Anda di halaman 1dari 10

PENGUJIAN SENSITIVITAS BAKTERI TERHADAP

ANTIBIOTIK: METODE KIRBY-BAUER DAN METODE MIC

Oleh:
Nama : Rizqi Nahriyati
NIM : B1A015088
Rombongan : II
Kelompok :7
Asisten : Arie Tri Pangestu Judanto

LAPORAN PRAKTIKUM BAKTERIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang


mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme (Haryanto et al., 2016). Menurut Indang et al. (2013) antibiotik
adalah semua senyawa kimia yang dihasilkan oleh organisme hidup atau yang
diperoleh melalui sintesis yang memiliki indeks kemoterapi tinggi, dan manifestasi
aktivitasnya terjadi pada dosis yang sangat rendah. Serta secara spesifik melalui
inhibisi proses vital tertentu pada virus, mikroorganisme, atau berbagai organisme
bersel banyak. Menurut Bbosa et al. (2014), terdapat bakteri penghasil antibiotik
diantaranya yaitu Bacillus licheniformis penghasil antibiotok Basitrasin, Bacillus
polymyxa penghasil Polimiksin, Streptomyces noursei penghasil antibiotik Nistatin,
Streptomyces erytherus penghasil Eritromisin, Pseudomonas fluorescens penghasil
antibiotik Puromicin, Streptomyces auerofaciens penghasil antibiotik Tetrasiklin,
Streptomyces venezuelae penghasil antibiotik Kloramfenikol, Streptomyces
kanamyoetious penghasil antibiotik Kanamisin, Streptomyces mediterranei penghasil
antibiotik Rimfamisin, Streptomyces orientalis penghasil antibiotik Vankomisin,
Penicillum chrysogenum penghasil antibiotik Penisilin, Streptomyces fradiae
penghasil antibiotik Neomisin dan Fosfomisin, Streptomyces griseus penghasil
antibiotik Streptomisin, Streptomyces mediterranei penghasil antibiotik Rifampin
atau Rifamisin, Penicillum griseofulvin penghasil antibiotik Griseofulvin.
Antibiotik dapat dibedakan berdasarkan daya kerjanya, yaitu kelompok
antibiotik bakteriostatik dan antibiotik bakterisidik. Kelompok bakteriostatik bekerja
dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri seperti pada
kloramfenikol dan tetrasiklin, sedangkan kelompok bakterisidik bekerja dalam
mematikan bakteri tersebut seperti pada ampisilin (Indang et al., 2013). Menurut
Rostinawati (2009), antibiotik digolongkan berdasarkan spektrum kerjanya, yaitu
spektrum sempit dan spektrum luas. Spektrum sempit bekerja terhadap beberapa
jenis bakteri saja, contohnya seperti penisilin yang hanya bekerja terhadap bakteri
gram positif dan gentamisin hanya bekerja terhadap bakteri Gram negatif. Spektrum
luas yang bekerja terhadap lebih banyak bakteri, baik Gram negatif maupun Gram
positif serta jamur, contohnya seperti tetrasiklin dan kloramfenikol.
Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda-beda dalam membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik dibuat
berdasarkan mekanisme kerja tersebut, yaitu : (1) Antibiotik yang menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Contohnya adalah penicilin, cephalosporin, carbapenem,
monobactam dan vancomycin. (2) Antibiotik yang bekerja dengan merusak membran
sel mikroorganisme. Antibitoik golongan ini merusak permeabilitas membran sel
sehingga terjadi kebocoran bahan-bahan dari intrasel. Contohnya adalah polymyxin.
(3) Antibiotik yang menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan
mempengaruhi subunit ribosom 30S dan 50S. Antibiotik ini menyebabkan terjadinya
hambatan dalam sintesis protein secara reversibel. Contohnya adalah
chloramphenicol yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme lainnya, serta
macrolide, tetracycline dan clindamycine yang bersifat bakteriostatik. (4) Antibiotik
yang mengikat subunit ribosom 30S. Antibiotik ini menghambat sintesis protein dan
mengakibatkan kematian sel. Contohnya adalah aminoglycoside yang bersifat
bakterisidal. (5) Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba.
Contohnya adalah rifampicin yang menghambat sintesis RNA polimerase dan
kuinolon yang menghambat topoisomerase. Keduanya bersifat bakterisidal. (6)
Antibiotik yang menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme folat.
Contohnya adalah trimethoprime dan sulfonamide. Keduanya bersifat bakteriostatik
(Amin, 2014).
Antibiotik digunakan untuk membasmi mikroba penyebab terjadinya infeksi.
Gelaja infeksi terjadi akibat gangguan langsung oleh mikroba dan berbagai zat toksis
yang dihasilkan oleh mikroba. Manfaat antibiotik dalam bidang kesehatan banyak
sekali diantaranya antibiotik dapat digunakan untuk mengobati infeksi kulit baik
yang disebakan oleh bakteri mampun jamur, mengobati infeksi saluran kemih dan
berbagai macam penyakit lainya. Konsumsi atau pemakaian antibiotik yang tidak
tepat dapat menimbulkan resistensi (Humaida, 2014).
Resistensi antibiotik adalah kemampuan bakteri atau mikroba lainnya untuk
menahan efek suatu antibiotik. Resistensi antibiotik terjadi bila suatu antibiotika
kehilangan kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi
pertumbuhan bakteri sehingga mengurangi atau menghilangkan efektivitas obat, zat
kimia, atau agen lainnya yang ditujukan untuk menyembuhkan infeksi (Indang et al.,
2013). Berdasarkan kejadiannya resistensi dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
pertama resistensi alamiah, dimana resistensi alamiah merupakan sifat dari
antibiotika tersebut yang memang kurang atau tidak aktif terhadap kuman. Kedua
resistensi kromosomal, yaitu resistensi kuman terhadap antibiotika yang mempunyai
sebab genetik kromosomal misalnya terjadi karena mutasi spontan pada lokus DNA
yang mengontrol susceptibility terhadap obat tertentu. Ketiga yaitu resistensi ekstra
kromosom, dimana terjadi pemindahan faktor resistensi (faktor R atau plasmid
resistensi) dari sel bakteri ke sel bakteri lainnya melalui konjugasi yaitu diantara dua
bakteri terbentuk pillus kelamin yang merupakan suatu saluran protein yang
digunakan untuk mengangkut faktor R kemudian dibawa ke sel bakteri lain
(Handriana et al., 2015). Menurut Humaida (2014) faktor-faktor yang mendukung
terjadinya resitensi adalah penggunaan antibiotik yang terlalu sering dan penggunaan
antibiotik yang irrasional.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum pengujian sensitivitas bakteri terhadap antibiotik:
metode Kirby-Baurer dan metode MIC adalah untuk mengetahui cara melakukan uji
sensitivitas senyawa antibiotik secara kuanlitatif dan kuantitatif.
II. MATERI DAN CARA KERJA

