NASKAH LENGKAP
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Teman sejawat Yth.
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
oleh karena Rahmat-Nyalah Naskah Lengkap ini dapat terselesaikan.
Semoga buku ini dapat bermanfaat membantu para teman sejawat sebagai
petunjuk dari program acara yang akan disajikan dalam “Asthma Meeting:
Comperhenssive Approach Of Asthma” dan dapat dijadikan sebagai bahan
diskusi atau tukar pikiran bagi para peserta. Juga semoga naskah Lengkap
yang ada dalam buku ini dapat menambah pengetahuan dan masukan
kepada para teman sejawat sehingga dapat meningkatkan SDM masing-
masing peserta.
Panitia sangat menyadari banyak sekali kekurangannya maka
dengan rendah hati panitia menyampaikan permohonan maaf yang
sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan buku ini dan dalam
penyelenggaraan “Asthma Meeting: Comperhenssive Approach Of
Asthma” kurang berkenan di hati Teman Sejawat, karena hal tersebut
benar-benar di luar kesengajaan dan di luar jangkauan kemampuan kami.
Sebagai akhir kata, kami ucapkan selamat atas partisipasi dan
kehadirannya pada “Asthma Meeting: Comperhenssive Approach Of
Asthma” ini dan untuk itu kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
Overview Asma: Masalah Asma Global ............................................... 4
Patogenesis Asma ............................................................................. 13
Patofisiologi Asma.............................................................................. 23
Diagnosis Asma ................................................................................. 25
Penanganan Asma Akut
Layanan Primer ...................................................................... 36
Instalasi Gawat darurat .......................................................... 50
Hospital Management of Asthma
Tatalaksana Asma diruang Rawat Inap .................................... 64
Intensive Care Setting ............................................................ 76
Tataksana Asma Jangka Panjang ........................................................ 93
Dificult Asma ..................................................................................... 104
Asma Pada Usia Lanjut ...................................................................... 119
Asma Dalam Kehamilan ..................................................................... 127
Asma Kerja ........................................................................................ 147
Exercise Induced Asthma (EIA) ........................................................... 153
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) .......................................... 160
Terapi Invasiv Asma (Bronkial Termoplasti Pada Asma) ..................... 174
Pendahuluan
Asma adalah salah satu penyakit saluran nafas kronik utama, yang
mengenai 1-18% penduduk di suluruh dunia. Asma ditandai oleh keluhan
respirasi, seperti mengi, sesak, rasa berat di dada, dan/atau batuk serta
hambatan aliran udara ekspirasi yang variabel. Variabel disini dimaksudkan
bahwa semua gejala dan bukti hambatan aliran udara ekspirasi tersebut
terjadi fluktuatif dalam hal waktu dan intensitasnya. Variasi tersebut terjadi
akibat rangsangan berbagai faktor pencetus seperti aktivitas fisik, allergen,
iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus.1
Asma merupakan masalah kesehatan serius di dunia. Asma dapat
mengenai semua orang dari berbagai kelompok umur di semua wilayah di
seluruh dunia. Prevalensi asma terus meningkat dalam beberapa tahun
terakhir, terutama pada anak-anak.1 Peningkatan kejadian asma biasanya
didapatkan pada masyarakat yang mengadopsi gaya hidup barat (western
lifestyle) serta pada daerah urban. Peningkatan proporsi kaum urban yang
diproyeksikan pada tahun 2025 menjadi 59% juga diprediksi meningkatkan
prevalensi asma dalam satu decade ke depan. Pada tahun 2025
diperkirakan terjadi penambahan prevalensi asma 100 juta kasus lagi.2
Epidemiologi Asma
Asma merupakan penyakit kronis paling umum di dunia. Sekitar 300
juta penduduk dunia diperkirakan menderita asma, dengan 250.000
kematian setiap tahunnya. Angka ini tersebar di berbagai belahan dunia.
Semua Negara di dunia tidak dapat terbebas dari asma. Variasi angka
prevalensi antar bangsa di seluruh dunia diakibatkan kualitas fasilitas
yang belum memiliki data terstandar, sehingga angka prevalensi asma yang
sebenarnya mungkin lebih tinggi.
peranan alergi pada asma. Riwayat alergi pada keluarga menjadi standar
pertanyaan dalam memeriksa pasien asma.4
Kerentanan genetic asma saja sebenarnya belum cukup untuk
menimbulkan asma. Masih ada peranan faktor lingkungan, dalam hal ini
partikel dan kualitas udara, yang mempengaruhi timbulnya asma. Faktor
lingkungan atau sering juga disebut faktor non-genetik sering dikaitkan
dengan pencetus serangan asma, akibat kemampuannya menimbulkan
gejala asma baik secara langsung maupun setelah proses sensitisasi.1
Beberapa faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan asma antara
lain debu, asap, jamur dan kelembaban tempat tinggal, serbuk sari
tanaman, partikel dari hewan ternak atau hewan peliharaan, asap rokok,
perubahan cuaca, serta berbagai bahan berbahaya dari pajanan di tempat
kerja.4 Selain faktor lingkungan tersebut, beberapa faktor lain seperti
infeksi virus pernafasan, pemakaianobat golongan aspirin atau beberapa
antibiotika lain, aktivitas fisik, makanan tertentu, serta emosi juga dapat
mempengaruhi asma.
Ringkasan
Asma merupakan salah satu penyakit non-infeksi utama di dunia
dengan prevalensi yang tinggi. Asma dapat diderita oleh semua populasi di
dunia. Angka kematian akibat asma juga masih cukup tinggi. Asma juga
membawa masalah psiko-sosio-ekonomik yang cukup serius. Beban
ekonomi asma sangat tinggi, terutama akibat tidak terkontrolnya penyakit
Daftar Pustaka
1. Global Initiative fo Asthma. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention updated 2015. 2015
2. Masoli M, Fabian D, Holt S, et al. Global Burden of Asthma.
GINA.2014
3. Croisant S. Epidemiology of Asthma: Prevalence and Burden of
Disease. In: Brasier AR(ed.) Heterogeneity in Asthma, Advances in
Experimental Medicine and Biology. 14th ed. Springer Science and
Business Media. New York;2014:pp.17-29
4. Global Asthma Network. The Global Asthma Report 2014. 2014
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS)
2013.
6. Gibson GJ, Loddenkemper R, Sibille Y, et al. for European
Respiratory Society. Lung Health in Europe: Facts and Figures. 2013
7. Bahadori K, Dayle-Waters MM, Marra C, et al. Economic burden of
asthma: a systematic review. BMC Pulm Med 2009;9:24-30
8. Rees J. Prevalence. In: Rees J, Kanabar D, Pattani S (eds). ABC of
Athma 6th ed. Blackwell Publishing. London;2010:pp.6-9.
PATOGENESIS ASMA
Ketut Suryana
Divisi Alergi-Imunologi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unud - RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Sensitisasi
allergen
Virus
Polutan udara
Inflamasi kronik
Hiperresponsiveness
Bronkitis
eosinofilic saluran nafas
Trigger Alergen
Exercise
Gejala Udara dingin
Batuk SO2
Mengi
Particulates
Dada Berat Sesak
Patogenesis Asma
Rangkuman
Daftar Pustaka
PATOFISIOLOGI ASMA
mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa berat, batuk saat malam atau
dini hari. Serangan biasanya berkaitan dengan obstruksi luas saluran napas
okupasional, dan perokok), eosinofil, limfosit, aktivasi sel mast, cedera sel
epitel.
saluran napas dan hiperinflasi paru dinamis. Hal ini akan mengakibatkan
Diagnosis Asma
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit saluran nafas kronik yang sering terjadi
dan menimpa semua lapisan masyarakat. Asma menjadi masalah
kesehatan masyarakat utama di dunia. Kejadian asma berkisar antara 1-
18% dari jumlah populasi pada berbagai negara. Asma terjadi pada
berbagai belahan dunia, baik negara maju atau negara berkembang. Hingga
saat ini asma masih menjadi salah satu penyakit non-infeksi dengan
prevalensi tertinggi. Perkiraan global terbaru dari Global Asthma Network
mendapatkan sebanyak 334 juta orang menderita asma di seluruh dunia.
Angka ini diperkirakan akan terus meningkat.1,2
Selain tingginya prevalensi, asma juga memiliki dampak sosio-
ekonomi yang besar pula. Pasien asma, terlebih yang tidak terkontrol, akan
mengalami penurunan produktifitas yang signifikan. Mereka akan sering
tidak masuk sekolah atau kerja akibat asma yang dideritanya. Selain itu,
biaya yang dikeluarkan untuk penanganan asma juga sangat tinggi. Global
Initiative for Asthma (GINA) memperkirakan sekitar 1-2 persen dari seluruh
Diagnosis Asma
Asma secara umum dikenal memiliki karakteristik gejala dan
hambatan aliran udara yang variabel dan episodik. Hal inilah yang menjadi
dasar dalam mendiagnosis asma. Diagnosis asma didapatkan dengan
mengidentifikasi kedua kondisi karakteristik tersebut. Gejala respirasi yang
sering dihubungkan dengan asma adalah mengi, sesak nafas, dada terasa
berat, atau batuk. Gejala-gejala tersebut memiliki karakteristik tersendiri
untuk mendukung diagnosis asma. Semakin banyak gejala yang ditemukan
pada pasien akan makin menguatkan dugaan kearah asma, terutama pada
kasus dewasa. Sementara itu, kronologis gejala yang biasanya memburuk
saat malam hari atau dini hari serta bervariasi intensitasnya juga
mendekatkan kita pada diagnosis asma. Karakteristik lain adalah pencetus
keluhan dan gejala tersebut yang sangat beragam mulai dari infeksi virus
(flu), olah raga, pajanan alergen, perubahan cuaca, gas iritan, atau bahkan
tertawa yang terlalu keras.(Gambar 1)1
Variabel kedua yang harus dibuktikan selain gejala yang episodik di
atas adalah hambatan aliran udara ekspirasi yang bervariasi dari waktu ke
waktu serta tingkat keparahannya. Hal ini memerlukan pemeriksaan fungsi
paru yang dilakukan pada pasien saat sedang eksaserbasi dan dalam konsisi
asma yang stabil. Pemeriksaan tes fungsi paru memerlukan alat spirometri
yang khusus dan dilakukan oleh petugas terlatih. Hal inilah yang sering
menjadi kendala dalam menegakkan diagnosis asma, khususnya di fasilitas
kesehatan primer. Pada konsensus GINA, pemeriksaan tes fungsi paru
dapat dilakukan dengan pemeriksaan peakflow-meter yang lebih
sederhana dan mudah untuk dilakukan oleh petugas kesehatan di
perifer.1,7
Asesmen Asma
Setelah diagnosis asma ditegakkan, pada setiap pasien asma harus
dilakukan beberapa asesmen tambahan. Asesmen dilakukan dalam hal
status kontrol asma (symptom control dan risiko outcome yang buruk di
masa yang akan datang), masalah terapi, serta asesmen komorbiditas.
