BAB I .......................................................................................................................2
BAB II ......................................................................................................................6
2.1.1. ........................................................................................................................ 6
3.1.1. ...................................................................................................................... 33
BAB I
PENDAHULUAN
menjangkiti jutaan orang dan menjadi penyebab kematian kedua oleh penyakit
bahwa pada tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus TB baru dan 1,3 juta kematian
karena TB di seluruh dunia. Data menunjukkan bahwa terdapat 58% kasus seluruh
Laporan pada tahun 2012 Asia Tenggara menunjukkan 3,4 juta kasus TB baru dan
450 ribu kematian karena TB. Jumlah tersebut sebagian besar berasal dari India dan
Indonesia yang juga merupakan negara yang memiliki beban terbesar terhadap TB
di seluruh dunia selain Cina, Afrika Selatan, dan Pakistan. Indonesia menempati
urutan keempat diantara kelima negara dengan insidensi TB 0,4—0,5 juta kasus
pada tahun 2012.1 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia pada tahun 2010
dan suspek TB sebanyak 2,728%. Pulau Jawa menjadi daerah dengan angka
usia di atas 54 tahun, laki-laki, domisili di pedesaan, status ekonomi rendah, dan
2
pendidikan rendah.2 Hal ini menunjukkan bahwa TB masih menjadi masalah besar
di Indonesia.
Organ yang paling sering diserang oleh M. tuberculosis adalah paru.3 Infeksi pada
granuloma dan perkejuan paru.4, 5 Kerusakan paru pada penderita TB paru akan
(VEP1), Kapasitas Vital Paksa (KVP), dan rasio VEP1/KVP. Menurut hasil
beberapa studi mengenai penurunan fungsi paru akibat TB paru ditemukan bahwa
penurunan fungsi paru bisa disebabkan oleh gangguan paru obstruktif, restriktif,
dan campuran.6-8
yang menunjukkan kondisi fungsi paru pasien TB yang sedang dalam masa
pengobatan secara spesifik. Pasien TB pada masa pengobatan OAT fase lanjutan
dinilai memiliki tingkat bahaya dan infektivitas yang lebih rendah dibandingkan
pasien TB pada masa pengobatan fase intensif.5 Oleh karena itu, peneliti akan
melaksanakan penelitian yang membahas tentang fungsi paru pada pasien TB pada
masa pengobatan OAT kategori I fase lanjutan dengan judul “Gambaran VEP1,
KVP, dan Rasio VEP1/KVP pada Pasien Tuberkulosis Paru dalam Pengobatan
OAT Kategori I Fase Lanjutan di Poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan
3
1.2. Masalah Penelitian
Bagaimana gambaran rasio VEP1 dan KVP pada pasien TB paru dalam
jawaban atas masalah penelitian yang telah diidentifikasi tersebut, maka tujuan
3. Mengetahui gambaran rasio VEP1 dan KVP pada pasien TB paru dalam
1. Kegunaan Ilmiah
4
Memberikan gambaran fungsi paru pasien TB dalam pengobatan OAT
2. Kegunaan Praktis
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
menyediakan oksigen dari luar tubuh untuk dan mengeluarkan karbon dioksida dari
dalam tubuh. Tanpa adanya sistem pernapasan maka oksigen yang diperlukan untuk
metabolisme tidak akan tersedia dan karbon dioksida akan menumpuk di dalam
tubuh.9, 10 Apabila oksigen tidak tersedia dan karbon dioksida menumpuk maka
tubuh tidak bisa menghasilkan energi dan kondisi homeostasis tubuh berubah
dengan kondisi yang paling ekstrim adalah kematian.11 Sebagai sebuah sistem,
sistem pernapasan terdiri atas paru, jalur pernapasan, otot pernapasan, saraf
