Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

BRONKIEKTASIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat dalam Menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian/SMF Pulmonologi Rumah Sakit Umum Daerah

dr.Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh :

Nia Wahyuni Harti

1507101030194

Pembimbing :

dr. Novita Andayani, Sp.P (K)

BAGIAN / SMF PULMONOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN

BANDA ACEH

2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang memberikan ilmu dengan


perantara pena dan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak pernah ia ketahui
serta memberi seluruh rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis telah dapat
menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul “Bronkiektasis”. Shalawat
beserta salam penulis sanjung sajikan kepangkuan Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat, dan para pengikut beliau yang senantiasa istiqamah dan setia di jalannya
hingga akhir zaman.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/ SMF Pulmonologi RSUD dr. Zainoel
Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghormatan penulis sampaikan kepada
dr. Novita Andayani, Sp.P(K) yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis dalam penulisan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan
materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi sumbangan
pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran
dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu.
Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua,
Amin.

Banda Aceh, Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS


2.1 Identitas Pasien ..................................................................... 2
2.2 Anamnesis ........................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................... 3
2.4 Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 4
2.5 Diagnosis Kerja .................................................................... 5
2.6 Tatalaksana .......................................................................... 5
2.7 Planning ............................................................................... 6
2.8 Prognosis .............................................................................. 6
2.9 Follow Up Harian ................................................................ 6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Definisi ................................................................................. 8
3.2 Epidemiologi ........................................................................ 8
3.3 Etiologi ................................................................................. 8
3.4 Variasi Kelainan Anatomis .................................................. 9
3.5 Patogenesis ........................................................................... 10
3.6 Manifestasi Klinis ................................................................ 11
3.7 Klasifikasi............................................................................. 12
3.8 Diagnosis .............................................................................. 13
3.9 Penatalaksanaan ................................................................... 14
3.10 Pencegahan ......................................................................... 15
3.11 Prognosis ............................................................................ 15

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................ 16

BAB V KESIMPULAN.............................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 18


BAB I
PENDAHULUAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi


(ektasis) dan distrosi bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik,
persisten ataupun ireversibel. Dilatasi tersebut menyebabkan berkurangnya aliran
udara dari dan ke paru-paru. Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum
dapat diketahui secara jelas, bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun
didapat. Kejadian bronkiektasis biasanya terjadi pada negara berkembang
dibandingkan negara maju, tingkat social ekonomi yang rendah, nutrisi yang buruk,
perumahan yang tidak memadai dan kesulitan dalam mendapatkan fasilitas kesehatan
akan meningkatkan terjadinya infeksi tersebut.(1)

Bronkiektasis adalah penyebab kematian yang sangat penting pada negara


berkembang, di negara maju seperti Amerika Serikat, bronkiektasis mengalami
penurunan sesuai dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi
pada penduduk dengan golongan social ekonomi yang rendah. Di Amerika,
bronkiektasis bukan merupakan penyakit yang umum. Tetapi jumlah penyakit
bronkiektasis di Amerika Serikat biasanya berkaitan dengan infeksi mycobacteria atau
faktor lingkungan. (2)

Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai


penyakit ini. Kenyatannya penyakit ini cukup sering ditemukan dan lebih sering
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Bronkiektasis pada umumnya sering
dijumpai pada usia muda, 69% penderita berumur kurang dari 20 tahun. Gejala
dimulai sejak masa kanak-kanak, 60% dari penderita gejalanya timbul sejak saat usia
kurang dari 10 tahun. (3). Data terakhir yang diperoleh dari RSUD Dr. Soetomo tahun
1990 menempatkan bronkiektasis pada urutan ke-7 terbanyak dengan 221 penderita
dari 11.018 (1,01%) pasien rawat inap.(4)
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Nurdin Ahmad

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Umur : 54 Tahun (03 Desember 1963)

