Anda di halaman 1dari 88

1

TIM PENYUSUN

1. Penanggung Jawab : dr. S. M. J. Koamesah, MMR, MMPK


2. Ketua : dr. Kresnawati Wahyu Setiono, MCTM
3. Anggota : dr. Rina A. Messakh
dr. Dyah G. R. Kareri, Sp.KFR, M.Si, M.Ed
Prisca D. Pakan, S.Si, M.Stud, Apt.
dr. Herman P. L. Wungouw, Sp.Rad
dr. Oka Wijaya, Sp.P
Dr. Klemens Kolo, M.Pd
4. Editing Dan Layout : dr. Michelle Giovanny Manoeroe

2
KONTRIBUTOR

dr. Oka Wijaya, Sp.P


dr. Fransiska, Sp.THT
dr. Maria Fransiska Itu
dr. Kristina Molo

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
kebaikanNYA sehingga kami dapat menyelesaikan Modul Blok Respirasi
tahun 2017. Modul Blok ini disusun untuk menjadi panduan bagi
mahasiswa fase akademik, selama mengambil Blok Respirasi di semester
4 . Blok Respirasi merupakan Blok kedua di semester 4, yang dilaksanakan
selama 5 minggu. Modul ini, terdiri dari 3 modul yakni, modul Kuliah, modul
tutorial dan modul praktikum. Modul ini disusun berdasakan capaian
pembelajaran (CP) yang terdapat pada Blueprint Blok (mesokurikulum) FK
Undana. Pada modul kuliah, berisi CP pada setiap topik kuliah serta materi
singkat terkait CP perkuliahan. Modul tutorial berisi modul tutorial
pegangan mahasiswa dan modul tutorial pegangan tutor. Pada kedua
modul tutorial ini berisi skenario kasus, CP setiap skenario, langkah-
langkah melakukan tutorial (seven jump), serta lembar penilaian tutorial.
Khusus untuk modul tutorial pegangan tutor, ditambahkan teori singkat
mengenai skenario, sehingga memudahkan tutor dalam memfasilitasi
jalannya tutorial, sehingga diharapkan pada akhir tutorial CP tiap skenario
dapat tercapai. Pada Modul Blok Respirasi, juga memuat modul praktikum
yang berisi capaian pembelajaran topik praktikum dan panduan praktikum
yang akan menjadi panduan bagi mahasiswa saat melakukan praktikum
pada blok Respirasi.

Modul Blok Respirasi Tahun 2017, akan terus dievaluasi oleh Sie
Kurikulum Medical Education Unit, sehingga Tim Penyusun mengharapkan
saran dan kritik untuk perbaikan demi menjaga mutu lulusan FK Undana.
Besar harapan kami agar Modul Blok Respirasi dapat berguna bagi
mahasiswa maupun dosen, demi tercapainya lulusan FK Undana yang
mempunyai kompetensi sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).

Kupang, Juni 2017

Tim Penyusun

4
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................... … i

TIM PENYUSUN ....................................................................................... … ii

KONTRIBUTOR ........................................................................................ … iii

KATA PENGANTAR ................................................................................. … iv

DAFTAR ISI............................................................................................... … v

PENDAHULUAN ....................................................................................... .. 7

A. CAPAIAN PEMBELAJARAN LULUSAN PRODI ................................. .. 7

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN BLOK RESPIRASI ................................ .. 7

MODUL KULIAH ....................................................................................... …9

BAB I Anatomi ........................................................................................... ..10

BAB II Obat Yang Digunakan Pada Saluran Napas ................................ ..15

BAB III Fisiologi ......................................................................................... ..21

BAB IV Histologi ........................................................................................ ..24

BAB V Mikrobiologi ................................................................................... ..27

BAB VI Pulmonologi .................................................................................. ..29

MODUL TUTORIAL .................................................................................. ..47

Skenario 1 Merokok .................................................................................. ..48

Skenario 2 Batuk dan Sesak pada Dewasa ............................................. ..66

Skenario 3 Batuk dan Sesak pada Anak .................................................. ..76

MODUL PRAKTIKUM ............................................................................... ..85

5
PENDAHULUAN

A. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP) LULUSAN PRODI :

Menguasai konsep teori dengan pemikiran logis, kritis, sistematis dan


inovatif, profesionalitasyang luhur, mawas diri dan pengembangan diri,
komunikasi efektif pengelolaan informasi, landasan ilmiahilmu kedokteran,
ketrampilan klinis dan pengelolaan masalah kesehatan serta mampu
menangani permasalahan kesehatan semiringkai kepulauan

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN TAHUN KE-2


Diakhir tahun ke-2 Mahasiswa diharapkan mampu :
1. Menguasai Konsep Teori , berpikir kritis dan logis terkait Ilmu
Endokrin Metabolik, Sistem Muskuloskeletal, Sistem
Neuropsikiatri, Sistem Kardiovaskular, Sistem Respirasi, Sistem
Indera,
2. Mengenali faktor resiko terkait gaya hidup dan prilaku yang
membahayakan individu, keluarga dan masyarakat.
3. Menguasai Konsep terori Ilmu Metodologi Penelitian dan
Biostatistik dan menyusun proposal penelitian
4. Menguasai Ketrampilan Klinik dan mampu melakukan sendiri
dibawah supervisi (level 3) yang berkaitan dengan Endokrin
Metabolik, Muskuloskeletal, Neuropsikiatri, Kardiovaskular,
Respirasi dan Indera

C. CAPAIAN PEMBELAJARAN BLOK RESPIRASI:


1. Mampu menerapkan sikap profesional yang luhur dengan
landasan norma dan etika akademik profesi.
2. Menguasai konsep teori dan penatalaksaaan penyakit sistem
Respirasi mulai dari individu, keluarga dan masyarakat di tingkat
pelayanan primer dan sekunder
a. Mahasiswa mampu menerapkan ilmu biomedik pada penyakit
terkait sistem respirasi.
b. Mahasiswa mampu menguasai etiologi, patogenesis dan
patofisiologi penyakitsistem respirasi

6
c. Mahasiswa mampu menguasai pemeriksaan-pemeriksaan
dan mampu menginterpretasi terkait sistem respirasi
d. Mahasiswa mampu menguasai prosedur penegakan
diagnosis penyakit sistem respirasi
e. Mahasiswa mampu menguasai penatalaksanaan dan
prognosis terkait penyakit sistem respirasi secara holistik dan
komprehensif pada individu, keluarga dan masyarakat di
tingkat pelayanan primer dan sekunder

7
MODUL KULIAH

8
BAB I
ANATOMI

Capaian Pembelajaran Kuliah Anatomi


Mahasiwa mampu menjelaskan struktur anatomi sistem respirasi.

Sistem Respirasi dibagi atas:

- Repirasi externa (alveolus)


- Respirasi interna (jaringan)

Sistem respirasi terdiri dari:

- Cavum nasi
- Pharynx
- Larynx
- Trachea
- Bronchus
- Pulmo

1. Anatomi larynx

Gambar 1Anatomi Glottis

9
2. Trachea:
- Dibentuk oleh cartilago & jaringan ikat
- Tepi caudal cartilago cricoidea (setinggi VC -6) – tepi cranial V
Th- 5
- Td 20 cincin cartilago, bentuk huruf “U”, membuka ke dorsa
- Lumen selalu terbuka
- Sebelah anterior tdp ISTHMUS dan lobus pyramidalis
gld.thyreoidea serta otot-otot infrahyoid
- Sebelah lateral terdapat lobuslateralis gld thyreoidea dan carotid
sheath
- Kelanjutan ke caudaldari Larynx
- Dibentuk oleh cartilage trachealis ,20 buah
- Berbentuk cincin dimanabagian posteriornyaterbuka,
berbatasandgn oesophagusBercabang menjadi
- Bronchus Sinister danBronchus dexter
- Walls contain 16-20“C” shaped rings ofhyaline cartilage
- Posterior wall
o Trachealis muscle
o Connective tissue)
- Mucosa
o Ciliated
o PseudostratifiedEpithelium
- Carina

10
3. Bronchus

- Bercabang menjadi bronchus sinister & bronchus dexter


• Vascularisasi : A. THYREOIDEA
- INFERIOR
• Innervasi : N. VAGUS, N.RECURRENS & TRUNCUS
SYMPHATICUS
a. Bronchus dexter
- Lebih besar,lebih pendek,lebih vertical
- HILUS PULMONALIS setinggi V Th-6
- V.azygos melengkung dicranialnya
- A.pulmonalis mulanya berada di inferior kamudian di ventralnya
b. Bronchus Sinister
- Diameter lebih kecil,lebih panjang
- Di caudal arcus aorta
- Menyilang diventrral
- oesophagus,ductus thoracicus & aorta thoracalis

4. Pleura
- Pleura visceralis
- Pleura parietalis
- Cavum pleura berisi cairan sereus
- Sinus costodiaphragmatica
- Sinus costomediastinalis

11
- Membrana serosa yang membungkus pulmo
PLeura parietalis
- Pleura costalis
- Pleura mediastinalis
- Pleura diaphragmatica

Cupula pleurae
- Peralihan pleura visceralis menjadi pleura mediastinalis berbentuk
ISTHMUS & membatasi radixpulmonis
- Di cranial membatasi hilus pulmonis
- Di caudal membentukLIGAMENTUM PULMONALE
- Dibtk pertemuan pleura costalis & pleura mediastinalis di apex
pulmonis
- 2-3 cm di cranial costa I
- Atap dari cavum pleurae
- Dasar (bag.caudal) regio colli
- Ditutupi oleh mm.scaleni

12
5. Pulmo

Pulmo sendiri terdiri dari:


- APEX PULMONALIS
- BASIS PULMONALIS (=Facies diaphragmatica)
- FACIES MEDIALIS (=Facies mediastinalis)
- FACIES COSTALIS
- Hilus Pulmonalis
- Radix Pulmonalis (Bronchus, a.pulmonalis,v.pulmonalis)
- Pulmo Dexter terdiri 3 Lobus dan 10 segmen
- Pulmo sinister terdiri 2 lobus dan 8 segmen

13
BAB II

OBAT YANG DIGUNAKAN PADA SALURAN NAPAS

Capaian Pembelajaran Kuliah Farmakologi Klinik

Mampu menjelaskan farmakodinamik dan famakokinetik obat sistem


respirasi

A. Antitusif
Antitusif adalah obaat yang secara spesifik menghambat atau
menekan batuk.
1. Dextromethorphan
Obat ini berkerja dengan meningkatakan ambang rangsang refleks
batuk secara sentral. Berbeda dengan codein, zat ini jarang
menimbulkan kantuk dan gangguan saluran cerna.
I Terapi simtomatik untuk batuk kering atau non
(indikasi) produktif
KI asma, batuk produktif, gangguan fungsi hati,
(kontraindikasi) hipersensitif pada Dextromethorphan
P Kehamilan dan menyusui, data keamanan pada
(perhatian) anak kurang lengkap
ES Mengantuk, mual, pusing, konstipasi, psikosis
(efek samping) (hiperaktif dan halusinasi) pada dosis besar,
depresi pernapasan pada dosis besar.
D Dewasa : 3-4x10-30 mg/hari. Dosis maksimal
(dosis) :120mg/hari
anak : 1 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis terbagi.
S Tablet 15 mg
(sediaan) Syrup 10 mg/5ml

2. Noscapine
Noscapin memiliki efek sebagai antitusif. Zat ini tidak menyebabkan
habituasi dan aditif. Noscapine juga merupakan pelepas histamin
yang poten sehingga pada dosis besar dapat menyebabkan
bronkokontriksi dan hipotensi sementara
I Terapi simptomatik untuk batuk tidak produktif
KI Hipersensitif terhadap noscapine, hamil/berencana
hamil. Tidak dapat diberikan pada pasien yang
mengalami gagal napas atau pasien dengan asma
akut
P Herhatian pada pasien dengan riwayat asma
ES pusing, gangguan pencernaan, eksitasi, bingung,
dan depresi napas dapat terjadi pada dosis
berlebihan.
14
IO (interaksi Noscapine tidak bileh diberikan bersamaan dengan
obat) alkohol atau obat depresan SSP
D Dewasa : 4x25-50 mg perhari
10-15 tahun : 4x25 mg perhari
7-9 tahun : 3x25 mg sehari
S Kapsul 25 mg. Kapsul 50 mg : Longatin
drops 10 mg/ml : Mercotin

3. Codein phospate
Codein phospate merupakan antitusif golongan opioid yang bekerja
sentral meningkatkan ambang rangsang refleks batuk. Obat ini
dapat menimbulkan adiksi.
I Terapi simptomatik untuk batuk kering atau batuk
dengan nyeri
KI Batuk berdahak, penyakit hepar, gangguan ventilasi.
Hipersensitivas, depresi napas, riwayat penggunaan
MAO inhibitor dalam 14 hari terakhir, menderita atau
dicurigai terdapat obstruksi gastroinstestinal, iles
paralitik
P Hati-hati pada pasien anak, asma, gangguan fungsi
hati dan ginjal, riwayat penyalagunaan obat,
menyusui.
ES Konstipasi, depresi pernapasan pada pasien yang
sensitif atau dosis besar.
D Dosis codein sebagai antitusif :
dewasa : 10-20 mg tiap 4-6 jam maksimal 120 mg/hari
jarang diberikan sebagai obat batuk pada anak-anak
Anak :
6-12 tahun : 5-10 mg atau 0,5-1,5 mg/kgBB tiap 4-6
jam. Maksimal 60mg/hari.2-6 tahun : 0,5-1
mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 4-6 jam. Maks
30 mg/hari.
S Tablet 10 mg, tablet 15 mg, tablet 20 mg

B. Ekspektoran
Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak
dari saluran napas. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi
mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang sekresi
saluran napas lewat nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dan
mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini
adalah :

15
1. Ammonium Chloride dan Glyceryl Guaiacolate.
Ammonium Chloride/Ammonuim Klorida
amomonuim klorida jarang digunakan sendiri sebagai ekspetoran, tetapi
biasanya dalam bentuk campuran dengan ekspetoran lain atau antitusif.
Ammonium klorida dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan
harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati,
ginjal, dan paru-paru.
Dosis ammonium klorida sebagai ekspetoran untuk orang dewasa adalah
300 mg (5ml) tiap 2-4 jam.
Ammonium klorida tersedia dalam bentuk kombinasi dengan obat lainnya.