Ketiga hal ini harus selalu dinilai sejak awal pasien didiagnosis menderita
asma serta setiap kali pasien datang untuk pemeriksaan rutin.1,9,10
Menilai status kontrol asma merupakan hal yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan terapi asma. Kontrol asma memiliki dua
bagian utama, yaitu penilaian gejala dan risiko untuk outcome buruk dalam
jangka panjang. Penilaian gejala asma mencakup segala keluhan yang
berhubungan dengan penyakit asma (mengi, sesak nafas, dada terasa
berat, dan batuk) serta pengaruh gejala tersebut dalam kehidupan sehari-
hari pasien (beban medis dan psiko-sosial dan ekonomi). Symptom control
yang buruk sangat berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi
asma. Secara umum, penilaian symptom control dilakukan dengan
menanyakan segala keluhan dan kondisi yang berkaitan dengan asma
dalam 4 minggu terakhir dengan satuan hari dalam seminggu (Tabel 1).
Beberapa kuesioner seperti Asthma Control Questionnaire (ACQ) atau
Asthma Control Test (ACT), dapat diberikan pada pasien untuk membantu
menilai symptom control ini.9,10
Sedangkan asesmen faktor risiko outcome asma yang buruk didapat
dengan menilai faktor risiko eksaserbasi, faktor risiko hambatan aliran
udara menetap, serta faktor risiko efek samping pengobatan. Selain itu,
data mengenai FEV1 saat memulai terapi serta pengecekan rutin setiap 3-6
bulan sangat ideal dalam melengkapi penilaian risiko outcome asma ini
secara komprehensif.1
Ringkasan
Asma merupakan penyakit tidak menular dengan penyebaran
paling luas dan beragam di dunia. Diagnosis asma yang tepat merupakan
kunci utama dalam upaya mengontrol asma secara efektif. Konsensus GINA
telah merumuskan cara sederhana dalam mendiagnosis asma. Asma sudah
dapat didiagnosis bila didapatkan gejala karakeristik dan hambatan aliran
udara yang variabel dan episodik.
Daftar Pustaka
1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for
Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2015 update).
2. World Asthma Prevalence (WHO). Available at http//www.who.int.
Accessed: 15 October 2015.
3. Karadag B, Karakoc F, Ersu R, et al. Is childhood asthma still
underdiagnosed and undertreated in Istanbul? Pediatrics
International 2007;49:508-512.
4. Nish WA, Schwietz LA. Underdiagnosis of asthma in young adults
presenting for USAF basic training. Ann of Allergy 1992;69(3):239-
242.
5. Banerjee DK, Lee GS, Malik SK, et al. Underdiagnosis of asthma in
the elderly. Brit J Dis of the Chest 1987;81:23-29.
Denpasar
PENDAHULUAN
Eksaserbasi asma
Eksaserbasi asma adalah suatu episode yang ditandai dengan
memburuknya secara progresif gejala sesak napas, batuk, mengi serta
penurunan fungsi paru yang progresif. Eksaserbasi dapat terjadi pada
pasien asma yang sudah ditegakkan sebelumnya, atau sebagai presentasi
asma untuk pertama kalinya. Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai reaksi
paparan agen eksternal (misalnya virus, infeksi saluran pernapasan atas,
serbuk sari atau polusi) atau ketidak-kepatuhan pada obat pengontrol.
Eksaserbasi berat dapat terjadi pada pasien asma ringan, tetapi juga bisa
pada asma yang terkendali dengan baik. 4.5
Riwayat Penderita
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik:
Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid oral harus diberikan segera, terutama jika pasien
memburuk, atau jika pemberian obat SABA dan kontroler sudah perlu
peningkatan dosisnya. Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 1
mg prednisolon/kg/hari sampai maksimal 50 mg/hari, dan 1-2 mg/kg/hari
untuk anak-anak 6-11 tahun sampai maksimal 40 mg/hari) . Kortikosteroid
oral biasanya harus dilanjutkan selama 5-7 hari.11.12.13
Obat pengontrol
Pasien yang sudah diberikan obat kontroler harus diberikan saran agar
berhati-hati bila ada peningkatan dosis untuk 2-4 minggu ke depan. Bila
pasien saat ini tidak minum obat pengontrol maka sarankan agar mulai
penggunaan terapi kortikosteroid inhalasi atau obat golongan Long Acting
Beta Agonis (LABA) inhalasi. Bila terjadi serangan akut yang membutuhkan
perawatan medis maka hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko
serangan akut dikemudian hari.14.15
Tidak ada bukti kuat yang mendukung peranan antibiotik dalam serangan
asma akut kecuali ada bukti tentang adanya infeksi paru (misalnya demam
dan sputum purulen atau ada tanda-tanda pneumonia secara radiologis).
Pengobatan agresif dengan kortikosteroid harus dilaksanakan sebelum
antibiotik dilakukan.5
Pengobatan tambahan harus terus sampai PEF atau FEV1 mencapai nilai
tertentu atau (idealnya) kembali ke nilai terbaik pasien. Keputusan
kemudian dapat dibuat apakah akan mengirim pasien pulang atau
mereferal ke fasilitas perawatan akut yang lebih tinggi.
Tindak-lanjut pengobatan
Ringkasan
Daftar Pustaka
1. Reddel HK, Taylor DR, Bateman ED, et al. An official American Thoracic
Society/European Respiratory Society statement: asthma control and
exacerbations: standardizing endpoints for clinical asthma trials and
clinical practice. Am J Respir Crit Care Med 2009;180:59-99
2. Levy ML, Quanjer PH, Booker R, et al. Diagnostic spirometry in primary
care: Proposed standards for general practice compliant with American
Thoracic Society and European Respiratory Society recommendations: a
General Practice Airways Group (GPIAG) document, in association with
the Association for Respiratory Technology & Physiology (ARTP) and
Education for Health. Prim Care Respir J 2009;18:130-47.
3. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP.
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:
diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J
2006;15:20-34.
4. Reddel H, Ware S, Marks G, Salome C, Jenkins C, Woolcock A.
Differences between asthma exacerbations andpoor asthma control
[errtum in Lancet 1999;353:758]. Lancet 1999;353:364-9.
5. GINA. Global strategy for asthma management and prevention, Global
Initiative for Asthma (GINA); 2015. Availeble at:
http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report_2015_Au
g11.pdf
6. Cates CJ, Welsh EJ, Rowe BH. Holding chambers (spacers) versus
nebulisers for beta-agonist treatment of acute asthma. Cochrane
Database Syst Rev 2013.
7. Newman KB, Milne S, Hamilton C, Hall K. A comparison of albuterol
administered by metered-dose inhaler and spacer with albuterol by
nebulizer in adults presenting to an urban emergency department with
acute asthma. Chest 2002;121:1036-41.
8. Chien JW, Ciufo R, Novak R, et al. Uncontrolled oxygen administration
and respiratory failure in acute asthma. Chest 2000;117:728-33.
9. Rodrigo GJ, Rodriquez Verde M, Peregalli V, Rodrigo C. Effects of short-
term 28% and 100% oxygen on PaCO2 and peak expiratory flow rate in
acute asthma: a randomized trial. Chest 2003;124:1312-7.
10. Perrin K, Wijesinghe M, Healy B, et al. Randomised controlled trial of
high concentration versus titrated oxygen therapy in severe
exacerbations of asthma. Thorax 2011;66:937-41.
11. Hasegawa T, Ishihara K, Takakura S, et al. Duration of systemic
corticosteroids in the treatment of asthma exacerbation; a randomized
study. Intern Med 2000;39:794-7.
12. Jones AM, Munavvar M, Vail A, et al. Prospective, placebo-controlled
trial of 5 vs 10 days of oral prednisolone in acute adult asthma. Respir
Med 2002;96:950-4.
13. O'Byrne PM, Barnes PJ, Rodriguez-Roisin R, et al. Low dose inhaled
budesonide and formoterol in mild persistent asthma: the OPTIMA
randomized trial. Am J Respir Crit Care Med 2001;164(8 Pt 1):1392-7.
I Made Bagiada
Divisi Paru Bagian / SMF Penyakit Dalam
FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Penatalaksaan di RS (IGD)
Pengobatan (1,2,4,5,6).
Pengobatan diberikan bertujuan untuk mempercepat resolusi
serangan akut. Pasien dengan riwayat serangan asma berat adalah factor
risiko asma fatal dan memerlukan pengawasan ketat dan terapi agresif.
Monitoring saturasi oksigen terus-menerus dan menilai aliran arus puncak
(PEF) memerlukan penatalaksanaan optimal dari serangan asma akut.
Pemberian bronkodilator sebaiknya melalui inhalasi, dan diberikan dengan
nebulizer dan dengan MDI. Penggunaan kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis tinggi dan kortikosteroid oral saat pulang dari IGD dianjurkan untuk
mengurangi kekambuhan serangan asma. Secara umum pengobatan utama
atau standar semua pasien dengan serangan asma akut di IGD adalah
pemberian oksigen, agonis-beta2 inhalasi, dan kortikosteroid sistemik.
Dosis dan frekueinsi pemeberian tergantung beratnya serangan (1,2,5):
1. Oksigen:
Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar
saturasi oksigen ≥ 90% dan dipantau dengan oksimetri.
