Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
ANATOMI TELINGA

1.1 ANATOMI TELINGA


Auris (telinga) dibedakan atas bagian luar, tengah dan dalam. Auris berfungsi ganda
yaitu untuk keseimbangan dan untuk pendengaran. Membrana tymphanica memisahkan auris
externa dan auris media atau cavum tymphani. Tuba auditiva (tuba Eustachius)
menghubungkan auris dengan nasopharynx.

Gambar 1.1 Anatomi Telinga

1.2 TELINGA TENGAH


Auris media terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis. Auris media terdiri dari
cavitas tymphanica, yakni rongga yang terletak langsung di sebelah dalam membrana
tymphanica, dan recessus epitymphanicus. Ke depan auris media berhubungan dengan
nasopharynx melalui tuba eustachius. Ke arah posterosuperior cavitas tymphanica
berhubungan dengan cellulae mastoidea melalui antrum mastoideum. Cavitas tymphanica
dilapisi membran mukosa yang berkesinambungan dengan membran mukosa pelapis tuba
eustachius, cellulae mastoidea, dan antrum mastoideum. Di dalam auris media terdapat :
 Ossicula auditoris (malleus, incus, stapes)
 Musculus stapedius dan musculus tensor tympani
 Chorda tymphani, cabang nervus cranialis VII
 Plexus tymphanicus pada promontorium
2

Dinding-Dinding Auris Media (Cavum Tymphanica)


Auris media yang berbentuk seperti kotak sempit, memiliki sebuah atap, sebuah dasar,
dan empat dinding. Atapnya (dinding tegmental) dibentuk oleh selembar tulang yang tipis,
yaitu tegmen tymphani, yang memisahkan cavum tymphani dari dura pada dasar fossa cranii
media. Dasarnya (dinding jugular) dibentuk oleh selapis tulang yang memisahkan cavum
tymphanica dari bulbus superior vena jugularis interna. Dinding lateral (bagian berupa
selaput) dibentuk hampir seluruhnya oleh membrana tymphanica, di sebelah superior, dinding
ini dibentuk oleh dinding lateral recessus epitymphanicus yang berupa tulang (manubrium
mallei terbaur dalam membrana tymphanica, caput mallei menonjol ke dalam recessus
epitymphanicus).
Dinding medial atau dinding labirintal memisahkan cavitas tymphanica dari auris
interna. Dinding anterior (dinding karotid) memisahkan cavitas tymphanica dari canalis
carotis, pada bagian superior dinding ini terdapat ostium pharyngeum tubae auditoriae dan
terusan musculus tensor tymphani. Dinding posterior (dinding mastoid) dihubungkan dengan
antrum mastoid melalui aditus dan selanjutnya dengan cellulae mastoideus, ke arah
anteroinferior antrum mastoideum berhubungan dengan canalis facialis.

Tuba Auditiva (Tuba Eusthacius)


Tuba auditiva menghubungkan cavitas tymphanica dengan nasopharynx, muaranya
terdapat di bagian belakang meatus nasalis inferior pada cavum nasi. Bagian sepertiga
posterior tuba auditiva terdiri dari tulang dan sisanya berupa tulang rawan. Tuba auditiva
dilapisi membran mukosa yang ke posterior berkesinambungan dengan membran mukosa
nasopharynx. Tuba auditiva berfungsi sebagai pemerata tekanan dalam auris media dan
tekanan udara lingkungan, dengan demikian menjamin bahwa membran tymphani dapat
bergerak secara bebas. Dengan memungkinkan udara memasuki dan meninggalkan cavum
tymphani, tekanan di kedua sisi membran tymphani dapat disamakan.
Ossicula auditoria (malleus, incus, stapes) membentuk sebuah rangkaian tulang yang
teratur melintang di dalam cavitas tymphanica, dari membrana tymphanica ke fenestra
vestibuli. Malleus melekat pada membran tymphani, dan stapes menempati fenestra vestibuli,
incus terdapat di antara dua tulang tersebut dan bersendi dengan keduanya. Ossicula auditoria
dilapisi membran mukosa yang melapisi cavum tymphani.
Bagian superior malleus yang agak membulat, yakni caput mallei, terletak di dalam
recessus epitymphanicus. Collum mallei terdapat pada bagian membran tymphani yang
kendur, dan manubrium mallei yang tertanam di dalam membran tymphani dan bergerak
bersamanya. Caput mallei bersendi dengan incus, dan tendo musculus tensor tymphani
berinsersi pada manubrium mallei. Chorda tymphani menyilang permukaan medial collum
mallei.
Malleus berfungsi sebagai pengungkit yang lengan panjangnya melekat pada
membran tymphani. Basis stapedis berukuran jauh lebih kecil daripada membran tymphani.
Akibatnya ialah bahwa gaya getar stapes 10 kali gaya getar membran tymphani. Maka,
ossicula auditoria meningkatkan gaya getaran, tetapi menurunkan amplitudo getaran yang
disalurkan dari membran tymphani.
Terdapat dua otot yang menggerakkan ossicula auditoris dan dengan demikian
mempengaruhi membra tymphani, yaitu musculus tensor tymphani dan usculus stapedius.
3

