BAB I
ANATOMI TELINGA
BAB II
KOLESTEATOMA
2.1 DEFINISI
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar.
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena
disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang ternyata bukan. Beberapa istilah lain
yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain adalah : keratoma (Schucknecht), squamous
epiteliosis (Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel, 1958), epidermoid kolesteatoma (Friedman,
1959), kista epidermoid (Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988).
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis cranii.
Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga tengah, atau tulang
mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang mengelilinginya.
Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma adalah
termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang temporal. Kadang-
kadang, kolesteteatoma juga dapat keluar dari batas-batas tulang temporal dan basis cranii.
Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama. Pertama, efek tekanan yang menyebabkan
remodelling tulang, seperti yang biasa terjadi di seluruh kerangka apabila mendapat tekanan
secara konsisten dari waktu ke waktu. Kedua, aktivitas enzim pada kolesteatoma dapat
meningkatkan proses osteoklastik pada tulang, yang nantinya akan meningkatkan kecepatan
resorpsi tulang. Kerja enzim ini tampaknya meningkat apabila kolesteatoma terinfeksi.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden kolesteatoma tidak diketahui, tetapi kolesteatoma merupakan indikasi yang
relatif sering pada pembedahan otologi (kira-kira setiap minggu di praktek otologi tersier).
Kematian akibat komplikasi intrakranial dari kolesteatoma sekarang jarang terjadi, yang
berkaitan dengan diagnosis dini, intervensi bedah tepat waktu, dan terapi antibiotik yang
adekuat. Akan tetapi kolesteatoma tetap menjadi penyebab utama relatif tuli konduktif sedang
pada anak-anak dan orang dewasa.
2.3 ETIOLOGI
Kolesteatoma biasanya terjadi karena tuba eustachius yang tidak berfungsi dengan
baik karena terdapatnya infeksi pada telinga tengah. Tuba eustachius membawa udara dari
nasopharinx ke telinga tengah untuk menyamakan tekanan telinga tengah dengan udara luar.
Normalnya, tuba ini kolaps pada keadaan istirahat, ketika menelan atau menguap, otot yang
mengelilingi tuba tersebut kontraksi sehingga menyebabkan tuba membuka dan udara masuk
ke telinga tengah. Saat tuba tidak berfungsi dengan baik, udara pada telinga tengah diserap
tubuh dan menyebabkan di telinga tengah sebagian terjadi hampa udara. Keadaan ini
menyebabkan pars plasida di atas colum maleus membentuk kantong retraksi, migrasi epitel
membran timpani melalui kantong yang mengalami retraksi ini sehingga terjadi akumulasi
keratin. Kantong tersebut menjadi kolesteatoma.
Perforasi telinga tengah yang disebabkan oleh infeksi kronik atau trauma langsung
dapat menjadi kolesteatoma. Kulit pada permukaan membran timpani dapat tumbuh melalui
perforasi tersebut dan masuk ke dalam telinga tengah.
2.4 PATOGENESIS
Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma,
antara lain adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi.
Teori tersebut akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma
menurut Gray (1964) yang mengatakan ; kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada
tempat yang salah, ataupun kolesteatoma dapat terjadi oleh karena adanya epitel kulit yang
terperangkap.
Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous
epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka / terpapar ke dunia luar. Epitel
kulit di liang telinga merupakan suatu daerah Cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen
padat di liang telinga dalam waktu yang lama maka dari epitel kulit yang berada medial dari
serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.
2.5 KLASIFIKASI
Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis :
1. Kolesteatoma kongenital yang terbentuk pada masa embrionik dan ditemukan pada
telinga dengan membrana timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi. Lokasi
kolesteatoma biasanya di kavum timpani, daerah petrosus mastoid atau di
cerebellopontin angle. Kolesteatoma di cerebellopontin angle sering ditemukan
secara tidak sengaja oleh ahli bedah saraf.