2. Agonis beta-2 inhalasi:
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan
spacer yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara
nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit, membutuhkan
waktu lebih singkat dan mudah diakses di unit gawat darurat.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis
beta-2 kerja singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi dan
sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin.
Monitoring di IGD
Pemulangan pasien
Ringkasan
Daftar pustaka
Pendahuluan
Asma bronkial adalah merupakan penyakit yang heterogen yang
ditandai dengan adanya gejala klinis batuk, sesak napas, dada terasa berat
dan mengi yang intensitasnya bervariasi diantara pasien dan respon
terhadap terapi juga dapat berbeda.1 Berat ringannya gejala klinis dan baik
tidaknya respon terapi dapat dipengaruhi oleh ada tidaknya penyakit
komorbid dan komplikasi yang menyertai.2 Dengan adanya perbedaan
gejala klinis dan perbedaan respon terapi dari pasien asma, maka untuk
mencapai tujuan tatalaksana asma yaitu asma terkontrol dapat dicapai
tanpa pengobatan dan dengan pengobatan.1 Perawatan pasien juga
ditentukan oleh berat ringannya gejala, bisa dirawat secara rawat jalan, di
rawat di rumah sakit di ruangan biasa dan bahkan ada yang membutuhkan
perawatan di ruang intensiv /ICU. 1,3
Kebutuhan perawatan di ruang rawat inap merupakan kelanjutaan
tatalakasana pasien yang mengalami eksaserbasi dimana respon terapi
yang diberikan dalam waktu yang ditentukan belum tercapai.1 Laporan
tahun 2004 di AS didapatkan 1,8 juta kejadian pasien asma yang datang ke
unit gawat daraurat (64/10.000 penduduk) dan yang membutuhkan rawat
inap senanyak 497.000 orang (17/10.000 penduduk).4
Monitoring Pengobatan
Evaluasi pengobatan seperti dosis, cara pemberian dan kombinsi
obat perlu dilakukan untuk mencapai asma terkontrol. Obat – obat yang
umum kita gunakan pada perawatan di rumah sakit adalah beta2 agonis,
kebutuhan rawat inap dan perbaikan yang lebih nyata pada PEF dan PEV1
dibanding pemberian beta2 agonis tunggal.1,3
Aminopilin dan teopilin
Itravena aminopilin/teopilin sebaiknya tidak digunakan dalam
penanganan eksaserbasi asma. Penggunan obat ini sering menimbulkan
efek samping yang fatal terutama pada pasien yang telah mendapat
teopilin oral sebelumnya. Pada pasien asma serangan berat yang
ditambahkan aminopilin tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding
pemberian beta2 agonis sendiri.1
Magnesium
Magnesium sulfat tidak rutin diberikan pada serangan asma akut.
Apabila diberikan Magnesium sulfat 2 gram dosis tunggal selama 20 menit
akan menurunkan kejadian perawatan di rumah sakit pada pasien tidak
respon dengan terapi awal.1,5
Ringkasan
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan
gejala klinis dan respon terapi yang berbeda antar pasien lainya. Adanya
respon terapi yang berbeda mengakibatkan pasien asma \membutuhkan
tempat perawatan yang berbeda baik rawat jalan atau di rumah sakit.
Perawatan di rumah sakit biasanya diperlukan oleh pasien yang mengalami
eksaserbasi namun belum mencapait respon terapi yang memadai dengan
terapi awal. Di runag rawat biasa pasien akan melanjutkan pengobatan dan
perlu dilakukan pemantauan terhadap perkembangan klinis apakah terjadi
perbaikan atau tidak dengan monitoring tanda vital, fungsi paru, saturasi
oksigen analisa gas darah. Selain itu juga perlu pemantauan terhadap
adanya penyakit komorbid dan kemungkinan adanya komplikasi yang
tentunya dapat berpengaruh tidak baik terhadap usaha mengontrol asma.
Di ruanng rawat inap juga perlu mempersiapkan rencana rawat jalan, obat-
obatan di rumah dan edukasi pasien agar pasien mengerti dan paham akan
penyakitnya.
Daftar Pustaka
1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for
Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2015 update).
2. Papiris S, Kotanidou A, Malagari K, Roussos C. Clinical review severe
asthma Criticl care 2002, 6: 30-40
10. Cho GSi, Shin YS, Kim JH, Choi SY, Lee SK, Nam YH, Lee YM, Park
HS. Prevalence and Risk Factors for Depression in Korean Adult
Patients with Asthma: Is There a Difference between Elderly and
Non-Elderly Patients? J Korean Med Sci 2014; 29: 1626-1631
Pendahuluan
Penanganan pasien yang mengalami serangan asma atau
eksaserbasi asma di ruang emergensi sebagian besar berhasil meringankan
bahkan menghilangkan gejala serangan pada asma. Namun sebagian kecil
sekitar 10% akan memerlukan perawatan lanjut dirumah sakit, sebagian
akan memerlukan penanganan di ruang intensif. Pasien tersebut akan
mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1 Menurut Gupta dkk,
Sebanyak 56.8% pasien yang dirawat intensif mendapatkan mekanikal
ventilasi (MV) pada 24 jam pertama. Dengan angka kematian secara
menyeluruh 7.1% di ICU dan 9.8% di rumah sakit.2
Penyempitan saluran nafas akan mengakibatkan
ketidakseimbangan ventilasi perfusi, hiperinflasi paru, dan meningkatkan
work of breathing (WOB) selanjutnya kepayahan otot pernafasan dan gagal
nafas. Patofisiologi terjadinya dynamic hyperinflation dan gagal nafas
sangat penting untuk dipahami, serta penanganan pasien yang
membutuhkan intubasi pemasangan endotracheal tube (ETT) dan
mekanikal ventilator (MV) dan melakukan lung protective mechanical
ventilation untuk membantu mencapai target oksigenasi adekuat,
menghindarkan komplikasi, sambil memaksimalkan terapi farmakologis.1,3
Definisi
Aspirin, NSAIDs
Gejala > 12 jam dan beberapa 1–3 2–6 jam dari onset gejala
minggu
Faktor risiko
Faktor risiko utama yang berhubungan dengan life-threatening
asthma meliputi status kontrol yang buruk dengan manifestasi seperti
memerlukan 2 atau lebih canister beta 2 agonis dalam sebulan,
ketergantungan kortikosteroid sistemik, riwayat pengobatan dan
memeriksakan diri tak teratur, menyangkal terjadinya perburukan kondisi
asmanya. Riwayat asma eksaserbasi yang hampir fatal, pernah masuk icu,
penurunan kesadaran atau kejang saat eksaserbasi.1,3
Pathophysiology
Sangat terhambatnya aliran udara (airflow limitation) akibat
penyempitan saluran nafas merupakan kunci penyebab gangguan pada
asma eksaserbasi. Penyempitan saluran nafas atau obstruksi terjadi
terutama pada cabang menengah dan kecil saluran nafas, disebabkan
bronchial hyper-responsiveness dan yang terpenting edema akibat
inflamasi saluran nafas dan meningkatnya produksi mukus. Studi terbaru
menemukan bahwa proses tersebut terjadi secara tidak homogen
diseluruh paru.5,7
Inspirasi awalnya tidak terganggu tetapi terjadi penurunan
kemampuan pengosongan paru, diperlukan usaha untuk mengeluarkan
udara ekspirasi sehingga ekspirasi menjadi proses yang aktif. Obstruksi
aliran udara ekspirasi menyebabkan tidak tuntasnya mengeluarkan seluruh
udara saat ekspirasi, namun sudah disusul dengan masuknya volume udara
inspirasi menyebabkan terperangkapnya sebagian udara (air trapping) saat
kelemahan otot dan dapat memperberat gagal nafas pada pasien bernafas
spontan.
Pemberian secara subcutan (sc) epinephrine atau terbutalin
dipertimbangkan jika tidak memberi respon adekuat dengan nebulizer, dan
pada pasien yang tidak kooperatif (depresi status mental, apneu, coma).
Epinephrine diberikan sc 0.3–0.4ml (1:1000) setiap 20 menit untuk 3 dosis.
Juga dapat diberikan melalui ETT. Terbutalin dapat diberikan sc dengan
dosis 0,25 mg, dengan cara sc terbutalin kehilangan β-selectivity dan tidak
lebih baikk dari epinephrine. Terbutalin sebaiknya lebih dipilih hanya pada
kehamilan karena aman diberikan.12
Bronchodilator intravena
Pemberian β2 agonis parenteral dipertimbangkan pada pasien
dengan MV dan life-threatening asthma. Salbutamol iv (5–20 µg/menit)
atau terbutaline (0.05-0,10 µg/kg/menit) dan dititrasi sesuai respon klinis.
Dalam kondisi ektrim, salbutamol 100–300 µg dapat diberikan sebagai
bolus iv atau melalui ETT. Obat alternatif lain adalah aminophylline.