Proses pernapasan dimulai dari fase inspirasi yaitu fase masuknya udara dari
luar tubuh.9 Udara tersebut akan melewati jalur pernapasan yang terdiri atas hidung,
faring, laring, trakea, dan bronkus.11 Bronkus akan bercabang dan menjadi
bronkiolus dan berakhir di alveolus, komponen utama paru yang berfungsi sebagai
tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida.9, 10, 12 Oksigen yang berasal dari
luar tubuh akan berikatan dengan hemoglobin dalam darah kemudian disebarkan ke
seluruh tubuh. Karbon dioksida yang berasal dari jaringan dan sel-sel seluruh tubuh
akan dikeluarkan dari paru-paru menuju udara luar melalui fase ekspirasi, fase
6
pengeluaran udara dari dalam paru.10 Aliran udara menuju ke dalam dan ke luar
tekanan di dalam paru dengan tekanan atmosfer.9, 10 Hal ini mungkin terjadi karena
mendatar, otot inspirasi berkontraksi, dan dinding dada akan berekspansi sehingga
menciptakan tekanan dalam paru menjadi lebih rendah daripada tekanan atmosfer
sehingga udara akan masuk ke dalam paru. Sebaliknya, saat terjadi ekspirasi,
keluarnya udara dari dalam paru, maka diafragma relaksasi, otot ekspirasi
dalam paru lebih tinggi daripada atmosfer luar sehingga akan menyebabkan udara
pernapasan yang menerima impuls dari chemoreceptor tubuh dan diolah di pusat
pernapasan bagian batang otak dan sumsum lanjutan otak. Ketika aktivitas
maka saraf pernapasan akan memberikan sinyal agar pernapasan dilakukan dengan
lebih cepat dan atau lebih dalam.10 Dinding dada melindungi paru dari trauma dan
dan penting dalam membuat pernapasan yang efektif dan efisien bagi tubuh
manusia.11
7
Ventilasi pulmonal adalah total pertukaran udara antara udara dari luar
tubuh dengan udara di dalam paru.13 Kepentingan utama dari ventilasi pulmonal
adalah agar terus terjadi pembaruan udara di area pertukaran udara di dalam paru.
Udara yang terus terbarui penting dalam menjaga keseimbangan oksigen dan
karbon dioksida dalam tubuh.10 Udara memiliki sifat seperti seperti cairan akan
berpindah dari daerah yang memiliki tekanan lebih tinggi menuju ke daerah yang
diperlukannya perbedaan tekanan antara atmosfer dan paru. Apabila tidak terdapat
Ventilasi terdiri dari inspirasi dan ekspirasi dimana di keduanya terdapat perbedaan
tekanan udara antara di dalam paru dan atmosfer. Inspirasi dan ekspirasi dibedakan
berdasarkan daerah yang memiliki tekanan lebih tinggi dan lebih rendah yang
pernapasan normal, maka inpirasi akan terjadi ketika tekanan udara di dalam paru
lebih rendah daripada tekanan atmosfer luar tubuh yang disebabkan oleh
scalene), dan ekspansi dinding dada. Ekspirasi normal memiliki kondisi yang
berlawanan dibanding dengan inspirasi dimana tekanan udara di dalam paru akan
lebih besar daripada tekanan atmosfer luar tubuh yang disebabkan oleh relaksasi
dada.10, 12
8
2.1.3. Volume & Kapasitas Paru
proses ventilasi tersebut maka akan terjadi perubahan dinamis dari volume udara
paru. Perubahan volume udara di dalam paru tersebut menunjukkan aktivitas yang
terjadi di dalam paru yang bisa direkam dan dipelajari dengan sebuah metode yang
disebut dengan spirometri dan alat yang disebut spirometer. Spirometri akan
merekam aktivitas pernapasan yang ditunjukkan dengan volume paru dan kapasitas
paru.10, 14
Udara dalam paru akan dibagi menjadi empat volume dan empat
kapasitas.10, 14
Empat volume paru pada laki-laki dewasa muda adalah sebagai
berikut:
1. Volume Alun Napas adalah volume udara yang dihirup atau dihembuskan
pada setiap napas normal dan tenang, besar volume rata-rata adalah 500 mL.