6
Penderita sering tidak memiliki riwayat otitis media supuratif kronis yang berulang,
riwayat pembedahan sebelumnya, atau perforasi membran tymphani. Kolesteatoma
kongenital paling sering diidentifikasi pada anak usia dini (6 bulan-5 tahun). Saat
berkembang, kolesteatoma dapat menghalangi tuba eustachius dan menyebabkan
cairan telinga tengah kronis dan gangguan pendengaran konduktif. Kolesteatoma
dapat meluas ke posterior hingga meliputi tulang-tulang pendengaran dan dengan
mekanisme ini menyebabkan tuli konduktif.
2. Kolesteatoma akuisital yang terbentuk setelah anak lahir, jenis ini terbagi atas dua :
a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran timpani.
Kolesteatoma timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membran timpani pars
flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba
(Teori invaginasi).
b. Kolesteatoma akuisital sekunder
Kolesteatoma terbentuk setelah adanya perforasi membran timpani. Kolesteatoma
terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari
pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (Teori migrasi) atau terjadi
akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung
lama (Teori metaplasi).
Pada teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatoma terjadi akibat implantasi epitel
kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah sewaktu operasi, setelah blust injury,
pemasangan pipa ventilasi atau setelah miringotomi.
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman
(infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi
dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi
7
dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan transforming
growth factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma
bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang
diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis
tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirinitis, meningitis dan abses otak.
2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan otoskopi, menunjukkan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi dapat
dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi, untuk menilai hantaran tulang dan udara, penting untuk
mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan
tulang
4. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional seperti foto polos proyeksi Schuller berguna untuk menilai
kasus kolesteatoma. Pemeriksaan CT scan lebih efektif menunjukkan anatomi tulang
8
temporal dan kolesteatoma. Namun, CT scan tidak selalu bisa membedakan antara
jaringan granulasi dan kolesteatoma. Densitas kolesteatoma dengan cairan
serebrospinal hampir sama, yaitu ± -2 sampai +10 Hounsfield Unit, sehingga efek dari
desakan massa itu sendirilah yang lebih penting dalam mendiagnosis kolesteatoma.
CT scan merupakan pemeriksaan penting sebelum operasi pada setiap kasus infeksi
telinga tengah dengan komplikasi. Gaurano (2004) telah menunjukkan bahwa
perluasan antrum mastoid dapat dilihat 92% dari kolesteatoma telinga tengah dan
92% pula hasil CT scan membuktikan erosi halus tulang-tulang pendengaran. Defek
yang dapat dideteksi dengan menggunakan CT scan adalah sebagai berikut :
a. Erosi skutum
b. Fistula labirin
c. Cacat di tegmen
d. Keterlibatan tulang-tulang pendengaran
e. Erosi tulang-tulang pendengaran atau diskontinuitas
f. Anomali atau invasi dari saluran tuba
MRI lebih baik daripada CT scan dalam menunjukkan kolesteatoma, namun kurang
memberikan informasi tentang keadaan pertulangan. MRI dapat digunakan apabila ada
masalah sangat spesifik yang diperkirakan dapat melibatkan jaringan lunak sekitarnya.
Masalah tersebut sebagai berikut :
a. Keterlibatan atau invasi dural
b. Abses epidural atau subdural
c. Herniasi otak ke rongga mastoid
d. Peradangan labirin membran atau saraf fasialis
e. Trombosis sinus sigmoid
Ada beberapa proyeksi standar pada pemeriksaan foto polos tulang temporal, seperti
proyeksi Schuller, Law, Mayer, Owen, Chausse III, Stenvers, Towne, submentovertikal, dan
transorbital. Saat ini, penggunaan radiologik konvensional terbatas untuk mengevaluasi
pneumatisasi mastoid dan penilaian posisi maupun integritas elektroda implan koklea serta
evaluasi sendi temporomandibular. Hanya tiga proyeksi yang praktis menarik : proyeksi
lateral atau Schuller, frontal atau transorbital, dan proyeksi oblik atau Stenvers. Daerah
antrum dan atik dapat dinilai dengan proyeksi Schuller, namun kadang sulit dinilai karena
bayangan labirin. Hal ini dapat diatasi dengan proyeksi Mayer. Berkas sinar X yang semual
ditujukan 30ᴼ menjadi 45ᴼ pada proyeksi ini. Elevasi ini efektif menilai antrum dan atik tanpa
bayangan labirin.