Dengan dosis 5 mg/kg dalam 20 menit dilanjutkan infus 0.5– 0.75
mg/kg/menit). Kekurangan sekaligus kontroversi penggunaannya
sehubungan efek samping aritmia, muntuh, restlessness dan konvulsi dan
sempitnya dosis terapi. Konsentrasi aminophylline sebaiknya dimonitor
(rentang terapi 10-20 µg/ml). Pada kondisi ekstrim epinephrine dapat
diberikan iv dengan dosis 0.2–1 mg bolus diikuti 1–20 µg/menit).10,12
Non-invasive Ventilator
Keberhasilan NIV masih kontroversial. NIV terkadang dipakai untuk
bantuan sesaat sebelum intubasi dan MV. Dengan mode continuous
positive airway pressure (CPAP) melalui sungkup muka akan menurunkan
WOB, menurunkan laju respirasi dan sesak tanpa mengurangi efek
pertukaran gas, aliran udara ekspirasi, atau hemodinamik. Dengan jumlah
penelitian yang relative kecil NIV mampu menurunkan kebutuhan intubasi
pasien. Mode yang lain seperti bi-level positive airway pressure (BiPAP),
membatasi tekanan inspirasi tak lebih 20 cmH2O, fraksi O2 dititrasi untuk
mencapai saturasi oksigen ≥ 90%.7-10
Keuntungan Keterbatasan
Menurunkan hambatan aliran Memerlukan koopratif pasien
udara
Mengurangi tekanan trans- Dapat mengurang kemampuan untuk
diaphragmatic membersihkan dahak dan pemberian
obat
Re-expands atelectasis Tidak memerlukan pengontrolan
saluran nafas
Memperbaiki rasa nyaman dan Dapat menyebabkan distensi gaster dan
bantuan WOB meningkatkan risiko aspirasi
Meningkatkan perasaan susah nafas,
claustrophobic
Intubasi
Pasien dengan perubahan status mental, kepayahan atau
hipercapnia dipertimbangkan memerlukan diintubasi segera pemasangan
ETT dan bantuan mekanikal ventilator (MV). Penurunan kesadaran dan
respiratory arrest menjadi kriteria absolut untuk melakukan intubasi
segera. Indikasi relatif pada perburukan fungsi paru dan meningkatnya
WOB, perubahan status mental. Pasien yang sering melepas masker
oksigen dan mengatakan saya tak bisa bernafas merupakan indikasi
intubasi. Metode intubasi yang dipilih adalah rapid sequence intubation
(RSI) selain intubasi awake. Manipulasi jalan nafas akan dapat
meningkatkan airway responsiveness dan dapat memperburuk obstruksi
jalan nafas. Target intubasi adalah mencegah lebih lanjut peningkatan
perburukan hiperinflasi paru. Waspadai akan terjadinya hipotensi dan
barotrauma akibat tindakan intubasi dan mekanikal ventilasi.7,9,10
PEEP untuk kompensasi PEEPi jika pasien bernafas spontan (80% dari
autoPEEP)
Daftar Pustaka
1. Lazarus SC. Emergency Treatment of Asthma. N Engl J Med
2010;363:755-64.
2. Gupta D, Keogh B, Chung KF, Jon G Ayres JG, Harrison DA, Goldfrad
C, Brady AR, Rowan K. Characteristics and outcome for admissions
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit inflamasi jalan nafas kronik dengan
banyak sel dan elemen seluler yang berperan di dalamnya. Inflamasi kronik
ini berhubungan dengan hiper-responsivitas jalan nafas yang
mengakibatkan episode berulang dari mengi, sesak, perasaan berat di
dada, dan batuk, terutama saat malam hari atau dini hari. Episode
serangan akut ini biasanya berhubungan dengan obstruksi aliran udara
pada paru yang reversible. Manifestasi klinis asma ini dapat dikontrol
dengan pengobatan yang tepat. Pada kondisi terkontrol, maka pasien asma
tidak akan mengalami serangan dan eksaserbasi, sehingga mampu
beraktivitas secara normal.1
Asma merupakan masalah kesehatan global. Diperkirakan sekitar
300 juta orang menderita asma di seluruh dunia. Asma dapat diderita oleh
semua ras umat manusia di dunia dari berbagai kelompok umur dan jenis
kelamin. Angka prevalensi asma sangat bervariasi di seluruh dunia. Secara
umum, prevalensi asma berkisar antara 1 – 18% pada berbagai populasi di
seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 15 juta disability-adjusted life
years (DALYs) hilang akibat asma, atau sekitar 1% dari beban seluruh
injeksi
Pajanan alergen • Strategi menghindari pajanan
• step up kontroler
• Efikasi allergen immunotherapy pada asma
masih terbatas
Sputum eosinophilia • Tingkatkan dosis ICS tanpa memandang level
kontrol
gejalanya
Ringkasan
Asma merupakan penyakit yang dapat mengenai seluruh lapisan
masyarakat. Asma di Indonesia masih menduduki peringkat pertama
penyakit non-infeksi terbanyak. Asma membawa dampak yang besar dari
segi medis, psiko-sosial, serta ekonomi. Klinisi pada berbagai fasilitas
kesehatan diharapkan mampu melakukan manajemen asma yang tepat
dan optimal sehingga menghindarkan pasien asma dari berbagai risiko
outcome buruk baik akibat asmanya maupun efek samping obatnya.
Daftar Pustaka
1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for
Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2015 update).
2. World Asthma Prevalence (WHO). Available at http//www.who.int.
Accessed: 15 October 2015.
3. Boulet LP, FitzGerald JM, Reddel HK. The revised 2014 GINA
strategy report: opportunities for change. Curr Opin Pulm Med
2015;21:1-7.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS)
2013.
5. Petsky HL, Cates CJ, Lasserson TJ, et al. A systematic review and
meta-analysis: tailoring asthma treatment on eosinophilic markers
(exhaled nitric oxide or sputum eosinophils). Thorax 2012;67:199-
208.
6. Gibson PG. Using fractional exhaled nitric oxide to guide asthma
therapy: design and methodological issues for ASthma TReatment
ALgorithm studies. Clinical and experimental allergy. journal of the
British Society for Allergy and Clinical Immunology 2009;39:478-90.
7. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP.
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:
diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J
2006;15:20-34.
8. Castro M, Rubin AS, Laviolette M, et al. Effectiveness and safety of
bronchial thermoplasty in the treatment of severe asthma: a
multicenter, randomized, double-blind, sham-controlled clinical
trial. Am J Respir Crit Care Med 2010;181:116-24.
Difficult Asthma
Putu Andrika
Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD / RSUP Sanglah
Pendahuluan
Prevalensi asma semakin meningkat dekade terakhir. Diperkirakan
8,6% dewasa muda di dunia mengalami asma (1). Prevalensi asma yang
tercatat di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 4,5% (2). Dengan
kemajuan pengobatan asma sebagian besar pasien dapat mengendalikan
atau mencapai status asma terkontrol. Ada sebagian kecil pasien meskipun
sudah dengan pengobatan dengan dosis tinggi sebagian pasien sulit lepas
dari serangan asma, tidak mencapai status asma terkontrol dan bahkan
sering dengan ancaman kematian.
Berkisar 5-10% dari penderita asma akan mengalami gejala yang
persisten dan sering mengalami eksaserbasi (3,4,5,6,7). Kelompok ini sering
dikatagorikan difficult asthma (4,6,7). Suatu kondisi dengan morbiditas,
mortalitas dan disabilitas penderita, juga memerlukan biaya kesehatan
yang tinggi bahkan menghabiskan 50% biaya keseluruhan asma, kualitas
hidup yang buruk, dan sering dengan efek samping pengobatan (7,8,9).
Sulitnya penatalaksanaan difficult asthma ini akan menjadi suatu
tantangan bagi dokter, benarkah pasien termasuk difficul to manage asma
atau suatu asma yang truly therapy resistant, bagaimana pendekatan
Definisi
Hingga saat ini definisi difficult asthma masih berbeda-beda, tidak
ada konsensus khusus yang mendefinisikan difficult asthma. Difficult
asthma dikenal sebagai penyakit asma dengan eksaserbasi berat,
mengancam jiwa, memerlukan perawatan di rumah sakit yang sering, atau
memerlukan terapi kortikosteroid kronik (4,10,11,12). Definisi ini kemudian
mengalami perkembangan, difficult asthma memasukkan pula kondisi
pasien dengan serangan asma yang tidak dapat dikontrol meskipun telah
menggunakan terapi inhalasi dengan dosis maksimal (4,13). Berdasarkan
atas definisi di atas, difficult asthma dikenal pula dengan istilah asma berat
kronik, asma berat refrakter, asma yang sulit dikontrol (10,13,14).
Pada tahun 1999, Europian Respiratory Society (ERS) Task Force
menyebutkan bahwa difficult asthma atau therapy resistant asthma
merupakan penyakit asma yang tidak dapat dikontrol, meskipun telah
menggunakan terapi inhalasi kortikosteroid dosis tinggi dengan atau pun
tanpa terapi kortikosteroid sistemik (15). Kemudian pada tahun 2000,
American Thoracic Society (ATS) mendefinisikan asma berat refrakter
dengan pengertian yang sangat mirip dengan pengertian difficult asthma
menurut ERS pada tahun 1999 (16). The European Network for
Understanding Mechanisms of Severe Asthma pada tahun 2003
mendefinisikan asma berat sebagai penyakit asma yang telah terkonfirmasi
dengan kejadian eksaserbasi satu kali atau lebih dalam satu tahun terakhir,
meskipun telah mendapatkan terapi kortikosteroid oral atau terapi inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi (5,11,17).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka difficult asthma
memiliki makna yang berbeda dengan asma berat refrakter. Kondisi ini
lebih diakibatkan karena faktor lain, seperti faktor lingkungan, adherence
pengobatan, penyakit komorbiditas, kesalahan diagnosis, dan masalah
psikososial (6,7,12,13). Sedangkan asma berat refrakter menurut
Innovative Medicine Initiative sebagai kondisi yang sama dengan difficult
asthma, namun faktor-faktor lain yang berperan pada difficult asthma
telah dieksklusi terlebih dahulu (5,11,18). Difficult asthma merupakan
kondisi asma dengan gejala persisten dan sering mengalami eksaserbasi
meskipun telah mendapatkan terapi tahap 4 atau 5 berdasarkan atas
pedoman terapi Global Initiative For Asthma (GINA) (5,7,19).
Dalam upaya pendekatan terhadap pasien difficul asthma, akan
sangat membantu jika kita memecahkan permasalahan dengan
menentukan apakah pasien termasuk salah satu dari difficult to manage
asthma atau therapy resistant asthma. Penting hal ini dilakukan karena
kandidat pendekatan terapi innovative yang tentunya sangat mahal akan
bermanfaat banyak pada penderita yang termasuk therapy resistant
asthma, sementara kelompok difficul to manage asthma belum tentu
membutuhkannya.
Terdapat berbagai factor penting yang memberikan kontribusi
terhadap difficult to manage asthma, dan mungkin bukan hanya satu tapi
lebih dari beberapa factor berperan terhadap seorang pasien yang kita
anggap difficult asthma. Faktor yang bekontribusi dapat dikelompokkan
kedalam grup berikut:
1. Adverse environment. 2. Nonadherence. 3. Comorbidities. 4. Incorrect
diagnosis. 5. Psychosocial problems.
