Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan
dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara
lain:
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LBP/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4
minggu.

1
3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-
90% pasien dibawah umur 6 tahun dan paling; di Indonesia dilaporkan 6 kasus per
100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya
44,2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang
dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4%
merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan
berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi pada usia 2-3
tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai
onset sebelum berusia 10 tahun.

3.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis :sindrom
nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative (mesangial
proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini
dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa;
dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit
tunggal.

2
Klasifikasi
 Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus terlihat
normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan
matriksnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya
negatif, dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial
cell foot processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan
SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid.
 Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation)
Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan adanya
peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan
mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat memperlihatkan
jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop elektron memperlihatkan
peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya
sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan
terapi kortikosteroid.
 Glomerulosklerosis fokal segmental (Focal segmental
glomerulosclerosis/FSGS )
Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada
pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence
menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sklerosis. Pada
pemeriksaan dengan mikroskop elektron, dapat dilihat jaringan parut
segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada lumen
kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks
vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien
dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini
biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua

3
glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal
disease) pada kebanyakan pasien.

 Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP)


Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi seluler
(hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop cahaya, MBG
menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu
penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium berlanjut ke dalam
kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi membrane basalis
(“jejak-trem” atau kontur lengkap). Kelainan ini sering ditemukan pada
nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom
nefrotik. Ada MPGN tipe I dan tipe II.
 Glomerulopati membranosa (GM)
Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara
morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang ditemukan
pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus, sedangkan yang lain
masih normal. Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrane
basalis yang terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron.

2. Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah :
 Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema
 Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS

4
 Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular
 Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schinlein, sarkoidosis
 Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal

3.4 Patofisiologi
 Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas
membrana basalis glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah
kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran
molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (change
barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain
konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui
MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur
MBG.

5
 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.

 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya sistem
Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormone
aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi
ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga
terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini
mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler
peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.

6
 Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density
lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh
penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

3.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering
ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang
kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya dating dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya terjadi di
sekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai
gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari ke hari.
Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura,
dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi.
Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak
dengan edema adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis
akut atau kronis, dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti
efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum
atau daerah vulva.

7
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal atau rendah,
namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara,
terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat.
Keadaan ini disebabkan oleh sekresi rennin berlebihan, sekresi aldosteron, dan
vasokonstriktor lainnnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC (Internasional
Study of Kidney Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat bersementara. Pasien sindrom
nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke
daerah splanchnik atau akibat peritonitis.
Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated
Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis, Glomerulonephritis
akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
 Urinalisis dan bila perlu biakan urin
 Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/ kreatinin
pada urin pertama pagi hari
 Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz

8
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus Sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Ana nuclear
antibody) dan anti ds-DNA

Indikasi biopsi ginjal :


- Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid

3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya
penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux.
Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan
tuberculosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan
dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus.
Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended
Daily Allowances) yaitu 2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan
malnutrisi energy protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah
garam (1-2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edema.

9
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian
prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80mg/hari),
dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung
berdasarkan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednisone
dalam dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian
steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan
remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi
pada remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal)
secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila
setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid. (Gambar 1)

b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi
pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya
mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat di gambar 2,
yaitu diberikan prednisone dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan prednisone dosis alternating selama 4 minggu. Pada
sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa

10
edema, sebelum dimulai pemberian prednisone, terlebih dahulu dicari
pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi, diberikan
antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian antibiotic kemudian proteinuria
menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal
ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps,
dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan,
dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.

11
c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4
pilihan, yaitu :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)

Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di gigi atau
cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps sering/dependen
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis penuh, diteruskan
dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/ bertahap
0,2mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara
0,1-0,5mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut threshold dan dapat diteruskan
selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah
dapat mentolerir prednisone 0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai
1mg/kgBB secara alternating.

12
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), dialnjutkan dengan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari dan
imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal
selama 8 minggu

Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4


minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB
diberikan melalui infuse 1x sebulan selama 6 bulan berturut-turut dan prednisone
alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-
tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).