4. Volume Residu adalah volume udara yang tersisa di dalam paru setelah
9
Kapasitas paru adalah kombinasi dua atau lebih volume paru yang akan
4. Kapasitas Total Paru adalah volume keseluruhan paru yang dicapai dengan
Semua volume dan kapasitas paru 20-25% lebih rendah pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki, dan lebih besar pada orang yang berbadan besar
10
Gambar 2.1 Diagram volume dan kapasitas paru
unit peningkatan tekanan transpulmonal. Daya kembang paru tercipta karena paru
memiliki kecenderungan untuk selalu kembali ke posisi resting seperti ketika tidak
ada udara yang masuk ke dalam paru sehingga diperlukan gaya untuk membuat
paru berekspansi. Daya kembang kedua paru manusia dewasa memiliki rata-rata
transpulmonal.10, 14
Daya kembang paru ditentukan oleh gaya elastik paru.10 Gaya elastik paru
11
Gaya elastik yang dihasilkan oleh jaringan paru ditentukan oleh benang
elastin dan collagen yang terdapat di parenkim paru. Ketika paru dalam
kondisi mengempis maka kedua benang ini akan memendek dan kusut,
ketika paru mengembang maka kedua benang akan memanjang dan lurus
2. Gaya elastik yang disebabkan oleh tegangan permukaan dari cairan yang
Gaya elastik yang dihasilkan oleh tegangan permukaan bersifat lebih kompleks.
Cairan yang melapisi dinding bagian dalam alveoli akan memiliki kecenderungan
untuk berikatan satu sama lain ketika telah berkontak degan udara. Hal ini akan
memberikan gaya timbal balik/rekoil yang cukup kuat dan bisa membuat paru
kolaps. Paru yang normal tidak kolaps dikarenakan terdapat cairan surfactant yang
dihasilkan oleh sel-sel epithel alveoli sehingga tegangan permukaan akan jauh
berkurang.10, 15
banyak komponen yang bersinergis sehingga tercipta pernapasan yang efektif dan
otot inspirasi harus melawan tahanan yang secara alami dibentuk oleh paru dan
aliran udara menciptakan sebuah proses yang disebut dengan kerja pernapasan,
sedangkan ketika terjadi ekspirasi maka proses yang terjadi cenderung pasif karena
lebih disebabkan oleh gaya timbal balik/rekoil paru.10, 14 Kerja pernapasan dapat
12
1. Compliance Work/Elastic Work adalah upaya yang diperlukan untuk
melawan tahanan yang dibentuk oleh gaya elastik paru dan dinding dada.
tahanan yang dibentuk oleh viskositas jaringan paru dan struktur dinding
dada.
tahanan udara pada jalur pernapasan ketika udara luar masuk melaluinya.
pernapasan adalah obesitas yang mampu meningkatkan elastic recoil dari paru dan
dinding dada. Contoh kedua adalah fibrosis paru yang meningkatkan elastic recoil
dari alveoli. Apabila tissue resistance work dan atau airway resistance work
akan meningkatkan tahanan yang dibentuk oleh jaringan paru itu sendiri. Asma dan
resistance work yang diperlukan lebih tinggi untuk melewati tahanan di jalur
pernapasan.9, 10
Ventilasi adalah proses dimana paru akan memperbarui udara yang terdapat
di dalam alveoli. Pengukuran fungsi paru dalam kepentingan diagnosis terdiri dari
13
pengukuran volume udara yang terdapat di dalam paru dalam kondisi tertentu dan
pengukuran kecepatan pengeluaran udara dari dalam paru dalam satuan waktu.
total paru/total lung capacity (TLC) yaitu volume udara yang tersimpan di dalam
paru setelah inspirasi maksimal, dan (2) volume residu/residual volume yaitu
volume udara yang tersisa di dalam paru setelah ekspirasi maksimal. Volume gas
yang dikeluarkan setelah mencapai kapasitas total paru hingga ke volume residu
kapasitas total paru dan menghembuskannya hingga mencapai volume residu. Alat
yang paling sering digunakan untuk pengukuran ini adalah spirometer.17 Terdapat
tiga jenis pengukuran berbeda yang dibentuk dari volume ekspirasi paksa dibanding
ekspirasi maksimal yang dikeluarkan dari dalam paru pada detik pertama
3. Aliran Ekspirasi Paksa (AEP) adalah aliran udara rata-rata ketika 50%
pengujian fungsi paru memiliki indikasi dan kontraindikasi. Indikasi dari pengujian
14
fungsi paru ditampilkan di Tabel 2-118 dan kontraindikasi dari pengujian fungsi
perbandingan antara nilai yang didapat dari pengujian yang dilakukan dibanding
nilai referensi berdasarkan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan ras. Nilai referensi
tersebut didapatkan dari penelitian populasi yang meneliti fungsi paru rata-rata
berdasarkan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan ras menggunakan protokol tes
sama dan sudah terkalibrasi dan valid. Fungsi paru berdasarkan jenis kelamin, usia,
15
tinggi badan, dan ras memiliki sifat dan kecenderungan tertentu.17 Sifat dan
Tabel 2.3 Karakteristik fungsi paru berdasarkan jenis kelamin, usia, tinggi badan
dan ras.17
No. Kategori Karakteristik
1. Jenis kelamin Laki-laki memiliki VEP1, KVP, dan AEP yang
lebih besar daripada wanita, namun memiliki
VEP1/KVP yang lebih kecil.