Lingkungan sangat potensial dalam perannya pada pengendalian
difficult asthma, telusuri secara baik untuk mencari bahan allergen dan
iritan di rumah ataupun ditempat kerja. Aeroallergens seperti house dust
mites, domestic animals, dan environmental mold. Kurang atau tidak
cukupnya adherence terhadap pengobatan yang dianjurkan termasuk
akibat ketakutan akan efek samping. Evaluasi dan penting untuk
menangani komorbid yang sering ditemukan yaitu penyakit alergi saluran
nafas atas, GERD, obesitas, obstructive sleep apnea. Penting untuk
memastikan diagnosis kerja kita apakah pasien memang asma atau mirip
asma seperti COPD, empisema, defisiensi alfa 1 antitrypsin, bronkiektasis,
cystic fibrosis atau aspergilosis bronkopulmonari. Amin dkk, melaporkan
terdapat 33% misdiagnosis pada difficult asthma yang sesungguhnya akibat
kelainan psikiatri (30%), COPD (25%), CHF (15%), ILD (11,5%), bronkiektasis
(8,3%) (20).
terapi yang sesuai dengan dosis yang dianjurkan (26). Hal ini menimbulkan
kesulitan dalam mengontrol gejala asma yang timbul. Sebuah penelitian
lain menunjukkan bahwa rendahnya tingkat adherence dalam pengobatan
asma memiliki hubungan terhadap difficult asthma yang muncul (27,28).
Masalah adherence ini biasanya muncul akibat ketakutan terhadap efek
samping, merasa tidak memerlukan pengobatan saat tidak ada gejala,
merasa pengobatan yang digunakan akan tidak efektif apabila digunakan
terus-menerus, dan merasa bahwa penyakitnya tidak serius (27).
Evaluasi komorbiditas yang ada pada pasien dengan difficult asthma
dapat memberikan hasil yang baik terhadap terapi pada difficult asthma.
Komorbiditas yang dapat muncul pada pasien difficult asthma adalah (6,7):
a.Penyakit alergi pada saluran nafas atas, b. Gastroesophageal reflux
disease (GERD), c. Obesitas, d. Obstructive sleep apnea.
sebagian besar berskala kecil dan berdurasi pendek. Rejimen pengobatan yang
telah diusulkan, adalah penggunaan mingguan azitromisin selama 6 minggu
(setelah dosis loading awal diberikan setiap hari selama 3 hari) dan administrasi
sehari-hari klaritromisin selama 6 minggu (32).
Tingkat vitamin D berhubungan dengan kontrol asma lebih buruk; anak-
anak dari ibu dengan asupan makanan vitamin D rendah selama kehamilan
lebih mungkin untuk mengembangkan asma. Anak yang rendah kadar vitamin
D nya cenderung memiliki eksaserbasi asma lebih sering (32). Namun tidak ada
studi yang menunjukkan bahwa mengobati orang dengan kadar vitamin D
rendah meringankan asma. Dosis vitamin D yang dibutuhkan untuk
mengoptimalkan fungsi kekebalan tubuh di asma tidak diketahui (32).
Kesimpulan
Difficult asthma merupakan penyakit asma dengan gejala yang
persisten dan sering mengalami eksaserbasi meskipun telah mendapatkan
terapi yang intensif. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan,
nonadherence, penyakit komorbid, kesalahan diagnosis, dan permasalahan
psikososial. Penatalaksanaan difficult asthma harus dilakukan secara
sistematik dengan mengkaji terlebih dahulu kemungkinan diagnosis lain
selain asma, menilai penyakit komorbid yang turut berperan. dan
mengevaluasi adherence penggunaan terapi yang telah diberikan.
Daftar Pustaka
10. Robinson DS, Campbell DA, Durham SR, Pfeffer J, Barnes PJ, Chung
KF, et al. Systematic assessment of difficult-to-treat asthma. Eur
Respir J 2003;22:478-483
11. Wener RR, Bel EH. Severe refractory asthma: an update. Eur Respir
Rev 2013;22:227-235
12. Chipps BE, Harder JM. Targeted interventions for difficult-to-treat
asthma. Expert Opin Ther Targets 2006;11(1)
13. Le AV, Simon RA. The difficult-to-control asthmatic: a systematic
approach. Allergy, Asthma and Clinical Immunology 2006:2(3)
14. Kling S. Severe asthma-assessment and management. Current
Allergy & Clinical Immunology 2012;25(3)
15. Chung KF, Godard P, Adelroth E. Difficult/therapy-resistant asthma:
the need for an integrated approach to define clinical phenotypes,
evaluate risk factors, understand pathophysiology and find novel
therapies. Eur Respir J 1999;13:1198-1208
16. Anon. Proceedings of the ATS workshop on refractory asthma:
Current understanding, recommendations, and unanswered
questions. Am J Respir Crit Care Med 2000;162:2341-2351
17. Anon. The ENFUMOSA cross-sectional European multicenter study
of the clinical phenotype of chronic severe asthma. Eur Respir J
2003;22:470-477
18. Bush A, Pedersen S, Hedlin G, Baraldi E, Barbato A, Benedictis F.
Pharmacological treatment of severe, therapy-resistant asthma in
children: what can we learn from where? Eur Respir J 2011; 38:947-
958
19. Global Initiative for Asthma. Pocket guide for asthma management
and prevention. 2015. Diunduh dari www.ginaasthma.org
20. Amin M, Fouad A, El-rab EG. Difficult to treatment asthma, is it
really asthma? Is it really difficult?.Egyptian Journal of Chest
Diseases and Tuberculosis 2014:63,39-42.
21. Sheehan WJ, Phipatanakul W. Difficult to control asthma:
epidemiology and its link with enviromental factors. Curr Opin
Allergy Clin Immunol 2015;13(5):397-401
22. Kobayashi Y, Bossley C, Gupta A. Passive smoking impairs histone
deacetylase-2 in children with severe asthma. Chest
2014;145(2):305-312
23. Mackay D, Haw S, Ayres JG, Fischbacher C, Pell JP. Smoke free
legislation and hospitalizations for childhood asthma. New Eng J
Med 2010;363(12):1139-1145
24. Hassanzad M, Khalilzadeh S, Eslampanah NS. Nicotine level is
associated with asthma severity in passive smoker children. IJAAI
2015;14(1):67-73
25. Wood RA, Johnson EF, Van Natta ML. A placebo controlled trial of a
HEPA air cleaner in the treatment of cat allergy. Am J Respir Crit
Care Med 1998;158:115-120
26. Stempel DA, Stoloff SW, Rosenzweig CJR. Adherence to asthma
controller medication regimens. Respir Med 2005;99:1263-1267
Abstrak
Kata kunci:
Asma; proses penuaan; under-diagnosed; strategi terapi; alat inhaler
Pendahuluan
sebagai kunci utama dan adanya remodeling di dinding jalan nafas berupa
penebalan membrane basal saluran nafas dan hipertrofi otot polos.
Pemeriksaan penting yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya
inflamasi di saluran nafas adalh dengan memeriksa sputum. Sebagian besar
asma ditandai dengan adanya eosinophil di sputum tetapi pada usia lanjut
lebih banyak terdapat sel netrofil. Berbeda jauh dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) yang bersifat ireversible serta dominam netrofil
pada sputum sedangkan pada asma bersifat reversible. Riwayat merokok
pada usia lanjut menimbulkan kesulitan menentukan mekanisme obstruksi
jalan nafas dan penatalaksanaan yang harus diberikan.
Asma pada usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi Late Onset dan Early
Onset. Late onset bila diagnosis awal terjadai pada usia yang telah lanjut
yaitu lebih dari 65 tahun sedangkan Early onset bila diagnosis asma telah
ada sejak awal atau usia muda sampai lanjut usia. Late onset asma sering
memiliki gejala lebih berat dan lama serta sering memerlukan obat
kortikosteroid oral dengan dosis yang lebih besar. Late onset asma
biasanya kurang bersifat atopi kadar serum Ig E dan eosinophil rendah.
Kadar eosinophil sputum juga rendah. Late onset asma sepertinya bukan
tipe atopi tetapi merupakan asma intrinsic dengan bukti adanya netrofil
sputum. Bila kadar Ig E tinggi maka disebut sebagai Late onset atopi asma.
Diagnosis
Diagnosis Late onset asma menjadi sulit dan sering terlambat, bias oleh
karena factor pasien maupun dari dokter. Asma pada usia lanjut lebih tidak
bergejala dibandingkan dengan usia muda. Bahkan bila pasien merasa
sesak sering dianggap sebagai hal yang normal karena proses penuaan.
Sosial ekonomi yang semakin rendah pada usia lanjut juga merupakan
salah satu factor yang menyebabkan pasien tidak dating berobat ke dokter.
Studi pada usia lanjut didapatkan 50% terjadi under-diagnosis asma. Pada
populasi masyarakat didapatkan 3,9% pasien didiagnosis oleh dokter
umum, tetapi ada 4,1% pasien lagi yang belum terdiagnosis asma. Dow and
Co-workers pada survey potong lintang usia lanjut umur lebih dari 65 tahun
di Bristol dari 6000 sampel didapatkan 1,7% tidak mendapatkan terapi
asma. Didapatkan 84% sampel menderita asma sedang dan berat
berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri. Asma pada usia lanjut menjadi
Terapi
lebih baik dibandingkan dengan beta 2 agonis, tetapi perbedaan ini tidak
mengubah guideline yang telah ditetapkan.
Pada usia lanjut dengan asma alergi berat mungkin dapat diberikan obat
omalizumab merupakan rekomendasi step 4 dari GINA. Pada analisis
subgroup pada usia lanjut menunjukan obat ini efektif untuk usia lanjut.
Daftar Rujukan
Respiration 1998;65:347-53.
4. Maykut RJ, Kianifard F, Geba GP. Response of older patients with
IgE-mediated asthma to omalizumab: a pooled analysis. J Asthma
2008;45:173-81.
5. Australian Centre for Asthma Monitoring (ACAM). Available from:
www.asthmamonitoring.org.
6. Slavin RG. The elderly asthmatic patient. Allergy Asthma Proc
2004;25:371-3.
