TIM PENYUSUN
2
KONTRIBUTOR
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
kebaikanNYA sehingga kami dapat menyelesaikan Modul Blok Respirasi
tahun 2017. Modul Blok ini disusun untuk menjadi panduan bagi
mahasiswa fase akademik, selama mengambil Blok Respirasi di semester
4 . Blok Respirasi merupakan Blok kedua di semester 4, yang dilaksanakan
selama 5 minggu. Modul ini, terdiri dari 3 modul yakni, modul Kuliah, modul
tutorial dan modul praktikum. Modul ini disusun berdasakan capaian
pembelajaran (CP) yang terdapat pada Blueprint Blok (mesokurikulum) FK
Undana. Pada modul kuliah, berisi CP pada setiap topik kuliah serta materi
singkat terkait CP perkuliahan. Modul tutorial berisi modul tutorial
pegangan mahasiswa dan modul tutorial pegangan tutor. Pada kedua
modul tutorial ini berisi skenario kasus, CP setiap skenario, langkah-
langkah melakukan tutorial (seven jump), serta lembar penilaian tutorial.
Khusus untuk modul tutorial pegangan tutor, ditambahkan teori singkat
mengenai skenario, sehingga memudahkan tutor dalam memfasilitasi
jalannya tutorial, sehingga diharapkan pada akhir tutorial CP tiap skenario
dapat tercapai. Pada Modul Blok Respirasi, juga memuat modul praktikum
yang berisi capaian pembelajaran topik praktikum dan panduan praktikum
yang akan menjadi panduan bagi mahasiswa saat melakukan praktikum
pada blok Respirasi.
Modul Blok Respirasi Tahun 2017, akan terus dievaluasi oleh Sie
Kurikulum Medical Education Unit, sehingga Tim Penyusun mengharapkan
saran dan kritik untuk perbaikan demi menjaga mutu lulusan FK Undana.
Besar harapan kami agar Modul Blok Respirasi dapat berguna bagi
mahasiswa maupun dosen, demi tercapainya lulusan FK Undana yang
mempunyai kompetensi sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
Tim Penyusun
4
DAFTAR ISI
COVER...................................................................................................... … i
DAFTAR ISI............................................................................................... … v
PENDAHULUAN ....................................................................................... .. 7
5
PENDAHULUAN
6
c. Mahasiswa mampu menguasai pemeriksaan-pemeriksaan
dan mampu menginterpretasi terkait sistem respirasi
d. Mahasiswa mampu menguasai prosedur penegakan
diagnosis penyakit sistem respirasi
e. Mahasiswa mampu menguasai penatalaksanaan dan
prognosis terkait penyakit sistem respirasi secara holistik dan
komprehensif pada individu, keluarga dan masyarakat di
tingkat pelayanan primer dan sekunder
7
MODUL KULIAH
8
BAB I
ANATOMI
- Cavum nasi
- Pharynx
- Larynx
- Trachea
- Bronchus
- Pulmo
1. Anatomi larynx
9
2. Trachea:
- Dibentuk oleh cartilago & jaringan ikat
- Tepi caudal cartilago cricoidea (setinggi VC -6) – tepi cranial V
Th- 5
- Td 20 cincin cartilago, bentuk huruf “U”, membuka ke dorsa
- Lumen selalu terbuka
- Sebelah anterior tdp ISTHMUS dan lobus pyramidalis
gld.thyreoidea serta otot-otot infrahyoid
- Sebelah lateral terdapat lobuslateralis gld thyreoidea dan carotid
sheath
- Kelanjutan ke caudaldari Larynx
- Dibentuk oleh cartilage trachealis ,20 buah
- Berbentuk cincin dimanabagian posteriornyaterbuka,
berbatasandgn oesophagusBercabang menjadi
- Bronchus Sinister danBronchus dexter
- Walls contain 16-20“C” shaped rings ofhyaline cartilage
- Posterior wall
o Trachealis muscle
o Connective tissue)
- Mucosa
o Ciliated
o PseudostratifiedEpithelium
- Carina
10
3. Bronchus
4. Pleura
- Pleura visceralis
- Pleura parietalis
- Cavum pleura berisi cairan sereus
- Sinus costodiaphragmatica
- Sinus costomediastinalis
11
- Membrana serosa yang membungkus pulmo
PLeura parietalis
- Pleura costalis
- Pleura mediastinalis
- Pleura diaphragmatica
Cupula pleurae
- Peralihan pleura visceralis menjadi pleura mediastinalis berbentuk
ISTHMUS & membatasi radixpulmonis
- Di cranial membatasi hilus pulmonis
- Di caudal membentukLIGAMENTUM PULMONALE
- Dibtk pertemuan pleura costalis & pleura mediastinalis di apex
pulmonis
- 2-3 cm di cranial costa I
- Atap dari cavum pleurae
- Dasar (bag.caudal) regio colli
- Ditutupi oleh mm.scaleni
12
5. Pulmo
13
BAB II
A. Antitusif
Antitusif adalah obaat yang secara spesifik menghambat atau
menekan batuk.
1. Dextromethorphan
Obat ini berkerja dengan meningkatakan ambang rangsang refleks
batuk secara sentral. Berbeda dengan codein, zat ini jarang
menimbulkan kantuk dan gangguan saluran cerna.
I Terapi simtomatik untuk batuk kering atau non
(indikasi) produktif
KI asma, batuk produktif, gangguan fungsi hati,
(kontraindikasi) hipersensitif pada Dextromethorphan
P Kehamilan dan menyusui, data keamanan pada
(perhatian) anak kurang lengkap
ES Mengantuk, mual, pusing, konstipasi, psikosis
(efek samping) (hiperaktif dan halusinasi) pada dosis besar,
depresi pernapasan pada dosis besar.
D Dewasa : 3-4x10-30 mg/hari. Dosis maksimal
(dosis) :120mg/hari
anak : 1 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis terbagi.
S Tablet 15 mg
(sediaan) Syrup 10 mg/5ml
2. Noscapine
Noscapin memiliki efek sebagai antitusif. Zat ini tidak menyebabkan
habituasi dan aditif. Noscapine juga merupakan pelepas histamin
yang poten sehingga pada dosis besar dapat menyebabkan
bronkokontriksi dan hipotensi sementara
I Terapi simptomatik untuk batuk tidak produktif
KI Hipersensitif terhadap noscapine, hamil/berencana
hamil. Tidak dapat diberikan pada pasien yang
mengalami gagal napas atau pasien dengan asma
akut
P Herhatian pada pasien dengan riwayat asma
ES pusing, gangguan pencernaan, eksitasi, bingung,
dan depresi napas dapat terjadi pada dosis
berlebihan.
14
IO (interaksi Noscapine tidak bileh diberikan bersamaan dengan
obat) alkohol atau obat depresan SSP
D Dewasa : 4x25-50 mg perhari
10-15 tahun : 4x25 mg perhari
7-9 tahun : 3x25 mg sehari
S Kapsul 25 mg. Kapsul 50 mg : Longatin
drops 10 mg/ml : Mercotin
3. Codein phospate
Codein phospate merupakan antitusif golongan opioid yang bekerja
sentral meningkatkan ambang rangsang refleks batuk. Obat ini
dapat menimbulkan adiksi.
I Terapi simptomatik untuk batuk kering atau batuk
dengan nyeri
KI Batuk berdahak, penyakit hepar, gangguan ventilasi.
Hipersensitivas, depresi napas, riwayat penggunaan
MAO inhibitor dalam 14 hari terakhir, menderita atau
dicurigai terdapat obstruksi gastroinstestinal, iles
paralitik
P Hati-hati pada pasien anak, asma, gangguan fungsi
hati dan ginjal, riwayat penyalagunaan obat,
menyusui.
ES Konstipasi, depresi pernapasan pada pasien yang
sensitif atau dosis besar.
D Dosis codein sebagai antitusif :
dewasa : 10-20 mg tiap 4-6 jam maksimal 120 mg/hari
jarang diberikan sebagai obat batuk pada anak-anak
Anak :
6-12 tahun : 5-10 mg atau 0,5-1,5 mg/kgBB tiap 4-6
jam. Maksimal 60mg/hari.2-6 tahun : 0,5-1
mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 4-6 jam. Maks
30 mg/hari.
S Tablet 10 mg, tablet 15 mg, tablet 20 mg
B. Ekspektoran
Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak
dari saluran napas. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi
mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang sekresi
saluran napas lewat nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dan
mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini
adalah :
15
1. Ammonium Chloride dan Glyceryl Guaiacolate.
Ammonium Chloride/Ammonuim Klorida
amomonuim klorida jarang digunakan sendiri sebagai ekspetoran, tetapi
biasanya dalam bentuk campuran dengan ekspetoran lain atau antitusif.
Ammonium klorida dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan
harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati,
ginjal, dan paru-paru.
Dosis ammonium klorida sebagai ekspetoran untuk orang dewasa adalah
300 mg (5ml) tiap 2-4 jam.
Ammonium klorida tersedia dalam bentuk kombinasi dengan obat lainnya.
2. Glyceryl Guaiacolate
Obat ini memiliki aktivitas sebagai ekspektoran dengan
meningkatkan volume dan mengurangi kekentalan sputum yang
terdapat di trakea dan bronkus. Obat ini membuat batuk menjadi
produktif dan memudahhkan pengeluaran sputum.