2. Usia VEP1, KVP, dan AEP akan bertambah, sedangkan
VEP1/KVP akan berkurang hingga mencapai
umur 20 tahun pada wanita dan 25 tahun pada laki-
laki.
3. Tinggi badan Semua nilai fungsi paru meningkat kecuali
VEP1/KVP seiring bertambahnya tinggi atau
semakin tingginya seseorang.
4. Ras Ras Kaukasia memiliki VEP 1 dan KVP paling
tinggi. Polynesia termasuk memiliki nilai yang
terendah. Orang Afrika kulit hitam memiliki nilai
10-15% lebih rendah daripada ras Kaukasia dan
suku asli Australia memiliki nilai yang lebih
rendah. Orang keturunan China memiliki nilai
20% lebih rendah dan orang keturunan India
memiliki nilai 10% di bawah orang Kaukasia.
dilakukan klasifikasi jenis penyakit gangguan pernapasan yang dialami oleh subjek.
16
pengurangan pada kedua nilai VEP1 dan KVP (contoh: interstitial lung
17
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi apapun yang disebabkan oleh
merupakan infeksi M. tuberculosis pada paru dan merupakan jenis TB yang paling
sering dialami oleh manusia.3, 5 Tuberkulosis paru terjadi di 80% dari semua kasus
TB dan bersifat sangat berbahaya karena memiliki penularan yang sangat mudah.
Tuberkulosis pada jaringan dan organ lain seperti TB pleura dan TB limfatik
bakteri aerob tahan asam berbentuk batang berukuran 0,4 x 3 µm. Bakteri ini
disebut bakteri tahan asam (BTA) karena memiliki karakteristik yang sangat khas
karena tidak mampu didekolorisasi oleh alkohol meskipun telah diberikan iodine.
Bakteri ini bisa didekolorisasi dengan acid-alcohol yang terdiri dari 95% etil
alkohol dan 3% asam hidroklorat. Proses pewarnaan yang dilakukan untuk bakteri
tuberculosis memiliki banyak faktor virulensi contohnya adalah gen katG yang
berperan dalam ketahanan bakteri terhadap oksidasi. Terdapat juga lokus virulensi
RD1 yang berperan dalam perekrutan makrofag oleh makrofag yang akan
18
Faktor resiko untuk mendapatkan infeksi M. tuberculosis bisa berdasarkan
beberapa hal. Berdasarkan lokasi maka benua Afrika dan Asia memiliki angka
kejadian TB paru yang lebih tinggi dibandingkan benua lain. Etnis dan ras kulit
putih usia tua memiliki faktor resiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan infeksi
memberikan efek di masa sekarang pada kelompok ini. Selain itu orang kulit hitam
di Amerika memiliki angka kejadian yang lebih tinggi untuk TB. Kondisi sosio-
ekonomi yang berbanding terbalik dengan angka kejadian TB, sehingga dengan
manifestasi klinis. Tuberkulosis paru tipe ini paling sering dialami oleh anak-anak.