7. Newnham DM, Hamilton SJ. Sensitivity of the cough reflex in young
and elderly subjects. Age Ageing 1997;26:185-8.
I Made Bagiada
Divisi Paru Bagian Penyakit Dalam / SMF Penyakit Dalam
FK Unud /RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia berdasarkan Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 sebesar 228 per 100.000
kelahiran hidup. Secara kuantitatif trend AKI di indonesia cenderung
menurun sejak tahun 1994. Namun angka ini masih tertinggi di Asia.
Distribusi persentase penyumbang AKI secara berturut-turut yaitu:
perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), abortus (5%), persalinan
tidak maju (5%), emboli osbtruktif (3%), dan lain-lain (1). Asma dalam
kehamilan sendiri merupakan salah satu penyumbang morbiditas serta
mortalitas ibu hamil bila tidak ditangani dengan baik.
Pada kehamilan, tingkat keparahan asma dapat mengalami perubahan,
baik menjadi semakin ringan, berat, atau tidak berubah sama sekali.
Walaupun terdapat kekhawatiran akan penggunaan obat-obatan selama
kehamilan, asma yang tidak terkontrol bisa mengakibatkan efek yang tidak
diinginkan pada janin, yaitu peningkatan mortalitas perinatal, angka
kejadian prematuritas (pertumbuhan janin lambat, bayi kecil saat lahir,
janin lahir sebelum umur kehamilan 37 minggu), dan angka kejadian berat
badan bayi lahir rendah. Sedangkan pada ibu janin dapat terjadi hipertensi
>2x/minggu
Adanya keterbatasan
aktifitas oleh karena asma
serangan asma pada kehamilan. Pada studi prospektif, ditemukan 50% ibu
bayi perempuan mengalami peningkatan gejala asma selama kehamilan
dibandingkan dengan 22,2% ibu bayi laki-laki. Ibu dengan bayi laki-laki
menunjukkan perbaikan gejala asma (44,4%), sementara tidak satu pun ibu
dari bayi perempuan mengalami perbaikan. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa gejolak adrenergik yang dialami ibu selama mengandung janin laki-
laki dapat meringankan gejala asma (7).
Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya
pada kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami serangan pada
kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak 20 %
dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan
intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali lipat setelah
persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan dengan persalinan per
vaginam.
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap
penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma
serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan
berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu
sampai 36 minggu,dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi
dan beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami
hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan
pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur, dan
berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner dkk (1980)
dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita
asma menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya
kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan
22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60%
wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan
kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada
persalinan (8).
Pengaruh Asma Terhadap Kehamilan
Asma pada kehamilan umumnya tidak mempengaruhi janin, namun
serangan asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan
hipoksemia ibu sehingga berefek pada janin. Hipoksia janin terjadi sebelum
hipoksia ibu terjadi. Asma pada kehamilan berdampak penting bagi ibu dan
janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa
kelahiran prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada kehamilan,
abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan seksio sesaria (5).
allergen, perubahan cuaca, atau iritan missal menghirup asap, asap rokok
atau bau yang menyengat (4).
Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550
liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga
terapi dapat disesuaikan.
2. Menghindari faktor pencetus asma
Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat
meningkatkan kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang
minimal (2). Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk
alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat-
obatan anti inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap
rokok, asap kimiawi, kelembaban, emosi. Di samping itu, pencetus
terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau, jamur,
amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya kucing
merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua
hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan
asma, termasuk kecoak.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) dikenal sebagai pencetus asma
dan terjadi pada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh
GERD dapat disebabkan oleh aspirasi isi lambung ke dalam paru
sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktifasi arkus refleks
vagal dari esofagus ke paru sehingga menyebabkan bronkokonstriksi.
Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari
paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil
yang merokok berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan
kejadian asma pada anaknya (2,9).
3. Edukasi
Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin.
Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma
yang memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus
mengerti cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktor-
faktor pencetus asma (4,5).
4. Terapi farmakologi selama kehamilan
Kelompok kerja NAEPP (2005) merekomendasikan prinsip serta
pendekatan terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada
kehamilan dan laktasi. Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid
inhalasi, β2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontra indikasi pada
penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma
selama laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama kehamilan
(2). Terapi asma modern dengan teofilin, kortikosreoid dan beta agonis
menurunkan risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik pada ibu
maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada
janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti
metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan
darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan jangka
panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama sekali
sejak efek pada janin tidak diketahui.
Ringkasan
Asma pada kehamilan dapat merupakan morbiditas atau mortalitas
pada ibu hamil dengan asma. Asma dapat mempengaruhi kehamilan atau
kehamilan dapat mempengaruhi asma. Gejala dan tanda asma pada
kehamilan bervariasi, tetapi umumnya sama seperti asma tanpa kehamilan.
Derajat beratnya asma bisa ringan, sedang atau berat. Diagnosis asma pada
kehamilan sama seperti asma tanpa kehamilan. Terapi farmakologi asma
pada kehamilan adalah bronkodilator agonis beta2 kerja singkat inhalasi,
kortikosteroid dan boleh juga ditambahkan dengan teofilin
Daftar Pustaka
http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg/astpreg_f
ull.pdf [Accessed 2016, January 19].
3. American College of Obstetricians and Gynecologists (2008, reaffirmed
2009). Asthma in pregnancy. ACOG Practice Bulletin No. 90. Obstetrics
and Gynecology, 111(2): 457-464.
4. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention. Global
Initiative for Asthma (GINA) 2015. Available from:
http://www.ginasthma.org/. [Accessed 2016, January 11].
5. Murphy V.E., Gibson P.G., Smith R. and Clifton V.L.(2005). Asthma
during pregnancy: mechanisms and treatment implications
6. Cunningham FG et al. Asma Dalam Kehamilan. Obstetri Wiilliams
Volume II. Edisi XXI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
7. Beecroft N, Cochrane GM, Milburn, HJ. (1998) Effect of sex of fetus on
asthma during pregnancy:blind prospective study. BMJ; 317:856-857.
8. Turner E.S., Greenberger P.A., and Patterson R. (1980). Management of
the Pregnant Asthmatic Patient, Ann Intern Med. 1980;93(6):905-918
9. Nelson-Piercy C. (2001). Asthma in pregnancy.Thorax;56:325-328
10. Moechtar R. Asma Dalam Kehamilan. Dalam: Sinopsis Obstetri. Jilid II.
Edisi II. 1998. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Asma Kerja
Pendahuluan
Asma merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia.
Sekitar 300 juta penduduk dunia diperkirakan menderita asma, dengan
250.000 kematian setiap tahun akibat asma. Prevalensi asma terus
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Asma diderita oleh 1 dari 14
orang di Amerika pada tahun 2001, sementara yahun 2009 rasionya
menjadi 1 pasien dari 12 orang.1 Pada tahun 2025 diperkirakan terjadi
peningkatan jumlah pasien asma 100 juta orang di seluruh dunia, dari
sebelumnya 300 juta orang pada tahun 2010.2
Sebagian besar asma, terutama pada anak-anak berhubungan
dengan alergi. Sedangkan asma pada orang dewasa memiliki karakteristik
faktor risiko dan penyebab lebih beragam. Beberapa faktor yang
berhubungan dengan asma, terutama pada orang dewasa antara lain
obesitas, polusi lingkungan, perubahan genetik pada reseptor vitamin D,
psikologis, hormonal, asap rokok, serta salah satu yang terpenting adalah
pajanan pekerjaan. Asma kerja diperkirakan 15%-25% dari seluruh kasus
asma dewasa di seluruh dunia.1,3 Asma kerja diperkirakan oleh CDC
sebanyak 1,9 juta kasus, atau lebih dari 15% dari kasus asma di Amerika.
Kasus asma kerja didapatkan paling banyak pada kelompok umur 45-64
tahun (20,7%).4
Asma kerja makin menjadi masalah dalam penatalaksanaan asma.
Prevalensi asma kerja cenderung meningkat akibat makin banyak
ditemukan bahan-bahan pajanan yang didapatkan dari pekerjaan sebagai
penyebab asma. Selain itu, tuntutan industrialisasi dan konsumerisme
mengakibatkan lingkungan kerja makin tidak sehat. Selain itu, pemahaman
klinisi tentang penatalaksanaan asma kerja juga masih terbatas, sehingga
kasus ini cenderung menjadi sulit untuk dikontrol.
Pengaruh dan dampak psiko-sosioekonomik dari asma kerja juga
menjadi isu tersendiri menyangkut kondisi ini. Pasien asma kerja sering
masih mengalami kualitas hidup yang buruk, walaupun telah
dipindahtugaskan dari tempat yang diperkirakan menyebabkan asmanya.
Hal ini ditambah masalah psikologis yang dialami pasien, seperti depresi
dan ansietas. Dampak ekonomi asma kerja juga tidak ringan. Dampak
ekonomi ini dapat bersifat langsung pada biaya pelayanan kesehatanserta
tidak langsung akibat ketidakmampuan pekerja mempertahankan
produktivitasnya pada perusahaan.
Berbagai organisasi kesehatan di dunia mulai banyak memberi
perhatian pada asma kerja. Banyak konsensus yang diterbitkan untuk
memberi pemahaman dalam mengidentifikasi asma kerja dan memberikan
penanganan yang komprehensif, termasuk menangani lingkungan kerja
pasien. Berikut ini kami sampaikan uraian singkat mengenai asma kerja,
kriteria diagnosis, serta tatalaksananya.
Kriteria Diagnosis
Para klinisi yang mendapatkan kasus kecurigaan asma kerja harus
melakukan penelusuran dan identifikasi kasus ini dengan sangat berhati-
hati. Kesimpulan pemeriksaan yang didapatkan akan sangat mempengaruhi
nasib pekerja bersangkutan. Kaidah-kaidah diagnosis umum dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang ,utlak harus dilakukan. Selain itu,
pengetahuan tentang bahan pajanan umum penyebab asma kerja juga
sangat dibutuhkan oleh klinisi yang menangani kasus ini.8
Dalam mendiagnosis asma kerja secara umum, terdapat tiga
langkah diagnostik utama yang harus dilakukan. Langkah pertama
menentukan diagnosis asma. Langkah kedua dilakukan untuk
mengidentifikasi tempat kerja sebagai penyebab keluhan pernafasan yang
dialami pasien. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi bahan penyebab
asma kerja ini.