I Sebagai ekspektoran
KI Hipersensitivitas
P Hamil, menyusui
ES Pusing, mengantuk, sakit kepala, kulit kemerahan, mual,
muntah, nyeri perut
C. Mukolitik
Mukolitk adalah obat yang dapat mengencerkan secret saluran napas
dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida
dari sputum.
1. Bromhexine
I Mukolitik untuk meredakan batuk berdahak
KI Hipersensitivitas
P Tukak lambung, kehamilan, menyusui, penghentian
pengobtan jika terjadi lesi kulit atau mukosa
ES Hipersensitivas, syok dan reaksi anafilaktik,
bronkospasme, mual, muntah, diare, nyeri perut bagian
atas, ruam, angioedema, urtikaria, pruritus.
IO Pemberian bersama antibiotik dapat meningkatkan kadar
antibiotik dalam jaringan
D Dewasa dan anak-anak >10 tahun : 1 tablet atau 10 Ml
sirup 3 kali sehari,
anak 5-10 tahun : ½ tablet atau 5 ml sirup 2 kali sehari.
anak 2-5 tahun : ½ tablet atau 5 ml sirup 2 kali sehari
S Tablet 8 mg, syrup 4 mg/5 ml, ampul 4 mg/2 ml
16
2. Ambroxol
I Sebagai sekretolitk pada gangguan saluran napas akut
dan kronik khususnya pada eksaserbasi bronkitis kronis
dan bronkitis asmatik dan asma bronchial
KI Hipersensitif terhadap ambroxol
P hati-hati pada kehamilan dan menyusui, gangguan ginjal.
ES Efek samping ringan pada saluran cerna, reaksi alergi
yang ditemukan : reaksi pada kulit, pembengkakan
wajah, dispnea, demam.
IO Pemberian bersama antibiotik (Amoxicillin, cefuroxime,
erythomycin, doxycycline) dapat meningkatkan kadar
antbiotik dalam paru
D Dewasa dan anak diatas 12 tahun : 2-3 x 30 mg/hari
dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 1,2-1,6
mg/kgBB/hari
S Tablet/kaplet 30 mg, syrup 15mg/5ml, syrup 30 mg/5 ml
3. Erdosteine
I Mukolitik pada infeksi saluran napas akut dan kronik
KI Hipersensitivitas terhadap erdosteine, pasien sirosis hati
dan kekurangan enzim crytathionine sintetase,
fenilketonuria, pasien gagal ginjal
P Hati-hati pada ibu hamil, menyusui, diabetes mellitus
D Sediaan kapsul : dewasa : 2-3 x kapsul sehari
sediaan sirup : anak : BB 15-19 kg : 2x175 mg perhari,
BB 20-30 kg : 3x175 mg sehari
dewasa dan anak dengan BB > 30 kg : 2x350 mg sehari
S Kapsul 300 mg, sirup kering 175mg/5ml
4. Acetylcysteine
I Terapi hipersekresi mukus kental dan tebal pada saluran
pernapasan
KI hipersensitif terhadap Acetylcysteine
P Hati-hati pada pasien yang sulit mengeluarkan sekter,
penderita asma bronkial, berbahaya untuk pasien asma
bronkial akut
ES Pada penggunaan sistemik menimbulkan reaksi
hipersensitivitas seperti urtikaria dan bronkospasme
(jarang terjadi). Psoriasis, mual, muntah, diare stomatitis,
pusing, tinitus.
D Dewasa : 3x1 kapsul sehari
S Kapsul 200 mg, sirup 100 mg/ 5ml, Acetylcysteine juga
tersedia dalam bentuk kombinasi denan obat lain
17
D. Dekongestan
Dekongestan nasal mengandung simpatomimetik, oleh karena itu
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan diabetes melitus,
hipertensi, hipertiroidisme, rentan terhadap terjadinya glaukoma sudut
sempit, hipertrofi prostat, gangguan hari hati dan ginjla, penyakit jantung
iskemik dan harus dihindari pada pasien yang mendapat terapi
penghambat MAO.
1. Ephedrine HCL
I Asma ringan, bronkospasme akut indopatik, obstruksi
saluran napas reversibel.
KI Hipersensitif terhadap efedrin, hipertensi, aritmia,
glaukoma sudut tertutup, psikoneurosis.
P Hati-hati terhadap hipertiroidisme, DM, penyakit jantung
iskemik, hipertensi, gangguan ginal, lansia, dapat
menyebabkan retensi akut pada hipertrofi prostat,
interaksi dengan penghambat MAO
ES Takikardia, ansietas, ketegangan, insomnia sering
terjadi, juga tremor, aritmia, mulut kering, dan rasa
dingin di ekstremitas. Tetes hidung menyebabkan iritasi
setempat, mual, sakit kepala. Penggunaan jangka
panjang menimbulkan efek kardiofaskular dan terjadi
toleransi.
IO Bersama dengan penghambat MAO menyebabkan
respon hipertensi akut.
D Dekongestan nasal : dosis oral
anak >2-6 tahun : 2-3 mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis
terbagi
anak 7-11 tahun : 6,25-12,5 mg setiap 4 jam, jangan
lebih dari 75 mg/hari
dewasa dan anak > 12 tahun : 12,5-25 mg setiap 3-4
jam, tidak lebih dari 100 mg/hari.
S Tablet 25 mg
2. Pseudoephedrine HCL
I Untuk meringankan gejala bersin dan hidung tersumbat
karena pilek
KI Hipersensivitas, hipertensi berat, mendapat anti
depresan tipe MAO inhibitor , neonatus.
P Menderita hipertensi atau punya potensi hpertensi atau
stroke, seperti pada penderita dengan BB berlebihan
atau lasia, menyusui.
ES Susah tidur, palpitasi, pusing, mual, muntah, hipertensi.
IO Penggunaan bersama antidepresan MOAI dapat
mengakibatkan krisis hipertensi.
D Dosis dewasa : 4x60 mg/hari
18
anak > 12 tahun 2x30 mg sehari
anak 6-12 tahun : 3x15 mg sehari
anak 2-5 tahun : 3x7,5 mg sehari.
dosis untuk sediaan tetes : Anak 2-5 tahun 3x0,8 ml
sehari.
S Tablet 30 mg, syrup 15mg/5 ml
Daftar Pustaka
19
BAB III
FISIOLOGI RESPIRASI
A. Fungsi hidung:
1. Menghangatkan
Penyesuaian suhu udara luar ke suhu dalam paru dengan adanya
struktur conchae dan septum
2. Melembabkan
Penyesuaian Kelembaban Udara Dari Rendah Ke 98 %
3. Filter
1-3 Merupakan Fungsi Air Conditioning
4. Kekebalan
Kekebalan terhadap masuknya baksil yang ikut masuk bersama
udara.
5. Indera penghidu
B. Fungsi Laring:
Jalan Napas
LARING
- Mempetahankan pembukaan jalan nafas
- Epiglotis mencegah makanan masuk ke dalam larynx
- Terdapat pita suara, yang berfungsi :
a. Mengejan
b. Batuk
c. Pengaman Gas Racun
d. Bicara
20
C. Percabangan Tracheobronchial:
• Zona Konduktif
– Trakea sampai ke bronchiolus terminal
– Bersilia membersihkan debris
– Memiliki cincin tulang rawan Saluran napas (death
space/ruang rugi)
– Kartilago terbukanya sistem
– Otot polos kontrol diameter saluran
• Zona respirasi : unit respiratorik
– Bronchioles Respiratorius s/d alveoli
– Tempat pertukaran gas
D. Alveoli
I. Inspirasi
Otot utama:
1. Diafragma n phrenicus (Cervical 3,4,5)
2. m. intercotalis externus n intercosta
Otot tambahan
Jika inspirasi dalam
1. m. Sternocleido mastoideus mengangkat sternum ke atas
2. m. Scalenus mengangkat costa 1,2
II. Ekspirasi
• Diafragma relaksasi
• Otot-otot di abdomen : m rectus abdominis mempercepat recoil
diafragma
• M. Intercostalis internus
Volume Pulmonal
• Volume Tidal
– vol udara masuk dan keluar pada saat pernapasan normal(±
500 ml)
• IRV : Inspiratory reserve volume
– Perbedaan volume inspirasi istirahat dan inspirasi
maksimum(± 3000 ml)
• ERV : Expiratory reserve volume
21
– Perbedaan volume ekspirasi istirahat dan ekspirasi
maksimum(± 1100 ml)
• Residual volume
– vol paru setelah ekspirasi maksimum(± 1200 ml)
– RV ini ptg k/ di alv akan tetap ada udara, shg kdr O2 & CO2
di drh tidak berubah dg cepat setiap kali bernapas
Kapasitas Pulmonal
• Inspiratory capacity
– VT + IRV
• Functional residual capacity
– ERV + RV
• Vital capacity
– IRV + TV + ERV
• Kapasitas Paru Total
– IRV + ERV + TV + RV
22
BAB IV
A. KONDUKSI :
1. Saluran Udara :
- hidung
- nasofaring
- larynx
- trakea
- bronchus
- bronhiolus
2. Pemeliharaan udara :
B. RESPIRASI: Alveoli
A. Konduksi
Bagian Konduksi merupakan saluran :
tidak terputus-putus
sebagian bersifat kaku
dibentuk oleh gabungan beberapa epitel
- ep blps gepeng bertanduk
- ep blps gepeng tidak bertanduk
- ep olfaktorius
- ep bertingkat toraks bersilia (respirasi)
- ep selapis torak
23
- ep selapis kubis
otot polos
jaringan ikat : serat elastis
kartilago (tulang rawan) : hialin / elastis
1. HIDUNG
Terdiri : Vestibulum
Fossa Nasalis
Vestibulum : rongga hidung yg letaknya paling depan & melebar
Nares (cuping hidung) : morfologik mirip kulit mengandung :
- kel sebasea/keringat
- lapisan tanduk
- rambut = vibrissea
a. Epitel Olfaktorius :
Mikroskopik : epitel bertingkat dgn 4 jenis sel, yaitu
1. Sel olfaktorius
- kemoreseptor penciuman
- neuron bipoler
dendrit bulbus olfaktorius
akson fila olfaktorius
- inti sel lebih rendah dari inti sel penyokong
- apeks melebar : 6 – 8 silia yg berfungsi sbg
reseptor
2. Sel Penyokong = sel sustentakuler
- sel berbentuk torak, apeks lebar, basal sel sempit
24
- sel warna coklat oleh karena pigmen
3. Sel Basal
- sel kecil, bentuk sferis/konus
- letak pada basal epitel
- dapat berdiferensiasi menjadi sel olfak & sel
penyokong
4. Sel Sikat = Brush cell
- Jarang dijumpai, berbentuk torak dgn mikrovili
panjang
25
BAB V
MIKROBIOLOGI
26
virus, Echovirus
27
BAB VI
PULMONOLOGI
28
Anamnesis
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka menigkatkan kemungkinan
pasien memiliki Asma, yaitu :
1. Terdapat lebih dari satu gejala ( mengi, sesak, dada terasa berat)
khususnya pada dewasa muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari
3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen,
perubahan cuaca, tertawa atau iritan seperti asap kendaraan, rokok
atau bau yang sangat tajam
29
Faktor Risiko Asma
30
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE sebelum
dan sesudah pemberian inhalasi salbutamol.