Alat-alat yang digunakan yaitu cawan petri, tabung reaksi, rak tabung, cotton
bud steril, pipet, pinset, penggaris, kertas label, spidol, inkubator, kamera, dan alat
tulis.
Bahan-bahan yang digunakan, yaitu isolat cair Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, akuades, medium Natrium Agar (NA) dan Natrium Broth
(NB), kertas cakram, Amoksisilin, Tetrasiklin, Eritromisin, Klindamisin.

A. Cara Kerja

Metode uji kualitatif Kirby-Baurer


Cotton bud dicelupkan dalam biakan bakteri E. coli dan S. aureus kemudian
diulaskan pada seleruh permukaan medium NA pada cawan secara merata. Kertas
cakram yang telah diberi larutan antibiotik dengan konsentrasi tertentu diletakan
ditengan medium. Kertas cakram ditekan dengan menggunakan pinset supaya
menempel semua dipermukaan agar. Inkubasi pada suhu 370 C selama 2 x 24 jam.
Diameter zona hambat dihitung kemudian dibandingkan dengan tabel sensitivitas
antibiotik.

Antibiotik Resistant Intermidiate Susceptible


Amoksisilin ≤ 13 mm 14-17 mm ≥ 18 mm
Tetrasiklin ≤ 14 mm 15-18 mm ≥ 19 mm
Klindamisin ≤ 14 mm 15-20 mm ≥ 21 mm
Eritromisin ≤ 13 mm 14-17 mm ≥ 18 mm

Metode Minimum Inhibitory Concentration (MIC)


Secara aseptis 0,8 ml medium NB dimasukan kedalam 24 tabung reaksi. 24
tabung terbagi dalam 4 seri, masing masing seri memiliki 6 tabung dengan
konsentrasi 4, 8, 16, 32, 64, 128 µg/ml. Tabung Seri A dimasukan sebanyak 0,5 ml
isolat cair E .coli dan 0,5 ml antibiotik Amoksisilin. Tabung pada seri B dimasukan
sebanyak 0,5 ml isolat cair S. aureus dan 0,5 ml antibiotik Eritromisin. Tabung pada
seri C dimasukan sebanyak 0,5 ml isolat cair E. coli dan 0,5 ml antibiotik
Eritromisin. Tabung pada seri D dimasukan sebanyak 0,5 ml isolat cair S. aureus dan
0
0,5 ml antibiotik Amoksisilin. Inkubasi pada suhu 37 C selama 2 x 24 jam.
Diamati, hasil interpretasi postif jika tidak terdapat pertumbuhan bakteri.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Tabel Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik Metode Kirby-Baurer