Musculus tensor tymphani berinsersi di manubrium mallei dipersarafi oleh nervus


mandibularis, menarik manubrium mallei ke medial, menegangkan membran tymphani, dan
mempersempit amplitudo getarannya. Ini cenderung mencegah terjadinya kerusakan pada
auris interna sewaktu menerima bunyi yang keras. Musculus stapedius berinsersi di collum
stapedis dipersarafi oleh nervus cranialis VII, menarik stapes ke posterior dan menjungkitkan
basis stapedis pada fenestra vestibuli, dan dengan demikian menarik ketat ligamentum
annulare stapediale dan memperkecil amplitudo getaran. Otot ini juga mencegah terjadinya
gerakan stapes yang berlebihan.
4

BAB II
KOLESTEATOMA

2.1 DEFINISI
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar.
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena
disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang ternyata bukan. Beberapa istilah lain
yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain adalah : keratoma (Schucknecht), squamous
epiteliosis (Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel, 1958), epidermoid kolesteatoma (Friedman,
1959), kista epidermoid (Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988).
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis cranii.
Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga tengah, atau tulang
mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang mengelilinginya.
Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma adalah
termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang temporal. Kadang-
kadang, kolesteteatoma juga dapat keluar dari batas-batas tulang temporal dan basis cranii.
Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama. Pertama, efek tekanan yang menyebabkan
remodelling tulang, seperti yang biasa terjadi di seluruh kerangka apabila mendapat tekanan
secara konsisten dari waktu ke waktu. Kedua, aktivitas enzim pada kolesteatoma dapat
meningkatkan proses osteoklastik pada tulang, yang nantinya akan meningkatkan kecepatan
resorpsi tulang. Kerja enzim ini tampaknya meningkat apabila kolesteatoma terinfeksi.

Gambar 2.1 Kolesteatoma pada Telinga Tengah


5

2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden kolesteatoma tidak diketahui, tetapi kolesteatoma merupakan indikasi yang
relatif sering pada pembedahan otologi (kira-kira setiap minggu di praktek otologi tersier).
Kematian akibat komplikasi intrakranial dari kolesteatoma sekarang jarang terjadi, yang
berkaitan dengan diagnosis dini, intervensi bedah tepat waktu, dan terapi antibiotik yang
adekuat. Akan tetapi kolesteatoma tetap menjadi penyebab utama relatif tuli konduktif sedang
pada anak-anak dan orang dewasa.

2.3 ETIOLOGI
Kolesteatoma biasanya terjadi karena tuba eustachius yang tidak berfungsi dengan
baik karena terdapatnya infeksi pada telinga tengah. Tuba eustachius membawa udara dari
nasopharinx ke telinga tengah untuk menyamakan tekanan telinga tengah dengan udara luar.
Normalnya, tuba ini kolaps pada keadaan istirahat, ketika menelan atau menguap, otot yang
mengelilingi tuba tersebut kontraksi sehingga menyebabkan tuba membuka dan udara masuk
ke telinga tengah. Saat tuba tidak berfungsi dengan baik, udara pada telinga tengah diserap
tubuh dan menyebabkan di telinga tengah sebagian terjadi hampa udara. Keadaan ini
menyebabkan pars plasida di atas colum maleus membentuk kantong retraksi, migrasi epitel
membran timpani melalui kantong yang mengalami retraksi ini sehingga terjadi akumulasi
keratin. Kantong tersebut menjadi kolesteatoma.
Perforasi telinga tengah yang disebabkan oleh infeksi kronik atau trauma langsung
dapat menjadi kolesteatoma. Kulit pada permukaan membran timpani dapat tumbuh melalui
perforasi tersebut dan masuk ke dalam telinga tengah.

