Lembaga politik (menjadi machtsformer, pembentuk-kekuatan), yang
mendahulukan kepentingan sendiri daripada pelayanan umum dan
kesejahteraan rakyat. Akibatnya, mucul banyak konflik sosial. Individu langsung berhadapan dengan pribadi lain; kliek melawan kliek musuhnya; partai berhantaman dengan partai lain, lalu terjadilah kekacauan sosial dan politik.
Sampai sebelum Dekrit Presiden tahun 1959, pendulum
kekuasaan politik ada di Dewan Legislatif/DPR kita. Badan ini maha kuasa, bagaikan dewan dewa-dewa kayangan yang dengan mudahnya menjatuhkan kabinet lewat mosi tidak percaya; dan mengusulkan serta “mengangkat” lewat pintu-pintu belakang orang-orang yang disukai untuk menduduki jabatan-jabatan dan kursi-kursi kepemimpinan tinggi; atau menyingkirkan orang-orang yang tidak disenangi dari jabatan-jabatannya. Semuanya berdasarkan prinsip suka-tidak suka. Pada periode itu dewan legislatif benar-benar sangat berkuasa, sedang dewan eksekutif sangat lemah. Maka untuk menyambangi ketidakstabilan sosial dan politik ini, presiden Soekarno lebih banyak menelmpatkan figur-figur militer di badan- badan eksekutif, yudikatif, dan legislatif serta di bidang politik sebagai intervening agents, yang ikut mencampurtangani masalah-masalah politik, guna meredakan dan mengimbangkan situasi politik pada saat itu. Sebab intervensi militer dengan tipe kepemimpinan dan way of thinking-nya itu menjadi balas dendam kehidupan politik, serta menjadi bagian crucial (penting sekali, kritis) dari gerakan prmbaruan dan modernisasi. Intervensi militer itu merupakan satu Notwendigkeit (hal yang sangat perlu dalam keadaan kritis), yang menunjukkan tidak adanya atau lemahnya institusi politik, yang rapuh dan sangat tidak efektif di tengah masyarakat. Juga adanya lembaga-lembaga eksekutif dan birokrasi yang sangat lemah, dengan pemimpin-pemimpin eksekutif yang tidak berwibawa. Jadi, intervensi tokoh-tokoh militer untuk menjalankan fungsi kepemimpinan di bidang lembaga politik, sipil, dan legislatif itu pada saatnya dibutuhkan untuk mengisi kevakuman yang disebabkan oleh ketidakmampuan orang-orang sipil menjalankan tugas-tugasnya. Bagi pihal militer sendiri, asistennya di lembaga eksekutif, legislatif, dan politik itu mendorong kuat mereka untuk memerankan kedwifungsiannya, yaitu di sektor pertahanan-keamanan dan di bidang sosial-politik. Hal ini terutama didukung oleh faktor-faktor yang menguntungkan, yaitu: 1. Adanya kohesi dan esprit de corps yang kuat dikalangan tentara; 2. Mereka memiliki kemahiran teknis dan manajerial yang tinggi berkat pendidikan di dalam dan di luar negeri ditambah pengalaman di lapangan dengan tugas teritorial dan tugas bertempur; 3. Memiliki semangat 1945, keheroikan (berkat pengalaman perjuangan fisik), dan etos pemberian pelayanan umum kepada rakyat dengan kesadaran sosial tinggi; 4. Dan berasal dari kelas sosial (latar belakang keluarga) menengah, yang pernah “diasuh” oleh rakyat di mana perjuangan fisik dan masa gerilya, yang mengetahui benar kondisi keterblekangan rakyat kecil pada umumnya. Dukungan penting para pemimpin militer dalam proses modrnisasi di negara berkembang antara lain berupa: 1. Memurnikan dan memperkokoh birokrasi negara, dengan menuntut prestasi pejabat-pejabatnya dalam pemberian pelayanan umum, dan peningkatan loyalitas pada pemerintah. 2. Mengembangkan sektor ekonomi, finansial, dan komersial. Bahkan ada kecenderungan etatisme ekonomi (campur tangan pemerintah di banyak bidang ekonom). Ada penggiatan pernana modal-modal pribumi dan modal kelompok-kelompok minoritas etnis, mendorong kemunculan orang-orang kaya baru/OKB. Promosi dari kesejahteraan materil, dan lain-lain. 3. Memberikan support politik dengan jalan memodernisasi lembaga- lembaga politik yang memiliki predikat unggul, yaitu otonomi, adaptbilitas, koherensi atau keterpaduan, dan perluasan lembaga- lembaga politik menjadi unit kompleksitas yang lebih tinggi. 4. Meningkatkan partisipasi politik kelas-kelas sosial baru dan massa rakyat yang mulai terdidik dan sadar politik, khususnya menitikberatkan fungsinya untuk mengadakan kontrol sosial, redistribusi dari kekuasaan dan kekayaan negara dan keturutsertaan mereka menentukan kebijakan-kebijakan yang penting bagi pemerataan kesejahteraan. 5. Menstimulasi dilaksanakannya upaya demokratisasi di segala bidang kehidupan, dan tercapainya nasionalisme kerakyatan (berorientasi pada rakyat). 