Alamat : Desa Lampermai, Kec. Krueng Barona Jaya, Kab. Aceh Besar

Pekerjaan : Swasta

Suku : Aceh

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Tanggal Masuk RS : 6 Desember 2017

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Batuk Berdarah

Keluhan Tambahan : batuk berdahak, nyeri dada

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan batuk darah sejak 4 hari
SMRS, darah berwarna merah segar dan tidak bercampur makanan, volume darah
kurang lebih setengah gelas air mineral per hari. Selain itu pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak dan dahak sulit dikeluarkan. Pasien juga mengeluhkan adanya
penurunan berat badan sejak 1 bulan terakhir dan nafsu makan menurun. Riwayat
sesak nafas, berkeringat malam hari, mual, dan muntah tidak dikeluhkan oleh pasien.
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak pernah mengeluhkan keluhan yang sama dan berhubungan dengan
keluhan seperti saat ini.

Riwayat pengobatan:

Pasien mengaku 1 hari setelah batuk darah datang ke IGD RSUDZA dan
mendapatkan 4 macam obat, namun pasien hanya mengingat 2 macam obat yaitu :
amoxicilin dan asam traneksamat. Riwayat minum obat OAT disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada pihak keluarga yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami
oleh pasien. Riwayat sesak napas dan batuk pada keluarga tidak ada.

Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien bekerja sebagai pedangang sayur dipinggir jalan dan sering terpapar
dengan debu. Pasien merupakan perokok aktif yang mulai merokok sejak usia 20
tahun.
2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Keadaan sakit : Tampak lemah

Kesadaran : E4 M2 V5

Tanda vital

 Tekanan darah : 120/70 mmHg


 Nadi : 80 x/menit
 Napas : 20 x/menit
 Suhu : 36,7 ˚C
 SpO2 : 98% tanpa O2
Kulit : warna kulit sawo matang , sianosis (-), turgor kulit normal

Kepala : bentuk normocephal, simetris

Mata : Pupil bulat (+/+), isokor, (3 mm/ 3 mm), refleks cahaya


langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Telinga : sekret (-)

Hidung : sekret (-), deviasi septum (-)

Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), selaput putih (-)

Leher : pembesaran limfanodi daerah supraklavikula (-/-), kaku kuduk


(-/-), deviasi trakea (-/-), bedungan JVP (-)

Thoraks : bentuk dada normal, sela iga tidak melebar

Thoraks anterior

Pemeriksaan Fisik
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Paru
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Normochest
Palpasi
Atas Fremitus taktil normal, Fremitus taktil normal,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Tengah Fremitus taktil normal, Fremitus taktil normal ,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Bawah Fremitus taktil normal , Fremitus taktil normal,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Perkusi
Atas sonor sonor
Tengah sonor sonor
Bawah sonor sonor
Auskultasi
Atas Vesikuler(+), rhonki(-), Vesikuler(+), rhonki(-),
wheezing (-) wheezing (-)
Tengah Vesikuler(+), rhonki(-), Vesikuler(+), rhonki(-),
wheezing (-) wheezing (-)
Bawah Vesikuler(+), rhonki (+), Vesikuler(+), rhonki (+),
wheezing (-) wheezing (-)

Thoraks Posterior

Pemeriksaan Fisik
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Paru
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Normochest

Palpasi
Atas Fremitus taktil normal, Fremitus taktil normal,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Tengah Fremitus taktil normal, Fremitus taktil normal ,
Bawah nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Fremitus taktil normal , Fremitus taktil normal,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Perkusi
Atas sonor sonor
Tengah sonor sonor
Bawah sonor sonor

Auskultasi Auskultasi
Atas Atas Vesikuler(+), rhonki(-),
wheezing (-)
Tengan Tengah Vesikuler(+), rhonki(-),
wheezing (-)
Bawah Bawah Vesikuler(+), rhonki (+),
wheezing (-)

Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis terlihat di SIC V


 Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V
 Perkusi :
Batas atas : SIC III garis parasternal sinistra