2. Glyceryl Guaiacolate
Obat ini memiliki aktivitas sebagai ekspektoran dengan
meningkatkan volume dan mengurangi kekentalan sputum yang
terdapat di trakea dan bronkus. Obat ini membuat batuk menjadi
produktif dan memudahhkan pengeluaran sputum.
I Sebagai ekspektoran
KI Hipersensitivitas
P Hamil, menyusui
ES Pusing, mengantuk, sakit kepala, kulit kemerahan, mual,
muntah, nyeri perut

D dewasa : 2-4 x 200-400 mg sehari


S Tablet 100 mg : Glyceryl Guaiacolate

C. Mukolitik
Mukolitk adalah obat yang dapat mengencerkan secret saluran napas
dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida
dari sputum.
1. Bromhexine
I Mukolitik untuk meredakan batuk berdahak
KI Hipersensitivitas
P Tukak lambung, kehamilan, menyusui, penghentian
pengobtan jika terjadi lesi kulit atau mukosa
ES Hipersensitivas, syok dan reaksi anafilaktik,
bronkospasme, mual, muntah, diare, nyeri perut bagian
atas, ruam, angioedema, urtikaria, pruritus.
IO Pemberian bersama antibiotik dapat meningkatkan kadar
antibiotik dalam jaringan
D Dewasa dan anak-anak >10 tahun : 1 tablet atau 10 Ml
sirup 3 kali sehari,
anak 5-10 tahun : ½ tablet atau 5 ml sirup 2 kali sehari.
anak 2-5 tahun : ½ tablet atau 5 ml sirup 2 kali sehari
S Tablet 8 mg, syrup 4 mg/5 ml, ampul 4 mg/2 ml
16
2. Ambroxol
I Sebagai sekretolitk pada gangguan saluran napas akut
dan kronik khususnya pada eksaserbasi bronkitis kronis
dan bronkitis asmatik dan asma bronchial
KI Hipersensitif terhadap ambroxol
P hati-hati pada kehamilan dan menyusui, gangguan ginjal.
ES Efek samping ringan pada saluran cerna, reaksi alergi
yang ditemukan : reaksi pada kulit, pembengkakan
wajah, dispnea, demam.
IO Pemberian bersama antibiotik (Amoxicillin, cefuroxime,
erythomycin, doxycycline) dapat meningkatkan kadar
antbiotik dalam paru
D Dewasa dan anak diatas 12 tahun : 2-3 x 30 mg/hari
dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 1,2-1,6
mg/kgBB/hari
S Tablet/kaplet 30 mg, syrup 15mg/5ml, syrup 30 mg/5 ml

3. Erdosteine
I Mukolitik pada infeksi saluran napas akut dan kronik
KI Hipersensitivitas terhadap erdosteine, pasien sirosis hati
dan kekurangan enzim crytathionine sintetase,
fenilketonuria, pasien gagal ginjal
P Hati-hati pada ibu hamil, menyusui, diabetes mellitus
D Sediaan kapsul : dewasa : 2-3 x kapsul sehari
sediaan sirup : anak : BB 15-19 kg : 2x175 mg perhari,
BB 20-30 kg : 3x175 mg sehari
dewasa dan anak dengan BB > 30 kg : 2x350 mg sehari
S Kapsul 300 mg, sirup kering 175mg/5ml

4. Acetylcysteine
I Terapi hipersekresi mukus kental dan tebal pada saluran
pernapasan
KI hipersensitif terhadap Acetylcysteine
P Hati-hati pada pasien yang sulit mengeluarkan sekter,
penderita asma bronkial, berbahaya untuk pasien asma
bronkial akut
ES Pada penggunaan sistemik menimbulkan reaksi
hipersensitivitas seperti urtikaria dan bronkospasme
(jarang terjadi). Psoriasis, mual, muntah, diare stomatitis,
pusing, tinitus.
D Dewasa : 3x1 kapsul sehari
S Kapsul 200 mg, sirup 100 mg/ 5ml, Acetylcysteine juga
tersedia dalam bentuk kombinasi denan obat lain

17
D. Dekongestan
Dekongestan nasal mengandung simpatomimetik, oleh karena itu
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan diabetes melitus,
hipertensi, hipertiroidisme, rentan terhadap terjadinya glaukoma sudut
sempit, hipertrofi prostat, gangguan hari hati dan ginjla, penyakit jantung
iskemik dan harus dihindari pada pasien yang mendapat terapi
penghambat MAO.
1. Ephedrine HCL
I Asma ringan, bronkospasme akut indopatik, obstruksi
saluran napas reversibel.
KI Hipersensitif terhadap efedrin, hipertensi, aritmia,
glaukoma sudut tertutup, psikoneurosis.
P Hati-hati terhadap hipertiroidisme, DM, penyakit jantung
iskemik, hipertensi, gangguan ginal, lansia, dapat
menyebabkan retensi akut pada hipertrofi prostat,
interaksi dengan penghambat MAO
ES Takikardia, ansietas, ketegangan, insomnia sering
terjadi, juga tremor, aritmia, mulut kering, dan rasa
dingin di ekstremitas. Tetes hidung menyebabkan iritasi
setempat, mual, sakit kepala. Penggunaan jangka
panjang menimbulkan efek kardiofaskular dan terjadi
toleransi.
IO Bersama dengan penghambat MAO menyebabkan
respon hipertensi akut.
D Dekongestan nasal : dosis oral
anak >2-6 tahun : 2-3 mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis
terbagi
anak 7-11 tahun : 6,25-12,5 mg setiap 4 jam, jangan
lebih dari 75 mg/hari
dewasa dan anak > 12 tahun : 12,5-25 mg setiap 3-4
jam, tidak lebih dari 100 mg/hari.
S Tablet 25 mg

2. Pseudoephedrine HCL
I Untuk meringankan gejala bersin dan hidung tersumbat
karena pilek
KI Hipersensivitas, hipertensi berat, mendapat anti
depresan tipe MAO inhibitor , neonatus.
P Menderita hipertensi atau punya potensi hpertensi atau
stroke, seperti pada penderita dengan BB berlebihan
atau lasia, menyusui.
ES Susah tidur, palpitasi, pusing, mual, muntah, hipertensi.
IO Penggunaan bersama antidepresan MOAI dapat
mengakibatkan krisis hipertensi.
D Dosis dewasa : 4x60 mg/hari

18
anak > 12 tahun 2x30 mg sehari
anak 6-12 tahun : 3x15 mg sehari
anak 2-5 tahun : 3x7,5 mg sehari.
dosis untuk sediaan tetes : Anak 2-5 tahun 3x0,8 ml
sehari.
S Tablet 30 mg, syrup 15mg/5 ml

Daftar Pustaka

1. Pramudianto A, Evaria. Mims Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi


16. Jakarta : BIP. 2016.
2. Ikatan Dokter Indonesia. Informasi Obat Dokter Indonesia. Jakarta
BP FKUI. 2012
3. Team Medical Mini Notes. Basic Pharmacology and Drug Notes.
Edisi 2017.

19
BAB III
FISIOLOGI RESPIRASI

Capaian Pembelajaran Kuliah Fisiologi


Mampu menjelaskan fisiologi sistem respirasi

Fisiologi Sistem Respirasi


• UTAMA :
Pertukaran gas
- O2 masuk
- CO2 keluar
• SEKUNDER
– Regulasi pH
– Pengendalian suhu
– Fungsi bicara

A. Fungsi hidung:

1. Menghangatkan
Penyesuaian suhu udara luar ke suhu dalam paru dengan adanya
struktur conchae dan septum
2. Melembabkan
Penyesuaian Kelembaban Udara Dari Rendah Ke 98 %
3. Filter
1-3 Merupakan Fungsi Air Conditioning
4. Kekebalan
Kekebalan terhadap masuknya baksil yang ikut masuk bersama
udara.
5. Indera penghidu

B. Fungsi Laring:

Jalan Napas

 FARING : Nasofaring, Orofaring, Laringofaring


Pertemuan Jalur Udara Dan Makanan

 LARING
- Mempetahankan pembukaan jalan nafas
- Epiglotis mencegah makanan masuk ke dalam larynx
- Terdapat pita suara, yang berfungsi :
a. Mengejan
b. Batuk
c. Pengaman Gas Racun
d. Bicara

20
C. Percabangan Tracheobronchial:
• Zona Konduktif
– Trakea sampai ke bronchiolus terminal
– Bersilia  membersihkan debris
– Memiliki cincin tulang rawan Saluran napas (death
space/ruang rugi)
– Kartilago  terbukanya sistem
– Otot polos  kontrol diameter saluran
• Zona respirasi : unit respiratorik
– Bronchioles Respiratorius s/d alveoli
– Tempat pertukaran gas

D. Alveoli

• Alveoli dapat digambarkan sebagai segerombol kantung udara


berdinding tipis, yang dapat mengembang dan mengempis.
• Dindingnya terdiri dari 1 lapis sel epitel alveol tipe I berbentuk
gepeng, di antara sel epitel tersebut terdapat sel alveol tipe II
(pnemosit granuler) yang mensekresi surfaktan.
• Surfaktan (surfactant = surface-active substance) adl kompleks
fosfolipoprotein yang membantu pengembangan jaringan paru.

I. Inspirasi
Otot utama:
1. Diafragma n phrenicus (Cervical 3,4,5)
2. m. intercotalis externus  n intercosta
Otot tambahan
 Jika inspirasi dalam
1. m. Sternocleido mastoideus  mengangkat sternum ke atas
2. m. Scalenus  mengangkat costa 1,2

II. Ekspirasi
• Diafragma relaksasi
• Otot-otot di abdomen : m rectus abdominis mempercepat recoil
diafragma
• M. Intercostalis internus

Volume Pulmonal
• Volume Tidal
– vol udara masuk dan keluar pada saat pernapasan normal(±
500 ml)
• IRV : Inspiratory reserve volume
– Perbedaan volume inspirasi istirahat dan inspirasi
maksimum(± 3000 ml)
• ERV : Expiratory reserve volume

21
– Perbedaan volume ekspirasi istirahat dan ekspirasi
maksimum(± 1100 ml)
• Residual volume
– vol paru setelah ekspirasi maksimum(± 1200 ml)
– RV ini ptg k/ di alv akan tetap ada udara, shg kdr O2 & CO2
di drh tidak berubah dg cepat setiap kali bernapas

Kapasitas Pulmonal
• Inspiratory capacity
– VT + IRV
• Functional residual capacity
– ERV + RV
• Vital capacity
– IRV + TV + ERV
• Kapasitas Paru Total
– IRV + ERV + TV + RV

22
BAB IV

HISTOLOGI SISTEM RESPIRASI

Capaian Kuliah Histologi


Mampu menjelaskan histologi sistem respirasi

Histologi Sistem respirasi, terbagi atas :

A. KONDUKSI :

1. Saluran Udara :

- hidung

- nasofaring

- larynx

- trakea

- bronchus

- bronhiolus

2. Pemeliharaan udara :

- Pembersihan : rambut (vibrisea), silia

- Pelembaban : kel. seromukous

- Penghangatan : pemb. darah

B. RESPIRASI: Alveoli

C. PENCIUMAN : Epitel olfaktorius

D. PENGELUARAN SUARA : Pita suara

A. Konduksi
Bagian Konduksi merupakan saluran :
 tidak terputus-putus
 sebagian bersifat kaku
 dibentuk oleh gabungan beberapa epitel
- ep blps gepeng bertanduk
- ep blps gepeng tidak bertanduk
- ep olfaktorius
- ep bertingkat toraks bersilia (respirasi)
- ep selapis torak

23
- ep selapis kubis
 otot polos
 jaringan ikat : serat elastis
 kartilago (tulang rawan) : hialin / elastis

1. HIDUNG
Terdiri : Vestibulum
Fossa Nasalis
Vestibulum : rongga hidung yg letaknya paling depan & melebar
Nares (cuping hidung) : morfologik mirip kulit mengandung :
- kel sebasea/keringat
- lapisan tanduk
- rambut = vibrissea

Histologi Cavum Nasi:

a. Epitel Olfaktorius :
Mikroskopik : epitel bertingkat dgn 4 jenis sel, yaitu
1. Sel olfaktorius
- kemoreseptor penciuman
- neuron bipoler
dendrit  bulbus olfaktorius
akson  fila olfaktorius
- inti sel lebih rendah dari inti sel penyokong
- apeks melebar : 6 – 8 silia yg berfungsi sbg
reseptor
2. Sel Penyokong = sel sustentakuler
- sel berbentuk torak, apeks lebar, basal sel sempit

24
- sel warna coklat oleh karena pigmen
3. Sel Basal
- sel kecil, bentuk sferis/konus
- letak pada basal epitel
- dapat berdiferensiasi menjadi sel olfak & sel
penyokong
4. Sel Sikat = Brush cell
- Jarang dijumpai, berbentuk torak dgn mikrovili
panjang

b. Lamina Propria Fossa Nasalis, terdapat :


- Jar ikat fibroelastis
- Plex venosus = Badan gelembung :
 tiap 20-30mnt diisi darah
 fungsi : menyempitkan fossa nasalis
- Kel Bowmann :
 tubuloalveoler
 fungsi: membersihkan bgn apikal epitel
- Melekat pada periosteum / perikondrium

25
BAB V

MIKROBIOLOGI

Capaian Pembelajaran Kuliah Mikrobiologi

Mampu menjelaskan morfologi penyebab infeksi pada sistem respirasi

Penyebab Infeksi Sisterm Respirasi

UPPER Respiratory Tract Disease

PENYAKIT VIRUS BAKTERI DAN JAMUR


RHINITIS Rhinovirus, Adenovirus, Jarang
Coronavirus, Parainfluenza
virus, Influenza virus,
Respiratory Syncytial virus,
beberapa Coxsackie A virus
FARINGITIS Adenovirus, Parainfluenza Streptococcus pyogenes,
ATAU virus, Influenza virus, Corynebacterium
TONSILITIS Rhinovirus, Coxsackie A & B diphteriae, Neisseria
virus, Ebstein-Barr virus, gonorrhoae
Herpes simplex virus

STOMATITIS Herpes simplex virus, Candida species,


beberapa Coxsackie A Fusobacterium spesies,
virus Spirochetes
ABSES Tidak ada Streptococcus grup A
PERITONSILAR (paling sering), Anaerob
ATAU mulut seperti
RETROFARINGEAL Fusobacterium sp,
Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae
(pada bayi

Middle Respiratory Tract Disease


EPIGLOTITIS Jarang Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae,
Corynebacterium
diphtheriae, Neisseria
meningitidis
LARINGITIS Rhinovirus, Adenovirus, Jarang
dan CROUP Coronavirus,
Parainfluenza virus,
Influenza virus,
Respiratory Syncytial

26
virus, Echovirus

LARINGO- Sama seperti Laringitis Haemophilus influenzae,


TRAKEITIS dan dan Croup Staphylococcus aureus
LARINGO-
TRAKEO-
BRONKITIS
BRONKITIS Parainfluenza virus, Bordetella pertusis, H.
Influenza virus, Influenzae, Mycoplasma
Respiratory Syncytial pneumoniae, Chlamydia
virus, Adenovirus, pneumoniae
Measles

Lower Respiratory Tract Disease


Pneumoni Influenza, Streptococcus Candida Mycoplasma
a akut Parainfluenz pneumoniae, albicans, pneumoniae,
a, Staphylococcusaure Aspergillu Pneumocystit
Adenovirus, us, H. influenza, s sp. is carinii,
Respiratory Enterobacteriaceae, Chlamydia
syncytial Legionella, Anaerob trachomatis
virus (bayi) campuran, (bayi),
Ps. aeroginosa Chlamydia
pneumoniae

Pneumonia Jarang Mycobacterium Candida Paragonimud


kronik tuberculosis, albicans, westermani
Mycobacteria lainnya, Aspergillus
Nocardia sp.
Abses Tidak Anaerob campuran, Aspergillus Entamoeba
Paru ada Actinomycetes, species histolytica
Nocardia,
S. aureus,
Enterobacteriaceae,
P. aeroginosa

PENYAKIT VIRUS BAKTERI FUNGI LAINNYA


Empyema Tidak Anaerob campuran,
ada S. aureus,
Streptococcus pneumoniae,
Enterobacteriaceae,
P. aeruginosa

27
BAB VI
PULMONOLOGI

Capaian Pembelajaran Kuliah Pulmonologi :

1. mampu menjelaskan etiologi, gejala klinis, diagnosis, terapi, dan


prognosis asma bronkial, status asmatikus
2. mampu menjelaskan etiologi, gejala klinis, diagnosis, terapi, dan
prognosis
3. mampu menjelaskan etiologi, gejala klinis, diagnosis, terapi, dan
prognosis tuberkulosis, tuberkulosis pada HIV
4. mampu menjelaskan etiologi, gejala klinis, diagnosis, terapi, dan
prognosis Penumonia (CAP, HAP, VAP)
5. mampu menjelaskan etiologi, gejala klinis, diagnosis, terapi, dan
prognosis PPOK, emfisema
6. mampu menjelaskan etiologi, gejala klinis, diagnosis, terapi, dan
prognosis pneumothorax, edema paru
7. mampu menjelaskan gejala klinis, diagnosis, dan merujuk pasien
dengan kanker paru
8. mampu menjelaskan gejala klinis, diagnosis, melakukan tindakan awal,
dan merujuk pasien dengan efusi pleura dan efusi pleura masif

6.1 ASMA BRONKIAL


Tingkat kemampuan : 4A
DefInisi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita
asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma
intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada
berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja
dan asma yang dicetuskan aspirin.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi
akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus
diikuti reaksi asma tipe lambat.

