BRONKIEKTASIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat dalam Menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior
Disusun Oleh :
1507101030194
Pembimbing :
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
BAB V KESIMPULAN.............................................................................. 18
LAPORAN KASUS
Alamat : Desa Lampermai, Kec. Krueng Barona Jaya, Kab. Aceh Besar
Pekerjaan : Swasta
Suku : Aceh
Agama : Islam
2.2 Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan batuk darah sejak 4 hari
SMRS, darah berwarna merah segar dan tidak bercampur makanan, volume darah
kurang lebih setengah gelas air mineral per hari. Selain itu pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak dan dahak sulit dikeluarkan. Pasien juga mengeluhkan adanya
penurunan berat badan sejak 1 bulan terakhir dan nafsu makan menurun. Riwayat
sesak nafas, berkeringat malam hari, mual, dan muntah tidak dikeluhkan oleh pasien.
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah mengeluhkan keluhan yang sama dan berhubungan dengan
keluhan seperti saat ini.
Riwayat pengobatan:
Pasien mengaku 1 hari setelah batuk darah datang ke IGD RSUDZA dan
mendapatkan 4 macam obat, namun pasien hanya mengingat 2 macam obat yaitu :
amoxicilin dan asam traneksamat. Riwayat minum obat OAT disangkal.
Tidak ada pihak keluarga yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami
oleh pasien. Riwayat sesak napas dan batuk pada keluarga tidak ada.
Pasien bekerja sebagai pedangang sayur dipinggir jalan dan sering terpapar
dengan debu. Pasien merupakan perokok aktif yang mulai merokok sejak usia 20
tahun.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran : E4 M2 V5
Tanda vital
Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), selaput putih (-)
Thoraks anterior
Pemeriksaan Fisik
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Paru
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Normochest
Palpasi
Atas Fremitus taktil normal, Fremitus taktil normal,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Tengah Fremitus taktil normal, Fremitus taktil normal ,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Bawah Fremitus taktil normal , Fremitus taktil normal,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Perkusi
Atas sonor sonor
Tengah sonor sonor
Bawah sonor sonor
Auskultasi
Atas Vesikuler(+), rhonki(-), Vesikuler(+), rhonki(-),
wheezing (-) wheezing (-)
Tengah Vesikuler(+), rhonki(-), Vesikuler(+), rhonki(-),
wheezing (-) wheezing (-)
Bawah Vesikuler(+), rhonki (+), Vesikuler(+), rhonki (+),
wheezing (-) wheezing (-)
Thoraks Posterior
Pemeriksaan Fisik
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Paru
Inspeksi Statis : Normochest
Dinamis : Normochest
Palpasi
Atas Fremitus taktil normal, Fremitus taktil normal,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Tengah Fremitus taktil normal, Fremitus taktil normal ,
Bawah nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Fremitus taktil normal , Fremitus taktil normal,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Perkusi
Atas sonor sonor
Tengah sonor sonor
Bawah sonor sonor
Auskultasi Auskultasi
Atas Atas Vesikuler(+), rhonki(-),
wheezing (-)
Tengan Tengah Vesikuler(+), rhonki(-),
wheezing (-)
Bawah Bawah Vesikuler(+), rhonki (+),
wheezing (-)
Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-/-), sianosis (-), Capillary Refill Time < 2
detik.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Thorax AP (8 Desember 2016)
Kesan:
Cor : Normal, CTR < 50%
Pulmo: Tampak infiltrate di
suprahiller kanan
Kesimpulan: Suspect TB
paru
2. Laboratorium
- Hemoptisis ec dd/
1. Bronkiektasis
2. TB Paru
Sindroma Dispepsia
- Sindroma dispepsia
2.6 Tatalaksana
Non Medikamentosa :
Tirah baring
Terapi nutrisi (tinggi kalori tinggi protein, makanan berserat)
Medikamentosa:
IVFD RL 10 gtt/i
Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Kalnex 1 amp/8 jam
Inj Vit C 1 amp/12 jam
Inj Vit K 2x1
Inj Omeprazole 40 mg/24 jam
Codein 3x1
2.7 Planning
Evaluasi batuk darah
CT scan thoraks kontras dan non kontras
2.8 Prognosis
O: O: O:
P= Sf ka = Sf ki P= Sf ka = Sf ki P= Sf ka = Sf ki
P= sonor/sonor P= sonor/sonor P= sonor/sonor
- Sindroma Dispepsia
3.1 Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan
distorsi bronkus yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten, atau
ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam
dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen statis, otot-otot polos bronkus,
tulang rawan, dan pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus
kecil, sedangkan bronkus besar umumnya jarang. (1)
3.2 Epidemiologi
Di Negara Barat kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara
populasi. Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti sesudah
dapat ditekannya frekuensi kasus-kasus infeksi paru dengan pengobatan memakai
antibiotik.
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan, dan penderitanya
lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit ini dapat diderita mulai
sejak anak, bahkan dapat merupakan kelainan kongenital. (5)
3.3 Etiologi
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas.
Pada umumnya bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. Pada
kelainan kongenital, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan.
Faktor genetic atau faktor pertumbuhan dan faktor perkembangan fetus memegang
peranan yang penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital mempunyai cirri sebagai
berikut. Pertama, bronkiektasis mengenai hamper seluruh cabang bronkus pada satu
atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis kongenital menyertai penyakit-penyakit
kongenital lainnya, seperti : Cystic Pulmonary Fibrosis, Sindroma Kartagener
(Bronkiektasis Kongenital, sinusitis paranasal dan situs inversus. Bronkiektasis
kongenital sering bersamaan dengan kelainan kongenital lainnya, seperti : tidak
adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, dan kifoskoliosis kongenital.