Batas kanan : SIC V garis para sternalis dekstra

Batas kiri : SIC VI garis midklavikula sinistra

 Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

 Inspeksi : bentuk simetris, jaringan parut (-)


 Palpasi : nyeri tekan (-)
 Perkusi : timpani (+), asites (-)
 Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-/-), sianosis (-), Capillary Refill Time < 2
detik.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Thorax AP (8 Desember 2016)

Kesan:
Cor : Normal, CTR < 50%
Pulmo: Tampak infiltrate di
suprahiller kanan

Kesimpulan: Suspect TB
paru

2. Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 13,0 14,0-17,0 g/dl
Hematokrit 36 45-55 %
Eritrosit 3,8 4,7-6,1 106/mm3
Leukosit 12,6 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 311 150-450 103/mm3
MCV 95 80-100 fL
MCH 34 27-31 pg
MCHC 36 32-36 %
RDW 13,3 11,5-14,5 %
MPV 9,5 7,2-11,1 fL
Hitung jenis
Eosinofil 2 0-6 %
Basofil 1 0-2 %
Neutrofil Batang 0 2-6 %
Neutrofil Segmen 67 50-70 %
Limfosit 21 20-40 %
Monosit 9 2-8 %
KIMIA KLINIK
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 136 <200
GINJAL-HIPERTENSI
Ureum 45 13-43
Kreatinin 0,67 0,67-1,17
ELEKTROLIT-Serum
Natrium (Na) 136 132-146
Kalium (K) 3,9 3,7-5,4
Klorida (Cl) 106 98-106

3. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler


Test Result : MTB Not Detected

2.5 Diagnosis Kerja


Diagnosis Banding :

- Hemoptisis ec dd/

1. Bronkiektasis
2. TB Paru
 Sindroma Dispepsia

Diagnosis :- Hemoptisis ec Bronkiektasis

- Sindroma dispepsia

2.6 Tatalaksana
Non Medikamentosa :

 Tirah baring
 Terapi nutrisi (tinggi kalori tinggi protein, makanan berserat)

Medikamentosa:

 IVFD RL 10 gtt/i
 Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Kalnex 1 amp/8 jam
 Inj Vit C 1 amp/12 jam
 Inj Vit K 2x1
 Inj Omeprazole 40 mg/24 jam
 Codein 3x1
2.7 Planning
 Evaluasi batuk darah
 CT scan thoraks kontras dan non kontras

2.8 Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanactionam : dubia ad bonam

2.9 Follow Up Harian

Tgl : 7/12/2017 Tgl : 8/12/2017 Tgl : 9/12/2016

S: batuk berdarah, lemas S: batuk darah berkurang S: batuk darah berkurang

O: O: O:

TD =100/60 mmHg TD =110/70 mmHg TD = 110/80 mmHg

HR = 78 x/i HR = 80 x/i HR = 88 x/i

RR = 22 x/i RR = 20 x/i RR = 20 x/i

T = 36,8 ºC T = 36,7 ºC T = 36,5 ºC

I= Simetris I= Simetris I= Simetris

P= Sf ka = Sf ki P= Sf ka = Sf ki P= Sf ka = Sf ki
P= sonor/sonor P= sonor/sonor P= sonor/sonor

A= vesikuler (+/+),A= vesikuler (+/+),A= vesikuler (+/+),


rh(-/-), wh(-/-) rh(-/-), wh(-/-) rh(-/-),wh(-/-)

A: -Hemoptisis ec dd/ A: -Hemoptisis ecA: -Hemoptisis ec


Bronkiektasis + Bronkiektasis +
1. Bronkiektasis,
Sindroma Dispepsia Sindroma Dispepsia
2. TB Paru