Tanda dan gejala yang dialami pasien TB paru primer umumnya adalah demam
tinggi yang bisa mencapai 39o C. Demam tersebut dibarengi dengan rasa sakit di
lymphadenopathy bisa ditemukan pada pasien TB paru primer dengan kondisi imun
tubuh yang lemah atau dalam kondisi imunosupresi. Pemeriksaan radiografi dada
menunjukkan ciri yang khas disebut dengan kompleks Ghon, lesi paru yang disertai
dengan lymphadenopathy daerah hilar atau paratracheal, dengan atau tanpa reaksi
pleura.3-5
19
Tuberkulosis paru sekunder merupakan kondisi dimana terjadi reaktifasi dan atau
berat badan, anorexia, malaise, dan badan melemah. Progresi penyakit akan
menimbulkan produksi sputum yang bersifat purulen dengan produksi awal terbatas
pada pagi hari. Progresi terus berlanjut hingga produksi sputum akan terus
ditemukan pada pasien yang mengalami lesi di daerah subpleural atau pada pasien
yang memiliki penyakit pleura. Pemeriksaan fisik pasien TB paru sekunder bersifat
Pemeriksaan yang efektif adalah pemeriksaan sputum yang menunjukkan ada atau
tidaknya bakteri tahan asam dan pemeriksaan radiografi dada yang nantinya
yang menderita TB paru ketika berbicara, bersin, atau batuk. Droplet yang
disebarkan orang dengan TB aktif bisa dihirup oleh orang yang sehat. Ukuran
diameter droplet sebesar 5 µm atau kurang dan terdapat 400 organisme dalam setiap
millimeter droplet. Umumnya diperlukan 5—200 bakteri yang terhirup agar dapat
distal dari bronkiolus respirasi, di alveolus, atau di bagian subpleura paru. Untuk
infeksi primer umumnya bakteri akan terkumpul di lobus paru bagian bawah karena
20
M. tuberculosis yang mencapai alveoli akan berkontak dengan makrofag
Fagositosis bakteri akan diperkuat oleh aktifasi komplemen yang membuat bakteri
teropsonisasi oleh produk aktifasi C3 seperti C3b. Ketika fagosom sudah terbentuk
menyebabkan tidak dapat bersatunya fagosom dengan lisosom. Selain itu fagosom
di atas akan menyebabkan bakteri bisa bertahan dalam fagosom dan melakukan
replikasi hingga fagosom pecah dan bakteri akan menginfeksi makrofag lainnya.
Proses ini akan memancing terjadinya inflamasi yang dapat memberikan kerusakan
sel dendritik bisa mencapai bakteri dan membawanya menuju ke kelenjar getah
bening untuk dipresentasikan kepada sel limfosit T. Pada titik ini maka akan
ini akan terjadi pada awal terjadinya infeksi hingga 2—4 minggu. Setelah mencapai
2—4 minggu awal maka akan timbul 2 respon inang terhadap M. tuberculosis.5 Dua
21
1. Respon Pengaktifan Makrofag adalah respon yang timbul disebabkan oleh
nekrosis perkejuan. Apabila proses ini berjalan dengan efektif maka lesi bisa
dikatakan sembuh akan tetapi masih terdapat banyak bakteri yang hidup
jaringan akan mencapai bronkus dan pembulu darah. Pada pusat lesi materi
akan berreplikasi dan masuk ke dalam jalur pernapasan yang pada akhirnya
bisa keluar menuju lingkungan sekitar ketika pasien batuk, bersin, atau
bicara.5
paru yang terjadi bersifat lebih minimal. Apabila respon perusakan jaringan lebih
kuat maka paru akan mengalami destruksi. Selain itu, masih banyak M. tuberculosis
22
yang bisa menyebar dan dalam kondisi dorman dalam paru. Kondisi ini membuat
TB paru bersifat sangat menular dan memiliki kemungkinan reaktifasi yang tinggi.4,
5
2.3.4. Diagnosis
kecurigaan pada orang yang memiliki faktor resiko TB yang tinggi. Sebagai contoh,
diagnosis akan mudah dilakukan pada orang jalanan, peminum alkohol dengan hasil
radiograf dada menunjukkan kavitasi. Diagnosis pada TB paru bisa menjadi sulit di
pasien usia lanjut atau pada pasien remaja yang memiliki infiltrat focal. Semakin
lama jarak waktu antara terjadinya gejala dengan diagnosis akan meningkatkan
23
ini adalah biaya yang dipakai tidak tinggi untuk melaksanakan pemeriksaan
ini dan prosedur pelaksanaannya cukup mudah. Kekurangan dari metode ini