a. Proyeksi Schuller atau Rungstrom
Proyeksi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Proyeksi foto dibuat
dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dengan berkas sinar X
ditujukan dengan sudut 25-30ᴼ sefalokaudal. Perluasan pneumatisasi mastoid dan
struktur trabekulasi dapat tampak dengan jelas, serta besarnya kanalis auditorius
eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis dapat dinilai.
13
Gambar 2.11
Kiri: Posisi penderita pada proyeksi Schuller dengan berkas sinar X 25-30ᴼ
sefalokaudal. Kanan : Gambaran pneumatisasi mastoid pada proyeksi Schuller
b. Proyeksi Transorbital
Penderita menghadap ke film atau belakang kepalanya ke film. Kepala penderita
ditekuk ke dagu sehingga garis orbitomeatal tegak lurus pada dasar meja pemeriksaan.
Untuk rincian lebih baik, tiap sisi harus dibuat terpisah dan pusat sinar X diarahkan ke
pusat orbita dari sisi yang akan diperiksa, serta tegak lurus pada film. Terlihat batas
jelas apeks petrosus, kanalis akustikus eksterna, vestibulum, dan kanalis
semisirkularis superior dapat terlihat.
Gambar 2.12 Proyeksi transorbital. Sinar X diarahkan tegak lurus pada film
14
c. Proyeksi Stenvers
Penderita menghadap ke film dengan kepala sedikit menekuk dan berputar 45ᴼ ke
arah sisi yang tidak diperiksa. Tepi lateral orbita pada sisi yang diperiksa terletak
dekat sekali dengan permukaan meja pemeriksaan. Berkas sinar X bersudut 2-14ᴼ ke
kaudal. Seluruh mastoid dapat terlihat jelas, apeks petrosus terlihat lengkap, kanalis
akustikus interna , vestibulum, kanalis semisirkularis terutama posterior terlihat jelas.
Gambar 2.13
Kiri : Posisi pada Proyeksi Stenvers. Sinar X bersudut 12-14ᴼ ke kaudal.
Kanan : gambaran pneumatisasi mastoid pada proyeksi Stenvers
d. Proyeksi Mayer
Kepala penderita berputar 45ᴼ ke arah sisi bawah yang diperiksa dan tabung
disesuaikan sehingga sinar utama melewati kanalis akustikus eksterna menuju film
dengan sudut 45ᴼ. Proyeksi ini memberikan gambaran aksial dari tulang petrosus dan
pneumatisasi mastoid. Antrum mastoid, kanalis akustikus eksterna dan sisi depan
kavum timpani jelas terlihat.
Gambar 2.14
Kiri : posisi pada proyeksi Mayer. Sinar X melewati kanalis akustikus eksterna menuju film
dengan sudut 45ᴼ. Kanan : gambaran pneumatisasi mastoid pada proyeksi Mayer
15
2.8 PENATALAKSANAAN
1. Atikotomi
Kolesteatoma yang terbatas pada daerah atik dapat diangkat dengan prosedur
atikotomi, yang dikenal sebagai epitimpanotomi atau timpanotomi anterior, dimana
kerusakan pada daerah skutum direkonstruksi dengan tandur dari tulang rawan tragus
dan tetap menjaga keutuhan dinding liang telinga serta tulang-tulang pendengaran.
2. Canal Wall Down Procedures
Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding
posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung
dengan liang telinga luar.
3. Canal Wall Up Procedures
Kolesteatoma dibuang dengan pendekatan kombinasi melalui mastoid dan liang
telinga, tanpa menghancurkan dinding posterior liang telinga.