SG. & Jan JW. A Case of Acute Renal Failure. Clinical Journal of
Americal Society of Nephrology, 2006; 1: 158-65
17. ____. Pengaruh Pemberian Jengkol Pada Saluran Kemih. Majalah
Kedokteran Andalas No. 2. Vol.28, 2004.
18. Wong, JS., Ong TA., Chua HH., & Tan C. Acute Anuric Renal Failure
Following Jering Bean Ingestion. Asian Journal of Surgery, 2007; 30(1): 80-1
19. Sinaga TH. Dampak Pemberian Berbagai Dosis Keracunan Asam Jengkolat
pada Sistem Perkemihan Marmut (Cavia porcellus).
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/769. Diakses Oktober,2015.
20. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (Ed). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 5, Jakarta : InternaPublishing, 2010.
21. Mathew, AJ. & Jacob G. Acute Kidney Injury in the Tropics. Annals of Saudi
Medicine, 2011; 31(5): 451-6.
22. Ibrahim, IA., Suhailah WQ., Mahmood AA., Amal RM., Siddiq IA., & Fouad
HA. Effects of Pithecellobium jiringa Ethanol Extract Against Ethanol-
Induced Gastic Mucosal Injuries in Sprague-Dawley Rats. Molecules,
2012;17: 2796-811.
23. World Health Organization (WHO). Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit (Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota), 2009.
26