13
Atau prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12
minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering-off 2 bulan).

d. Pengobatan Sindrom Neftrotik Resisten Steroid


1. Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan
imunosupresif. Siklofosfamid menunjukan kemampuan memperpanjang masa
remisi dan mencegah kambuh sering. Indikasi penggunaan siklofosfamid yaitu
bila terjadi kegagalan mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi
prednisone tanpa menyebabkan keracunan steroid. Siklofosfamid diberikan 3
mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal selama 12 minggu. Terapi prednisone
selang sehari tetap diberikan selama penggunaan siklofosfamid ini.
Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek samping yang
mungkin terjadi antara lain : leucopenia, gangguan gastrointestinal, infeksi
varicella disseminate, sistisis hemoragik, alopesia, keganasan, azoospermia,
dan infertilitas. Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar leukosit perlu
diperiksa setiap minggu, dan pengobatan perlu dihentikan dahulu bila kadar
leukosit menjadi ≤ 5000/mm3.

2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam
menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh
sering. Dosis yang umumnya digunakan adalah 0,2 mg/kgBB/hari selama 8-
12 minggu.

14
3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini juga
mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi sifatnya
memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan
selang sehari selama 4-12 bulan.

4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan
steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang efektif.
Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hari. Dalam penggunaannya,
kadar dalam darah perlu dikontrol karena memberikan efek nefrotoksik.
Siklosporin dapat menyebabkan kelainan histologist bahkan pada penderita
yang ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang sering ditemukan
yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi, gejala gastrointestinal, dan hipertensi.

e. Penderita lama (pengobatan relaps)


 Relaps tidak frekuen : prednisone 2mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, diberikan
3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis intermitten dibagi dalam 3
dosis selama 4 minggu.
 Relaps frekuen : berikan prednisone dosis penuh sampai remisi, kemudian
dilanjutkan sitostatika atau imunosupresen, siklofosfamid atau klorampusil
bersama-sama dengan prednisone dosis intermiten selama 8 minggu.

f. Penderita rawat jalan


 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat badan, mengukur
tinggi badan, tekanan darah, dan pemeriksaan tanda-tanda lainnya
 Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin, darah tepi,
kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali tergantung pada situasi

15
Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain remisi
total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1+ tanpa obat, proteinuria
+/++ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan antibiotika
(ampisillin atau amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuria maka
dianggap sebagai relaps.

g. Pengobatan tambahan
 Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid 1-
2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
 Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma 10-20
ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1 mg/kgBB/kali
 Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia (1,5g/dL)
berikan albumin atau plasma darah

3.8 Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah
selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan
komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi bacterial
(pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK) diberikan
antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian immunoglobulin G
intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti
campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.

16
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar
kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik
dan trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit
lemak.

3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
 Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
 Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik
resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan
vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
50mg/kgBB intravena.

4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik
relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut. Penyulit lain yang dapat
terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal
ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan
keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain
hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.

17
3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25%
menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik


Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta,
h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI pp. 381-426
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J (on line) (20) : screens.
Available from : URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. akses :
on September 8, 2009
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18
th
ed. Saunders. Philadelpia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h.50-54
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius :
Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia
Kedokteran No. 134. Jakarta, h.32-37
8. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. (on line) (1) : screens.
Available from : URL:http//www.pediatrik.com. Akses : 8 september 2009
10. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar:Lab./SMF
Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah; 2000. h.159-162
11. Cohen Eric P. Nephrotic Syndrome: Differential Diagnoses & Workup.
Update: Aug 25, 2009

19
12. Garna, Herry dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak FK UNPAD. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UNPAD. h.601-606

20

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I
    Bab I
    Dokumen8 halaman
    Bab I
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen21 halaman
    Bab I Pendahuluan
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen2 halaman
    Bab Iv
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Lapkas 1
    Lapkas 1
    Dokumen37 halaman
    Lapkas 1
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen3 halaman
    Bab Ii
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Appendisitis
    Appendisitis
    Dokumen36 halaman
    Appendisitis
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Intoksikasi
    Intoksikasi
    Dokumen32 halaman
    Intoksikasi
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Lapkas 1
    Lapkas 1
    Dokumen37 halaman
    Lapkas 1
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Lapkas App
    Lapkas App
    Dokumen27 halaman
    Lapkas App
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • BAB I Angina Ludwig
    BAB I Angina Ludwig
    Dokumen27 halaman
    BAB I Angina Ludwig
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • APENDISITIS
    APENDISITIS
    Dokumen30 halaman
    APENDISITIS
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen2 halaman
    Bab Iii
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • Tinea Pedis
    Tinea Pedis
    Dokumen12 halaman
    Tinea Pedis
    onny
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Dan Fisiologi
    Anatomi Dan Fisiologi
    Dokumen11 halaman
    Anatomi Dan Fisiologi
    marlina rahma
    Belum ada peringkat
  • KOLESTEATOMA
    KOLESTEATOMA
    Dokumen15 halaman
    KOLESTEATOMA
    marlina rahma
    Belum ada peringkat