Pada langkah pertama dilakukan berbagai pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis asma sesuai kriteria diagnosis standar. Pada
anamnesis digali keluhan-keluhan respirasi spesifik asma yang bersifak
intermiten dan variabel. Pemeriksaan fungsi paru ditekankan untuk
menentukan reversibilitas hambatan aliran udara ekspirasi. Beberapa
pemeriksaan lain seperti FENO atau sputum eosinophilia juga dapat
dilakukan untuk memperkuat diagnosis asma.
Langkah kedua dimulai dengan menemukan hubungan gejala asma
dengan tempat kerja. Keluhan respirasi yang membaik setelah pasien
keluar dari tempat kerja atau saat hari libur merupakan ciri khas asma
Ringkasan
Asma kerja merupakan salah satu masalah utama dalam
tatalaksana asma secara umum. Asma kerja makin meningkat seiring
dengan perkembangan industry di seluruh dunia. Asma kerja dibagi
menjadi occupational asthma dan work-aggravated asthma. Prosedur
diagnostik yang efektif dan cermat diperlukan untuk memberikan
kesimpulan diagnosis asma kerja dan bahan penyebab yang akurat.
Tatalaksana asma kerja dititikberatkan pada pengurangan atau
menghilangkan pajanan agen penyebab. Peranan screening dan surveilans
yang baik pada tempat kerja penting untuk menghindarkan pekerja dari
ancaman asma kerja.
Daftar Pustaka
1. Centers for Disease Control and Prevention, Vital Signs, May 2011
2. World Health Organization. Global surveillance, prevention and
control of chronic respiratory diseases: a comprehensive approach,
2014.
3. Munoz X, Cruz MJ, Bustamante V, et al. Work-Related Asthma:
Diagnosis and Prognosis of Immunological Occupational Asthma
and Work-Exacerbated Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol
2014;24(6):396-405
4. Centers for Disease Control and Prevention. Workrelated Asthma in
22 States. Morbidity and Mortality Weekly Report 2015;64(13):343.
5. Tarlo SM, Malo J-L. An Official ATS Proceedings: Asthma in the
Workplace. Proc Am Thorac Soc 2009; 6: 339-349.
6. Baur X, Sigsgaard T, Asasen TB, et al. Guidelines for the
management of work-related asthma. Eur Respir J 2012; 39: 529–
545
7. Health and Safety Authority of Ireland. Guidelines on Occupational
Asthma.2008
8. Fishwick D, Barber CM, Bradshaw LM, et al. Standards of care for
occupational asthma: an update. Thorax 2012;67:278-280.
Denpasar
Pendahuluan
Patogenis
Ada dua teori berkaitan dengan asma terkait latihan fisik, teori
hiperosmolar dan teori airway rewarming. Teori hiperosmolar
berpendapat bahwa saat latihan fisik terjadi peningkatan ventilasi yang
mengakibatkan membran mukosa bronkus kering karena udara yang
melewati saluran nafas harus dilembabkan dan akibatnya saluran nafas
kehilangan kelembabannya. Hal ini menimbulkan rangsangan hiperosmolar
yang mengaktifkan sel sekitarnya seperti sel mast, sehingga terjadi
bronkokonstriksi. Teori airway rewarming berpendapat bahwa saat latihan
fisik terjadi peningkatan ventilasi udara yang suhunya lebih dingin daripada
suhu tubuh yang menyebabkan vasokonstriksi dari membran mukosa
bronkus. Setelah latihan fisik terjadi vasodilatasi dan pembuluh darah yang
mengalami vasodilatasi terisi oleh darah, membengkak dan mengobstruksi
saluran nafas.2.3
Diagnosis
yang mahal dan relatif kompleks. Tes lain seperti tes inhalasi mannitol
dapat digunakan sebagai gantinya.3
Pengobatan
dari 80% prediksi dan gejala muncul lebih dari 2x/minggu), obat-obatan
kontroler harian harus dimulai dan obat pencegahan sebelum latihan fisik
juga harus diberikan.3,4.5
Ringkasan
Daftar Pustaka
Pendahuluan
Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah
satu masalah kesehatan utama di dunia saat ini. Kedua penyakit obstruktif
di atas memiliki prevalensi yang tinggi dan kecenderungan untuk terus
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, mortalitas dan
morbiditas, serta beban sosio-ekonomik kedua kelainan tersebut juga
tinggi.1
Keluhan dan gejala asma biasanya muncul sejak usia muda,
sementara PPOK mulai terlihat setelah usia empatpuluh-an. Dalam praktek
klinis sehari-hari, kriteria penatalaksanaan asma dan PPOK telah dikenal
luas dan memiliki panduan internasional yang baku.2 Pada litearatur-
literatur terdahulu, asma merupakan diagnosis banding dari PPOK,
demikian pula sebaliknya. Tetapi pada kenyataannya, banyak pasien PPOK
yang mengalami gejala asma atau sebaliknya pada pasien asma usia tua
yang sering tidak menunjukkan hasil pengobatan yang optimal. Keberadaan
kedua jenis kelainan ini (asma dan PPOK) pada satu pasien inilah yang
mencetuskan banyak review dan penelusuran lebih mendalam dari para
ahli di seluruh dunia dalam lima tahun terakhir.
pasien PPOK akan didapatkan infiltrasi sel-sel inflamasi pada saluran nafas
kecil dan jaringan mukus sekretori, serta kerusakan jaringan alveolar. PPOK
biasanya mulai menimbulkan gejala pada pasien emur di atas 40 tahun.
Gejala yang dering dikeluhkan adalah batuk kronik, produksi sputum, serta
sesak nafas dan mengi. Obstruksi jalan nafas yang terjadi pada PPOK
berhubungan dengan kontraksi otot polos, mucus jalan nafas, kerusakan
jaringan alveolar, serta kombinasi dengan hilangnya elastic recoil yang
menyebabkan penutupan jalan nafas. Karakteristik penting lainnya dari
PPOK adalah perjalanan penyakit yang progresif dan keterlibatan asap
rokok, polusi udara, serta pajanan lingkungan dan pekerjaan.8
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) ditandai dengan hambatan
aliran udara persistendengan beberapa karakteristik yang biasanya
berhubungan dengan asma dan karakteristik lain yang berhubungan
dengan PPOK. Secara klinis praktis, ACOS ini didiagnosis bila pasien
menunjukkan karakteristik-karakteristik asma dan PPOK.5
Perjalanan klinis pasien PPOK biasanya dimulai dengan penurunan
minor fungsi paru (FEV1) usia 20-30 tahun-an. Penurunan ini terus terjadi
sejalan dengan pajanan bahan berbahaya dan asap rokok yang dialami
pasien sampai hanya 50% dari fungsi paru normal pada usia 60 tahun-an.
Setelah itu terus terjadi perburukan fungsi paru akibat inflamasi kronik
jalan nafas dan kerusakan arsitektur paru. Pada asma perburukan fungsi
paru terjadi secara gradual dan cenderung reversibel. Pasien asma yang
mengalami perburukan fungsi paru progresif saat usia 50-60 tahun-an
kemungkinan besar mengalami ACOS. Pada kondisi ini sangat sulit
Gamba 1. Perjalanan Klinis Asma, PPOK, serta ACOS dilihat dari perburukan
fungsi paru.8
Patogenesis
Pada penyakit obstruktif paru, terdapat tiga karakteristik klinis
umum, yaitu inflamasi jalan nafas, obstruksi jalan nafas, dan
hiperresponsivitas bronchus. Inflamasi kronik jalan nafas dibagi 2, yaitu
inflamasi eosinofilik pada asma yang diakibatkan oleh CD4, serta inflamasi
netrofilik pada PPOK yang diakibatkan oleh CD8. Pada beberapa populasi
khusus seperti pasien asma perokok, didapatkan peningkatan netrofil jalan
nafas seperti pada PPOK, sehingga lebih resisten terhadap steroid.
Sebaliknya pada PPOK juga dapat terjadi inflamasi eosinofilik yang biasanya
ditandai oleh variasi reversibilitas obstruksi jalan nafas setelah mendapat
terapi steroid.6
Gambar 2. Faktor risiko asma dan PPOK serta pengaruh lingkungan dan
penuaan8
Step 2
Pada langkah kedua ini, dilakukan pengelompokan gejala, tanda, dan
karakteristik klinis pasien apakah mengarah ke asma atau PPOK. Pada
langkah ini dapat digunakan tabel ceklist yang terstandar (Gambar 3).
Setelah dilakukan pengisian ceklist tadi, kemudian dihitung berapa
checkbox yang terisi dari masing-masing kolom asma dan PPOK. Apabila
pada salah satu kolom didapatkan 3 atau lebih checkbox terisi, maka
diagnosis lebih cenderung ke kolom kelainan yang bersangkutan.
Sedangkan bila pada kedua kolom terdapat checkbox yang terisi, diagnosis
ACOS dapat dipertimbangkan pada pasien tersebut.
Gambar 3.
Checkbox
untuk diisi
sesuai
dengan
temuan klinis
pasien.
Step 3
Pemeriksaan spirometri sangat esensial pada asesmen pasien kelainan
jalan nafas kronik. Waktu yang tepat untuk melakukan spirometri idealnya
pada awal diagnosis, sebelum serta setelah initial treatment. Spirometri
pada awal pasien datang dapat menjadi kriteria eksklusi, sehingga pasien
tidak perlu mendapat initial treatment dan bisa menghemat waktu untuk
langsung menjalani pemeriksaan lain sesuai dengan kelainan yang
dideritanya. Sebaliknya bila diagnosis terkonfirmasi, dapat langsung
menerima initial treatment. Karakteristik pengukuran spirometri untuk
ACOS antara lain FEV1/FVC post bronkodilator < 0,7, test reversibilitas
positif (peningkatan FEV1 post bronkodilator >12% atau 400ml
dibandingkan baseline.