28
Anamnesis
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka menigkatkan kemungkinan
pasien memiliki Asma, yaitu :
1. Terdapat lebih dari satu gejala ( mengi, sesak, dada terasa berat)
khususnya pada dewasa muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari
3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen,
perubahan cuaca, tertawa atau iritan seperti asap kendaraan, rokok
atau bau yang sangat tajam

29
Faktor Risiko Asma

Hasil Pemeriksaan Fisis dan Penunjang Sederhana


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal. Abnormalitas yang
paling sering ditemukan adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan
auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar saat ekspirasi paksa. Mengi
dapat juga tidak terddengan selama eksaserbasi asma yang berat karena
penurunan aliran napas yang dikenal dengan “silent chest”.
Pemeriksaan Penunjang
1. Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan Peak Flowmeter
2. Pemeriksaan darah (eosinofil dalam darah)

30
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE sebelum
dan sesudah pemberian inhalasi salbutamol.

Klasifikasi Asma Bronkial

Penilaian Derajat Kontrol Asma

31
* Semua eksaserbasi terjadi dalam pengobatan yang adekuat
** Berdasarkan definisi, eksaserbasi di minggu apapun membuat asma
tidak terkontrol
*** Tanpa pemberian bronkodilator Fungsi paru tidak untuk anak 5 tahun
atau lebih muda

Penatalaksanaan Komprehensif
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi serta mengendalikan
faktor pencetusnya.
2. Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian pengobatan jangka
panjang serta menetapkan pengobatan pada serangan akut sesuai
tabel di bawah ini.

Penatalaksanaan asma berdasarkan beratnya keluhan

Konseling dan Edukasi


1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai
seluk beluk penyakit, sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah
membaik atau memburuk), jenis dan mekanisme kerja obat-obatan
dan mengetahui kapan harus meminta pertolongan dokter.
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk menilai dan monitor berat
asma secara berkala (asthma control test/ ACT)
3. Pola hidup sehat.

32
4. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
a) Menghindari setiap pencetus.
b) Menggunakan bronkodilator/steroid inhalasi sebelum melakukan
exercise untuk mencegah exercise induced asthma.

Kriteria rujukan
1. Bila sering terjadi eksaserbasi.
2. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
3. Asma dengan komplikasi.

Persiapan dalam melakukan rujukan bagi pasien asma, yaitu:


1. Terdapat oksigen.
2. Pemberian steroid sistemik injeksi atau inhalasi disamping
pemberian bronkodilator kerja cepat inhalasi.
3. Pasien harus didampingi oleh dokter/tenaga kesehatan terlatih
selama perjalanan menuju ke pelayanan sekunder.

Daftar Pustaka

1. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.


2014.(Global Initiatives for Asthma, 2011)
2. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.
2006.(Global Initiatives for Asthma, 2006)
3. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pedoman diagnosis
danpenatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2004.(Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2004)
4. Panduan Praktik Klinik Bagi dokter di fasilitas Layanan Primer.
2014.

6.2 STATUS ASMATIKUS


Tingkat kemampuan : 3B
Definisi
Asma akut berat (serangan asma atau asma eksaserbasi) adalah
episode peruburukan gejala yang progresif dari sesak, batuk, mengi, atau
rasa berat di dada, atau kombinasi gejala-gejala tersebut.
Anamnesis
1. Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah
digunakan, respons pengobatan, waktu mula terjadinya dan
penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko
tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/ kematian yaitu:
1. Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ ventilasi
mekanis
2. Riwayat perawatan di RS atau kunjungan ke darurat gawat dalam
satu tahun terakhir
3. Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral
4. Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau masalah psikososial
termasuk penggunaan sedasi

33
5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana


Pada fasilitas layanan kesehatan sederhana dengan kemampuan
sumber daya manusia terbatas, dapat hanya menekankan kepada :
1. Posisi penderita
2. Cara bicara
3. Frekuensi napas
4. Penggunaan otot-otot bantu napas
5. Nadi
6. Tekanan darah (pulsus paradoksus)
7. Ada tidak mengi

Pemeriksaan Penunjang
1. Pada serangan asma, APE sebaiknya diperiksa sebelum
pengobatan, tanpa menunda pemberian pengobatan. Pemeriksaan
ini dilakukan jika alat tersedia.
2. Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry dapat dilakukan bila alat
tersedia
3. Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan jika fasilitas tersedia.

Penegakan Diagnostik
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Tabel serangan asma akut

34
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan

35
Pengobatan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan

Rencana tindak lanjut


Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/
puskesmas). tergantung kepada fasiliti yang tersedia :
1. Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam
2. Obstruksi jalan napas yang menetap (APE< 30% nilai terbaik/
prediksi)
3. Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ ICU
sebelumnya
4. Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat serangan)
5. Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang
membutuhkan pertolongan saat itu
6. Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
7. Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
8. Masalah/ kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah sakit
Kriteria Pulang

36
Kriteria pulang
Pertimbangan untuk memulangkan pada penderita di layanan primer:
1. Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan berkurang, frekuensi
napas kembali
normal, mengi menghilang, nadi dan tekanan darah kembali
normal, pasien
dapat bernapas tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat
berbicara lebih lancar
atau berjalan, atau kesadaran membaik.
2. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60% nilai terbaik/ prediksi
dengan
pengawasan ketat di komunitas.
3. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60% nilai terbaik/ prediksi dan
pasien dapat
menggunakan obat inhalasi atau oral dengan patuh.
4. Penderita dirawat inap
Kriteria Rujukan
Tidak respons dengan pengobatan, ditandai dengan:
a. Tidak terjadi perbaikan klinis.
b. Bila APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/
prediksi; atau APE pasca tatalaksana < 40% nilai terbaik/
prediksi.
c. Serangan akut yang mengancam jiwa
d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik), atau masalah dalam
diagnosis banding, atau komplikasi atau penyakit penyerta
(komorbid); seperti sinusitis, poli hidung, aspergilosis (ABPA),
rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks gastroesofagus dan
PPOK.
e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan
standar, seperti uji kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru
lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih (kardiopulmonary
exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.
Konseling dan edukasi
Edukasi sebaiknya diberikan dalam waktu khusus di ruang tertentu,
dengan alat peraga yang lengkap seperti gambar pohon bronkus, phantom
rongga toraks dengan saluran napas dan paru, gambar potongan
melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan sebagainya. Hal yang
demikian mungkin diberikan di klinik konseling asma.
Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat
darurat, klinik, klub asma; dengan bahan edukasi terutama mengenai cara
dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek
samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma.
1. Meningkatkan kebugaran fisis
2. Berhenti merokok
3. Menghindari pencetus di lingkungan sehari-hari

37
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis
danpenatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004
2. Global Initiative For Asthma. Global strategy for asthma
management andprevention. GINA. 2012.
3. Panduan Praktik Klinik Bagi dokter di fasilitas Layanan Primer.
2014.

6.3 TUBERKULOSIS
Tingkat kemampuan : 4A
Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22
negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar
5,8%. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu
TB Resisten Obat (MultiDrug Resistance/ MDR). Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 µm dan
panjang 1 – 4 µm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari
lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterialsulfolipids
yang berperan dalam virulensi.

Patogenensis
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban.
Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan
menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama
kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini
akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman
menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sito-plasma makrofag.
Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk sarang tuberkulosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek priiner atau sarang (fokus Ghon).
Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk

38
melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang.
Bila masuk ke arteri pulmolalis maka teradi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer limfangitis lokal + limfadenitis regional : kompleks primer (Ranke).
Semua proses ini memakan Kompleks primer ini selanjutnya:
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak
terjadi.
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi
pneumonia yang luasnya > 5 mm dan + l0% di antaranya dapat
terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
 Berkomplikasi dan menyebar secara : a). Perkontinuitatum, yakni
menyebarke sekitanya, b). Secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus
secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya, secara hematogen,
ke organ tubuh lainnya.

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(tuberkulosis post primer :
TB pasca primer : TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.
Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi,
alkohol, penvakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis
pascaprimer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas
paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah
ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil.
Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma
yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan
banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman,
virulensi-nya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:
 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
 Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi
keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai
granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya
dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek
membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan

39
terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltasi jaringan fibroblas dalam jumlah
besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat oleh ensim yang diproduksi oleh makrofag, dan
proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan
lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada
imunodefisiensi dan usia lanjut.
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas
dapat: a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila
isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB
milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung
dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjuhnya mengikuti
perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura; b.
memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah
kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi
mycetoma; c. bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat
juga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti
bintang disebut stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1). Sarang
yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi; 2).
Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap
dan sempuma; 3). Sarang yang berada antara aktif dan sembuh' Sarang
bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan
terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang
sempurna juga.

Anamnesis
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala
umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai:
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, keringat malam dan mudah lelah).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
awal permulaann perkembangan penyakit umumnya sulit sekali
menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar suara napas
bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex paru, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

40
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA)
atau kultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-
sewaktu.
3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Pada TB,
umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan
dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas
membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai
yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis
(penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).

Diagnosis Pasti TB
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak).

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC 2014)
Standar Diagnosis
1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus
waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB
dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik
yang tepat pada mereka dengan gejala TB.
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥
2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
3. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu
mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen
apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk
pemeriksaan Xpert MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang
kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah spesimen pagi.
Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah
sebaiknya melakukan pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji
diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferongamma release
assay sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari
organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan
histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji
mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan
penegakan diagnosis yang cepat.
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika
apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien denga gejala

41
klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan
anti tuberkulosis setelah pemeriksaan kultur.
Penatalaksanaan Komprehensif
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan:
1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
pasien.
2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
3. Mencegah kekambuhan TB.
4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan
monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai,
diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient
centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung
(DOT= directly observedtreatment) oleh seorang pengawas
menelan obat.
7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator
penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada
akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan
efek samping harus tercatat dan tersimpan.

42
Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC

Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB)

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan


1. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid,
pirazinamid dan etambutol.
 Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri
dari 4 jenis obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan
etambutol), diminum setiap hari dan diawasi secara
langsung untuk menjamin kepatuhan minum obat dan
mencegah terjadinya kekebalan obat.
 Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat,
daya penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
 Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi
BTA negatif (konversi) setelah menyelesaikan
pengobatan tahap awal. Setelah terjadi konversi
pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut.
2. Tahap lanjutan menggunakan paduan obat rifampisin dan isoniazid
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat
(rifampisin dan isoniazid), namun dalam jangka waktu
yg lebih lama (minimal 4 bulan).
 Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu
(obat program) atau tiap hari (obat non program).
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

43
Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program
NasionalPengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Artinya pengobatan tahap awal selama
2 bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan
diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan
seluruhnya 6 bulan.
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Diberikan pada TB paru
pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus
berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama
3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin,
dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari.
Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu.
Jadi lama pengobatan 8 bulan.

Konseling dan Edukasi


1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang
penyakit tuberkulosis
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan
Kriteria Rujukan
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan
perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu
2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan)
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid
5. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR.

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai
dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis
menjadi kurang baik. Kriteria hasil pengobatan:
1. Sembuh: pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya
negatif pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap: pasien yang telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan
apusan dahak ulang pada foto toraks AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya.
3. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena
sebab apapun.
4. Putus berobat (default): pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-
turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5. Gagal: Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau selama
pengobatan.

44
6. Pindah (transfer out): pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan
pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta.
2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi
DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia. Jakarta. 2012.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
4. Panduan Praktik Klinik Bagi dokter di fasilitas Layanan Primer.
2014.
5. Sodowo AW, Setiohadi B, Alwi I, Smadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Imu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna, 2009.

45
MODUL TUTORIAL

46
SKENARIO I
MEROKOK

CAPAIAN PEMBELAJARAN SKENARIO I


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan tentang konsep-konsep dasar hubungan merokok dengan
penyakit sistem respirasi serta bagaimana penanganan pasien baik
berkaitan dengan penyakit serta usaha penghentian merokok.

Capaian Pembelajaran :
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat:
1. Menjelaskan hubungan merokok dan penyakit TBC
- Merokok merupakan faktor resiko TBC
- Mekanisme merokok dan terjadinya penyakit TBC
2. Menjelaskan hubungan merokok dan penyakit PPOK
- Merokok merupakan faktor resiko PPOK
- Mekanisme merokok dan terjadinya penyakit PPOK
3. Menjelaskan hubungan merokok dan penyakit asma bronkiale
- Merokok merupakan faktor resiko penyakit asma bronkiale
- Mekanisme merokok dan terjadinya penyakit asma bronkiale
4. Menjelaskan teknik konseling untuk mendorong pasien
menghentikan kebiasaan merokok pada masing-masing penyakit.

KASUS

Seorang laki-laki 56 th datang ke rumah sakit karena batuk hebat dan sesak napas. Ia
memiliki riwayat sesak berulang sejak 3 tahun lalu dan semakin memburuk terutama
selama 3 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan tanda vital: suhu 37 oC, denyut nadi adalah
104x/mnt, dan pernafasan 34x/menit yang tampak terengah-engah pada pemeriksaan
dada. Dokter melakukan tes spirometry dan hasilnya menunjukkan PEF 50% dari nilai
prediksi. Tes oksimetri 84%. Dia adalah seorang perokok berat yang mulai merokok
sejak ia berusia 15 tahun. Dia biasanya merokok 2 bungkus rokok per hari, tapi sejak
gejala penyakitnya makin berat ia hanya merokok 1 bungkus per hari.

TUGAS UNTUK MAHASISWA


1. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa harus
mendiskusikan kasus tersebut pada suatu kelompok diskusi yang
dipimpin oleh seorang ketua dan seorang notulen yang dipilih oleh
mahasiswa.
2. Melakukan aktivitas pembelajaran individual dengan mencari bahan
informasi yang mendukung diskusi
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri ( tanpa tutor).
4. Berkonsultasi pada nara sumber yang ahli pada permasalahan yang

47
dimaksud untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam.
5. Mengikuti kuliah khusus(kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang
belum jelas.