Pada Bronkiektasis yang didapat, kebanyakan merupakan akibat dari beberapa
proses, diantaranya adalah infeksi dan obstruksi bronkus. Pada proses yang
diakibatkan oleh infeksi, bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini pada umumnya
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak,
tuberculosis paru, dan sebagainya.
Pada proses yang disebabkan oleh obstruksi bronkus dapat disebakan oleh
berbagai macam hal : korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar
lainnya terhadap bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya
infeksi ataupun obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata menimbulkan
bronkiektasis, oleh sebab itu diduga masih ada kemungkinan faktor intrinsic yang
sampai sekrang belum diketahi secara jelas yang ikut berperan terhadap timbulnya
bronkiektasis. (5)
Pada umunya dikenal ada tiga variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis,
yaitu :
Adanya variasi bentuk-bentuk anatomis bronkus secara klinis tidak begitu penting
karena kelainan yang berbeda tersebut dapat berasal dari etiologi yang sama.
Bahkan beberapa bentuk kelainan tersebut dapat dijumpai pada satu pasien.(5)
3.5 Patogenesis
3.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien bronkiektasis mencakup
tatalaksana non farmakologis dan farmakologis. Pada tatalaksana non farmakologi ada
beberapa cara yang dapat dilakukan seperti drainase postural, tindakan ini merupakan
cara yang efektif untuk mengurangi gejala tetapi harus dilakukan secara rutin. Pasien
diletakkan dengan posisi tubuh sedemikian rupa sehingga dapat dicapai drainase
sputum secara maksimal. Tiap kali melakukan drainase postural dikerjakan selama
10-20 menit dan tiap hari dikerjakan 2-4 kali. Prinsip drainase sputum ini adalah
usaha mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.
Selain itu untuk mencairakan sputum yang kental dapat dilakukan inhalasi uap
air panas, atau menggunakan obat mukolitik. Apabila disertai infeksi maka dapat
diberikan antibiotic yang sesuai, pemilihan antibiotic yang dipakai sebaiknya harus
berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik atau menggunakan
penggunaan antibiotik secara empiris. Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus
yang diketahui dari hasil uji faal paru (% VEP < 70%) dapat diberikan obat
bronkodilator.
Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya
eksaserbasi infeksi akut) perlu diberikan oksigen, apabila pada pasien telah terdapat
komplikasi bronchitis kronik, pemberian oksigen harus dengan aliran rendah (cukup 1
liter/menit). Apabila terjadi hemoptisis tindakan yang dilakukan adalah upaya
menghentikan perdarahan tersebut.(7)
3.10 Pencegahan
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada bentuk
kongenital. Menurut kepustakaan terdapat beberapa usaha untuk mencegah terjadinya
bronkiektasis, antara lain :
Pengobatan dengan antibiotik atau cara-cara lain secara tepat terhadap
semua bentuk pneumonia yang timbul pada anak yang akan mencegah
timbulnya bronkiektasis
Tindakan vaksinasi terhadap pertusis, influenza dan lain lain pada anak
yang dapat diartikan sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya
bronkiektasis.(8)
3.11 Prognosis
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat dapat
memperbaiki prognosis penyakit.
Pada kasus yang berat dan tidak diobati, prognosis akan buruk, survivalnya
tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena
pneumonia, empiema, gagal jantung kana, hemoptisis, dll.(8)
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan batuk darah sejak 4 hari
SMRS, darah berwarna merah segar dan tidak bercampur makanan, volume darah
kurang lebih setengah gelas air mineral per hari. Selain itu pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak dan dahak sulit dikeluarkan. Pasien juga mengeluhkan adanya
penurunan berat badan sejak 1 bulan terakhir dan nafsu makan menurun. Riwayat
sesak nafas, berkeringat malam hari, mual, dan muntah tidak dikeluhkan oleh pasien.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara napas
tambahan berupa ronki pada lapangan bawah paru. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya peningkatan leukosit.
Keluhan batuk darah yang dirasakan pasien sesuai dengan gejala klinis yang
ditimbulkan pada bronkiektasis, batuk darah terjadi kira-kira pada 50% kasus
bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus
mengenai pembuluh darah dan akhirnya menimbulkan perdarahan. Pada kasus ini
pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dan dahak sulit dikeluarkan, hal ini sesuai
dengan gejala klinis bronkiektasis, yaitu batuk produktif berlangsung kronik dengan
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi hari sesudah ada
perubahan posisi bangun dari tidur.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronki basah pada lapangan bawah
paru, sesuai dengan teori pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah yang
jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke
waktu, atau ronki basah ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan
timbul lagi diwaktu yang lain. Pada pemeriksaan foto thorak didapatkan kesimpulan
suspek TB paru, pada teori dijelaskan kelainan radiologis pada bronkiektasis biasanya
menunjukkan kista-kista kecil dengan air fluid level mirip seperti gambaran sarang
tawon (honey comb appearance) pada daerah yang terkena, namun gambaran
bronkiektasis akan jelas pada bronkogram dan CT scan.
BAB V
KESIMPULAN
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan
distorsi bronkus yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten, atau
ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam
dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen statis, otot-otot polos bronkus,
tulang rawan, dan pembuluh darah. Sampai saat ini belum didapatkan secara pasti
penyebab dari bronkiektasis, namun kejadiannya lebih sering pada negara
berkembang dibandingkan dengan negara maju.
P1682-89.
6. Maitra A, Kumar V. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Buku Ajar
7. Rab T. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media; 2013: p.20-9.