Isolat Antibiotik Zona Hambat Interpretasi


Eritromisin 10,5 mm Resistant
Klindamisin 12,5 mm Resistant
E. coli
Amoksisilin 8,5 mm Resistant
Tetrasiklin 12,5 mm Resistant

Gambar 3.1. Hasil Uji Kirby-Baurer


Hasil pengamatan sensitivitas bakteri terhadap antibiotik dengan
menggunakan metode Kirby-Baurer diperoleh hasil zona hambat pada amoksisilin
sebesar 10,5 mm, zona hambat pada tetrasiklin sebesar 12,5, zona hambat pada
klindamisin sebesar 8,5 mm, dan zona hambat pada eritromisin sebesar 12,5 mm
yang menginterpretasikan bahwa bakteri tersebut resistant terhadap keempat
antibiotik yang digunakan dimana antibiotik tersebut tidak mampu menghambat
pertumbuhan bakteri E. coli, diduga karena bakteri E. coli tersebut sudah resisten
terhadap antibiotik yang digunakan atau antibiotik pada kertas cawan yang sudah
kering sehingga kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Indang et al. (2013) bahwa resistensi antibiotik
terjadi bila suatu antibiotika kehilangan kemampuannya untuk secara efektif
mengendalikan atau membasmi pertumbuhan bakteri. Beberapa bakteri
mengembangkan kemampuan untuk menetralisir antibiotik sebelum antibiotik dapat
membahayakan bakteri tersebut, lainnya dapat dengan cepat memompa antibiotik
keluar, dan lainnya lagi dapat mengubah tempat dimana antibiotik seharusnya
menyerang bakteri tersebut sehingga antibiotik tidak dapat mempengaruhi fungsi
bakteri. Menurut Soleha (2015), tingginya konsentrasi antibiotik ditentukan oleh
difusi dari kertas cakram dan pertumbuhan organisme uji, dihambat penyebaran
sepanjang difusi pada kertas cakram, diinterpretasikan dengan terbentuknya zona
jernih disekitar kertas cakram sehingga bakteri tersebut merupakan bakteri yang
sensitif terhadap antibiotik. Ukuran zona jernih tergantung kepada kecepatan difusi
antibiotik, derajat sensitifitas mikroorganisme dan percepatan pertumbuhan bakteri.

3.2 Tabel Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik Metode MIC


Eritromisin Amoksisilin
E.coli S.aureus E.coli S.aureus
- - - -

Gambar 3.2. Hasil Uji Metode MIC Gambar 3.3. Hasil Uji Metode MIC
(S.aures + Eritromisin) (S.aures + Amoksisilin)

Berdasarkan hasil uji sensitivitas bakteri terhadap antibitotik dengan


menggunakan metode MIC memperoleh hasil yang negatif, dimana pertumbuhan
bakteri tidak terhambat. Antibiotik yang digunakan adalah Eritromisin dan
Amoksisilin dengan isolat bakterinya adalah S. aureus. Hasil yang diperoleh
menunjukan bahwa pada konsentrasi yang paling tinggi yaitu 128 µg/ml pada
antibiotik Amoksisilin dan Eritromisin belum mampu menghambat pertumbuhan
bakteri S. aureus. Menurut Soleha (2015) secara umum untuk penentuan MIC,
pengenceran antibiotik dilakukan penurunan konsentrasi setengahnya misalnya mulai
dari 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, 0,25 µg/ml. Konsentrasi terendah yang menunjukan hambatan
pertumbuhan yang jelas baik dilihat secara visual atau dengan alat semiotomatis dan
otomatis disebut dengan konsentrasi daya hambat minimun atau MIC. Menurut
Refdanita (2002) S. aureus mempunyai kepekaan tertinggi berturut-turut terhadap
dibekasin, gentamisin, netilmisin, tobramisin, sefaleksin, sefotiam, sefotaksim,
seftizoksim, tetrasiklin, kotrimoksazol dan fosmisin. Resistensi tertinggi berturut-
turut diberikan untuk ampisilin, amoksisilin-asam klavulanat, amoksisilin, penisilin
G, sulbenisilin, kloramfenikol dan siprofloksasin.