PROSES PEMECAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok, mahasiswa diharapkan memecahkan
problem yang terdapat dalam skenario ini yaitu dengan mengikuti 7
langkah penyelesaian masalah yaitu :
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam scenario diatas dan
tentukan kata/kalimat kunci scenario diatas.
2. Identifikasi problem dasar scenario diatas, dengan membuat
beberapa pertanyaan penting
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan diatas.
4. Klassifikasi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas
5. tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai mahasiswa atas
kasus diatas.
6. Cari informasi tambahan tentang kasus diatas diluar kelompok tatap
muka.
7. Laporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi yang
ditemukan

Keterangan :
- Langkah 1-5 dilakukan dalam diskusi pertama bersama tutor.
- Langkah 6 dilakukan dengan belajar mandiri,dapat dilakukan
berkelompok atau sendiri-sendiri, yang kemudian didiskusikan
ulang bersama kelompok (tanpa kehadiran tutor).
- Langkah tujuh dilakukan dalam diskusi dengan tutor.

JADWAL KEGIATAN

1. Pertemuan pertama dalam kelas besar dengan tatap muka satu arah
dan tanya jawab.
Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara menyelesaikan modul,
dan membagi kelompok diskusi. Pada pertemuan pertama buku modul
dibagikan.
2. Pertemuan kedua : diskusi mandiri. Tujuan :
* Memilih ketua dan sekretaris kelompok,
* Brain-storming untuk proses 1 – 3,
* Membagi tugas
3. Pertemuan ketiga: diskusi tutorial dipimpin oleh mahasiswa yang terpilih
menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor. Tujuan:
untuk melaporkan hasil diskusi mandiri dan menyelesaikan proses
sampai langkah 5.
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan: untuk mencari
informasi baru yang diperlukan,

48
5. Pertemuan keempat: adalah diskusi tutorial. Tujuan: untuk melaporkan
hasil diskusi lalu dan mensintese informasi yang baru ditemukan. Bila
masih diperlukan informasi baru dilanjutkan lagi seperti No. 2 dan 3.
6. Pertemuan terakhir: dilakukan dalam kelas besar dengan bentuk
diskusi panel untuk melaporkan hasil diskusi masing-masing kelompok
dan menanyakan hal-hal yang belum terjawab pada ahlinya (temu
pakar).

STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Diskusi kelompok difasilitasi oleh tutor
2. Diskusi kelompok tanpa tutor
3. Konsultasi pakar
4. Kuliah khusus dalam kelas
5. Aktivitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan
menggunakan buku ajar, majallah, slide, tape atau video dan internet
6. Melakukan kegiatan praktikum : anatomi, fisiologi, histology,
Patologi Anatomi, Mikrobiologi, Patologi Klinik dan Gizi

PETUNJUK UNTUK TUTOR

Kata / Kalimat Kunci


1. Laki-laki 56 th dengan keluhan batuk hebat dan sesak nafas
2. Memiliki riwayat sesak berulang
3. Tanda vital S : 37oC N : 104 x/menit P : 4 x/menit
4. PEF (Peak Expiratory Flow) 50% dari nilai prediksi
5. Tes oksimetri 84%
6. Riwayat merokok sejak usia 15 th
7. Biasanya merokok 2 bungkus sehari dan sejak sakit merokok 1
bungkus/hari

Beberapa pertanyaan:
1. Bagaimana epidemiologi penyakit TBC, PPOK dan Asma Khususnya di
Indonesia?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya infeksi pernafasan pada perokok?
3. Bagaimana proses imunologi yang terjadi pada TBC, PPOK dan Asma
dikaitkan dengan merokok?
4. Bagaimana mendiagnosa penyakit akibat merokok?
5. Bagaimana dampak merokok pada pasien TBC, PPOK dan Asma?
6. Bagaimana hubungan merokok pasif dengan penyakit TBC, PPOK dan
Asma?
7. Bagaiman teknik konseling yang baik untuk menghentikan merokok
pada pasien?

49
TEORI
Tobacco and Tuberculosis
Tobacco Curriculum Module

1. TB and Tobacco are two massive related health problems in Indonesia.


2. Indonesia is a country with the third largest TB burden in the world after
India and China.
3. TB is number one killer among infectious diseases and number three on
the list of 10 leading killer diseases in Indonesia (after cardiovascular
and acute respiratory disease).
4. In Indonesia, nearly 300 people die of TB every day, and more than
100,000 people die per year.
5. Most TB patients are still in the productive ages (15-55 years).
6. The risk of getting TB is 1.8 times higher for light smokers compared to
non-smokers and 3.7 times higher for heavy smokers compared to non-
smokers.
7. The risk of dying from TB is 4.5 times higher for smokers compared to
non-smokers.
8. The risk of TB relapse is 3 times higher for those who smoked following
short course of TB treatment.

Tuberculosis in Indonesia
Indonesia has the third highest number of tuberculosis (TB) cases in the
world after India and China, with 580.000 cases reported in 2005. Even
though the prevalence of TB has decreased significantly in the last three
decades, it remains the third leading cause of death (10%) in Indonesia.
The estimated morbidity and mortality rate for TB in Indonesia was 262 and
41 cases per 100.000 populations in 2005. The Indonesia government is
committed to reducing the burden of TB and in 1994 implemented a DOTS
TB management protocol. At present, 98% of Indonesian population is
living in areas where health services have adopted DOTS. The National
Tuberculosis Programs conducts various activities aiming at TB prevention
and control in Indonesia, however, smoking cessation is not yet integrated
in the TB control program in Indonesia.

Smoking: a risk factor for TB


There is now sufficient evidence to link smoking to TB infection, TB
diseases and TB mortality. The meta-analysis conducted by Bates et al.
(2007) showed no evidence of heterogeneity among studies conducted to
assess the association between smoking and TB infection and TB
diseases. There were more heterogeneities among studies to assess
smoking and TB mortality, mainly due to different methods to derive cause-
of-death data in developing countries (death certificates which is more
unreliable and herbal autopsy). With a higher risk of smokers to get TB
infection (defined as a minimum tuberculin skin test indurations diameter of
10 mm), the proportion of smokers who are infected and are at risk of TB

50
disease will increase. If smoking increases the risk of TB diseases in those
already infected, this will increase the proportion of smokers at risk of TB
mortality. The independent RR for TB disease can be estimated by dividing
the study derived RR for TB disease (2.3-2.7) by the RR for TB infection
(1.7). This gives an estimated RR for development of TB disease in an
infected population of 1.4 to 1.6 Ex-patients are more than 3 times more
likely to relapse if they smoke following short course TB treatment.

Smoking and Respiratory Infection – the mechanism


Although the exact pathogenesis mechanism is unclear, cigarette smoking
is suggested to increase the risk of systemic infection through its effect on
airway structural changes and immunologic systems.
Cigarette smoking can lead to structural changes in the respiratory tract,
which include peribronchiolar inflammation and fibrosis, increased mucosal
pemeability, changes in pathogen adherence, impairment of the mucociliary
clearance, and disruption of the respiratory epithelium. Toxic agents in
cigarette smoke, including acrolein, acetaldehyde, formaldehyde, free
radicals produced from chemical reactions within the cigarette smoke and
nitric oxide, may contribute to the observed structural alterations in the
airway epithelial cells.
Cigarette smoking alters cellular and humoral immune system functions,
through yet unclear pathogenesis mechanism. These alterations include a
decreased level of circulating immunoglobulins, a depression of antibody
responses to certain antigens, a decrease in CD4+ lymphocyte counts, an
increase in CD8+ lymphocyte counts, depresssed phagocyte activity, and
decreased release of proinflammatory cytokines.

Smoking among TB patients in Indonesia


A cross-sectional survey was done for 239 male TB patients to document
smoking patterns among tuberculosis (TB) patients before diagnosis and
following treatment, to identify smoking-related messages given by health
proffesionals and DOTS provers and to identify predictors of smoking
relapse. Subjects were male TB patients who completed DOTS-based
treatment during 2005-2006 in Yogyakarta Province, Indonesia. Female
patients were exluded, as very few smoke.
Almost two thirds of ever smokers smoked daily for 6 months before their
illness. Smokers consumed on average 12 cigarettes per day. When
diagnosed with TB, the majority of daily smokers quit smoking and only
11% remained daily smokers while on TB treatment. Over one third
relapsed at 6 months pst-treatment. Predictors for smoking relapse incude:
having perception that any level of smoking is harmless for ex-TB patients,
being young, and started smoking first cigarette earlier.

Smoking cesssation for TB patients


The cross-sectional study in Indonesia revealed that 30% of TB patients
were never asked about their smoking behavior, nor where they advised to

51
quit smoking. Those who were reported being asked, were mainly asked by
doctor, and very few of them reported being asked by nurses. Involving all
health professionals in smoking cessation is essential, and can strengthen
cessation message given by each health professionals. Almost all
cessation advices were given when patients were diagnosed, and noted in
passing. Only 40% of patients received disease specific messages which
commonly describe the importance of smoking cessation to enable the
lungs to heal and become strong. The other 60% patients were given
general advice for not smoking. (Ng et al., 2008).
Health professionals should be encouraged to provide smoking cessation
messages to TB patients during each clinical encounters, as the illnes can
be a teachable moment for TB patients. Patient counseling needs to both
increase patient’s awareness of the harmfull effect of tobacco for general
health and for the well being of TB patients in particular. (McBride et al.,
2003).

Engaging DOTS provider in smoking cessation


Integration of tobacco control into TB control program seems feasible and
essential. However, questions about the cost effectiveness of this initiative
are yet to be explored (Siddiqi and Lee, 2008). DOTS provider can be an
important people to support cessation among TB patients during treatment
and post-treatment. Encounters with DOTS provider, who are mainly family
member, are more common than with health professionals, particularly after
treatment cycle has been concluded. DOTS provider need to be trained,
and provided with appropriate skills to support cessation among TB and ex-
TB patients.

Integration of smoking cessation into the well-established TB control


program will potentially leverage the success of both TB and cessation
treatment. Any cessation counseling effort provided to the TB patients need
to be recorded into the TB program monitoring, and these will enable
assessment of the effectiveness of this intervention in the future. (Slama et
al., 2007)

Passive smoking and tuberculosis


Even though more researches are needed, there are some patterns of
dose-response relationships between exposure intensity to passive
smoking and the risk of TB infection. The meta-analysis conducted by Lin
et al. (2007) showed that the risk of getting pulmonary TB was 3.3 times
(95% OR =1.93 – 5.72) than that of non-smoker. The risk of getting TB from
second-hand smoking exposure was higher among children than adults,
with case control study in Thailand reported ORs as high as 9.3, and
another case-control study in Spain reported an OR of 5.4 (95% CI = 2.44 –
11.9).

52
The meta-analysis also confirms a dose-response relationship between
passive smoking and the risk of TB infection. The probability of TB infection
increases with the number of daily cigarettes smoked by family member, as
well as with the proximity of contact with smoking household member. The
adjusted OR for those who were in close contact was 9.3 (95% CI = 3.14 –
27.6).

Smoking – TB clinical manifestation, conversion and relapses


A study in Hong Kong found out that smokers have less possibility to
experience extra-pulmonary TB. Most of the TB patients who smoked have
pulmonary TB, with a more severe clinical and radiological appearance
(more cough, dyspnea, cavitary lesions), and are more likely to have
positive sputum-smears.
Smoking is however proven not related to sputum conversion two months
after treatment, however, it prolongs the sputum conversion time among
smokers than among non-smokers.
A study in South India which follow-up cured TB patients up to 18 months
identified that TB relapse was associated with irregular treatment, drug-
resistance and smoking. The relapse rate among smoker is higher
compared to non-smoker who complies with the treatment.

Immunopathogenesis of smoking and Tuberculosis


Mycobacterium tuberculosis can be found not only in healed primary lesion
in lungs, but also in histopathologically normal lungs. Haematogeneus
dissemination occurs during 2-3 weeks following TB infection, and the TB
bacteria can disseminated to any part of the lungs. Mycobacterium
tuberculosis can decrease host defense by preventing phagosome
acidification and lysosome fusion. The dormant state of Mycobacterium
tuberculosis in macrophages is maintained by sequences of metabolism
chains involving nitric oxide/NO, inducible nitric oxide synthase/iNOS and
TNF-α activates iNOS which produces NO from the imino nitrogen of
arginine. NO competes with oxygen for the regulation of a 48-gene regulon
in Mycobacterium tuberculosis, which leads into the dormant state.
This equilibrium will be influenced by: (i) neutralization of TNF-α by
therapeutic antibodies used in chronic inflammatory diseases; or (ii) down-
regulation of TNF-α by nicotine binding (as agonist) to α-7 subunit of the
nicotinic acetylcholine receptors on alveolar macrophages. This will lead to
the development of progressive disease from latent Mycobacterium
tuberculosis infection.

53
Living Mycobacterium tuberculosis captured in macrophages prevents
phagosome acidification and lysosomes fusion, thus it decreases the
phagocytosis ability of macrophages. The bacilli can acquire iron from host
endosomal holotransferin, and can utilize the host lipid trafficking for the
delivery of additional iron by mycobactin. Tobacco contains iron load which
can reach up to 1.1µg in each 1 pack of cigarettes. Exact mechanism on
how the increase of iron load by smoking can influence the risk of
tuberculosis is currently lacking.

Tobacco and COPD


Tobacco Curriculum Module

1. An estimated 210 million people have COPD worldwide. (1)


2. The primary cause of COPD is tobacco smoke (through tobacco use or
second-hand smoke). (1)
3. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) was diagnosed in the
case of 46.4% of active smokers and 28.0% of passive smokers. (2)
4. More than 3 million people died of COPD in 2005, which is equal to 5%
of all deaths globally that year. (1)
5. Almost 90% of COPD deaths occur in low- and middle-income
countries. (1)
6. According to the World Health Organization (WHO), 75% of deaths from
COPD that occur in developed countries are directly related to smoking
tobacco.
7. Total deaths from COPD are projected to increase by more than 30% in
the next 10 years unless urgent action is taken to reduce underlying risk
factors, especially tobacco use. (1)
8. Higher cumulative lifetime home and work exposure were associated
with a greater risk of COPD. (3)

54
9. Members of families in which there is more than one active smoker
more often suffer from COPD, smoke ten cigarettes per 24 hours more,
and smoke ten years longer than members of families in which there is
only one active smoker. (2)
10. The overall prognosis for a patient with COPD depends on the severity
of lung disease and whether the patient continues to smoke. (4)
11. The earlier the quitting, the better the improvement of FEV1. (5)

Global burden of COPD


The Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) defines
chronic obstructive pulmonary diseases as: “COPD is characterized by
airflow limitation that is not fully reversible. The airflow limitation is in most
cases both progressive and associated with an abnormal inflammatory
response of the lungs to noxious particles or gasses.” Patients with COPD
will have a lower than normal ratio of FEV1 (forced expiratory volume in 1
second) to FVC (forced vital capacity) or a lower vital capacity (usually less
than 0.7). (Calverley and Walker, 2003).
Reliable data on the burden of COPD in the population are hardly available,
with no-existence of any epidemiological data n COPD in African and
Eastern Mediterranean regions. A meta-analysis conducted by Halbert et
al. (2006) pooled data from 37 studies conducted from 1990 to 2004
showed that pooled prevalence of COPD was 7.6%, with chronic bronchitis
alone 6.4% and emphysema alone 1.8%. The prevalence of COPD ranged
widely across countries included in the study, pointed out the important of
identifying factors contributing to these differences. (Halbert et al., 2006)
In 2002, the Global Burden of Disease (GBD) study estimated COPD as
the 5th leading causes of death, after ischemic heart disease,
cerebrovascular disease, lower respiratory infection and HIV/AIDS. In 2030,
COPD is projected to cause 7.8% of global death, hence as the 4 th leading
cause of death after ischemic heart disease, cerebrovascular disease, and
HIV/AIDS. The GBD also projected an increase of deaths attributable to
tobacco from 5.4 million in 2005 to 8.3 million in 2030, mainly from low
income countries. (Mathers and Loncar, 2006).