31
* Semua eksaserbasi terjadi dalam pengobatan yang adekuat
** Berdasarkan definisi, eksaserbasi di minggu apapun membuat asma
tidak terkontrol
*** Tanpa pemberian bronkodilator Fungsi paru tidak untuk anak 5 tahun
atau lebih muda
Penatalaksanaan Komprehensif
Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi serta mengendalikan
faktor pencetusnya.
2. Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian pengobatan jangka
panjang serta menetapkan pengobatan pada serangan akut sesuai
tabel di bawah ini.
32
4. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
a) Menghindari setiap pencetus.
b) Menggunakan bronkodilator/steroid inhalasi sebelum melakukan
exercise untuk mencegah exercise induced asthma.
Kriteria rujukan
1. Bila sering terjadi eksaserbasi.
2. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
3. Asma dengan komplikasi.
Daftar Pustaka
33
5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pada serangan asma, APE sebaiknya diperiksa sebelum
pengobatan, tanpa menunda pemberian pengobatan. Pemeriksaan
ini dilakukan jika alat tersedia.
2. Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry dapat dilakukan bila alat
tersedia
3. Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan jika fasilitas tersedia.
Penegakan Diagnostik
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Tabel serangan asma akut
34
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
35
Pengobatan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan
36
Kriteria pulang
Pertimbangan untuk memulangkan pada penderita di layanan primer:
1. Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan berkurang, frekuensi
napas kembali
normal, mengi menghilang, nadi dan tekanan darah kembali
normal, pasien
dapat bernapas tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat
berbicara lebih lancar
atau berjalan, atau kesadaran membaik.
2. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60% nilai terbaik/ prediksi
dengan
pengawasan ketat di komunitas.
3. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60% nilai terbaik/ prediksi dan
pasien dapat
menggunakan obat inhalasi atau oral dengan patuh.
4. Penderita dirawat inap
Kriteria Rujukan
Tidak respons dengan pengobatan, ditandai dengan:
a. Tidak terjadi perbaikan klinis.
b. Bila APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/
prediksi; atau APE pasca tatalaksana < 40% nilai terbaik/
prediksi.
c. Serangan akut yang mengancam jiwa
d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik), atau masalah dalam
diagnosis banding, atau komplikasi atau penyakit penyerta
(komorbid); seperti sinusitis, poli hidung, aspergilosis (ABPA),
rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks gastroesofagus dan
PPOK.
e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan
standar, seperti uji kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru
lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih (kardiopulmonary
exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.
Konseling dan edukasi
Edukasi sebaiknya diberikan dalam waktu khusus di ruang tertentu,
dengan alat peraga yang lengkap seperti gambar pohon bronkus, phantom
rongga toraks dengan saluran napas dan paru, gambar potongan
melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan sebagainya. Hal yang
demikian mungkin diberikan di klinik konseling asma.
Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat
darurat, klinik, klub asma; dengan bahan edukasi terutama mengenai cara
dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek
samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma.
1. Meningkatkan kebugaran fisis
2. Berhenti merokok
3. Menghindari pencetus di lingkungan sehari-hari
37
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis
danpenatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004
2. Global Initiative For Asthma. Global strategy for asthma
management andprevention. GINA. 2012.
3. Panduan Praktik Klinik Bagi dokter di fasilitas Layanan Primer.
2014.
6.3 TUBERKULOSIS
Tingkat kemampuan : 4A
Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22
negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar
5,8%. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu
TB Resisten Obat (MultiDrug Resistance/ MDR). Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 µm dan
panjang 1 – 4 µm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari
lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterialsulfolipids
yang berperan dalam virulensi.
Patogenensis
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban.
Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan
menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama
kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini
akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman
menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sito-plasma makrofag.
Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk sarang tuberkulosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek priiner atau sarang (fokus Ghon).
Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk
38
melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang.
Bila masuk ke arteri pulmolalis maka teradi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer limfangitis lokal + limfadenitis regional : kompleks primer (Ranke).
Semua proses ini memakan Kompleks primer ini selanjutnya:
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak
terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi
pneumonia yang luasnya > 5 mm dan + l0% di antaranya dapat
terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
Berkomplikasi dan menyebar secara : a). Perkontinuitatum, yakni
menyebarke sekitanya, b). Secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus
secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya, secara hematogen,
ke organ tubuh lainnya.
39
terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltasi jaringan fibroblas dalam jumlah
besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat oleh ensim yang diproduksi oleh makrofag, dan
proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan
lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada
imunodefisiensi dan usia lanjut.
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas
dapat: a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila
isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB
milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung
dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjuhnya mengikuti
perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura; b.
memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah
kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi
mycetoma; c. bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat
juga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti
bintang disebut stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1). Sarang
yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi; 2).
Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap
dan sempuma; 3). Sarang yang berada antara aktif dan sembuh' Sarang
bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan
terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang
sempurna juga.
Anamnesis
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala
umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai:
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, keringat malam dan mudah lelah).
40
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA)
atau kultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-
sewaktu.
3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Pada TB,
umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan
dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas
membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai
yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis
(penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).
Diagnosis Pasti TB
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak).
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC 2014)
Standar Diagnosis
1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus
waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB
dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik
yang tepat pada mereka dengan gejala TB.
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥
2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
3. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu
mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen
apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk
pemeriksaan Xpert MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang
kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah spesimen pagi.
Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah
sebaiknya melakukan pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji
diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferongamma release
assay sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari
organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan
histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji
mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan
penegakan diagnosis yang cepat.
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika
apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien denga gejala
41
klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan
anti tuberkulosis setelah pemeriksaan kultur.
Penatalaksanaan Komprehensif
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan:
1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
pasien.
2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
3. Mencegah kekambuhan TB.
4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan
monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai,
diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient
centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung
(DOT= directly observedtreatment) oleh seorang pengawas
menelan obat.
7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator
penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada
akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan
efek samping harus tercatat dan tersimpan.
42
Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC
43
Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program
NasionalPengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Artinya pengobatan tahap awal selama
2 bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan
diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan
seluruhnya 6 bulan.
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Diberikan pada TB paru
pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus
berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama
3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin,
dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari.
Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu.
Jadi lama pengobatan 8 bulan.
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai
dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis
menjadi kurang baik. Kriteria hasil pengobatan:
1. Sembuh: pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya
negatif pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap: pasien yang telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan
apusan dahak ulang pada foto toraks AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya.
3. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena
sebab apapun.
4. Putus berobat (default): pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-
turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5. Gagal: Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau selama
pengobatan.
44
6. Pindah (transfer out): pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan
pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta.
2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi
DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia. Jakarta. 2012.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
4. Panduan Praktik Klinik Bagi dokter di fasilitas Layanan Primer.
2014.
5. Sodowo AW, Setiohadi B, Alwi I, Smadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Imu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna, 2009.
45
MODUL TUTORIAL
46
SKENARIO I
MEROKOK
Capaian Pembelajaran :
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat:
1. Menjelaskan hubungan merokok dan penyakit TBC
- Merokok merupakan faktor resiko TBC
- Mekanisme merokok dan terjadinya penyakit TBC
2. Menjelaskan hubungan merokok dan penyakit PPOK
- Merokok merupakan faktor resiko PPOK
- Mekanisme merokok dan terjadinya penyakit PPOK
3. Menjelaskan hubungan merokok dan penyakit asma bronkiale
- Merokok merupakan faktor resiko penyakit asma bronkiale
- Mekanisme merokok dan terjadinya penyakit asma bronkiale
4. Menjelaskan teknik konseling untuk mendorong pasien
menghentikan kebiasaan merokok pada masing-masing penyakit.