2.4 PATOGENESIS
Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma,
antara lain adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi.
Teori tersebut akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma
menurut Gray (1964) yang mengatakan ; kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada
tempat yang salah, ataupun kolesteatoma dapat terjadi oleh karena adanya epitel kulit yang
terperangkap.
Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous
epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka / terpapar ke dunia luar. Epitel
kulit di liang telinga merupakan suatu daerah Cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen
padat di liang telinga dalam waktu yang lama maka dari epitel kulit yang berada medial dari
serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.

2.5 KLASIFIKASI
Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis :
1. Kolesteatoma kongenital yang terbentuk pada masa embrionik dan ditemukan pada
telinga dengan membrana timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi. Lokasi
kolesteatoma biasanya di kavum timpani, daerah petrosus mastoid atau di
cerebellopontin angle. Kolesteatoma di cerebellopontin angle sering ditemukan
secara tidak sengaja oleh ahli bedah saraf.
6

Penderita sering tidak memiliki riwayat otitis media supuratif kronis yang berulang,
riwayat pembedahan sebelumnya, atau perforasi membran tymphani. Kolesteatoma
kongenital paling sering diidentifikasi pada anak usia dini (6 bulan-5 tahun). Saat
berkembang, kolesteatoma dapat menghalangi tuba eustachius dan menyebabkan
cairan telinga tengah kronis dan gangguan pendengaran konduktif. Kolesteatoma
dapat meluas ke posterior hingga meliputi tulang-tulang pendengaran dan dengan
mekanisme ini menyebabkan tuli konduktif.

Gambar 2.2 Kolesteatoma kongenital

2. Kolesteatoma akuisital yang terbentuk setelah anak lahir, jenis ini terbagi atas dua :
a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran timpani.
Kolesteatoma timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membran timpani pars
flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba
(Teori invaginasi).
b. Kolesteatoma akuisital sekunder
Kolesteatoma terbentuk setelah adanya perforasi membran timpani. Kolesteatoma
terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari
pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (Teori migrasi) atau terjadi
akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung
lama (Teori metaplasi).

Pada teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatoma terjadi akibat implantasi epitel
kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah sewaktu operasi, setelah blust injury,
pemasangan pipa ventilasi atau setelah miringotomi.
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman
(infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi
dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi
7

dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan transforming
growth factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma
bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang
diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis
tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirinitis, meningitis dan abses otak.

Gambar 2.3 Kolesteatoma pada daerah atik


merupakan kolesteatoma akuisital primer pada stadium paling awal

2.6 GEJALA KLINIS


 Nyeri tumpul dan otore intermiten akibat erosi tulang dan infeksi sekunder
 Pendengaran berkurang
 Perasaan penuh atau tekanan dalam telinga
 Pusing
 Kelemahan otot di salah satu sisi wajah (sisi telinga yang terinfeksi)

2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan otoskopi, menunjukkan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi dapat
dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi, untuk menilai hantaran tulang dan udara, penting untuk
mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan
tulang
4. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional seperti foto polos proyeksi Schuller berguna untuk menilai
kasus kolesteatoma. Pemeriksaan CT scan lebih efektif menunjukkan anatomi tulang
8

temporal dan kolesteatoma. Namun, CT scan tidak selalu bisa membedakan antara
jaringan granulasi dan kolesteatoma. Densitas kolesteatoma dengan cairan
serebrospinal hampir sama, yaitu ± -2 sampai +10 Hounsfield Unit, sehingga efek dari
desakan massa itu sendirilah yang lebih penting dalam mendiagnosis kolesteatoma.
CT scan merupakan pemeriksaan penting sebelum operasi pada setiap kasus infeksi
telinga tengah dengan komplikasi. Gaurano (2004) telah menunjukkan bahwa
perluasan antrum mastoid dapat dilihat 92% dari kolesteatoma telinga tengah dan
92% pula hasil CT scan membuktikan erosi halus tulang-tulang pendengaran. Defek
yang dapat dideteksi dengan menggunakan CT scan adalah sebagai berikut :
a. Erosi skutum
b. Fistula labirin
c. Cacat di tegmen
d. Keterlibatan tulang-tulang pendengaran
e. Erosi tulang-tulang pendengaran atau diskontinuitas
f. Anomali atau invasi dari saluran tuba