Gambar 3.4. Hasil Uji Metode Gambar 3.4. Hasil Uji Metode
MIC (E. coli + Amoksisilin) MIC (E. coli + Eritromisin)
Berdasarkan hasil uji sensitivitas bakteri terhadap antibitotik dengan
menggunakan metode MIC memperoleh hasil yang negatif, dimana pertumbuhan
bakteri tidak terhambat. Antibiotik yang digunakan adalah Eritromisin dan
Amoksisilin dengan isolat bakterinya adalah E. coli. Menurut Noviana (2004),
amoksilin asam klavulanat, pefloksasin dan ofloksasin ternyata resisten untuk
mengobati infeksi akibat E. coli. Antibiotika golongan β-laktam harus digunakan
secara hati-hati karena saat ini telah banyak ditemukan E. coli yang memiliki
mekanisme resistensi pada gen extended-spectrum betalactamase (ESBL). Menurut
Hafizah (2013), perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotika sangat
dipengaruhi oleh intensitas pemaparan antibiotika di suatu wilayah. Tidak
terkendalinya factor-faktor pada penggunaan antibiotika, cenderung akan
meningkatkan resistensi kuman yang semula sensitif (4). Dikatakan pula, setelah
disebarkan secara meluas, antibiotik akan mengalami resistensi terhadap obat-obatan
sekitar 8-12 tahun kemudian.
MIC merupakan konsentrasi terendah bakteri yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dengan hasil yang dilihat dari pertumbuhan koloni pada agar
atau kekeruhan pada suatu media cair. MIC dapat membantu dalam penentuan
tingkat resitensi dan dapat menjadi petunjuk penggunaan antibiotik. Kerugian
metode MIC tidak efisien karena pekerjaanya yang rumit, memerlukan banyak alat
dan bahan serta memerlukan ketelitian dalam proses pekerjaannya termasuk
persiapan konsentrasi antibiotik yang bervariasi (Soleha. 2015).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa bakteri E.


coli resisten terhadap antibiotik pada uji sensitivitas menggunakan metode kirby-
bauer dan MIC, sedangkan S.aureus resisten terhadap antibiotik pada uji sensitivitas
menggunakan metode MIC.

B. Saran

Saran untuk praktikum kali ini adalah sebaiknya praktikan lebih menjaga
keaseptisan pada saat melakukan praktikum agar meminimalisir terjadinya
kontaminasi.
DAFTAR REFERENSI

Amin, L. Z. 2014. Pemilihan Antibiotik yang Rasional. Medicinus, 27(3), pp. 40-45.

Bbosa, G.D., Norah M., John O., David D.K., & Muhammad N. 2014.
Antibiotics/Antibakterial Druge Use, Their Marketing and Promotion During
the Post-Antbiotic Golden Age and Their Role in Emergence of Bacterial
Resistance. Journal Healty, 6(5), pp. 410-425.
Hafizah, Qamariah, N., & Budiarti, L. Y. 2013. Perbandingan Sensitivitas Bakteri
Aerob Penyebab Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Benigna Aktif Tahun
2008 dan 2012. Berkala Kedokteran, 9(1), pp. 75-83.

Handriana, I. K. J., Suarjana, G. K., PG Ketut Tono. 2015. Pola Kepekaan


Escherichia coli yang Diisolasi dari Feses Burung Kicau Penderita Diare
Terhadap Antibiotik Sulfametoksazol, Ampisilin, dan Oksitetrasiklin. Buletin
Veteriner Udayana, 7(2), pp. 157-163.
Haryanto, A., Priambodo, A., & Lestari, E. S. 2016. Kuantitas Penggunaan
Antibiotik pada Pasien Bedah Ortopedi Rsup Dr. Kariadi Semarang. Jurnal
Kedokteran Diponegoro, 5(3), pp. 188-198.
Humaida, R. 2014. Strategy to handle Resistance of Antibiotics. Journal Majority,
3(7), pp. 113-120.
Indang, N., Guili, M. M., & Alwi, M. 2013. Uji Resistensi dan Sensitivitas Bakteri
Salmonella thypi Pada Orang Yang Sudah Pernah Menderita Demam Tifoid
Terhadap Antibiotik. Biocelebes, 7(1), pp. 27-34.
Noviana, H. 2004. Pola Kepekaan Antibiotika Escherichia Coli yang Diisolasi
dari Berbagai Spesimen Klinis. Jurnal Trisakti, 23(4), pp. 123-126.
Refdanita. 2002. Pola Kepekaan Kuman Terhadap Antibiotika di Ruang rawat
Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002. Jurnal Makara
Kesehatan, 8(2), pp. 41-48.
Rostinawati, T. 2009. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa L.) Terhadap Escherichia coli, Salmonella typhi, dan
Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar. Penelitian Mandiri
Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran.

Soleha, T.U. 2015. Uji kepekaan Terhadap Antibiotik. Jurnal Unila, 5(9), pp. 120-
123.

Anda mungkin juga menyukai