KASUS
Seorang laki-laki 56 th datang ke rumah sakit karena batuk hebat dan sesak napas. Ia
memiliki riwayat sesak berulang sejak 3 tahun lalu dan semakin memburuk terutama
selama 3 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan tanda vital: suhu 37 oC, denyut nadi adalah
104x/mnt, dan pernafasan 34x/menit yang tampak terengah-engah pada pemeriksaan
dada. Dokter melakukan tes spirometry dan hasilnya menunjukkan PEF 50% dari nilai
prediksi. Tes oksimetri 84%. Dia adalah seorang perokok berat yang mulai merokok
sejak ia berusia 15 tahun. Dia biasanya merokok 2 bungkus rokok per hari, tapi sejak
gejala penyakitnya makin berat ia hanya merokok 1 bungkus per hari.
47
dimaksud untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam.
5. Mengikuti kuliah khusus(kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang
belum jelas.
Keterangan :
- Langkah 1-5 dilakukan dalam diskusi pertama bersama tutor.
- Langkah 6 dilakukan dengan belajar mandiri,dapat dilakukan
berkelompok atau sendiri-sendiri, yang kemudian didiskusikan
ulang bersama kelompok (tanpa kehadiran tutor).
- Langkah tujuh dilakukan dalam diskusi dengan tutor.
JADWAL KEGIATAN
1. Pertemuan pertama dalam kelas besar dengan tatap muka satu arah
dan tanya jawab.
Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara menyelesaikan modul,
dan membagi kelompok diskusi. Pada pertemuan pertama buku modul
dibagikan.
2. Pertemuan kedua : diskusi mandiri. Tujuan :
* Memilih ketua dan sekretaris kelompok,
* Brain-storming untuk proses 1 – 3,
* Membagi tugas
3. Pertemuan ketiga: diskusi tutorial dipimpin oleh mahasiswa yang terpilih
menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor. Tujuan:
untuk melaporkan hasil diskusi mandiri dan menyelesaikan proses
sampai langkah 5.
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan: untuk mencari
informasi baru yang diperlukan,
48
5. Pertemuan keempat: adalah diskusi tutorial. Tujuan: untuk melaporkan
hasil diskusi lalu dan mensintese informasi yang baru ditemukan. Bila
masih diperlukan informasi baru dilanjutkan lagi seperti No. 2 dan 3.
6. Pertemuan terakhir: dilakukan dalam kelas besar dengan bentuk
diskusi panel untuk melaporkan hasil diskusi masing-masing kelompok
dan menanyakan hal-hal yang belum terjawab pada ahlinya (temu
pakar).
STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Diskusi kelompok difasilitasi oleh tutor
2. Diskusi kelompok tanpa tutor
3. Konsultasi pakar
4. Kuliah khusus dalam kelas
5. Aktivitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan
menggunakan buku ajar, majallah, slide, tape atau video dan internet
6. Melakukan kegiatan praktikum : anatomi, fisiologi, histology,
Patologi Anatomi, Mikrobiologi, Patologi Klinik dan Gizi
Beberapa pertanyaan:
1. Bagaimana epidemiologi penyakit TBC, PPOK dan Asma Khususnya di
Indonesia?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya infeksi pernafasan pada perokok?
3. Bagaimana proses imunologi yang terjadi pada TBC, PPOK dan Asma
dikaitkan dengan merokok?
4. Bagaimana mendiagnosa penyakit akibat merokok?
5. Bagaimana dampak merokok pada pasien TBC, PPOK dan Asma?
6. Bagaimana hubungan merokok pasif dengan penyakit TBC, PPOK dan
Asma?
7. Bagaiman teknik konseling yang baik untuk menghentikan merokok
pada pasien?
49
TEORI
Tobacco and Tuberculosis
Tobacco Curriculum Module
Tuberculosis in Indonesia
Indonesia has the third highest number of tuberculosis (TB) cases in the
world after India and China, with 580.000 cases reported in 2005. Even
though the prevalence of TB has decreased significantly in the last three
decades, it remains the third leading cause of death (10%) in Indonesia.
The estimated morbidity and mortality rate for TB in Indonesia was 262 and
41 cases per 100.000 populations in 2005. The Indonesia government is
committed to reducing the burden of TB and in 1994 implemented a DOTS
TB management protocol. At present, 98% of Indonesian population is
living in areas where health services have adopted DOTS. The National
Tuberculosis Programs conducts various activities aiming at TB prevention
and control in Indonesia, however, smoking cessation is not yet integrated
in the TB control program in Indonesia.
50
disease will increase. If smoking increases the risk of TB diseases in those
already infected, this will increase the proportion of smokers at risk of TB
mortality. The independent RR for TB disease can be estimated by dividing
the study derived RR for TB disease (2.3-2.7) by the RR for TB infection
(1.7). This gives an estimated RR for development of TB disease in an
infected population of 1.4 to 1.6 Ex-patients are more than 3 times more
likely to relapse if they smoke following short course TB treatment.
51
quit smoking. Those who were reported being asked, were mainly asked by
doctor, and very few of them reported being asked by nurses. Involving all
health professionals in smoking cessation is essential, and can strengthen
cessation message given by each health professionals. Almost all
cessation advices were given when patients were diagnosed, and noted in
passing. Only 40% of patients received disease specific messages which
commonly describe the importance of smoking cessation to enable the
lungs to heal and become strong. The other 60% patients were given
general advice for not smoking. (Ng et al., 2008).
Health professionals should be encouraged to provide smoking cessation
messages to TB patients during each clinical encounters, as the illnes can
be a teachable moment for TB patients. Patient counseling needs to both
increase patient’s awareness of the harmfull effect of tobacco for general
health and for the well being of TB patients in particular. (McBride et al.,
2003).
52
The meta-analysis also confirms a dose-response relationship between
passive smoking and the risk of TB infection. The probability of TB infection
increases with the number of daily cigarettes smoked by family member, as
well as with the proximity of contact with smoking household member. The
adjusted OR for those who were in close contact was 9.3 (95% CI = 3.14 –
27.6).
53
Living Mycobacterium tuberculosis captured in macrophages prevents
phagosome acidification and lysosomes fusion, thus it decreases the
phagocytosis ability of macrophages. The bacilli can acquire iron from host
endosomal holotransferin, and can utilize the host lipid trafficking for the
delivery of additional iron by mycobactin. Tobacco contains iron load which
can reach up to 1.1µg in each 1 pack of cigarettes. Exact mechanism on
how the increase of iron load by smoking can influence the risk of
tuberculosis is currently lacking.
54
9. Members of families in which there is more than one active smoker
more often suffer from COPD, smoke ten cigarettes per 24 hours more,
and smoke ten years longer than members of families in which there is
only one active smoker. (2)
10. The overall prognosis for a patient with COPD depends on the severity
of lung disease and whether the patient continues to smoke. (4)
11. The earlier the quitting, the better the improvement of FEV1. (5)
55
Smoking and Respiratory Infection-the mechanism
Although the exact pathogenesis mechanism is unclear, cigarette smoking
is suggested to increase the risk of systemic infection through is effect on
airway structural changes and immunologic systems.
Cigarette smoking can lead to structural changes in the respiratory tract,
which include peribronchiolar inflammation and fibrosis, increased mucosal
permeability, changes in pathogen adherence, impirment of the
mucociliarry clearance, and disruption of the respiratory epithelium. Toxic
agents in cigarette smoke, including acrolein, acetaldehyde, formaldehyde,
free radicals produced from chemical reactions within the cigarette smoke,
and nitrit oxide, may contribute to the observed structural alterations in the
airway epithelial cells.
Cigarette smoking alters cellular and humoral immune system functions,
through yet unclear pathogenesis mechanism. These alterations include a
decreased level of circulating immunoglobulin’s, a depression of antibody
responses to certain antigens, a decrease in CD4+ lymphocyte counts, an
increase in CD8+ lymphocyte counts, depressed phagocyte activity, and
decreased release of proinflammatory cytokines.
56
different health professionals, and followed by weekly telephone call at
home after discharged from the clinic. A second visit was scheduled 2-3
months after initial visit, and patients stay for 2-4 days. During the rest of
the year, patients received two phone calls per month. The whole program
lasted for 1 year. Patients in the intervention group has better abstinence
rate and less day spent on sick-leave from work. (Sundbald et al., 2008)
A systematic literature review conducted by Godtfredsen et al. (2008) tried
to assess the COPD-morbidity and mortality following smoking cessation.
About 48 researches were reviewed, and a concrete conclusion cannot be
obtained due to different methodological problems, poor data quality and
limited interpretation of the study results. However, in general, all studies
showed beneficial effect of smoking cessation to COPD morbidity and
mortality. Following cessation, the progress of lung-function decline is
halted, and hence survival improves. Smoking cessation decrease the
incidence of COPD and hospital admission with a COPD exacerbation. The
beneficial effects vary depend on cumulative tobacco exposure and
duration of smoking cessation. (Godtfredsen et al., 2008)
Pathology of COPD
Inhaled toxic agents will trigger inate and adaptive inflammatory immune
response which is the basis of COPD development. The mechanism is not
well-understood yet. Irritant from cigarette smoke can cause cellular stress
or tissue damage. Matzinger proposed “danger hypothesis” in which he
argued that it is the cellular stress or tissue damage resulting from infection
that can trigger immune system, not the infection by itself.