MRI lebih baik daripada CT scan dalam menunjukkan kolesteatoma, namun kurang
memberikan informasi tentang keadaan pertulangan. MRI dapat digunakan apabila ada
masalah sangat spesifik yang diperkirakan dapat melibatkan jaringan lunak sekitarnya.
Masalah tersebut sebagai berikut :
a. Keterlibatan atau invasi dural
b. Abses epidural atau subdural
c. Herniasi otak ke rongga mastoid
d. Peradangan labirin membran atau saraf fasialis
e. Trombosis sinus sigmoid

Gambaran radiologi pada kolesteatoma


Pada kolesteatoma yang menyebar ke arah mastoid akan menyebabkan destruksi
struktur trabekula mastoid dan pembentukan kavitas besar yang berselubung dengan dinding
yang licin. Kadang-kadang kolesteatoma dapat meluas ke sel udara mastoid tanpa merusak
trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak, dimana gambaran
radiologinya berupa perselubungan sel udara mastoid dan sulit dibedakan dengan mastoiditis
biasa. Untuk melihat lesi-lesi kolesteatoma yang kecil atau ingin melihat lesi lebih jelas perlu
dibuat tomografi tulang temporal. Pada kebanyakan kasus kolesteatoma, proyeksi Schuller
seharusnya cukup karena memungkinkan penilaian terhadap pneumatisasi mastoid yang
membantu pendekatan operasi.
9

Gambar 2.4 CT scan yang menggambarkan erosi tulang dan kolesteatoma

Gambar 2.5 Kolesteatoma berukuran besar


10

Gambar 2.6 Proyeksi Schuller


Kolesteatoma disertai perforasi ke dalam kanal auditori eksterna

Gambar 2.7 Kolesteatoma pada atik dengan destruksi dinding lateral


11

Gambar 2.8 Proyeksi Runstrom. Kolesteatoma pada atik


dengan destruksi terhadap atap dari fossa media tulang kepala

Gambar 2.9 Kolesteatoma menyebabkan pelebaran patologis dari Tuba Eustachius


12

Gambar 2.10 Proyeksi Towne. Kolesteatoma pada antrum


dalam non-pneumatisasi tulang mastoid

Ada beberapa proyeksi standar pada pemeriksaan foto polos tulang temporal, seperti
proyeksi Schuller, Law, Mayer, Owen, Chausse III, Stenvers, Towne, submentovertikal, dan
transorbital. Saat ini, penggunaan radiologik konvensional terbatas untuk mengevaluasi
pneumatisasi mastoid dan penilaian posisi maupun integritas elektroda implan koklea serta
evaluasi sendi temporomandibular. Hanya tiga proyeksi yang praktis menarik : proyeksi
lateral atau Schuller, frontal atau transorbital, dan proyeksi oblik atau Stenvers. Daerah
antrum dan atik dapat dinilai dengan proyeksi Schuller, namun kadang sulit dinilai karena
bayangan labirin. Hal ini dapat diatasi dengan proyeksi Mayer. Berkas sinar X yang semual
ditujukan 30ᴼ menjadi 45ᴼ pada proyeksi ini. Elevasi ini efektif menilai antrum dan atik tanpa
bayangan labirin.
a. Proyeksi Schuller atau Rungstrom
Proyeksi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Proyeksi foto dibuat
dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dengan berkas sinar X
ditujukan dengan sudut 25-30ᴼ sefalokaudal. Perluasan pneumatisasi mastoid dan
struktur trabekulasi dapat tampak dengan jelas, serta besarnya kanalis auditorius
eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis dapat dinilai.
13

Gambar 2.11
Kiri: Posisi penderita pada proyeksi Schuller dengan berkas sinar X 25-30ᴼ
sefalokaudal. Kanan : Gambaran pneumatisasi mastoid pada proyeksi Schuller

b. Proyeksi Transorbital
Penderita menghadap ke film atau belakang kepalanya ke film. Kepala penderita
ditekuk ke dagu sehingga garis orbitomeatal tegak lurus pada dasar meja pemeriksaan.
Untuk rincian lebih baik, tiap sisi harus dibuat terpisah dan pusat sinar X diarahkan ke
pusat orbita dari sisi yang akan diperiksa, serta tegak lurus pada film. Terlihat batas
jelas apeks petrosus, kanalis akustikus eksterna, vestibulum, dan kanalis
semisirkularis superior dapat terlihat.