- Sindroma Dispepsia

P :- Evaluasi batuk darah P: - Evaluasi batuk darah


P: - Evaluasi batuk darah
-CT Scan Thoraks K/NK -PBJ
-Gen Expert

-CT Scan Thoraks K/NK


Th: Th:
Th:
- IVFD RL 10 gtt/i - IVFD RL 10 gtt/i
- IVFD RL 10 gtt/i
- Kalnex 3x500 mg - Kalnex 3x500 mg
- Drip Kalnex 1 amp/12 jam
- Vit C 3x1 - Vit C 3x1
- Inj Vit C/12 jam
- Inj Omeprazole - Inj Omeprazole 40mg/12
- Inj Omeprazole 40 mg/24
40mg/12 jam jam
jam
- Codein 3x1 - Codein 3x1
- Codein 3x1
- Vit K 3x1 - Vit K 3x1
- Vit K 3x1
- Inj Ceftriaxone 1 gr/12 - Inj Ceftriaxone 1 gr/12
jam jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan
distorsi bronkus yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten, atau
ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam
dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen statis, otot-otot polos bronkus,
tulang rawan, dan pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus
kecil, sedangkan bronkus besar umumnya jarang. (1)

3.2 Epidemiologi
Di Negara Barat kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara
populasi. Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti sesudah
dapat ditekannya frekuensi kasus-kasus infeksi paru dengan pengobatan memakai
antibiotik.
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan, dan penderitanya
lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit ini dapat diderita mulai
sejak anak, bahkan dapat merupakan kelainan kongenital. (5)

3.3 Etiologi
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas.
Pada umumnya bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. Pada
kelainan kongenital, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan.
Faktor genetic atau faktor pertumbuhan dan faktor perkembangan fetus memegang
peranan yang penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital mempunyai cirri sebagai
berikut. Pertama, bronkiektasis mengenai hamper seluruh cabang bronkus pada satu
atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis kongenital menyertai penyakit-penyakit
kongenital lainnya, seperti : Cystic Pulmonary Fibrosis, Sindroma Kartagener
(Bronkiektasis Kongenital, sinusitis paranasal dan situs inversus. Bronkiektasis
kongenital sering bersamaan dengan kelainan kongenital lainnya, seperti : tidak
adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, dan kifoskoliosis kongenital.
Pada Bronkiektasis yang didapat, kebanyakan merupakan akibat dari beberapa
proses, diantaranya adalah infeksi dan obstruksi bronkus. Pada proses yang
diakibatkan oleh infeksi, bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini pada umumnya
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak,
tuberculosis paru, dan sebagainya.
Pada proses yang disebabkan oleh obstruksi bronkus dapat disebakan oleh
berbagai macam hal : korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar
lainnya terhadap bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya
infeksi ataupun obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata menimbulkan
bronkiektasis, oleh sebab itu diduga masih ada kemungkinan faktor intrinsic yang
sampai sekrang belum diketahi secara jelas yang ikut berperan terhadap timbulnya
bronkiektasis. (5)

3.4 Variasi Kelainan Anatomis

Pada umunya dikenal ada tiga variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis,
yaitu :

 Bentuk tabung (Tubularm Cylincdrical, Fusiform bronchiectasis), variasi ini


merupakan bronkiektasis yang paling ringan, dan sering ditemukan pada
bronkiektasis yang menyertai bronchitis kronik
 Bentuk kantong (Saccular bronchiectasis). Bentuk ini merupakan bentuk
bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan
bronkus yang bersifat ireguler. Bentuk ini terkadang berbentuk kista (Cystic
bronchiectasis)
 Varicose bronchiestasis, bentuknya merupakan bentuk antara bentuk tabung
dan kantong. Istilah ini digunakan karenpa perubahan bentuk bronkus
menyerupai varises pembuluh vena.

Adanya variasi bentuk-bentuk anatomis bronkus secara klinis tidak begitu penting
karena kelainan yang berbeda tersebut dapat berasal dari etiologi yang sama.
Bahkan beberapa bentuk kelainan tersebut dapat dijumpai pada satu pasien.(5)
3.5 Patogenesis

Patogenesis bronkiektasis tergantung faktor penyebabnya. Apabila


bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui dan diduga erat
hubungannya dengan faktor genetik serta faktor pertumbuhan dan perkembangan
fetus dalam kandungan.