Infiltration of these inflammatory cells influences tissue repair and
remodeling process leading to high proliferative activity of the epithelial
cells, and both mucous and squamous cell metaplasia. Two mechanisms
that lead to the narrowing of airway: (i) occlusion of airway by inflammatory
exudates; and (ii) thickening of airways wall due to tissue repair.
Emphysematous destruction of respiratory bronchioles decreases the
elastic recoil pressure, leading to residual air during forced expiration and
leads to airflow limitation.
57
lung epithelial tissues, producing necrotic tissues which can lead to
activation of nuclear factor κB (NF-κB) and production of mediators of
inflammation. The alveolar macrophages and neutrophils will be
activated by the mediators, and can secrete proteolytic enzymes which
can damage lung tissue.
2. Step 2 (T-cell activation and proliferation) – this stage typically leads to
GOLD stage 1 or stage 2. Stimulation by toll-like receptors (TLRs) on
dendrite cells at local lymphatic organ will lead to “the expression of
CD80-CD86 and cytokines, which favors T cell antigen presentation
and proliferation into effector CD4+ type 1 helper (Th1) T cells and
cytolytic CD8+ T cells. Interleukin-6, secreted by the dendritic cells,
favors the production of effector T cells by overcoming the signals from
regulatory T (Treg) cells. Upon activation, effector T cells express
tissue-specific chemokine receptors.”
3. Step 3 (adaptive immune response) – upon full responses have
developed, disease will progress to the most severe stage (GOLD stage
3 and 4). Following T-cell proliferation, an adaptive autoimmune
response will develop, with CD4+ type 1 helper (Th1) T cells, cytolytic
CD8+ T cells, and IgG-producing B cells. This immune inflammation will
lead to cellular necrosis, apoptosis, immune and complement
deposition, tissue injury with airway remodeling and emphysema, and
the disease progressivity worsens by additional antigenic material.
58
TOBACCO & ASTHMA
Global Burden of Adult Asthma
The Global Burden of Asthma report published by the Global Initiative for
Asthma (GINA) compiled information from two large international studies on
asthma: the International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) and the European Community Respiratory Health Survey
(ERCHS). Despite its limitation due to survey methodology, the report
provides a good quick glance on the global burden of asthma, which are
scarcely available.
The report shows a large variation in global prevalence of current asthma
symptoms in children and adult, asthma mortality, case fatality rate, and
access to essential drug. Data on these indicators are mainly lacking in
many African countries. Moreover, variations are also observed among
centers within countries. A high prevalence of clinical asthma (>10%) was
reported in North America, Brazil, Peru the UK and Australia. Information
on asthma case-fatality rate are mainly lacking in many African and Asian
countries, but a high case fatality rate of > 10 deaths per 100.000
population was reported in China (36.7 deaths per 100.000 population),
Russia (28.6), Uzbekistan (27.2), Albania (20.8), South Africa (18.5),
Singapore (16.1), Romania (14.7), Mexico (14.5), Malta (11.6), and
Colombia (10.1).
59
macrophages) in bronchial wall and neutrophil within bronchial
secretions increase. Peripheral airways are also infiltrated with
mononuclear cells and macrophages.
2. Cigarette smoking influences the production of cytokines and
mediators. The IL-8 level increases in asthmatic smokers, and this is
positively associated with doses of smoking and number of neutrophils,
and negatively associated with FEV1. The IL-18 level, which plays a
regulatory role in asthma, decreases among smokers, and this might
lead to defect in inhibiting Th2-lymphocyte response. Exhaled NO
(eNO) is reduced by cigarette smoke through inhibition of inducible NO
synthase.
3. In asthmatic smoker, the longitudinal sub mucosal elastic fiber network
in airway increases, and this can cause changes in mechanical
properties of the airway fall.
4. Smoking alters inflammatory cell response, shown by suppression of
the elevated circulating blood eosinophil counts.
60
Smoking cessation should be an integrated part of management of
asthmatic patients. Studies have shown that asthma symptoms
experienced by former smoker are similar to those of non-smoker. The
effect of smoking on asthmatic patients and their treatment are reversible.
The high clearance rate of theophylline can decrease by 35% following one
week smoking cessation. Cessation can also reverse the corticosteroid
resistance, shown by improvement of peak expiratory flow following
cessation.
61
incidence asthma associated with ETS was 1.48 (95%CI = 1.32-1.65),
1.25 (1.21-1.30) and 1.21 (1.03-1.36), respectively.
The National Children’s Health Survey in the US conducted among
102.000 youth aged 0-17 years old also showed a significant
association between household smoking and increase in risk of asthma
among children, which is independent of outdoor air quality and socio-
economic level.
Daftar Pustaka
1. Arcavi L, Benowitz NL. Cigarette smoking and infection. Arch Intern
Med 2004;164(20):2206-16.
2. Bates MN, Khalakdina A, Pai M, Chang L, Lessa F, Smith KR. Risk
of tuberculosis from exposure to tobacco smoke: a systematic review
and meta-analysis. Arch Intern Med 2007;167(4):335-42.
3. Boelaert JR, Vandecasteele SJ, Appelberg R, Gordeuk VR. The
effect of the host's iron status on tuberculosis. J Infect Dis
2007;195(12):1745-53.
4. Chiang CY, Slama K, Enarson DA. Associations between tobacco
and tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 2007;11(3):258-62.
5. Davies PD, Yew WW, Ganguly D, Davidow AL, Reichman LB, Dheda
K, et al. Smoking and tuberculosis: the epidemiological association
and immunopathogenesis. Trans R Soc Trop Med Hyg
2006;100(4):291-8.
6. Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco Smoke, Indoor Air Pollution
and Tuberculosis: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS
Med 2007;4(1):e20.
7. McBride CM, Emmons KM, Lipkus IM. Understanding the potential of
teachable moments: the case of smoking cessation. Health Educ
Res 2003;18(2):156-70.
8. Ministry of Health Indonesia. Indonesia Health Profile 2001. Jakarta:
Ministry of Health, Indonesia 2002.
9. Ng N, Padmawati RS, Prabandari YS, Nichter M. Smoking behavior
among former tuberculosis patients in Indonesia: intervention is
needed. Int J Tuberc Lung Dis 2008;12(5):567-72.
10. Siddiqi K, Lee AC. An integrated approach to treat tobacco addiction
in countries with high tuberculosis incidence. Trop Med Int Health
2009;14(4):420-8.
11. Slama K, Chiang CY, Enarson DA. Tobacco cessation and brief
advice. Int J Tuberc Lung Dis 2007;11(6):612-6.
12. Soemantri S, Senewe FP, Tjandrarini DH, Day R, Basri C, Manissero
D, et al. Three-fold reduction in the prevalence of tuberculosis over
25 years in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis 2007;11(4):398-404.
13. World Health Organization. Global tuberculosis control: surveillance,
planning, financing. Geneva: World Health Organization 2007.
63
Report No.: WHO/HTM/TB/2007.376.
14. Arcavi L, Benowitz NL. Cigarette smoking and infection. Arch Intern
Med 2004;164(20):2206-16.
15. Calverley PM, Walker P. Chronic obstructive pulmonary disease. Lancet
2003;362(9389):1053-61.
15. Cosio MG, Saetta M, Agusti A. Immunologic aspects of chronic
obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 2009;360(23):2445-54.
16. Godtfredsen NS, Lam TH, Hansel TT, Leon ME, Gray N, Dresler C,
et al. COPD-related morbidity and mortality after smoking cessation:
status of the evidence. Eur Respir J 2008;32(4):844-53.
17. Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, Badamgarav E, Buist AS, Mannino
DM. Global burden of COPD: systematic review and meta-analysis.
Eur Respir J 2006;28(3):523-32.
18. Hogg JC, Timens W. The pathology of chronic obstructive pulmonary
disease. Annu Rev Pathol 2009;4:435-59.
19. Mathers CD, Loncar D. Projections of global mortality and burden of
disease from 2002 to 2030. PLoS Med 2006;3(11):e442.
20. Pelkonen M. Smoking: relationship to chronic bronchitis, chronic
obstructive pulmonary disease and mortality. Curr Opin Pulm Med
2008;14(2):105-9.
21. Sundblad BM, Larsson K, Nathell L. High rate of smoking abstinence
in COPD patients: Smoking cessation by hospitalization. Nicotine
Tob Res 2008;10(5):883-90.
22. World Health Organization. Global surveillance, prevention and
control of chronic respiratory diseases. Geneva: World Health
Organization 2007.
23. Yin P, Jiang CQ, Cheng KK, Lam TH, Lam KH, Miller MR, et al.
Passive smoking exposure and risk of COPD among adults in China:
the Guangzhou Biobank Cohort Study. Lancet 2007;370(9589):751-
7.
24. Adis Data Information BV. Smoking has a negative impact on asthma
and alters the response to some asthma therapies. Drugs Ther
Perspect 2006;22(2).
25. Austin JB, Selvaraj S, Godden D, Russell G. Deprivation, smoking,
and quality of life in asthma. Arch Dis Child 2005;90(3):253-7.
26. Baena-Cagnani CE, Gomez RM, Baena-Cagnani R, Canonica GW.
Impact of environmental tobacco smoke and active tobacco smoking
on the development and outcomes of asthma and rhinitis. Curr Opin
Allergy Clin Immunol 2009;9(2):136-40.
27. Global Initiative for Asthma. Global Burden of Asthma: Global
Initiative for Asthma 2004.