Gambar 2.12 Proyeksi transorbital. Sinar X diarahkan tegak lurus pada film
14

c. Proyeksi Stenvers
Penderita menghadap ke film dengan kepala sedikit menekuk dan berputar 45ᴼ ke
arah sisi yang tidak diperiksa. Tepi lateral orbita pada sisi yang diperiksa terletak
dekat sekali dengan permukaan meja pemeriksaan. Berkas sinar X bersudut 2-14ᴼ ke
kaudal. Seluruh mastoid dapat terlihat jelas, apeks petrosus terlihat lengkap, kanalis
akustikus interna , vestibulum, kanalis semisirkularis terutama posterior terlihat jelas.

Gambar 2.13
Kiri : Posisi pada Proyeksi Stenvers. Sinar X bersudut 12-14ᴼ ke kaudal.
Kanan : gambaran pneumatisasi mastoid pada proyeksi Stenvers

d. Proyeksi Mayer
Kepala penderita berputar 45ᴼ ke arah sisi bawah yang diperiksa dan tabung
disesuaikan sehingga sinar utama melewati kanalis akustikus eksterna menuju film
dengan sudut 45ᴼ. Proyeksi ini memberikan gambaran aksial dari tulang petrosus dan
pneumatisasi mastoid. Antrum mastoid, kanalis akustikus eksterna dan sisi depan
kavum timpani jelas terlihat.

Gambar 2.14
Kiri : posisi pada proyeksi Mayer. Sinar X melewati kanalis akustikus eksterna menuju film
dengan sudut 45ᴼ. Kanan : gambaran pneumatisasi mastoid pada proyeksi Mayer
15

2.8 PENATALAKSANAAN
1. Atikotomi
Kolesteatoma yang terbatas pada daerah atik dapat diangkat dengan prosedur
atikotomi, yang dikenal sebagai epitimpanotomi atau timpanotomi anterior, dimana
kerusakan pada daerah skutum direkonstruksi dengan tandur dari tulang rawan tragus
dan tetap menjaga keutuhan dinding liang telinga serta tulang-tulang pendengaran.
2. Canal Wall Down Procedures
Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding
posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung
dengan liang telinga luar.
3. Canal Wall Up Procedures
Kolesteatoma dibuang dengan pendekatan kombinasi melalui mastoid dan liang
telinga, tanpa menghancurkan dinding posterior liang telinga.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I
    Bab I
    Dokumen8 halaman
    Bab I
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen20 halaman
    Bab 3
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Lapkas 1
    Lapkas 1
    Dokumen37 halaman
    Lapkas 1
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen2 halaman
    Bab Iv
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Intoksikasi
    Intoksikasi
    Dokumen32 halaman
    Intoksikasi
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen3 halaman
    Bab Ii
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen21 halaman
    Bab I Pendahuluan
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Appendisitis
    Appendisitis
    Dokumen36 halaman
    Appendisitis
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Lapkas App
    Lapkas App
    Dokumen27 halaman
    Lapkas App
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • APENDISITIS
    APENDISITIS
    Dokumen30 halaman
    APENDISITIS
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Lapkas 1
    Lapkas 1
    Dokumen37 halaman
    Lapkas 1
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • BAB I Angina Ludwig
    BAB I Angina Ludwig
    Dokumen27 halaman
    BAB I Angina Ludwig
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen2 halaman
    Bab Iii
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • TINJAUAN TINIA PEDIS
    TINJAUAN TINIA PEDIS
    Dokumen12 halaman
    TINJAUAN TINIA PEDIS
    onny
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Dan Fisiologi
    Anatomi Dan Fisiologi
    Dokumen11 halaman
    Anatomi Dan Fisiologi
    marlina rahma
    Belum ada peringkat