Pada bronkiektasis yang didapat terdapat beberapa mekanisme yang terjadi,


bronkiektasis yang didahului infeksi :

 Infeksi primer : kecuali pada bentuk bronkiektasis kongenital, tiap


bronkiektasis kejadiannya didahului oleh infeksi bronkus (bronchitis)
maupun jaringan paru (pneumonia). Untuk penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus belum diketahui secara pasti. Menurut hasil penelitian para
ahli terdahulu ditemukan bahwa infeksi yang mendahului bronkiektasis
adalah infeksi bacterial, yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau
bronchitis yang mendahuluinya
 Infeksi sekunder : tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi
sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum
pasien bronkiektasis bersifat mukoid dan atau putih jernih, menandakan
tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila sputum pasien
yang semula berwarna putih jernih kemudian berubah warnanya menjadi
kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi infeksi
sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya dapat dilakukan
pemeriksaan mikrobiologis. Sputum yang berbau busuk menandakan
adanya infeksi sekunder oleh kuman anaerob.

Pada bronkiektasis yang didahului adanya obstruksi bronkus dapat


disebabkan oleh beberapa hal, misalnya : tuberculosis kelenjar limfe pada
anak, karsinoma bronkus, korpus alienum dalam bronkus. Pada bagian distal
dari obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus yang akan
menjadi bronkiektasis. Selain itu, pada bronkiektasis didapat pada keadaan
yang amat jarang terjadi atau timbul sesudah masuknya bahan kimia korosif
ke dalam saluran napas.(6)
3.6 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada
luas dan beratnya penyakit. Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai
produk sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis
tersebut dapat demikian hebat pada tingkat yang berat, dan dapat tidak nyata atau
tanpa gejala pada penyakit yang ringan.
 Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain berupa batuk
produktif berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti bronchitis
kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada
pagi hari sesudah ada perubahan posisi bangun dari tidur. Pada kasus
yang berat, misalnya pada saccular type bronchiectasis, sputum
jumlahnya sangat banyak, purulen, dan apabila ditampung beberapa
lama akan tampak terpisah menjadi tiga lapisan, yaitu : lapisan teratas
agak keruh terdiri atas mukus, lapisan tengah jernih terdiri atas saliva,
dan lapisan terbawah akan keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis
dari bronkus yang rusak.
 Hemoptisis
Hemoptisis terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Kelainan
ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai
pembuluh darah dan akhirnya menimbulkan perdarahan.
 Sesak napas
Pada sebagian besar kasus sekitar 50% akan timbul sesak napas, yang
mana beratnya tergantung pada seberapa luasnya bronchitis kronik yang
terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan
paru sebagai akibat dari infeksi yang berulang. Selain itu terkadang juga
dapat ditemukan suara mengi akibat adanya obstruksi bronkus.
 Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering
mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru akan
menyebabkan seringnya timbul demam berulang.(5,6)
3.7 Klasifikasi
Brewis membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi derajat ringan,
sedang, dan berat.
 Bronkiektasis ringan
Ciri klinisnya ialah batuk dan sputum berwarna hijau hanya terjadi
sesudah demam (ada infeksi sekunder), produksi sputum terjadi dengan
adanya perubahan posisi tubuh, biasanya hemoptisis sangat ringan,
pasiaen tampak sehat dan fungsi paru normal, dan foto thoraks normal.
 Bronkiektasis Sedang.
Ciri klinisnya ialah batuk produktif yang terjadi setiap saat, sputum
timbul setiap saat dan umumnya sputum berwarna hijau disertai bau
mulut busuk, sering ada hemoptisis, pasien umumnya tampak sehat dan
fungsi paru normal, jarang terdapat jari tabuh. Pada pemeriksaan fisik
pari sering ditemukan ronki basah kasar pada daerah paru yang terkena,
gambaran foto thorak normal.
 Bronkiektasis berat
Batuk produktif dengan sputum banyak berwarna kotor dan berbau.
Sering ditemukan adanya pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri
pleura. Sering didapatkan adanya jari tabuh, dan bila ada obstruksi
saluran napas akan dapat ditemukan adanya dispnea, sianosis, atau tanda
kegagalan paru. Keadaan umum pasien akan tampak kurang baik. Pada
pemeriksaan fisik paru akan didapatkan ronki basah kasar pada bagian
yang terkena. Pada gambaran foto thoraks akan ditemukan kelainan
berupa : penambahan broncovascular marking, multiple cysts containing
fluid level (honeycomb appearance).(6)