28. Haughney J, Price D, Kaplan A, Chrystyn H, Horne R, May N, et al.
Achieving asthma control in practice: understanding the reasons for
poor control. Respir Med 2008;102(12):1681-93.
29. Lai CK, Beasley R, Crane J, Foliaki S, Shah J, Weiland S. Global
variation in the prevalence and severity of asthma symptoms: phase
64
three of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC). Thorax 2009;64(6):476-83.
30. Shavit O, Swern A, Dong Q, Newcomb K, Sazonov Kocevar V,
Taylor SD. Impact of smoking on asthma symptoms, healthcare
resource use, and quality of life outcomes in adults with persistent
asthma. Qual Life Res 2007;16(10):1555-65.
31. Thomson NC, Chaudhuri R, Livingston E. Asthma and cigarette
smoking. Eur Respir J 2004;24(5):822-33.
32. Thomson NC, Spears M. The influence of smoking on the treatment
response in patients with asthma. Curr Opin Allergy Clin Immunol
2005;5(1):57-63.
33. World Health Organization. Global surveillance, prevention and
control of chronic respiratory diseases. Geneva: World Health
Organization 2007.
SKENARIO 2
BATUK DAN SESAK PADA DEWASA
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Instruksional Umum (TIU) :
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan tentang konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan
gejala batuk dan sesak serta mampu membedakan beberapa penyakit
system respirasi yang diberikan tersebut.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK):
Setelah mempelajari modul ni, mahasiawa akan dapat:
1. Menyebutkan penyakit-penyakit yang dapat memberikan gejala
batuk/sesak pada dewasa
2. Menjelaskan patomekanisme terjadi sesak/batuk pada dewasa
2.1. Menggambarkan susunan dari organ-organ respirasi
2.2. Menjelaskan tentang struktur dan fungsi sel-sel dar masing-
masing organ respirasi
2.3. Menjelaskan tentang fisiologi pernafasn dan perubahan yang
terjadi
3. Menjelaskan patomekanisme penyakit-penyakit yang
menyebabkan batuk/sesak
4. Menjelaskan etiologi dari penyakit-penyakit yang menyebabkan
batuk/sesak
5. Menjelaskan gambaran klinik lain yang menyertai batuk/sesak pada
penyakit system respirasi
6. Menjelaskan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita
penyakit-penyakit yang memberikan keluhan utama sesak.
65
7. Menjelaskan pencegahan penyakit-penyakit respirasi dengan
gejala utama batuk/sesak
KASUS
Skenario 2
Seorang laki-laki 69 th, pensiunan bekerja di pabrik semen, dibawa kerumah sakit oleh
anaknya yang juga seorang dokter puskesmas karena menderita sesak yang hebat dan
sangat lemah. Kondisi kelemahan ini sebenarnya telah dialaminya sejak 4 bulan lalu,
dimana pada saat itu ia menderita batuk yang tidak produktif yang disertai demam, yang
membaik setelah diberikan antibiotic selama 6 hari ditambah obat-obat simptomatik.
Saat ini ia juga menderitabatuk yang poduktif dengan sputum yang kecoklatn sejak 4 hari
lau, dan sejak 2 hari lalu ia mengeuh demam yang disertai muntah. Ia tiak ada riwayat
merokok ataupun minum minuman keras, ia tidak pernah keluar kota atau melakukan
perjalanan jauh sejak 1 tahun terakhir dan tidak pernah kontak dengan orang sakit
sebelumnya. Selain itu ia sering mengalami gastric reflux yang disertai dengan mual dan
TUGAS UNTUK MAHASISWA
muntah.
1. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa harus
mendiskusikan kasus tersebut pada suatu kelompok diskusi yang
dipimpin oleh seorang ketua dan seorang notulen yang dipilih oleh
mahasiswa.
2. Melakukan aktivitas pembelajaran individual dengan mencari bahan
informasi yang mendukung diskusi.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa tutor)
4. Berkonsultai pada narasumber yang ahli pada permasalahan yang
dimaksud untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam.
5. Mengikuti kuliah khusus (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang
belum jelas.
66
6. Cari informasi tambahan tentang kasus diatas diluar kelompok
tatap muka
7. Laporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi yang
ditemukan
Keterangan:
- Langkah 1-5 dilakukan dalam diskusi
- Langkah 6 dilakukan dengan belajar mandiri, dapat dilakukan
berkelompok atau sendiri-sendiri , yang kemudian didiskusikan ulang
bersama kelompok (tanpa kehadiran tutor)
- Langkah 7 dilakukan dalam diskusi dengan tutor
JADWAL KEGIATAN
1. Pertemuan pertama: dalam kelas besar dengan tatp muka satu arah
dan Tanya jawab. Tujuan: menjelaskan tentang modul dan cara
menyelesaikan modul, dan membagi kelompok diskusi, pada
pertemuan pertama buku modul dibagikan
2. Pertemuan kedua : diskusi mandiri
Tujuan:
Memilih ketua dan sekertaris kelompok
Brain-storming untuk proses 1-3
Membagi tugas
3. Pertemuan ketiga : diskusi tutorial dipimpin oleh mahasiswa yang
terpilih menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor.
Tujuan: untuk melaporkan hasil diskusi mandiri dan menyelesaikan
proses sampai langkah 5.
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan: untuk mencari
informasi baru yang diperlukan.
5. Pertemuan keempat : adalah diskusi tutorial. Tujuan: untuk melporkan
hasil diskusi lalu dan mensintese informasi yang baru ditemukan. Bila
masih diperluakn informasi baru dilanjutkan lagi seperti N0.2 dan 3
6. Pertemuan terakhir/: dilakukan dalam keas besar dengan bentuk
diskusi panel untuk meaporkan hasil diskusi masing-masing kelompok
dan menanyakan hal-hal yang belum terjawab pada ahlinya (temu
pakar)
STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Diskusi kelompok difasilitasI oleh tutor
2. Diskusi kelompok tanpa tutor
3. Konsutasi pakar
4. Kuliah khusus dalam kelas
5. Aktivitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan
menggunakan buku ajar, majalah, slide, tape atau video dan internet
6. Melakukan kegiatan praktikum : anataomi, fisiologi, histology, patologi
Anatomi, mikrobiologi, patologi Klinikdan Gizi
67
7. Menjelaskan pencegahan penyakit-penyakit respirasi dengan gejala
utama batuk/sesak.
PROBLEM TREE
Anatomi
Hitologi
Mikrobiologi BATUK/SESAK
DIAGNOSIS
Epidemiologi Penatalaksanaan
Medikamentosa/non
Prevalensi & Pengendalian
medikamentosa
Insidens
Preventif Promotif
68
4. Grey Henry, Mayo Goss C.The respiratory System in : Anatomy of The
Human Body 17th ed.,Les and Febiger,Philadelphia,1959,page: 1167-
1202
5. Atlas Spatelholz
6. Thena Wijaya M,Dasar-Dasar Biokimia Lehninger jilid 3,Copyright
Indonesia,penerbit Erlangga Surabaya,199,page 79-104
7. Davis BD,Microbyology 3rd ed.Harper &Row,Maryland,1980
8. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,Harrison
9. Buku Ajar Patologi,Robbins dan Kumar
10. Sutton D.,A.Textbook of radiology and Imaging,1993
11. Leavel,Clark,text Book of preventive Medicine
12. Junguira LC,Carneiro J : Basic Histology,3th,ed,Los Atlos California
USA,Lange Medical Publication,1980,page358-377
13. Mahan LK,Arlin MT.,Nutritional Care in Pulmonary Disease in :
Krause’s Food,Nutrition &diet therapy, 9thed.,Philadelphia,W.B
14. Melmon & Morell’s, Clinical Pharmacology Baic Principles in
Therapeutics 3rd,Mc Grow Hill,1992
15. Boies,Hilger,Priest.Fundmental of Otolaryngology.A Text Book of Ear
Nose & Throat Diseases Fundmental of Otolaryngology
16. Laurel,Guide to management of Infection Disease,New York,1983
SKENARIO I SKENARIO II
Kata/Kalimat Kunci Kata/kalimat Kunci
- Laki-laki 25thn - Laki-laki 69 thn
- Batuk berat dan berdahak, warna - Sesak yang hebat
mucoid kadang kuning sudah - Lemah sejak 4 bln lalu setelah
dialami selama 2 minggu. menderita sakit dengan gejala
- 1 bln sebelumnya sudah menderita batuk tidak produktif disertai
batuk yang agak baikan setelah demam yng berespon dengan
minum obat antibiotic
- Demam yang sifatnya hilang timbul - Batuk produktif dengan sputum
sejak 2 minggu yng lalu kecoklatan sejak 4 hari lalu
- Sakit kepala,myalgia - Demam 2 hari
- Anoreksia - Tidk ada riwayat merokok
- S : 38,5◦C N: 100x/mnt - Tidak pernah melakukan
T : 115/70mmHg P: 20x/mnt perjalanan keluar kota
- Tidak ada kontak dengan orang
sakit
- Ad riwayat
- Gastric reflux yang disertai mual
& muntah
69
Beberapa pertanyaan prinsip :
1. Penyakit apa saja yang dapat menyebabkan gejala tsb (differential
diagnose)
2. Bagaimana patomekanisme terjadiny batuk/sesak pada dewasa
3. Apa defenisi dari masing-masing penyakit yang menyebabkan
batu/sesak tersebut
4. Apa penyebab dari masing-masing penyakit tsb
5. Bagaimana gambaran klinik dari penyakit-penyakit tersebut
6. Pemeriksaan penunjang apa yang dibutuhkan
7. Bagaimana gambaran hasil foto thorax penyakit-penyakit tsb
8. Bagaimana penatalaksanaan dari masing-masing penyakit tsb
9. Bagaimana epidemiologi dan pencegahan dari penyaki-penyakit
tsb.