Step 4
Pemberian terapi disesuaikan dengan kecenderungan diagnosis yang
didapat. Pada kasus asma diberikan terapi sesuai standar dari GINA.
Sedangkan kasus PPOK diberikan terapi sesuai standar GOLD. Sementara
terapi inisial apabila ACOS teridentifikasi adalah pemberian inhalasi
kortikosteroid (ICS) dengan kombinasi long acting β2 agonist (LABA)
dengan/atau tanpa long acting muscarinic antagonist (LAMA). Terapi untuk
faktor risiko eksaserbasi dan kondisi komorbid secara komprehensif juga
diberikan pada pasien ACOS. Sementara penanganan non farmakologis
seperti aktivitas fisik, stop merokok, rehabilitasi paru, serta vaksinasi juga
tetap diberikan sesuai indikasi.
Step 5
Seperti halnya asma, pasien ACOS sebenarnya dapat ditangani pada
fasilitas kesehatan primer. Beberapa kondisi berikut dapat menjadi
Ringkasan
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) merupakan sindrome
kelainan jalan nafas kronis yang khusus. ACOS memiliki komponen asma
dan PPOK secara bersama. Patogenesis ACOS merupakan gabungan
pathogenesis asma, terutama dengan hiperresponsivitas jalan nafasnya,
dan PPOK dengan air trapping dan progresifitas inflamasinya. Identifikasi
sindrom ini pada kasus asma atau PPOK sangat penting dilakukan untuk
memberikan penanganan yang lebih mengena dan berkaitan dengan faktor
prognostik pasien ini ke depannya.
Daftar Pustaka
1. de Marco R, Pesce G, Marcon A, et al. The Coexistence of Asthma
and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD): Prevalence and
Risk Factors in Young, Middle-aged and Elderly People from the
General Population. PLoS ONE 2013;8(5): e62985
2. Postma DS, van den Berge M. The different faces of the
asthma−COPD overlap syndrome. Eur Respir J 2015; 46: 587–590.
3. Guerra S. Overlap of asthma and chronic obstructive pulmonary
disease. Curr Opin Pulm Med. 2004;11: 7–13.
4. Soriano JB, Davis KJ, Coleman B, et al. The proportional Venn
diagram of obstructive lung disease: two approximations from the
United States and the United Kingdom. Chest 2003;124:474-81.
5. GINA and GOLD joint project. Diagnosis of Diseases of Chronic
Airflow Limitation: Asthma, COPD and Asthma-COPD Overlap
Syndrome (ACOS). 2015.
6. Papaiwannou A, Zarogoulidis P, Porpodis K, et al. Asthma-chronic
obstructive pulmonary disease overlap syndrome (ACOS): current
literature review. J Thorac Dis 2014; 6(S1): S146-S151.
7. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
2015
8. Postma DS, Rabe KF. The Asthma–COPD Overlap Syndrome. N Engl J
Med 2015; 373: 1241-1249.
9. GOLD. Global Strategy for Diagnosis, Management and Prevention
of COPD. 2015
Pendahuluan
Asma adalah merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan
adanya inflamasi kronis saluran napas dengan tanda klins adanya gejala
berupa batuk, sesak napas, dada berat dan mengi yang bervariasi dari
waktu ke waktu dan disertai adanya hambatan aliran udara.1 Asma berat
ditandai dengan gejala yang persisten, kebutuhan obat yang meningkat
dan sering terjadi eksaserbasi. Walaupun kejadian asma berat diprediksi <
10% dari seluruh pasien asma namun pasien ini memiliki morbiditas yang
tinggi dan kebutuhan biaya perawatan yang tinggi. Terapi utama asma
adalah kortikosteroid, beta2 agonis. Terapi ini menekan inflamasi atau
mengurangi penyempitan dengan merelaksasi otot polos saluran napas
tapi tidak mencegah proses perubahan struktur yang kronis dari otot polos
saluran napas pasien asma. Efektivitas obat tersebut tidak sama pada
pasien-pasien dengan asma berat sehingga diperlukan pilihan terapi
lainnya. Akhir-akhir ini pendekatan baru untuk terapi asma berat adalah
bronkial termoplasti.2
Mekanisme kerja
Pada asma otot polos saluran napas merupakan efektor utama dari
bronkokontriksi yang bertanggungjawab terhadap beberapa stimulus
termasuk mediator inflamasi. Otot polos juga dapat merangsang inflamasi
Aspek prosedural
Bronkial termoplasti dilakukan melalui 3 sesi bronkoskopi
dengan interval 2-3 minggu. Sesi pertama dan kedua bronkial termoplasti
dilakukan pada lobus bawah sedangkan sesi ke tiga dilakukan pada kedua
Bila telah selesai satu tindakan elektrode dikuncupkan kembali dan ditarik
5 mm untuk memulai tindakan selanjutnya dan selanjutnya ke proksimal
dan pindah ke percabangan bronkos lainnya. Oleh karena adanya variasi
anatomi saluran napas pada pasien jumlah tindakan yang dilakukan dapat
berbeda dengan kisaran 40-60 tindakan dan bronkial termoplasti dapat
berlangsung sekitar 45-60 menit.2,3,4
Keamanan
Kejadian yang merugikan yang diobservasi selama terapi dan
setelah terapi dapat dilihat dari 4 studi yaitu studi kelayakan pada asma
ringan dan sedang, Studi AIR pada asma sedang dan berat, Studi RISA dan
AIR2.3
Kejadian merugikan pada peride awal tindakan. Kelompok yang
diterapi dengan bronkial termoplasti menunjukan lebih banyak mengalami
gejala khas asma seperti batuk, wesing, sesak dan terbangun di malam hari
dibanding kelompok kontrol dan kadang dijumpai gejala lain seperti
demam beberapa jam setelah terapi. Gejala ini biasanya menghilang dalam
7 hari tapi juga bisa membutuhkan perawatan dirumah sakit pada 3,4%
dari bronkoskopi pada asma sedang dan berat dari studi AIR2 dan 15,6%
dari asma berat pada studi RISA. Penemuan ini menekankan bahwa
pentingnya kontrol asma yang optimal sebelum tindakan dan monitor yang
ketat setelah periode tindakan. Pada studi AIR2 satu pasien mengalami
hemoptisis dari lobus atas kanan 1 bulan setelah sesi terakhir dan
membutuhkan embolisasi arteri bronkial.2,3
Kejadian merugikan setelah satu tahun dan waktu yang lebih lama.
Setelah pemantauan jangka panjang pada 4 studi tersebut diatas tidak ada
bukti terjadi stenosis akibat terapi ataupun bronkiektasis. Tidak satupun
studi ini mendapatkkan kerusakan pada bronkus setelah memantau selama
satu tahun. Satu kasus terjadi abses paru pada 14 bulan pada studi AIR2.
Abses ini diduga oleh karena infeksi sekunder bukan secara langsung akibat
bronkial termoplasti.3,4
Kontraindikasi
Konraindikasi dari bronkial termoplasti adalah adanya alat yang
teranam dalam tubuh, adanya hipersensitif terhadap obat yang digunakan
selama prosedur bronkoskopi dan adanya kondisi komorbid yang berat
yang dapat meningkatkan risiko yang tidak diinginkan.
Pasien dengan riwayat asma mengancam jiwa di keluarkan dari
program penelitian. Pasien yang 3 kali atau lebih dirawat di rumah sakit
dalam satu tahun karena serangan asma atau 4 kali atau lebib dalam satu
tahun mengunakan steroid sistemik. Menggunakan bronkodilator kerja
singkat lebih dar 4 hirup dalam satu hari. Infeksi saluran napas dan
bronkiektasis merupakan kontraindikasi absolut bronkial termoplasti.
Rinosinusitis kronis juga dikontraindikasi oleh karena sulit membedakan
kejadian klinis karena rinosinusitis atau asma. Subyek dengan riwayat
merokok melebihi 10 pack years juga dikeluarkan.2,3
Ringkasan
Bronkial termoplasti merupakan terapi baru untuk pasien asma
berat dengan konsep untuk murunkan massa otot polos saluran napas
dengan tujuan utama mengurangan kontriksi bronkus dan menghilangkan
gejala asma. Penurunan massa otot polos saluran napas dilakukan dengan
memberikan energi panas pada dinding saluran napas sebanyak 3 seri
melalui tindakann bronkoskopi. Energi panas diberikan melalui sistem Alair
yang terdiri dari generator listrik frekuensi radio dan kateter sekali pakai
pada ujungnya terdapat empat elektrode yang dapat dikembangkan. Terapi
ini cukup efektif. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa kelompok
yang mendapat bronkial termoplasti dijumpai adanya peningkatan kualitas
hidup, meningkatkan hari besas gejala asma, menurunkan kejadian
ekserbasi berat. Secara ekonomi tindakan ini relatif masih mahal
mengingat akan peralatan seperti peranngkat bronkoskopi dan kateter
Daftar Pustaka
1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for
Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2015 update).
2. Wahidi MM, Kraf M. Bronchial thermoplasty for severe asthma. Am
J Respir Crit Care Med 2012 ; 185:709-714
3. Dombret MC, Alagha K, Boulet LP, Brillet PY, Joos G, Laviolette3
M, Louis R, Rocha T, Soccal P, Aubiel M,Chanez P. Bronchial
thermoplasty: a new therapeutic option for the treatment of
severe, uncontrolled asthma in adults. Eur Respir Rev 2014; 23:
510–518
4. Laxmanan B, Hogarth D K. Bronchial thermoplasty in asthma:
current perspectives. Journal of Asthma and Allergy 2015:8: 39-49
5. Cox C, Kjarsgaard M, Surette MG, Cox PG, Nair P. A
multidimensional approach to the management of severe asthma:
Inflammometry, molecular microbiology and bronchial
thermoplasty. Can Respir J 2015;22(4):221-224
6. Keglowich LF, Borger P. The Three A’s in Asthma – Airway Smooth
Muscle, Airway Remodeling & Angiogenesis. The Open Respiratory
Medicine Journal 2015; 9: 70-80