3.8 Penegakan Diagnosis


Diagnosis bronkiektasis terkadang sulit ditegakkan walaupun sudah dilakukan
pemeriksaan lengkap. Diagnosis pasti bronkiektasis dapat ditegakkan apabila telah
ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur
pemeriksaan bronkografi, melihat bronkogram yang didapatkan dan CT scan. Oleh
karena pasien bronkiektasis umumnya memberikan gambaran klinis yang dapat
dikenal, penegakan diagnosis yang lazim adalah anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, dan pemeriksaan radiologis.
Pada saat pemeriksaan fisik, biasanya akan didapatkan pasien batuk dengan
pengeluaran sputum, demam, dan batuk darah. Tanda-tanda fisis umum yang dapat
ditemukan adalah sianosis, jari tabuh, dan manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis.
Pada kasus yang berat dan lanjut dapat ditemukan tanda-tanda cor-pulmonal kronik
maupun gagal jantung kanan. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah
yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu
ke waktu, atau ronki basah ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan
timbul lagi diwaktu yang lain. Apabila bagian paru yang diserang sangat luas dapat
menimbulkan retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang
terkena serta dapat terjadi penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena.
Wheezing sering ditemukan apabila terjadi obstruksi bronkus.
Pada pemeriksaan laboratorium umumnya tidak khas, pada keadaan lanjut dan
sudah mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan polisitemia sekunder, atau
ditemukan leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi supuratif. Pemeriksaan
kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan apabila ada
kecurigaan adanya infeksi sekunder.
Kelainan radiologis pada bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil
dengan air fluid level mirip seperti gambaran sarang tawon (honey comb appearance)
pada daerah yang terkena. Gambaran bronkiektasis akan jelas pada bronkogram dan
CT scan.(7)

3.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien bronkiektasis mencakup
tatalaksana non farmakologis dan farmakologis. Pada tatalaksana non farmakologi ada
beberapa cara yang dapat dilakukan seperti drainase postural, tindakan ini merupakan
cara yang efektif untuk mengurangi gejala tetapi harus dilakukan secara rutin. Pasien
diletakkan dengan posisi tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase
sputum secara maksimal. Tiap kali melakukan drainase postural dikerjakan selama
10-20 menit dan tiap hari dikerjakan 2-4 kali. Prinsip drainase sputum ini adalah
usaha mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.
Selain itu untuk mencairakan sputum yang kental dapat dilakukan inhalasi uap
air panas, atau menggunakan obat mukolitik. Apabila disertai infeksi maka dapat
diberikan antibiotic yang sesuai, pemilihan antibiotic yang dipakai sebaiknya harus
berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik atau menggunakan
penggunaan antibiotik secara empiris. Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus
yang diketahui dari hasil uji faal paru (% VEP < 70%) dapat diberikan obat
bronkodilator.
Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya
eksaserbasi infeksi akut) perlu diberikan oksigen, apabila pada pasien telah terdapat
komplikasi bronchitis kronik, pemberian oksigen harus dengan aliran rendah (cukup 1
liter/menit). Apabila terjadi hemoptisis tindakan yang dilakukan adalah upaya
menghentikan perdarahan tersebut.(7)