DIFERENSIAL DIAGNOSA
SKENARIO I SKENARIO II
- Bronchitis akut/kronik - Pneumonia sepsis
- Bronchopneumonia/pneumoni - Kegagalan
- TBC Pernapasan Akut
- Sinusitis/otitis media (ARDS)
- TBC Paru infeksi
sekunder
- Bronhiektasi
eksaserbasi akut
BRONCHITIS AKUT/KRONIK
Bronchitis kronik salah suatu defenisi klinis yaitu batuk-batuk hamper
setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan
berturut-turut dalam satu tahunnya dan terjai paling sedikit selama 2 tahun.
Pada bronchitis kronik terjadi hiertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus
bronchus,terjadi sekresi mucus yang berlebih dan lebih kental. Terdapat
pula peradangan difuss, penambahan sel mononuclear di submucosa
tracheobronchial, metaplasia epitel bronchus dan sub mucosa, edema,
fibrosis peribronchial, penyumbatan mucus intra luminal dan penambahan
otot polos.
Ada 3 faktor penting yang berpengaruh pada timbunya bronchitis
kronik yaitu : rokok, infeksi dn polusi, selain itu dapat pula factor keturunan.
Gambaran klinis:
- Batuk yang kadang disertai dahak/sputum putih/mocoid bila ada infeksi
menjadi purulent atau mucopurulen yang kental
- Sesak
- Dapat timbul keluhan neurologis seperti kesadaran yang menurun
sampai koma, sakit kepala, tremor dan twitching
- Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik,
hanya terdapar ronchi baik pada inspirai maupun ekspirasi
- Dappat ditemukan tanda-tanda overinflasi paru seperti barrel chest,
kifosis, diameter AP dada bertambah
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnose
adalah:
- Pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks, dimana dapat ditemukan
adanya corakan bronchovaskuler paru yag bertambah
- Pemeriksaan faal paru(fungsi paru), dimanaditemukan FER (forced
expiratory volume)dan vitl capacity yng menurun, volume residu (VR)
yang bertambah dan total capacity paru yang normal. Sedangkan
kapasitas residual fungsional sedikit naik atau normal.
- Analisa gas darah, dapat ditemukan PaCO2 yang naik karena tidak
dapat mempertahankan ventilasi dengan baik. Selain itu terjadi pula
saturasi Hb yang menurun sehingga timbul sianosis. Terjadi juga
vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoeisis.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah mengurangi obstruksi jalan
napas yaitu dengan pemberian:
- Bronkdilator
- Kortikosteroid
71
- Mengurangi sekresi mucus dengan pemberian mukolitik atau
ekspektoran atau dilakukan nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air
sehingga menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum
- Bila disertai infeksi yang menyebabkan eksaserbasi akut dapat
diberikan antibiotic sesuai penyebab infeksi
- Pemberian O2
- Selain terapi diatas pederita haruslah diberikan diet yang sesuai untuk
memenuhi kebutuhan zat gizinya.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah
- Pencegahan Primer : penyuluhan tentang bronchitis, dan menghindari
merokok serta menghindari lingkungan yang berpolusi, pemberian
vaksinasi
- Pencegahan sekunder : diagnosa sedini mungkin dan penatalaksanaan
yang tepat
- Pencegahan tertier : dengan fisioterapi dan rehabilitasi yang bertujuan
untuk memperbaiki efisien ventilasi serta memperbaiki dan
meningkatkan kekuatan fisik.
PNEUMONI/BRONCHOPNEUMONI
Pneumoni adalah suatu peradangan dari parenkim paru dan bila
melibatkan cabang-cabang bronchus maka disebut bronchopneumoni.
Secara klinis gambaran pneumoni dan bronchopneum adalah sama, yang
berbeda adalah hanya gambaran radiologisnya.
Gambaran yang dapat ditemukan pada pneumoni lobaris ( bila
mengenai 1 lobus) adalah adanya berawan atau persulubungan yang
mengenai satu lobus dengan gambaran airbronchogram sign. Sedangkan
bronchopneumoni dapat ditemukan bercak-bercak/berawan yang lokasinya
dapat pada berbagai tempat dilapangan paru.
Pneumoni dapat disebabkan oleh banyak mikroorganisme yaitu :
- Virus misalnya influensa, adenovirus,varicella,sitomegalovirus
- Bakteri, baik garam positif misalnya pneumococcus, staphyloccus dan
gram negatif misalnya klebsiela,haemofilus influenza, pseudomonas dll.
- Mikoplasma
Pneumoni viral
- Terjadinya kerusakan epitel, pembentukan mucus dan akhirnya
penyumbatan bronchus. Selanjutnya dapat terjadi infiltrat limfositik
peribronchiolus dan infeksi sel bulat interstisial baik diduktus alveolus
maupun dinding alveolus.
- Klinis yang menonjol adalah batuk kering, kadang-kadang pilek dan
dapat terjadi gagal nafas.
- Penatalaksanaannya dengan pemberian antivirus
Pneumoni Bakterialis
- Dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada di udara,
aspirasi organisme dari nasopharynxs atau penyebaran hematogen dari
fokus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru-paru melalui
72
saluran nafas masuk ke bronchioli dan alveoli, menimbulkan
peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein
dalam alveoli dan jaringan interstitial.
- Gejala kronchuslinis yang dapat timbul adalah : demam tinggi disertai
menggigil dan kadang-kadang muntah, nyeri pluera, batuk yang kadang
disertai dahak yang purulent atau dengan bercak darah dan pernafasan
terganggu. Kadang disertai sakit otot dan sakit kepala hebat.
- Penderita tampak sakit berat, takikardi, pernafasan cepat,dangkal dan
pernafasan cuping hidung, kadang sianosis. Pada inspeksi dapat
ditemukan hemitoraks sisi lesi tampak tertinggal pada pernapasan.
Pada perkusi didapatkan redup pada daerah lesi, suara nafas bronchial
dan vocal fremitus mengeras serta ada ronchi basah.
- Biasanya ditemukan leukositosis dan pergeseran kekiri pada hitung
jenis
- Komplikasi yang dapat terjadi : atelektasis, abses paru, empiema,
pericarditis, sepsis
- Pengobatan : pemberian O2, bronkodilator, pemberian antibiotik
- Selain pemeriksaan radiologis, yang penting juga adalah pemeriksaan
analis gas darah, karena sering terjadi hipoksia.
BRONCHIEKTASIS
Bronhiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran
bronchus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen
elatis dan muskuler dinding bronchus.
- Gejala yang mungkin timbul yaitu batuk disertai sputum yang banyak yang
kadang mengandung darah, tidak ada nafsu makan, berat badan menurun,
nyeri pluera dan lemah badan dapat timbul sesak dan sianosis.
- Pada pemeriksaan fisis ditemukan ronchi basah sedang sampai kasar dan
kadang-kadang ronchi kering dan bising mengi.
- Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto thorax dimana dapat
ditemukan corakan vaskuler yang kasar dan kadang-kadang terdapat
gambaran sarang tawon
- Penatalaksanaanya yaitu pemberian antibiotik dan drainase sekret, serta
dapat diberikan bronkodilator.
TBC PARU
Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis.
- Gejala yag dapat timbul adalah demam, batuk dapat non produktif
ataupun produktif dan bila lanjut dapat berupa batuk darah, sesak
nafas, nyeri dada, malaise
- Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan perkusi yang redup dan suara
nafas yang bronchial. Serta dapat ditemukan suara nafas tambahan
berupa ronchi basah kasar dan nyaring, akan tetapi dapat pula berupa
suara nafas yang vasikuler yang melemah.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah :
73
- Foto thorax ditemukan adanya bercak, berawan berselubung
ataupun kavitas (untuk TBC paru aktif) dan bintik kalsifikasi serta garis
fibrotik ( untuk TBC paru tenang) utamanya pada apeks paru. Selain itu
pula dapat ditemukan gambaran TBC milier berupa bercak-bercak halus
yang tersebar rata pada hampir seluruh lapangan paru. Dan dapat
ditemukan gambaran TBC milier berupa bercak-bercak halus yang
tersebar rata pada hampir seluruh lapangan paru. Dapat pula disertai
dengan gam, baran ateleksis maupun efusi pluera.
- Pemeriksaan sputum BTA
- Tes Tuberkulin.
Pengobatan yang TBC Paru diberikan menurut program DOTS
Jenis obat yang dipakai adalah :
- Isoniazid
- Rifampisin
- Pirasinamid
- Streptomisin
- Etambutol
Penyakit TBC merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam
Program Pemberatasan Penyakit Menular (P2M) dari Dinas Kesehatan,
yang berisikan usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
ASMA BRONCHIAL
Adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trachea dan
bronchus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah,
baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
74
SKENARIO 3
CAPAIAN PEMBELAJARAN
Capaian Pembelajaran :
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelasakan tentang konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan
gejala batuk dan sesak serta mampu membedakan beberapa penyakit
yang memberikan gejala tersebut.