6. Merangsang pribadi-pribadi dan pemerintah-pemerintah asing (luar negeri) untuk mengambil bagian dalam usaha-usaha pembangunan, dengan menanamkan modal dan memberikan grand serta pinjaman untuk usaha-usaha pembangunan (yang dimulai pada periode Orde Baru) di Indonesia 7. Mengadakan reformasi-reformasi agraris di daerah pedesaan, dan mulai mempolitisasikan massa rakyat, khusunya para penghuni daerah rural. Pendeknya, langkah-langkah kaum militer di bidang sosial, pemerintahan dan politik pada masa awal pembangunan itu sifatnya puriten/murni, penuh dedikasi. Pemimpin-pemimpin militer tersebut sangat membenci korupsi, kepasifan, inkopetensi/ketidakmampuan pegawai- pegawai negeri, dan lemahnya birokrasi. Dikalangan militer sendiri mereka mengembangkan program-program untuk mengadakan reformasi sosial dan ekonomi, serta pengembangan nasional. Oleh karena itu, para perwira (pemimpin militer) dianggap sebagai kelompok yang paling modern dan paling progresif dari masyarakat Indonesia. Mereka adalah typis merupakan kekuatan yang paling maju, dan kelompok yang paling kohesif atau terpadu di tengah masyarakat. Pada fase awal dari usaha pembangunan dan modernisasi politik- yang berkaitan dengan negara, pemerintahan, dan nasib rakyat, pemimpin-pemimpin militer memainkan peranan memodernisir, dan sangat progresif. Mereka mempromosikan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, mengutamakan integritas nasional. Juga mencoba ikut memperluas partisipasi politik rakyat dan pertumbuhan partai-partai politik yang lebih sehat. Korupsi, kelambanan pelayanan sosial, kemiskinan-kebodohan-ketertinggalan rakyat, semuanya dicoba untuk dihilangkan. Pendeknya, mereka mencerminkan ide-ide dan etos tinggi dari kelas menengah, sangat jujur, juga loyalitas mereka pada bangsa dan negara tidak diragukan lagi. Peran-peran mereka yang korektif, inovatif, dan kreatif (berdasarkan puritanisme) itu sangat dihargai oleh rakyat, karena mereka dianggap sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan rakyat. Profesionalisme dari korps perwira militer menstimulasi tanggung jawab dan keperdulian yang lebih besar terhadap usaha modernisasi, perluasan lembaga-lembaga politik, dan pembagunan nasional. Selanjutnya, partisipasi mereka di bidang sosial dan politik itu bisa bersifat individual, sampai yang bersifat kebersamaan berupa junta-junta kolektif (junta, berasal dari juncta atau junctus; dewan, majelis, kliek, kombinasi politik dari pribadi-pribadi). Maka keterlibatan pemimpin-pemimpin militer (para perwira) dalam politik itu biasanya merupakan reaksi dari dua situasi yaitu: 1. Meningkatnya konflik-konflik di antara partai-partai politik dan kelompok-kelompok sosial, 2. Menurunnya atau lemahnya efektivitas dan legitimitas institusi-institusi politik, karena tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya (tidak otonom, serta tidak berwibawa). Maka dwitugas dari pemimpin militer pada awal masa modernisasi itu ialah: 1. Membangun pasukan tentara/army yang tersentralisasi dan rasional, serta loyal pada bangsa dan negara; 2. Membangun sistem birokrasi pemerintahan yang bersih dan efektif. Pada masa awal modernisasi tadi, peranan kebhayangkarian/guardian selaku pengawal pemerintah/negara dari kepemimpinan militer tersebut cukup rasional. Sebab itu intervensi militer dalam politik pada umumnya bersifat intermittent atau sebentar/sementara, dan dengan tujuan-tujuan terbatas. Pemimpin- pemimpin militer tidak menganggap dirinya sebagai pencipta orde politik baru dan pencipta modernisasi; akan tetapi meyakini fungsi mereka sebagai bhayangkari negara, sebagai agen-pemurni dari orde yang ada, dan sebagai stimulator dalam pembangunan. Tugas-tugas pokoknya ialah: 1. Melindungi, menjaga, keamanan, 2. Perwalian (berfungsi sebagai wali), 3. Memberantas anarki dan macam-macam disfungsi sosial, 4. Menangkal subversi 5. Menegakkan-meluruskan sistem politik yang ada Segala tugas dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Maka intervensi pemimpin-pemimpin militer ke dalam sektor politik itu berlangsung pada saat-saat kritis penuh kontroversi, konflik dan penyimpangan-penyimpangan sosial, dengan mengemban tugas mencegah, menangkal dan memberantas semua kondisi sosial-politik- ekonomi yang ricuh tadi. Maka, sejauh mana institusi militer, baik yang bersifat perorangan maupun berupa kolektivitas berperan di bidang politik (mengalami proses