3.10 Pencegahan
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada bentuk
kongenital. Menurut kepustakaan terdapat beberapa usaha untuk mencegah terjadinya
bronkiektasis, antara lain :
 Pengobatan dengan antibiotik atau cara-cara lain secara tepat terhadap
semua bentuk pneumonia yang timbul pada anak yang akan mencegah
timbulnya bronkiektasis
 Tindakan vaksinasi terhadap pertusis, influenza dan lain lain pada anak
yang dapat diartikan sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya
bronkiektasis.(8)

3.11 Prognosis
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat dapat
memperbaiki prognosis penyakit.
Pada kasus yang berat dan tidak diobati, prognosis akan buruk, survivalnya
tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena
pneumonia, empiema, gagal jantung kana, hemoptisis, dll.(8)
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan batuk darah sejak 4 hari
SMRS, darah berwarna merah segar dan tidak bercampur makanan, volume darah
kurang lebih setengah gelas air mineral per hari. Selain itu pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak dan dahak sulit dikeluarkan. Pasien juga mengeluhkan adanya
penurunan berat badan sejak 1 bulan terakhir dan nafsu makan menurun. Riwayat
sesak nafas, berkeringat malam hari, mual, dan muntah tidak dikeluhkan oleh pasien.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara napas
tambahan berupa ronki pada lapangan bawah paru. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya peningkatan leukosit.

Keluhan batuk darah yang dirasakan pasien sesuai dengan gejala klinis yang
ditimbulkan pada bronkiektasis, batuk darah terjadi kira-kira pada 50% kasus
bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus
mengenai pembuluh darah dan akhirnya menimbulkan perdarahan. Pada kasus ini
pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dan dahak sulit dikeluarkan, hal ini sesuai
dengan gejala klinis bronkiektasis, yaitu batuk produktif berlangsung kronik dengan
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi hari sesudah ada
perubahan posisi bangun dari tidur.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronki basah pada lapangan bawah
paru, sesuai dengan teori pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah yang
jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke
waktu, atau ronki basah ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan
timbul lagi diwaktu yang lain. Pada pemeriksaan foto thorak didapatkan kesimpulan
suspek TB paru, pada teori dijelaskan kelainan radiologis pada bronkiektasis biasanya
menunjukkan kista-kista kecil dengan air fluid level mirip seperti gambaran sarang
tawon (honey comb appearance) pada daerah yang terkena, namun gambaran
bronkiektasis akan jelas pada bronkogram dan CT scan.
BAB V
KESIMPULAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan
distorsi bronkus yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten, atau
ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam
dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen statis, otot-otot polos bronkus,
tulang rawan, dan pembuluh darah. Sampai saat ini belum didapatkan secara pasti
penyebab dari bronkiektasis, namun kejadiannya lebih sering pada negara
berkembang dibandingkan dengan negara maju.

Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya


penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat dapat
memperbaiki prognosis penyakit
DAFTAR PUSTAKA

1. Price S. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6 ed. Jakarta:


EGC; 2012: p.645-81.

2. Alsagaff H, Mukty A. Bronkiektasis, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru,


Airlangga University Press. Surabaya. 2006. hal 256-261

3. Djojodibroto D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2013:


p.46-51.

4. Vendrell M, Gracia JD et al. Diagnosis and Treatment of Bronchiectasis.

Arch Bronconeumonal. 2008;44(11):629-40.

5. Rahmatullah P, 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Bronkiektasis.

P1682-89.

6. Maitra A, Kumar V. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Buku Ajar

Patologi Robbins. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7. Rab T. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media; 2013: p.20-9.

8. Barker AF. 2002. Bronkiektasis . The New English Journal of Medicine.


346:1383-1393.

Anda mungkin juga menyukai