Capaian Pembelajaran Khusus :
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat :
1. Menyebutkan penyakit-penyakit yang dapat memberikan gejala
batuk dan sesak pada anak
2. Menjelaskan patomekanisme terjadinya batuk dan sesak
2.1 Menggambarkan susunan dari organ-organ respirasi
2.2 Menjelasakan tentang struktur dan fungsi sel-sel dari masing-
masing organ respirasi
2.3 Menjelaskan tentang fisiologi pernafasan dan perubahan yang
terjadi
3. Menjelaskan patomekanisme penyakit-penyakit yang menyebabkan
batuk/sesak
4. Menjelaskan etiologi dar penyakit-penyakit yang menyebabkan
batuk/sesak
4.1 Menjelaskan tentang morfologi, klasifikasi, sifat-sifat lain, bakteri
penyebab infeksi saluran nafas
4.2 Menjelasakan tentang sifat-sifat umum, virus penyebab infeksi
pada saluran nafas
5. Menjelasakan gambaran klinik yang menyertai batuk/sesak pada
penyakit sistem respirasi anak
5.1 Menyebutkan gejala lain dari masing-masing penyakit dengan
keluhan utama batuk/sesak pada anak
5.2 Menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa
membantu diagnosa penyakit dengan gejala batuk
6. Menjelasakan penatalaksanaan yang diberikan pada penderita
penyakit-penyakit yang memberikan keluhan utama batuk/sesak
7. Menjelaskan pencegahan penyakit-penyakit respirasi dengan gejala
utama batuk/sesak.
75
PROBLEM TREE
Anatomi
Hitologi
Mikrobiologi BATUK/SESAK
DIAGNOSIS
Epidemiologi Penatalaksanaan
Medikamentosa/non
Prevalensi & Pengendalian
medikamentosa
Insidens
Preventif Promotif
76
KASUS
Skenario I
Seorang anak 3 thn diantar ibunya ke RS dengan demam yang tinggi
dan anaknya rewel dan tak pernah tidur sejak semalam. Menurut
ibunya dalam 3 bulan terakhir ini sudah berkali-kali ia membawa
anaknya ke dokter dengan keluhan beringus dan batuk yang hilang
timbul terutama malam hari dan hamper 1 bulan terakhir ini batuk dan
beringus anaknya tidak berhenti yang kadang disertai sesak. Pada saat
penimbangan di posyandu bulan lalu BB anaknya 10 kg. anaknya ini
adalah anak ke 3, kedua kakanya juga sering mengalami keluhan yang
sama, hanya saja tidak separah anaknya yang ketiga ini.
Skenario II
Seorang anak laki-laki umur 14 bulan masuk rumah sakit dengan
keluhan sesak yang dialaminya sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, selain sesak dia juga ada keluhan batuk berlendir dan demam.
Anak tersebut lahir dengan berat badan 3 kg, lahir spontan dan cukup
bulan. Saat ini beratnya 6 kg. sebelumnya tidak ada riwayat sesak.
Riwayat imunisasi: hanya mendapatkan imuninsasi polio dan BCG
beberapa hari setelah lahir
77
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan diatas.
4. Klasifikasi jawaban tas pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai mahasiswa atas
kasus diatas.
6. Cari informasi tambahan tentang kasus diatas diluar kelompok
tatap muka.
7. Laporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi yang
ditemukan
Keterangan :
- Langkah 1-5 dilakukan dalam diskusi pertama bersama tutor
- Langkah 6 dilakukan dengan belajar mandiri, dapat dilakukan
berkelompok atau sendiri-sendiri, yang kemudian didiskusikan ulang
bersama kelompok (tanpa kehadiran tutor)
- Langkah 7 dilakukan dalam diskusi dengan tutor
JADWAL KEGIATAN
1. Pertemuan pertama dalam kelas dengan tatap muka satu arah dan
tanya jawab. Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara
menyelesaikan modul, dan membagi kelompok diskusi. Pada
pertemuan pertama buku modul dibagikan.
2. Pertemuan kedua : diskusi mandiri. Tujuan :
Memilih ketua dan sekretaris kelompok,
Brain-storming untuk proses 1 – 3,
Membagi tugas
3. Pertemuan ketiga: diskusi tutorial dipimpin oleh mahasiswa yang terpilih
menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor. Tujuan
: untuk melaporkan hasil diskusi mandiri dan menyelesaikan proses
sampai langka 5.
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan : untuk mencari
informasi baru yang diperlukan
5. Pertemuan keempat: adalah diskusi tutorial. Tujuan : untuk melaporkan
hasil diskusi lalu dan mensintese informasi yang baru ditemukan. Bila
masih diperlukan informasi baru dilanjutkan lagi seperti No. 2 dan 3.
6. Pertemuan terakhir: dilakukan dalam kelas besar dengan bentuk
diskusi panel untuk melaporkan hasil diskusi masing-masing kelompok
dan menanyakan hal-hal yang belum terjawab pada ahlinya (temu
pakar).
78
STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Diskusi kelompok difasilitasi oleh tutor
2. Diskusi kelompok tanpa tutor
3. Konsultasi pakar
4. Kuliah khusus dalam kelas
5. Aktivitas pembelajaran individual di perpustakaan dnegan
menggunakan buku ajar, majalah, slide, tape atau video dan
internet
6. Melakukan kegiatan praktikum : Anatomi, Fisiologi, Histology,
Patologi, Anatomi, Mikrobiologi, Patologi Klinik dan Gizi
79
PETUNJUK UNTUK TUTOR
SKENARIO I SKENARIO II
DIFFERENSIAL DIAGNOSA
SKENARIO I SKENARIO II
- Pneumonia - Pneumoni
- Rhinopharingitis akut - Bronchiolitis
- TB Paru - Rhinopharingitis akut
- Asma
BRONCHIOLITIS
Penyakit ini dapat ditemukan pada usia 6 bln – 2 thn, gambaran klinik
yang dapat ditemukan yaitu, rhinitis, gelisah, anoreksia, muntah,
tachycardia, tachipnoe, dyspnoe, cyanosis, retraksi dinding dada,
ditemukan wheezing dan crepitasi pada pemeriksaan auskultasi.
DD/ bronkopneumoni, bronchitis akut, asma bronchiale.
BRONCHIEKTASIS
Bronchiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari
pelebaran bronchus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan
komponen elastic dan muskuler dinding bronchus.
- Gejala yang mungkin timbul yaitu batuk disertai sputum yang banyak
yang kadang mengandung darah, tidak ada nafsu makan, berat badan
menurun, nyeri pleura, dan lemah badan. Dapat timbul sesak dan
cyanosis
- Pada pemeriksaan fisis ditemukan ronchi basah sedang sampai kasar
dan kadang-kadang ronchi kering dan bising mengi
81
- Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto thorax dimana dapat
ditemukan corakan vaskuler yang kasar dan kadang-kadang terdapat
gambaran sarang tawon.
- Penatalaksanaannya yaitu pemberian antibiotic dan drainase secret,
serta dapat diberikan bronchodilator
-
TBC PARU
Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis.
- Gejala yang dapat timbul demam, batuk dapat non produktif maupun
produktif dan bila lanjut dapat berupa batuk darah, sesak nafas, nyeri
dada, malaise
- Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan perkusi yang redup dan suara
nafas yang bronchial, serta dapat ditemukan suara nafas tambahan
berupa bronchi basah kasar dan nyaring, akan tetapi dapat pula berupa
suara nafas yang vesikuler yang melemah.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah :
- Foto Thorax ditemukan adanya bercak, berawan berselubung
ataupun kavitas (untuk TBC paru aktif) dan bintik kalsifikasi serta garis
fibrotic (untuk TBC paru tenang) utamanya pada apeks paru. Selain itu
pula dapat ditemukan gambaran TBC milier berupa bercak-bercak
halus yang tersebar rata pada hamper seluruh lapangan paru. Dan
dapat pula disertai dengan gambaran atelektasis maupun efusi pleura
- Pemeriksaan sputum BTA
- Tes Tuberkulin
Pengobatan yang TBC Paru diberikan menurut program DOTS
Jenis obat yang dipakai adalah :
- Isoniazid
- Rifampisin
- Pirasinamid
- Streptomisin
- Etambutol
Penyakit TBC merupakan salah satu penyakit yang dapat masuk dalam
Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) dari Dinas Kesehatan,
yang berisikan usaha promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
82
- Koagulasi intravascular tersebar (DIC)
- Idiopatik
- Obat-obatan
- Infeksi
- Rudapaksa
- Keracunan oksigen
- Inhalasi gas
- Tenggelam
- Renjatan
- Pancreatitis
- Emboli lemak
- Emboli cairan amnion
- Emboli thrombosis
- Radiasi
Manifestasi klinisnya sangat bervariasi tergantung dari penyebabnya,
gejala yang paling menonjol adalah sesak nafas.
Mortalitas kegagalan nafas akut pada orang dewasa sangat tinggi,
mencapai 50% dan tidak tergantung pada pengobatan. Karena itu
pencegahan akan timbulnya kegagalan pernafasan dengan memperhatikan
predisposisinya sangatlah penting.
ASMA BRONCHIAL
Adalah suatu penyakit dengan cirri meningkatnya respon trachea dan
bronchus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah,
baik secara spontan maupun sebagai hasi
83
MODUL PRAKTIKUM
84
PATOLOGI ANATOMI
Capaian Pembelajaran
85
3. Adenoma Polymorphic Salivary Gland
Miksroskopis
86
4. MIkrsoskopik WARTHIN TUMOR
87
88