Smoking: a risk factor for COPD


Smoking causes airway inflammation and induces hyper-production of
mucus. Chronic production of mucus can lead to chronic bronchitis. Chronic
bronchitis is defined as chronic mucus production from airways for at least
3 months in each of 2 successive years without any apparent other causes
of chronic cough. For those who smokes and with persistent symptoms,
chronic bronchitis can lead to accelerate decrease of FEV1. Chronic
bronchitis is a strong predictor for the development of chronic obstructive
pulmonary disease (COPD). The incidence of COPD was 5.7% among
heavy smoker, compared to 2.8% in general population. Progressive
decrease of FEV1 is associated with higher COPD hospitalization and
death. (Pelkonen, 2008)

55
Smoking and Respiratory Infection-the mechanism
Although the exact pathogenesis mechanism is unclear, cigarette smoking
is suggested to increase the risk of systemic infection through is effect on
airway structural changes and immunologic systems.
Cigarette smoking can lead to structural changes in the respiratory tract,
which include peribronchiolar inflammation and fibrosis, increased mucosal
permeability, changes in pathogen adherence, impirment of the
mucociliarry clearance, and disruption of the respiratory epithelium. Toxic
agents in cigarette smoke, including acrolein, acetaldehyde, formaldehyde,
free radicals produced from chemical reactions within the cigarette smoke,
and nitrit oxide, may contribute to the observed structural alterations in the
airway epithelial cells.
Cigarette smoking alters cellular and humoral immune system functions,
through yet unclear pathogenesis mechanism. These alterations include a
decreased level of circulating immunoglobulin’s, a depression of antibody
responses to certain antigens, a decrease in CD4+ lymphocyte counts, an
increase in CD8+ lymphocyte counts, depressed phagocyte activity, and
decreased release of proinflammatory cytokines.

Passive Smoking and COPD


Yin et al. (2007) used the baseline data from the Guangzhou Biobank
Cohort Study and analyzed the relation between passive smoking and
COPD and respiratory symptoms in adult Chinese population. Their study
revealed that COPD prevalence among never smokers was significantly
greater with high-level exposure to passive smoking at home (OR 1.60,
95% CI 1.23-2.10) and at work (1.50, 1.14-1.97) than those who had low-
level exposure.
Over 60% adults in China are never smokers, but are exposed to high
levels of passive smoking. Yin et al. observed that more than half of never
smokers reported exposure to passive smoking in their workplace and at
home, with 28% reporting high levels of total adult exposure (more than 5
years with 40 high exposure per week).
Of all deaths in China, around 11.6% among never smokers are attributable
to COPD. By assuming that current mortality and passive smoking
exposure patterns continue, of the 240 million people aged over 50 years
alive today in China, high exposure to passive smoking would result in
about 1.9 million (95% CI 0.9 – 2.8 million) excess deaths from COPD
among never smokers.

Smoking Cessation for COPD patients


Sundbald et al. (2008) introduced intensive smoking cessation program for
COPD patients, and observed high abstinence rate 3 years after the
intervention compared to the control group (38% vs. 10%). Patients in the
study participated in 11 days stay at pulmonary rehabilitation clinic with
physical exercises and cessation program, educational program given by

56
different health professionals, and followed by weekly telephone call at
home after discharged from the clinic. A second visit was scheduled 2-3
months after initial visit, and patients stay for 2-4 days. During the rest of
the year, patients received two phone calls per month. The whole program
lasted for 1 year. Patients in the intervention group has better abstinence
rate and less day spent on sick-leave from work. (Sundbald et al., 2008)
A systematic literature review conducted by Godtfredsen et al. (2008) tried
to assess the COPD-morbidity and mortality following smoking cessation.
About 48 researches were reviewed, and a concrete conclusion cannot be
obtained due to different methodological problems, poor data quality and
limited interpretation of the study results. However, in general, all studies
showed beneficial effect of smoking cessation to COPD morbidity and
mortality. Following cessation, the progress of lung-function decline is
halted, and hence survival improves. Smoking cessation decrease the
incidence of COPD and hospital admission with a COPD exacerbation. The
beneficial effects vary depend on cumulative tobacco exposure and
duration of smoking cessation. (Godtfredsen et al., 2008)

Pathology of COPD
Inhaled toxic agents will trigger inate and adaptive inflammatory immune
response which is the basis of COPD development. The mechanism is not
well-understood yet. Irritant from cigarette smoke can cause cellular stress
or tissue damage. Matzinger proposed “danger hypothesis” in which he
argued that it is the cellular stress or tissue damage resulting from infection
that can trigger immune system, not the infection by itself.
Infiltration of these inflammatory cells influences tissue repair and
remodeling process leading to high proliferative activity of the epithelial
cells, and both mucous and squamous cell metaplasia. Two mechanisms
that lead to the narrowing of airway: (i) occlusion of airway by inflammatory
exudates; and (ii) thickening of airways wall due to tissue repair.
Emphysematous destruction of respiratory bronchioles decreases the
elastic recoil pressure, leading to residual air during forced expiration and
leads to airflow limitation.

Immunological Aspect of COPD


Cigarette smoke can trigger an innate immune response among smokers,
and the mechanisms are not well-understood yet. Irritant from cigarette
smoke can cause cellular stress or tissue damage. Matzinger proposed
“danger hypothesis” in which he argued that it is the cellular stress or tissue
damage resulting from infection that can trigger immune system, not the
infection by itself.
A chain reaction of immunological responses determines the severity of
COPD, as determined by the GOLD criteria. There are three steps in the
mechanism leading to severe COPD:
1. Step 1 (initial response to cigarette smoke) – this typically happens
among healthy smoker. Toxic substances and free radical can injure

57
lung epithelial tissues, producing necrotic tissues which can lead to
activation of nuclear factor κB (NF-κB) and production of mediators of
inflammation. The alveolar macrophages and neutrophils will be
activated by the mediators, and can secrete proteolytic enzymes which
can damage lung tissue.
2. Step 2 (T-cell activation and proliferation) – this stage typically leads to
GOLD stage 1 or stage 2. Stimulation by toll-like receptors (TLRs) on
dendrite cells at local lymphatic organ will lead to “the expression of
CD80-CD86 and cytokines, which favors T cell antigen presentation
and proliferation into effector CD4+ type 1 helper (Th1) T cells and
cytolytic CD8+ T cells. Interleukin-6, secreted by the dendritic cells,
favors the production of effector T cells by overcoming the signals from
regulatory T (Treg) cells. Upon activation, effector T cells express
tissue-specific chemokine receptors.”
3. Step 3 (adaptive immune response) – upon full responses have
developed, disease will progress to the most severe stage (GOLD stage
3 and 4). Following T-cell proliferation, an adaptive autoimmune
response will develop, with CD4+ type 1 helper (Th1) T cells, cytolytic
CD8+ T cells, and IgG-producing B cells. This immune inflammation will
lead to cellular necrosis, apoptosis, immune and complement
deposition, tissue injury with airway remodeling and emphysema, and
the disease progressivity worsens by additional antigenic material.

Smoking, chronic bronchitis and COPD mortality


Smoking can independently cause chronic bronchitis, chronic obstructive
pulmonary diseases, decreasing pulmonary function and mortality. 40% of
smoker will develop chronic bronchitis, and 25% of them will experience
COPD. Smoking has been identified as preventable cause of chronic
bronchitis and COPD.
Chronic bronchitis is defined as chronic mucus production from airways for
at least 3 months in each of 2 successive year without other established
causes causes of chronic cough. Smoking is an established risk factor for
chronic bronchitis, through airway inflammation and hyper production of
mucus. Symptoms of chronic bronchitis appear earlier in smokers than non-
smokers (55 vs. 60 years old), and the incidence of chronic bronchitis
among smokers double that of non-smoker. Chronic bronchitis leads to
accelerated decline in FEV1 among smokers and those with persistent
symptoms. Chronic obstruction of airway can lead to chronic obstructive
pulmonary diseases.
Hospitalization and mortality related to COPD are more common among
COPD’s patients with GOLD stage 3 or 4 COPD, being older, female and of
black race. Patients with rapid decline FEV1 have 40% higher chance
(hazard ratio of 1.4, 95% CI = 1.2-1.7) to die from COPD than those without
rapid decline, and the effect is strongest among patients with restrictive
lung function. Patients with rapid decline FEV1 also have 50% higher
chance to be hospitalized.

58
TOBACCO & ASTHMA
Global Burden of Adult Asthma
The Global Burden of Asthma report published by the Global Initiative for
Asthma (GINA) compiled information from two large international studies on
asthma: the International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) and the European Community Respiratory Health Survey
(ERCHS). Despite its limitation due to survey methodology, the report
provides a good quick glance on the global burden of asthma, which are
scarcely available.
The report shows a large variation in global prevalence of current asthma
symptoms in children and adult, asthma mortality, case fatality rate, and
access to essential drug. Data on these indicators are mainly lacking in
many African countries. Moreover, variations are also observed among
centers within countries. A high prevalence of clinical asthma (>10%) was
reported in North America, Brazil, Peru the UK and Australia. Information
on asthma case-fatality rate are mainly lacking in many African and Asian
countries, but a high case fatality rate of > 10 deaths per 100.000
population was reported in China (36.7 deaths per 100.000 population),
Russia (28.6), Uzbekistan (27.2), Albania (20.8), South Africa (18.5),
Singapore (16.1), Romania (14.7), Mexico (14.5), Malta (11.6), and
Colombia (10.1).

Global Burden of Children Asthma


The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) is a
cross-sectional survey on the prevalence and severity of asthma symptoms
conducted on 390.000 children aged 6-7 years in 61 countries and 800.000
children aged 13-14 years old in 97 countries during 2000-2003. The
prevalence of children who were current wheeze in the last 12 months were
11.5% in children aged 6-7 years and 14.1% in children aged 13-14 years.
The prevalence of children who ever had asthma attack were 9.4% in
children aged 6-7% years and 12.6% in children aged 13-14 years. The
prevalence of symptoms of severe asthma was 4.9% and 6.9% in children
aged 6-7 years and 13-14 years, respectively.
There are a lot of variability in the prevalence of asthma among children
aged 6-7 years globally, ranging from 3.4% in Africa to 29.2% in Oceania.
The prevalent of current wheeze ranged from 6.8% in India to 21.7% in
Oceania. The burden of current wheeze is higher in higher income
countries than in low-middle income countries, however, the severe
episode of wheeze in the last 12 months was more prevalent in low-middle
income countries. The prevalence of severe asthma ranged from 3.2% in
European countries to 9.1% in Africa.
Impact of Active Smoking on Asthmatic Patients
Smoking can impact asthma in different pathways, including:
1. Cigarette smoking induces airway inflammation, both bronchial and
peripheral airways. The T-lymphocytes (mainly CD8z+cells and

59
macrophages) in bronchial wall and neutrophil within bronchial
secretions increase. Peripheral airways are also infiltrated with
mononuclear cells and macrophages.
2. Cigarette smoking influences the production of cytokines and
mediators. The IL-8 level increases in asthmatic smokers, and this is
positively associated with doses of smoking and number of neutrophils,
and negatively associated with FEV1. The IL-18 level, which plays a
regulatory role in asthma, decreases among smokers, and this might
lead to defect in inhibiting Th2-lymphocyte response. Exhaled NO
(eNO) is reduced by cigarette smoke through inhibition of inducible NO
synthase.
3. In asthmatic smoker, the longitudinal sub mucosal elastic fiber network
in airway increases, and this can cause changes in mechanical
properties of the airway fall.
4. Smoking alters inflammatory cell response, shown by suppression of
the elevated circulating blood eosinophil counts.

Smoking and Quality of Life in Children with Asthma


Austin et al. (2005) explored the association between deprivation and
smoking with the prevalence of asthma, wheeze, and quality of life among
children aged 13-14 years participated in the International Study of Asthma
and Allergies in Childhood (ISAAC). The study found that active smoking
increased the probability of current wheeze (OR=2.9, 95% CI=1.62-2.32),
but not the reported asthma. Active smoking also increased the chance of
doctor visit (OR=2.1, 95% CI=1.4-3.0) and visit to the emergency clinic
(OR=1.5, 95% CI=1.1-2.1) in the last 12 months.
The study revealed that 12.6% of children participated in the study had
missed school in the last 12 months because of asthma or wheeze.
Exposure to passive smoking among children increases the risk of school
absence due to asthma or wheeze with OR=1.7 (95% CI=1.4-2.6) when
both parents smoke, independent of the severity of wheeze and treatment
taken. Asthmatic children who smoked had higher possibility of interference
with physical education (OR=1.4, 95% CI=1.01-1.90).

Smoking, Cessation and Asthma Treatment


Smoking among asthmatic patient can influence the efficacy and
therapeutic effects of asthma treatment. Current smoking is associated with
impaired responses to inhaled or oral corticosteroid treatment for asthmatic
patients. In COPD patients, current smoking also decreases the beneficial
changes in FEV1 observed following prednisolone treatment. Evidences on
the effect of smoking to corticosteroid’s treatment responsiveness are
available for those with moderately heavy smoking pack history of over 10
years. Evidences are still lacking for smokers with history of smoking in
lower intensity. Smoking can also double the clearance of theophylline,
thus decrease their half-life and treatment effect in asthmatic patients.

60
Smoking cessation should be an integrated part of management of
asthmatic patients. Studies have shown that asthma symptoms
experienced by former smoker are similar to those of non-smoker. The
effect of smoking on asthmatic patients and their treatment are reversible.
The high clearance rate of theophylline can decrease by 35% following one
week smoking cessation. Cessation can also reverse the corticosteroid
resistance, shown by improvement of peak expiratory flow following
cessation.

Mechanism of Steroid Resistance in Asthma Patients


Several mechanisms have been proposed to explain corticosteroid
resistance in asthma patients:
1. Increasing mucosal permeability and bronchial secretion in asthmatic
patients may change corticosteroid pharmacokinetics.
2. Reduce density of b2-adrenergic receptors on lymphocytes, decrease
ligand binding to b2-adrenergic receptors and impair the formation of
cyclic adenosine monophosphate among chronic smokers.
3. Smoking can lead to increased airway neutrophil or CD8+ lymphocyte
numbers and reduced airway eosinophil numbers, which may later
impair the responsiveness of corticosteroid.
4. Smoking leads to increase production of pro-inflammatory cytokines (IL-
4, IL-8, TNF-a), and decreased production of IL-10 by T-lymphocytes
with leads to corticosteroid insensitivity.
5. Smoking leads to increase production of pro-inflammatory cytokines
leads to overexpression of GR-β and reduced expression of GR-α,
which lead to poor cell response corticosteroid.
6. Overexpression of pro-inflammatory transcription factor activation (NF-
κB, activator protein-1, and signal transduction-activated factor).
7. Smoking leads to reduced histone deacetylase activity which is needed
for maximal suppression of cytokine induction. Smokers also have
increased p38 mitogen-activated protein kinase activity.