politisasi), pada kenyataannya mencerminkan adanya: kelemahan organisasi-organisasi politik dan kelemahan orang-orang sipil yang jelas- jelas tidak mampu menangani masalah-masalah kebijakan/policy yang prinsipil, dan harus dihadapi oleh negara. Selanjutnya, dengan berlalunya masa, dan berkat proses edukasi, demokrasi, sekularisasi,urbanisasi, industrialisasi, dan modernisasi, terjadilah banyak perubahan di tengah masyarakat, yaitu di lembaga- lembaga pemerintah, bidang swasta, dan di tengah masyarakat luas. Perubahan-perubahan ini juga terjadi pada fungsi-fungsi kepemimpinan militer. Pada masa perjuangan menentang kolonialisme dan merebut kemerdekaan, predikat tam-tama-bintara-perwira ialah sangat radikal, patriotik, dan penuh kepahlawanan. Pengorbanan jiwa dan raga tidak pernah dijadikan persoalan,karena perilakunya dilandasi kebaikan, ketulusan dan kesediaan berkorban. Ringkasnya, merka menjunjung tinggi patriotisme, heroisme, dan nasionalisme. Di masa awal pembangunan tadi pemimpin militer lebih berfungi sebagai pegawa/bhayangkari, arbiter atau wasit juru pemisah, dan partisipan politik. Bahkan tidak jarang mereka menjadi pelopor dalam usaha memodernisasi lembaga-lembaga politik. Sifat kepemimpinnya korektif, progresif futuristik, (terbuka dan mau mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi), renovatif untuk mengadakan pembaruan, kreatif dan inovatif untuk menciptakan hal-hal baru. Namun kemudian, pada masa pembangunan-lanjut, dengan adanya kestabilan politik dan kemjuan sektor ekonomi-antara lain berwujud investasi modal asing, pinjaman luar negeri, kerja sama yang lebih akrab dengan dunia perbankan dn niaga, kolaborasi dengan konglomerat dan industrialis-industrialis asing yang super-kaya maka meningkatlah tuntutan partisipasi yang lebih besar dari massa rakyat untuk melontarkan kritik konstruktif dan melakukan kontrol sosial; serta ikut menentukan kebijakan-kebijakan yang penting. Dalam kondisi sedemikian, maka pemimpin-peimpin militer itu condong menjadi penjaga gawang yang konservatif dari orde politik yang ada. Semakin tradisional dan terbelakang suatu masyarakat, maka semakin menjdi progresif peranan pemimpin dan kepemimpinan militer. Dia cenderung mendorong pengadaan reformasi di tengah masyarakat, dan menstimulasi modernisasi di lembaga-lembaga politik dan birokrasi pemeritahan. Akan tetapi semakin maju masyarakatnya dan semakin modern lembaga-lembaga politiknya, juga semakin cepat meningkat proses industrialiasi dan sektor ekonomi lainnya, maka biasanya menjadi semakin konservatif dan reaktif peranan kaum militer. Fungsinya kemudian lebih ditekankan pada agen-penstabil (stabilisator) untuk menjamin keseimbangan/balans di tengah masyarakat. Jika lembaga-lembaga politik telah maju dan modern, maka kekuatan militer di bidang-bidang nonmiliter-yaitu di bidang politik, sosial, dan ekonomi-secara perlahan-lahan atau secara drastis mulai dikurangi, dan diberikan kepada kaum teknisi dan birokrat sipil. Jelasnya, tokoh- tokoh pempimpin militer yang sudah dipolitisasikan itu kini dijadikan nonpolitik ( ada proses depolitisasi). Mereka dikembalikan pada profesinya, yaitu: a. Menjamin pertahanan dan keamanan negara, b. Dijadikan spesialis-spesialis dengan kemahiran teknis militer yang tinggi dan profesional. Di kala massa rakyat mulai sadar politik berkat perluasan edukasi dan urbanisasi yang mengajarkan paham demokrasi serta hak-hak warga negara, sehingga mereka lalu menuntut kesempatan partisipasi politik yang lebih banyak,- namun lembaga-lembaga politik formal menutup pintu bagi masuknya lebih banyak massa urban dan warga-desa dari kelas menengah serta kelas bawah-, maka kepemimpinan militer menjadi lebih konservatif. Khususnya menjadi konservatif karena harus melindungi sistem politik dan orde yang tengah memerintah (dengan segala interest dan policy-nya) dari serbuan partisipasi politik massa rakyat yang berasal dari kelas-kelas sosial lebih rendah. Mereka dijadikan “penjaga-pintu” untuk menghambat atau menghalangi ekspansi dari partisipasi yang lebih besar dari golongan-golongan kelas menengah baru dan kelompok- kelompok sosial yang lebih progresif dan radikal. Jadi, jika pada awalnya (awal dari proses modernisasi, dan awal pemerintahan RI sesudah mengalami masa penjajahan) itu pemimpin- pemimpin militer berpredikat cemerlang, modern, sekular, demokratis, pendukung reformasi-reformasi sosial dan