Impact of Passive Smoking on Asthmatic Patients


Exposure to environmental tobacco smoke increases the chance of
developing asthma and progression to severe asthmatic attack. The casual
link between exposure to ETS and asthma has not been well-studied.
Maternal smoking has been studied as risk factor for having lower
respiratory function (lower value of tidal expiratory flow as a proportion of
total expiratory time) and developing wheezing and asthma in the first 5
years of live. Grand maternal smoking during the mother’s fetal period also
increased asthma risk in her grandchildren (OR 2.1, 95% CI 1.4-3.2).
Different studies have confirmed the association between ETS and
incidence of asthma:
 A meta-analysis on 38 studies assessing the association between
passive smoking and asthma showed that the risk of ever, current, and

61
incidence asthma associated with ETS was 1.48 (95%CI = 1.32-1.65),
1.25 (1.21-1.30) and 1.21 (1.03-1.36), respectively.
 The National Children’s Health Survey in the US conducted among
102.000 youth aged 0-17 years old also showed a significant
association between household smoking and increase in risk of asthma
among children, which is independent of outdoor air quality and socio-
economic level.

Clinical Approach for Asthmatic Patient Who Smokes


Addressing smoking behavior is the first step in clinical management of
asthma patient. Doctor should ask and assess patient’s smoking behavior,
and should promote smoking cessation to established smoker. Smoking
has been studied as a potential risk factor contributing to steroid resistance
in asthma patient.
For asthma patient who cannot quit smoking, alternative therapies to low-
dose inhaled corticosteroid should be considered, and these included:
1. Leukotriene receptor antagonist (LRTA)
2. Theophylline
3. High dose inhaled corticosteroid up to 1600µg per day
4. Combination of inhaled corticosteroid or long-acting β2-antagonist
or theophylline
a. Long-acting β2-antagonist can suppress tobacco-induced
macrophage activation and improve airway clearance.
b. Theophylline prevents suppression of the histone deacetylase
inflammatory gene which plays important role in tobacco-
induced corticosteroid resistance.

Smoking and Health Care Utilization among Asthma Patients


Analysis on 1946 people with persistent asthma who participated in the
National Health and Wellness Survey (NHWS) in Germany, France and the
UK during 2001-2003 showed that more patients with persistent asthma
who smoked experienced night-time symptoms than patients who did not
smoke (67% vs. 58&, p < 0.015). Persistent asthma patients who smoked
were also more likely to visit emergency department because of asthma
exacerbation (16% vs. 10%, p=0.007) and more likely to go for
hospitalization (18% vs. 11%, p=0.004). The associated OR for asthma
hospitalization was 1.56 (95% CI = 1.05-1.32)

Smoking and Quality of Life in Asthma Patients


In the National Health and Wellness Survey (NHWS), patient’s quality of life
was measured using the SF8 health status instrument. The SF8 is a short
form of the widely-used SF36 questionnaire. The instrument measures
physical and mental components of health status. The NHWS data showed
that non-smoker asthma patients reported better mental health component
than the asthma patients who smoke. The physical component health score
were similar for both smoker and non-smoker.
62
The survey did not use the general instruments for measuring quality of life
or Asthma Control questionnaires, as these instruments may inaccurately
assess asthma severity, morbidity, respiratory symptoms, work or school
absenteeism, and health resource use. Many asthma patients did not
associate their smoking behavior with their asthma control. Only 50% of
adult uncontrolled-asthma patient thought that smoking was associated
with worsen symptoms, however, only 4% felt that smoking was associated
with asthma exacerbation.

Daftar Pustaka
1. Arcavi L, Benowitz NL. Cigarette smoking and infection. Arch Intern
Med 2004;164(20):2206-16.
2. Bates MN, Khalakdina A, Pai M, Chang L, Lessa F, Smith KR. Risk
of tuberculosis from exposure to tobacco smoke: a systematic review
and meta-analysis. Arch Intern Med 2007;167(4):335-42.
3. Boelaert JR, Vandecasteele SJ, Appelberg R, Gordeuk VR. The
effect of the host's iron status on tuberculosis. J Infect Dis
2007;195(12):1745-53.
4. Chiang CY, Slama K, Enarson DA. Associations between tobacco
and tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 2007;11(3):258-62.
5. Davies PD, Yew WW, Ganguly D, Davidow AL, Reichman LB, Dheda
K, et al. Smoking and tuberculosis: the epidemiological association
and immunopathogenesis. Trans R Soc Trop Med Hyg
2006;100(4):291-8.
6. Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco Smoke, Indoor Air Pollution
and Tuberculosis: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS
Med 2007;4(1):e20.
7. McBride CM, Emmons KM, Lipkus IM. Understanding the potential of
teachable moments: the case of smoking cessation. Health Educ
Res 2003;18(2):156-70.
8. Ministry of Health Indonesia. Indonesia Health Profile 2001. Jakarta:
Ministry of Health, Indonesia 2002.
9. Ng N, Padmawati RS, Prabandari YS, Nichter M. Smoking behavior
among former tuberculosis patients in Indonesia: intervention is
needed. Int J Tuberc Lung Dis 2008;12(5):567-72.
10. Siddiqi K, Lee AC. An integrated approach to treat tobacco addiction
in countries with high tuberculosis incidence. Trop Med Int Health
2009;14(4):420-8.
11. Slama K, Chiang CY, Enarson DA. Tobacco cessation and brief
advice. Int J Tuberc Lung Dis 2007;11(6):612-6.
12. Soemantri S, Senewe FP, Tjandrarini DH, Day R, Basri C, Manissero
D, et al. Three-fold reduction in the prevalence of tuberculosis over
25 years in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis 2007;11(4):398-404.
13. World Health Organization. Global tuberculosis control: surveillance,
planning, financing. Geneva: World Health Organization 2007.

63
Report No.: WHO/HTM/TB/2007.376.
14. Arcavi L, Benowitz NL. Cigarette smoking and infection. Arch Intern
Med 2004;164(20):2206-16.
15. Calverley PM, Walker P. Chronic obstructive pulmonary disease. Lancet
2003;362(9389):1053-61.
15. Cosio MG, Saetta M, Agusti A. Immunologic aspects of chronic
obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 2009;360(23):2445-54.
16. Godtfredsen NS, Lam TH, Hansel TT, Leon ME, Gray N, Dresler C,
et al. COPD-related morbidity and mortality after smoking cessation:
status of the evidence. Eur Respir J 2008;32(4):844-53.
17. Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, Badamgarav E, Buist AS, Mannino
DM. Global burden of COPD: systematic review and meta-analysis.
Eur Respir J 2006;28(3):523-32.
18. Hogg JC, Timens W. The pathology of chronic obstructive pulmonary
disease. Annu Rev Pathol 2009;4:435-59.
19. Mathers CD, Loncar D. Projections of global mortality and burden of
disease from 2002 to 2030. PLoS Med 2006;3(11):e442.
20. Pelkonen M. Smoking: relationship to chronic bronchitis, chronic
obstructive pulmonary disease and mortality. Curr Opin Pulm Med
2008;14(2):105-9.
21. Sundblad BM, Larsson K, Nathell L. High rate of smoking abstinence
in COPD patients: Smoking cessation by hospitalization. Nicotine
Tob Res 2008;10(5):883-90.
22. World Health Organization. Global surveillance, prevention and
control of chronic respiratory diseases. Geneva: World Health
Organization 2007.
23. Yin P, Jiang CQ, Cheng KK, Lam TH, Lam KH, Miller MR, et al.
Passive smoking exposure and risk of COPD among adults in China:
the Guangzhou Biobank Cohort Study. Lancet 2007;370(9589):751-
7.
24. Adis Data Information BV. Smoking has a negative impact on asthma
and alters the response to some asthma therapies. Drugs Ther
Perspect 2006;22(2).
25. Austin JB, Selvaraj S, Godden D, Russell G. Deprivation, smoking,
and quality of life in asthma. Arch Dis Child 2005;90(3):253-7.
26. Baena-Cagnani CE, Gomez RM, Baena-Cagnani R, Canonica GW.
Impact of environmental tobacco smoke and active tobacco smoking
on the development and outcomes of asthma and rhinitis. Curr Opin
Allergy Clin Immunol 2009;9(2):136-40.
27. Global Initiative for Asthma. Global Burden of Asthma: Global
Initiative for Asthma 2004.
28. Haughney J, Price D, Kaplan A, Chrystyn H, Horne R, May N, et al.
Achieving asthma control in practice: understanding the reasons for
poor control. Respir Med 2008;102(12):1681-93.
29. Lai CK, Beasley R, Crane J, Foliaki S, Shah J, Weiland S. Global
variation in the prevalence and severity of asthma symptoms: phase
64
three of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC). Thorax 2009;64(6):476-83.
30. Shavit O, Swern A, Dong Q, Newcomb K, Sazonov Kocevar V,
Taylor SD. Impact of smoking on asthma symptoms, healthcare
resource use, and quality of life outcomes in adults with persistent
asthma. Qual Life Res 2007;16(10):1555-65.
31. Thomson NC, Chaudhuri R, Livingston E. Asthma and cigarette
smoking. Eur Respir J 2004;24(5):822-33.
32. Thomson NC, Spears M. The influence of smoking on the treatment
response in patients with asthma. Curr Opin Allergy Clin Immunol
2005;5(1):57-63.
33. World Health Organization. Global surveillance, prevention and
control of chronic respiratory diseases. Geneva: World Health
Organization 2007.

SKENARIO 2
BATUK DAN SESAK PADA DEWASA

TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Instruksional Umum (TIU) :
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan tentang konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan
gejala batuk dan sesak serta mampu membedakan beberapa penyakit
system respirasi yang diberikan tersebut.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK):
Setelah mempelajari modul ni, mahasiawa akan dapat:
1. Menyebutkan penyakit-penyakit yang dapat memberikan gejala
batuk/sesak pada dewasa
2. Menjelaskan patomekanisme terjadi sesak/batuk pada dewasa
2.1. Menggambarkan susunan dari organ-organ respirasi
2.2. Menjelaskan tentang struktur dan fungsi sel-sel dar masing-
masing organ respirasi
2.3. Menjelaskan tentang fisiologi pernafasn dan perubahan yang
terjadi
3. Menjelaskan patomekanisme penyakit-penyakit yang
menyebabkan batuk/sesak
4. Menjelaskan etiologi dari penyakit-penyakit yang menyebabkan
batuk/sesak
5. Menjelaskan gambaran klinik lain yang menyertai batuk/sesak pada
penyakit system respirasi
6. Menjelaskan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita
penyakit-penyakit yang memberikan keluhan utama sesak.

65
7. Menjelaskan pencegahan penyakit-penyakit respirasi dengan
gejala utama batuk/sesak

KASUS

Skenario 2
Seorang laki-laki 69 th, pensiunan bekerja di pabrik semen, dibawa kerumah sakit oleh
anaknya yang juga seorang dokter puskesmas karena menderita sesak yang hebat dan
sangat lemah. Kondisi kelemahan ini sebenarnya telah dialaminya sejak 4 bulan lalu,
dimana pada saat itu ia menderita batuk yang tidak produktif yang disertai demam, yang
membaik setelah diberikan antibiotic selama 6 hari ditambah obat-obat simptomatik.
Saat ini ia juga menderitabatuk yang poduktif dengan sputum yang kecoklatn sejak 4 hari
lau, dan sejak 2 hari lalu ia mengeuh demam yang disertai muntah. Ia tiak ada riwayat
merokok ataupun minum minuman keras, ia tidak pernah keluar kota atau melakukan
perjalanan jauh sejak 1 tahun terakhir dan tidak pernah kontak dengan orang sakit
sebelumnya. Selain itu ia sering mengalami gastric reflux yang disertai dengan mual dan
TUGAS UNTUK MAHASISWA
muntah.
1. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa harus
mendiskusikan kasus tersebut pada suatu kelompok diskusi yang
dipimpin oleh seorang ketua dan seorang notulen yang dipilih oleh
mahasiswa.
2. Melakukan aktivitas pembelajaran individual dengan mencari bahan
informasi yang mendukung diskusi.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa tutor)
4. Berkonsultai pada narasumber yang ahli pada permasalahan yang
dimaksud untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam.
5. Mengikuti kuliah khusus (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang
belum jelas.

PROSES PEMECAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok, mahasiswa diharapakan memecahkan
problem yang terdapat dalam scenario ini yaitu dengan mengikuti 7
langkah penyelesaian masalah itu yaitu:
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam scenario diatas dan
tentukan kata/kalimat kunci scenario diatas
2. Identifikasi problem dasar skenario diatas, dengan membuat
beberapa pertanyaan penting
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan diatas
4. Klasifikasi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai mahasiswa atas
kasus diatas.

66
6. Cari informasi tambahan tentang kasus diatas diluar kelompok
tatap muka
7. Laporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi yang
ditemukan

Keterangan:
- Langkah 1-5 dilakukan dalam diskusi
- Langkah 6 dilakukan dengan belajar mandiri, dapat dilakukan
berkelompok atau sendiri-sendiri , yang kemudian didiskusikan ulang
bersama kelompok (tanpa kehadiran tutor)
- Langkah 7 dilakukan dalam diskusi dengan tutor

JADWAL KEGIATAN
1. Pertemuan pertama: dalam kelas besar dengan tatp muka satu arah
dan Tanya jawab. Tujuan: menjelaskan tentang modul dan cara
menyelesaikan modul, dan membagi kelompok diskusi, pada
pertemuan pertama buku modul dibagikan
2. Pertemuan kedua : diskusi mandiri
Tujuan:
 Memilih ketua dan sekertaris kelompok
 Brain-storming untuk proses 1-3
 Membagi tugas
3. Pertemuan ketiga : diskusi tutorial dipimpin oleh mahasiswa yang
terpilih menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor.
Tujuan: untuk melaporkan hasil diskusi mandiri dan menyelesaikan
proses sampai langkah 5.
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan: untuk mencari
informasi baru yang diperlukan.
5. Pertemuan keempat : adalah diskusi tutorial. Tujuan: untuk melporkan
hasil diskusi lalu dan mensintese informasi yang baru ditemukan. Bila
masih diperluakn informasi baru dilanjutkan lagi seperti N0.2 dan 3
6. Pertemuan terakhir/: dilakukan dalam keas besar dengan bentuk
diskusi panel untuk meaporkan hasil diskusi masing-masing kelompok
dan menanyakan hal-hal yang belum terjawab pada ahlinya (temu
pakar)

STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Diskusi kelompok difasilitasI oleh tutor
2. Diskusi kelompok tanpa tutor
3. Konsutasi pakar
4. Kuliah khusus dalam kelas
5. Aktivitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan
menggunakan buku ajar, majalah, slide, tape atau video dan internet
6. Melakukan kegiatan praktikum : anataomi, fisiologi, histology, patologi
Anatomi, mikrobiologi, patologi Klinikdan Gizi

67
7. Menjelaskan pencegahan penyakit-penyakit respirasi dengan gejala
utama batuk/sesak.

PROBLEM TREE

Anamnesis : Pemeriksaan Penunjang


- Onset batuk/sesak Fisik Diagnostik : - Pemeriksaan radiologi thorax
- Sifat batuk - Pemeriksaan mikrobiologi :
- Keadaan lain yang Inspeksi, palpasi, perkusi, sputum, biakan
berhubungan dengan auskultasi - Pemeriksaan lab darah
batuk/sesak - Pemeriksaan PA
- Keluhan lain yang
menyertai batuk/sesak

Penyebab dan DIAGNOSA BANDING


Patomekanisme

Anatomi
Hitologi
Mikrobiologi BATUK/SESAK
DIAGNOSIS

Epidemiologi Penatalaksanaan

Medikamentosa/non
Prevalensi & Pengendalian
medikamentosa
Insidens

Preventif Promotif

BAHAN BACAAN & SUMBER INFORMASI LAIN:


1. Kuliah system respirasi
2. Text books / jurnal yang berhubungan dengan maalah system respirasi
3. Grant Boileau JC. The Thorax in: A Method of Anatomi, 6 th ed., The
Williams and wilkins co.,Baltimore, 1958 page 506-586

68
4. Grey Henry, Mayo Goss C.The respiratory System in : Anatomy of The
Human Body 17th ed.,Les and Febiger,Philadelphia,1959,page: 1167-
1202
5. Atlas Spatelholz
6. Thena Wijaya M,Dasar-Dasar Biokimia Lehninger jilid 3,Copyright
Indonesia,penerbit Erlangga Surabaya,199,page 79-104
7. Davis BD,Microbyology 3rd ed.Harper &Row,Maryland,1980
8. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,Harrison
9. Buku Ajar Patologi,Robbins dan Kumar
10. Sutton D.,A.Textbook of radiology and Imaging,1993
11. Leavel,Clark,text Book of preventive Medicine
12. Junguira LC,Carneiro J : Basic Histology,3th,ed,Los Atlos California
USA,Lange Medical Publication,1980,page358-377
13. Mahan LK,Arlin MT.,Nutritional Care in Pulmonary Disease in :
Krause’s Food,Nutrition &diet therapy, 9thed.,Philadelphia,W.B
14. Melmon & Morell’s, Clinical Pharmacology Baic Principles in
Therapeutics 3rd,Mc Grow Hill,1992
15. Boies,Hilger,Priest.Fundmental of Otolaryngology.A Text Book of Ear
Nose & Throat Diseases Fundmental of Otolaryngology
16. Laurel,Guide to management of Infection Disease,New York,1983

PETUNJUK UNTUK TUTOR

SKENARIO I SKENARIO II
Kata/Kalimat Kunci Kata/kalimat Kunci
- Laki-laki 25thn - Laki-laki 69 thn
- Batuk berat dan berdahak, warna - Sesak yang hebat
mucoid kadang kuning sudah - Lemah sejak 4 bln lalu setelah
dialami selama 2 minggu. menderita sakit dengan gejala
- 1 bln sebelumnya sudah menderita batuk tidak produktif disertai
batuk yang agak baikan setelah demam yng berespon dengan
minum obat antibiotic
- Demam yang sifatnya hilang timbul - Batuk produktif dengan sputum
sejak 2 minggu yng lalu kecoklatan sejak 4 hari lalu
- Sakit kepala,myalgia - Demam 2 hari
- Anoreksia - Tidk ada riwayat merokok
- S : 38,5◦C N: 100x/mnt - Tidak pernah melakukan
T : 115/70mmHg P: 20x/mnt perjalanan keluar kota
- Tidak ada kontak dengan orang
sakit
- Ad riwayat
- Gastric reflux yang disertai mual
& muntah

69
Beberapa pertanyaan prinsip :
1. Penyakit apa saja yang dapat menyebabkan gejala tsb (differential
diagnose)
2. Bagaimana patomekanisme terjadiny batuk/sesak pada dewasa
3. Apa defenisi dari masing-masing penyakit yang menyebabkan
batu/sesak tersebut
4. Apa penyebab dari masing-masing penyakit tsb
5. Bagaimana gambaran klinik dari penyakit-penyakit tersebut
6. Pemeriksaan penunjang apa yang dibutuhkan
7. Bagaimana gambaran hasil foto thorax penyakit-penyakit tsb
8. Bagaimana penatalaksanaan dari masing-masing penyakit tsb
9. Bagaimana epidemiologi dan pencegahan dari penyaki-penyakit
tsb.

DIFERENSIAL DIAGNOSA
SKENARIO I SKENARIO II
- Bronchitis akut/kronik - Pneumonia sepsis
- Bronchopneumonia/pneumoni - Kegagalan
- TBC Pernapasan Akut
- Sinusitis/otitis media (ARDS)
- TBC Paru infeksi
sekunder
- Bronhiektasi
eksaserbasi akut

Batuk spontan lebih banyak muncul sebagai suatu fenomena vagal


dank arena sebagian besar dicetuskan oleh struktur yng diinervasi oleh
nervus dan cabang-cabangnya, dalam hal ini termasuk bagian akhir dari
oropharynx,larynx dan saluran napas bagian bawah.
Reseptor batuk tersebar luas mulai dari mucoa hidung,sinus
paranasal,pharynx,larynx,trachea dan bronchus. Bagian paling sensitive
untuk mencetuskan batuk adalah larynx dn percabangan tracheobronchial
khususnya karina dan percabangan bronchus.
Selain itu reseptor batuk juga terdapat ditelinga, pleura,
pericard,diaphragma dan lambung. Dari reseptor-reseptor ini rangsangan
dialirkan melalui serabut aferen n.vagus, n.trigeminus, n.glossopharyngeus
dan n.phrenicus ke pusat batuk medulla oblongata.
Dari pusat batuk rangsangan diteruskan melalui serabut eferen
n.vagus,n.phrenicus,n.intercostalis dan lumbalis,n,trigeminus,n.fasialis dan
n.hipoglossus ke efektornya yaitu otot-otot larynx, trachea, bronchus,
diaphragm, intercostal, abdominal, lumbal, saluran napas dan otot-otot
bantu napas.
Secara mekanisme batuk terdiri dari 4 fase yaitu fase iritasi, fase
inspirasi, fase kompressi dan fase ekspulsi.
Sebagai mekanisme pertahanan, batuk mempunyai dua fungsi utama
yaitu mencegah bena-benda asing memasuki saluran pernapasan bawah,
70
dan membersihkan benda asing maupun sekresi yang berlebihan pada
saluran napas bagian bawah.

BRONCHITIS AKUT/KRONIK
Bronchitis kronik salah suatu defenisi klinis yaitu batuk-batuk hamper
setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan
berturut-turut dalam satu tahunnya dan terjai paling sedikit selama 2 tahun.
Pada bronchitis kronik terjadi hiertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus
bronchus,terjadi sekresi mucus yang berlebih dan lebih kental. Terdapat
pula peradangan difuss, penambahan sel mononuclear di submucosa
tracheobronchial, metaplasia epitel bronchus dan sub mucosa, edema,
fibrosis peribronchial, penyumbatan mucus intra luminal dan penambahan
otot polos.
Ada 3 faktor penting yang berpengaruh pada timbunya bronchitis
kronik yaitu : rokok, infeksi dn polusi, selain itu dapat pula factor keturunan.
Gambaran klinis:
- Batuk yang kadang disertai dahak/sputum putih/mocoid bila ada infeksi
menjadi purulent atau mucopurulen yang kental
- Sesak
- Dapat timbul keluhan neurologis seperti kesadaran yang menurun
sampai koma, sakit kepala, tremor dan twitching
- Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik,
hanya terdapar ronchi baik pada inspirai maupun ekspirasi
- Dappat ditemukan tanda-tanda overinflasi paru seperti barrel chest,
kifosis, diameter AP dada bertambah
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnose
adalah:
- Pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks, dimana dapat ditemukan
adanya corakan bronchovaskuler paru yag bertambah
- Pemeriksaan faal paru(fungsi paru), dimanaditemukan FER (forced
expiratory volume)dan vitl capacity yng menurun, volume residu (VR)
yang bertambah dan total capacity paru yang normal. Sedangkan
kapasitas residual fungsional sedikit naik atau normal.
- Analisa gas darah, dapat ditemukan PaCO2 yang naik karena tidak
dapat mempertahankan ventilasi dengan baik. Selain itu terjadi pula
saturasi Hb yang menurun sehingga timbul sianosis. Terjadi juga
vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoeisis.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah mengurangi obstruksi jalan
napas yaitu dengan pemberian:
- Bronkdilator
- Kortikosteroid

71
- Mengurangi sekresi mucus dengan pemberian mukolitik atau
ekspektoran atau dilakukan nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air
sehingga menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum
- Bila disertai infeksi yang menyebabkan eksaserbasi akut dapat
diberikan antibiotic sesuai penyebab infeksi
- Pemberian O2
- Selain terapi diatas pederita haruslah diberikan diet yang sesuai untuk
memenuhi kebutuhan zat gizinya.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah
- Pencegahan Primer : penyuluhan tentang bronchitis, dan menghindari
merokok serta menghindari lingkungan yang berpolusi, pemberian
vaksinasi
- Pencegahan sekunder : diagnosa sedini mungkin dan penatalaksanaan
yang tepat
- Pencegahan tertier : dengan fisioterapi dan rehabilitasi yang bertujuan
untuk memperbaiki efisien ventilasi serta memperbaiki dan
meningkatkan kekuatan fisik.

PNEUMONI/BRONCHOPNEUMONI
Pneumoni adalah suatu peradangan dari parenkim paru dan bila
melibatkan cabang-cabang bronchus maka disebut bronchopneumoni.
Secara klinis gambaran pneumoni dan bronchopneum adalah sama, yang
berbeda adalah hanya gambaran radiologisnya.
Gambaran yang dapat ditemukan pada pneumoni lobaris ( bila
mengenai 1 lobus) adalah adanya berawan atau persulubungan yang
mengenai satu lobus dengan gambaran airbronchogram sign. Sedangkan
bronchopneumoni dapat ditemukan bercak-bercak/berawan yang lokasinya
dapat pada berbagai tempat dilapangan paru.
Pneumoni dapat disebabkan oleh banyak mikroorganisme yaitu :
- Virus misalnya influensa, adenovirus,varicella,sitomegalovirus
- Bakteri, baik garam positif misalnya pneumococcus, staphyloccus dan
gram negatif misalnya klebsiela,haemofilus influenza, pseudomonas dll.
- Mikoplasma

Pneumoni viral
- Terjadinya kerusakan epitel, pembentukan mucus dan akhirnya
penyumbatan bronchus. Selanjutnya dapat terjadi infiltrat limfositik
peribronchiolus dan infeksi sel bulat interstisial baik diduktus alveolus
maupun dinding alveolus.
- Klinis yang menonjol adalah batuk kering, kadang-kadang pilek dan
dapat terjadi gagal nafas.
- Penatalaksanaannya dengan pemberian antivirus
Pneumoni Bakterialis
- Dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada di udara,
aspirasi organisme dari nasopharynxs atau penyebaran hematogen dari
fokus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru-paru melalui

72
saluran nafas masuk ke bronchioli dan alveoli, menimbulkan
peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein
dalam alveoli dan jaringan interstitial.
- Gejala kronchuslinis yang dapat timbul adalah : demam tinggi disertai
menggigil dan kadang-kadang muntah, nyeri pluera, batuk yang kadang
disertai dahak yang purulent atau dengan bercak darah dan pernafasan
terganggu. Kadang disertai sakit otot dan sakit kepala hebat.
- Penderita tampak sakit berat, takikardi, pernafasan cepat,dangkal dan
pernafasan cuping hidung, kadang sianosis. Pada inspeksi dapat
ditemukan hemitoraks sisi lesi tampak tertinggal pada pernapasan.
Pada perkusi didapatkan redup pada daerah lesi, suara nafas bronchial
dan vocal fremitus mengeras serta ada ronchi basah.
- Biasanya ditemukan leukositosis dan pergeseran kekiri pada hitung
jenis
- Komplikasi yang dapat terjadi : atelektasis, abses paru, empiema,
pericarditis, sepsis
- Pengobatan : pemberian O2, bronkodilator, pemberian antibiotik
- Selain pemeriksaan radiologis, yang penting juga adalah pemeriksaan
analis gas darah, karena sering terjadi hipoksia.

BRONCHIEKTASIS
Bronhiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran
bronchus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen
elatis dan muskuler dinding bronchus.
- Gejala yang mungkin timbul yaitu batuk disertai sputum yang banyak yang
kadang mengandung darah, tidak ada nafsu makan, berat badan menurun,
nyeri pluera dan lemah badan dapat timbul sesak dan sianosis.
- Pada pemeriksaan fisis ditemukan ronchi basah sedang sampai kasar dan
kadang-kadang ronchi kering dan bising mengi.
- Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto thorax dimana dapat
ditemukan corakan vaskuler yang kasar dan kadang-kadang terdapat
gambaran sarang tawon
- Penatalaksanaanya yaitu pemberian antibiotik dan drainase sekret, serta
dapat diberikan bronkodilator.

TBC PARU
Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis.
- Gejala yag dapat timbul adalah demam, batuk dapat non produktif
ataupun produktif dan bila lanjut dapat berupa batuk darah, sesak
nafas, nyeri dada, malaise
- Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan perkusi yang redup dan suara
nafas yang bronchial. Serta dapat ditemukan suara nafas tambahan
berupa ronchi basah kasar dan nyaring, akan tetapi dapat pula berupa
suara nafas yang vasikuler yang melemah.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah :

73
- Foto thorax ditemukan adanya bercak, berawan berselubung
ataupun kavitas (untuk TBC paru aktif) dan bintik kalsifikasi serta garis
fibrotik ( untuk TBC paru tenang) utamanya pada apeks paru. Selain itu
pula dapat ditemukan gambaran TBC milier berupa bercak-bercak halus
yang tersebar rata pada hampir seluruh lapangan paru. Dan dapat
ditemukan gambaran TBC milier berupa bercak-bercak halus yang
tersebar rata pada hampir seluruh lapangan paru. Dapat pula disertai
dengan gam, baran ateleksis maupun efusi pluera.
- Pemeriksaan sputum BTA
- Tes Tuberkulin.
Pengobatan yang TBC Paru diberikan menurut program DOTS
Jenis obat yang dipakai adalah :
- Isoniazid
- Rifampisin
- Pirasinamid
- Streptomisin
- Etambutol
Penyakit TBC merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam
Program Pemberatasan Penyakit Menular (P2M) dari Dinas Kesehatan,
yang berisikan usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

ASMA BRONCHIAL
Adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trachea dan
bronchus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah,
baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.

74
SKENARIO 3

BATUK DAN SESAK PADA ANAK

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Capaian Pembelajaran :
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelasakan tentang konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan
gejala batuk dan sesak serta mampu membedakan beberapa penyakit
yang memberikan gejala tersebut.
Capaian Pembelajaran Khusus :
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat :
1. Menyebutkan penyakit-penyakit yang dapat memberikan gejala
batuk dan sesak pada anak
2. Menjelaskan patomekanisme terjadinya batuk dan sesak
2.1 Menggambarkan susunan dari organ-organ respirasi
2.2 Menjelasakan tentang struktur dan fungsi sel-sel dari masing-
masing organ respirasi
2.3 Menjelaskan tentang fisiologi pernafasan dan perubahan yang
terjadi
3. Menjelaskan patomekanisme penyakit-penyakit yang menyebabkan
batuk/sesak
4. Menjelaskan etiologi dar penyakit-penyakit yang menyebabkan
batuk/sesak
4.1 Menjelaskan tentang morfologi, klasifikasi, sifat-sifat lain, bakteri
penyebab infeksi saluran nafas
4.2 Menjelasakan tentang sifat-sifat umum, virus penyebab infeksi
pada saluran nafas
5. Menjelasakan gambaran klinik yang menyertai batuk/sesak pada
penyakit sistem respirasi anak
5.1 Menyebutkan gejala lain dari masing-masing penyakit dengan
keluhan utama batuk/sesak pada anak
5.2 Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa
membantu diagnosa penyakit dengan gejala batuk
6. Menjelasakan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita
penyakit-penyakit yang memberikan keluhan utama batuk/sesak
7. Menjelaskan pencegahan penyakit-penyakit respirasi dengan gejala
utama batuk/sesak.

75
PROBLEM TREE

Anamnesis : Pemeriksaan Penunjang


- Onset batuk/sesak Fisik Diagnostik : - Pemeriksaan radiologi thorax
- Sifat batuk - Pemeriksaan mikrobiologi :
- Keadaan lain yang Inspeksi, palpasi, perkusi, sputum, biakan
berhubungan dengan auskultasi - Pemeriksaan lab darah
batuk/sesak - Pemeriksaan PA
- Keluhan lain yang
menyertai batuk/sesak

Penyebab dan DIAGNOSA BANDING


Patomekanisme

Anatomi
Hitologi
Mikrobiologi BATUK/SESAK
DIAGNOSIS

Epidemiologi Penatalaksanaan

Medikamentosa/non
Prevalensi & Pengendalian
medikamentosa
Insidens

Preventif Promotif

76
KASUS

Skenario I
Seorang anak 3 thn diantar ibunya ke RS dengan demam yang tinggi
dan anaknya rewel dan tak pernah tidur sejak semalam. Menurut
ibunya dalam 3 bulan terakhir ini sudah berkali-kali ia membawa
anaknya ke dokter dengan keluhan beringus dan batuk yang hilang
timbul terutama malam hari dan hamper 1 bulan terakhir ini batuk dan
beringus anaknya tidak berhenti yang kadang disertai sesak. Pada saat
penimbangan di posyandu bulan lalu BB anaknya 10 kg. anaknya ini
adalah anak ke 3, kedua kakanya juga sering mengalami keluhan yang
sama, hanya saja tidak separah anaknya yang ketiga ini.

Skenario II
Seorang anak laki-laki umur 14 bulan masuk rumah sakit dengan
keluhan sesak yang dialaminya sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, selain sesak dia juga ada keluhan batuk berlendir dan demam.
Anak tersebut lahir dengan berat badan 3 kg, lahir spontan dan cukup
bulan. Saat ini beratnya 6 kg. sebelumnya tidak ada riwayat sesak.
Riwayat imunisasi: hanya mendapatkan imuninsasi polio dan BCG
beberapa hari setelah lahir

TUGAS UNTUK MAHASISWA


1. Setelah membaca dengan teliti scenario diatas, mahasiswa harus
mendiskusikan kasus tersebut pada suatu kelompok diskusi yang
dipimpin oleh seorang ketua dan seorang notulen yang dipilih oleh
mahasiswa.
2. Melakukan aktivitas pembelajaran individual dengan mencari bahan
informasi yang mendukung diskusi
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa tutor)
4. Berkonsultasi pada narasumber yang ahli pada permasalahan yang
dimaksud untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam
5. Mengikuti kuliah khusus (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah
yang belum jelas.

PROSES PEMECAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok, mahasiswa diharapkan memecahkan problem
yang terdapat dalam skenario ini yaitu dengan mengikuti 7 langkah
penyelesaian masalah yaitu :
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario diatas dan
tentukan kata/kalimat kunci skenario diatas.
2. Identifikasi problem dasar skenario diatas, dengan membuat
beberapa pertanyaan penting

77
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan diatas.
4. Klasifikasi jawaban tas pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai mahasiswa atas
kasus diatas.
6. Cari informasi tambahan tentang kasus diatas diluar kelompok
tatap muka.
7. Laporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi yang
ditemukan

Keterangan :
- Langkah 1-5 dilakukan dalam diskusi pertama bersama tutor
- Langkah 6 dilakukan dengan belajar mandiri, dapat dilakukan
berkelompok atau sendiri-sendiri, yang kemudian didiskusikan ulang
bersama kelompok (tanpa kehadiran tutor)
- Langkah 7 dilakukan dalam diskusi dengan tutor

JADWAL KEGIATAN
1. Pertemuan pertama dalam kelas dengan tatap muka satu arah dan
tanya jawab. Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara
menyelesaikan modul, dan membagi kelompok diskusi. Pada
pertemuan pertama buku modul dibagikan.
2. Pertemuan kedua : diskusi mandiri. Tujuan :
 Memilih ketua dan sekretaris kelompok,
 Brain-storming untuk proses 1 – 3,
 Membagi tugas
3. Pertemuan ketiga: diskusi tutorial dipimpin oleh mahasiswa yang terpilih
menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor. Tujuan
: untuk melaporkan hasil diskusi mandiri dan menyelesaikan proses
sampai langka 5.
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan : untuk mencari
informasi baru yang diperlukan
5. Pertemuan keempat: adalah diskusi tutorial. Tujuan : untuk melaporkan
hasil diskusi lalu dan mensintese informasi yang baru ditemukan. Bila
masih diperlukan informasi baru dilanjutkan lagi seperti No. 2 dan 3.
6. Pertemuan terakhir: dilakukan dalam kelas besar dengan bentuk
diskusi panel untuk melaporkan hasil diskusi masing-masing kelompok
dan menanyakan hal-hal yang belum terjawab pada ahlinya (temu
pakar).

78
STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Diskusi kelompok difasilitasi oleh tutor
2. Diskusi kelompok tanpa tutor
3. Konsultasi pakar
4. Kuliah khusus dalam kelas
5. Aktivitas pembelajaran individual di perpustakaan dnegan
menggunakan buku ajar, majalah, slide, tape atau video dan
internet
6. Melakukan kegiatan praktikum : Anatomi, Fisiologi, Histology,
Patologi, Anatomi, Mikrobiologi, Patologi Klinik dan Gizi

BAHAN BACAAN & SUMBER INFORMASI LAIN :

1. Kuliah sistem respirasi


2. Text books/journalyang berhubungan dengan masalah sistem
respirasi
3. Grant Boileau JC. The Thorax in : A Method of Anatomy, 6 th ed.,The
Williams & Wilkins co.,Baltimore, 1958 page 506-586
4. Gray Hendry, Mayo Goss C. The respiratory System in : Anatomy of
The Human Body, 17th ed., Lea and Febiger, Philadelphia, 1959,
page 1167-1202
5. Atlas Spaltelholz
6. Thene Wijaya M, Dasar-Dasar Biokimia Lehninger jilid 3, Copyright
Indonesia, penerbit Erlangga Surabaya, 1993, page 79-104
7. David BD, Microbyology 3rd ed. Harper &Row, Maryland, 1980
8. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Harrison
9. Buku Ajar Patologi, Robbins dan Kumar
10. Sutton D.,Textbook of radiology and imaging, 1993
11. Leavel, Clark, text Book of preventive Medicine
12. Junguira LC, Carneiro J : Basic Histology, 3th , ed, Los Atlos
California USA, Lange Medical Publication, 1980, page 358-377
13. Mahan LK, Arlin MT.,Nutritional Care in Pulmonary Disease in :
Krause’s Food, Nutrition & diet therapy, 9th ed., Philadelphia, W. B.
14. Melmon & Morell’is, Clinical Pharmacology Basic Principles in
Therapeutics 3rd, Mc Grow Hill, 1992
15. Boies, Hilger, Priest. Fundamental of Otolaryngology. A Text Book of
Ear Nose & Throat Disease Fundamental of Otolaryngology
16. Laurel, Guide to management of Infection Disease, New York, 1983

79
PETUNJUK UNTUK TUTOR

SKENARIO I SKENARIO II

Kata/Kalimat Kunci Kata/Kalimat Kunci


- Anak 3 thn, BB 10 kg - Anak 14 bulan
- Sesak - Sesak
- Demam - Batuk berlendir
- Batuk - Demam
- Riwayat kakak sering
mengalami keluhan yang
sama

Beberapa pertanyaan prinsip :


1. Penyakit apa saja yang dapat menyebabkan gejala tsb (differential
diagnosa)
2. Bagaimana patomekanisme terjadinya batu/sesak
3. Apa definisi dari masing-masing penyakit yang menyebabkan
batuk/sesak tersebut
4. Apa penyebab dari masing-masing penyakit tsb
5. Bagaimana gambaran klinik dari penyakit-penyakit tersebut
6. Pemeriksaan penunjang apa yang dibutuhkan
7. Bagaimana gambaran hasil foto thorax penyakit-penyakit tsb
8. Bagaimana penatalaksanaan dari masing-masing penyakit tsb
9. Bagaimana epidemiologi dan pencegahan dari penyakit-penyakit tsb

DIFFERENSIAL DIAGNOSA

SKENARIO I SKENARIO II
- Pneumonia - Pneumoni
- Rhinopharingitis akut - Bronchiolitis
- TB Paru - Rhinopharingitis akut
- Asma

Batuk spontan lebih banyak muncul sebagai suatu fenomena vagal


dan karena sebagian besar dicetuskan oleh struktur yang diinervasi oleh
nervus dan cabang-cabangnya, dalam hal ini termasuk bagian akhir dari
oropharynx, larynx dan saluran napas bagian bawah.
Reseptor refleks batuk tersebar luas mulai dari mukosa hidung, sinus
paranasal, pharynx, larynx tracea dan bronchus. Bagian paling sensitive
untuk mencetuskan batuk adalah larynx dan percabangan tracheobronchial
khususnya carina dan percabangan bronchus.
Selain itu reseptor batuk juga terdapat di telinga, pleura, pericard,
diaphragm dan lambung. Dari reseptor-reseptor ini rangsangan dialirkan
melalui serabut aferen n.vagus, n.trigeminus, n.glossopharyngeus dan
80
n.phrenicus ke pusat batuk di medulla oblongata. Dari pusat batuk
rangsangan diteruskan melalui serabut eferen n.vagus, n.phrenicus,
n.intercostalis dan lumbalis, n.trigeminus, n.facialis dan n.hypoglossus ke
efektornya yaitu otot-otot larynx, trachea, bronchus, diaphragm,
intercostals, abdominal, lumbal, saluran napas dan otot-otot bantu napas.
Secara mekanis batuk terdiri dari empat fase yaitu fase iritasi, fase
inspirasi, fase kompressi dan fase ekspulsi.
Sebagai mekanisme pertahanan, batuk mempunyai dua fungsi utama
yaitu mencegah benda-benda asing memasuki saluran pernapasan bawah,
dan membersihkan benda asing mapun sekresi yang berlebihanpada
saluran napas bagian bawah.

PNEUMONI PADA ANAK


Pneumoni lobaris merupakan penyakit primer pada anak utamanya
pada anak > 3 tahun dan anak tampak sakit berat. Kuman penyebabnya
adalah bakteri, virus, jamur, alergi, aspirasi & hipostatik.
Gambaran klinik yang dapat ditemukan adalah batuk, beringus, sesak,
kejang, muntah, berak-berak, pada auskultasi bunyi pernafasan menurun
pada yang sakit & terdapat ronchi nyaring.

BRONKOPNEUMONI PADA ANAK


Ditemukan pada bayi/anak kecil, dengan gejala sakit sedang, subfebril
dan keadaan umum tidak terlalu terganggu. Gejala yang dapat ditemukan
adalah pilek, demam dan sesak yang pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan ronchi yang difus pada salah satu atau kedua paru yang pada
perkusi terdengar sonor.
Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan gambarana normal
ataupun infiltrat yang tersebar di kedua lapangan paru.

BRONCHIOLITIS
Penyakit ini dapat ditemukan pada usia 6 bln – 2 thn, gambaran klinik
yang dapat ditemukan yaitu, rhinitis, gelisah, anoreksia, muntah,
tachycardia, tachipnoe, dyspnoe, cyanosis, retraksi dinding dada,
ditemukan wheezing dan crepitasi pada pemeriksaan auskultasi.
DD/ bronkopneumoni, bronchitis akut, asma bronchiale.

BRONCHIEKTASIS
Bronchiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari
pelebaran bronchus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan
komponen elastic dan muskuler dinding bronchus.
- Gejala yang mungkin timbul yaitu batuk disertai sputum yang banyak
yang kadang mengandung darah, tidak ada nafsu makan, berat badan
menurun, nyeri pleura, dan lemah badan. Dapat timbul sesak dan
cyanosis
- Pada pemeriksaan fisis ditemukan ronchi basah sedang sampai kasar
dan kadang-kadang ronchi kering dan bising mengi

81
- Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto thorax dimana dapat
ditemukan corakan vaskuler yang kasar dan kadang-kadang terdapat
gambaran sarang tawon.
- Penatalaksanaannya yaitu pemberian antibiotic dan drainase secret,
serta dapat diberikan bronchodilator
-
TBC PARU
Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis.
- Gejala yang dapat timbul demam, batuk dapat non produktif maupun
produktif dan bila lanjut dapat berupa batuk darah, sesak nafas, nyeri
dada, malaise
- Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan perkusi yang redup dan suara
nafas yang bronchial, serta dapat ditemukan suara nafas tambahan
berupa bronchi basah kasar dan nyaring, akan tetapi dapat pula berupa
suara nafas yang vesikuler yang melemah.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah :
- Foto Thorax ditemukan adanya bercak, berawan berselubung
ataupun kavitas (untuk TBC paru aktif) dan bintik kalsifikasi serta garis
fibrotic (untuk TBC paru tenang) utamanya pada apeks paru. Selain itu
pula dapat ditemukan gambaran TBC milier berupa bercak-bercak
halus yang tersebar rata pada hamper seluruh lapangan paru. Dan
dapat pula disertai dengan gambaran atelektasis maupun efusi pleura
- Pemeriksaan sputum BTA
- Tes Tuberkulin
Pengobatan yang TBC Paru diberikan menurut program DOTS
Jenis obat yang dipakai adalah :
- Isoniazid
- Rifampisin
- Pirasinamid
- Streptomisin
- Etambutol
Penyakit TBC merupakan salah satu penyakit yang dapat masuk dalam
Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) dari Dinas Kesehatan,
yang berisikan usaha promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Kegagalan Pernafasan Akut (ARDS)


Atau biasa juga disebut sindrom gagal pernafasan adalah merupakan
gagal pernafasan mendadak. Sulit untuk membuat definisi secara tepat
karena patogenesanya belum terlalu jelas dan ada banyak faktor
predisposisi seperti rejatan karena perdarahan, sepsis, rudapaksa paru
atau bagian tubuh lainnya, pancreatitis akut, aspirasi cairan lambung,
intoksikasi heroin atau metadon.
Etiologi Kegagalan paru akibat kebakaran
- Aspirasi asam lambung
- Sepsis

82
- Koagulasi intravascular tersebar (DIC)
- Idiopatik
- Obat-obatan
- Infeksi
- Rudapaksa
- Keracunan oksigen
- Inhalasi gas
- Tenggelam
- Renjatan
- Pancreatitis
- Emboli lemak
- Emboli cairan amnion
- Emboli thrombosis
- Radiasi
Manifestasi klinisnya sangat bervariasi tergantung dari penyebabnya,
gejala yang paling menonjol adalah sesak nafas.
Mortalitas kegagalan nafas akut pada orang dewasa sangat tinggi,
mencapai 50% dan tidak tergantung pada pengobatan. Karena itu
pencegahan akan timbulnya kegagalan pernafasan dengan memperhatikan
predisposisinya sangatlah penting.

ASMA BRONCHIAL
Adalah suatu penyakit dengan cirri meningkatnya respon trachea dan
bronchus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah,
baik secara spontan maupun sebagai hasi

83
MODUL PRAKTIKUM

84
PATOLOGI ANATOMI

Capaian Pembelajaran

Mampu menjelaskan kelainan/patologi yang terdapat pada paru

1. Makroskopik Nasal Polyp

2. Mikroskopik Nasal Polyp

85
3. Adenoma Polymorphic Salivary Gland

Miksroskopis

86
4. MIkrsoskopik WARTHIN TUMOR

87
88

Anda mungkin juga menyukai