2. Kultur Mycobacteria
memberikan diagnosis dengan cepat. Selain itu, tes ini bisa dipergunakan
24
ekstrapulmonal. Kekurangan dari cara amplifikasi adalah tidak semua
pasien atau secara tidak langsung pada kultur M. tuberculosis yang berasal
dari spesimen pasien. Apabila dilaksanakan pada kultur bakteri maka akan
tidak mendapatkan respon dari terapi pertama atau mengalami relaps setelah
5. Pemeriksaan Radiograf
dan kavitasi pada lobus paru atas pada pemeriksaan X-ray. Namun pada
25
pemeriksaan X-ray yang bersifat kurang spesifik dan bisa membantu dalam
TB intrakranial.5
6. Tes Tuberculin
Tuberculin dibentuk dari bahan dasar old tuberculin (kultur pada medium
positive pada pasien yang baru saja mendapatkan vaksinasi BCG atau
memiliki AIDS pemeriksaan ini bersifat kurang efektif karena sistem imun
26
2.3.5. Komplikasi dan Sekuelae
pada daerah bronkus dan pleura. Fistula bisa terjadi dikarenakan dua hal, pertama
karena disebabkan oleh kavitasi yang mencapai ruang pleura dan yang kedua
Hemoptysis disebabkan oleh destruksi pembuluh darah saat terjadi kavitasi yang
aneurisme Rasmussen. 3
sudah sembuh dari TB adalah bronchiectasis, right middle lobe syndrome, dan
fibrosis paru.3 Bronchiectasis adalah kondisi dimana terjadi dilatasi bronkus yang
ditunjukkan napas tidak sedap dan batuk yang hilang timbul disertai dengan dahak
yang kental.23 Right middle lobe syndrome adalah kondisi dimana terjadi
penambahan lymph node pada lobus paru kanan yang bisa menyebabkan
27
Penatalaksanaan TB paru bersifat kompleks. Hal tersebut disebabkan
Tabel 2-525 dan obat OAT lini pertama diperlihatkan di Tabel 2-625.
28
Penatalaksanaan TB memiliki tujuan untuk mencegah transmisi M.
resistensi obat.5 Untuk mencapai tujuan tersebut maka terdapat beberapa prinsip
beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
lanjutan.
Tahap Intensif
o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
29
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat yang lebih sedikit
kombinasi obat yang sesuai. Kombinasi obat yang akan dipergunakan disesuaikan
sebelumnya dengan hasil pemeriksaan BTA (+) atau BTA (-) foto toraks
Tabel 2-725
Tabel 2.7 Kombinasi OAT dan dosisnya untuk pasien TB paru Kategori 1 25
Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali
Berat Badan selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 2.8 Kombinasi OAT dan dosisnya untuk pasien TB paru Kategori 2 25
Tahap lanjutan 3
Tahap Intensif tiap hari RHZE
kali seminggu RH
Berat Badan (150/75/400/275) + S
(150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30
2 tab 4KDT + 500 2 tab 2 KDT + 2 tab
30-37 kg 2 tab 4KDT
mg Streptomisin inj Etambutol
3 tab 4KDT + 750 3 tab 2KDT + 3 tab
38-54 kg 3 tab 4KDT
mg Streptomisin inj Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 4 tab 2 KDT + 4 tab
55-70 kg 4 tab 4KDT
mg Streptomisin inj Etambutol
5 tab 4KDT + 1000 5 tab 2 KDT + 5 tab
71 kg 5 tab 4KDT
mg Streptomisin inj Etambutol
penelitian di Texas menunjukkan bahwa orang yang mengalami dan telah sembuh
dari TB paru mengalami penurunan fungsi paru. Penurunan terjadi pada VEP1,
KVP, VEP1/KVP, dan AEP. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa fungsi paru
akan jauh lebih menurun pada pasien yang sedang mengalami TB atau sudah
sembuh dari TB daripada pada orang yang memiliki infeksi TB laten. Data dalam
studi ini menunjukkan bahwa kebanyakan penurunan fungsi paru disebabkan oleh
gangguan restriktif.7
maka fungsi parunya akan semakin menurun. Fungsi paru menurun ditunjukkan
dengan berkurangnya VEP1, KVP, dan VEP1/KVP yang semakin progresif seiring
dengan seberapa sering seseorang terkena TB paru. Penurunan fungsi paru paling
signifikan pada bulan ke-6 setelah diagnosis. Penelitian ini menunjukkan hasil yang
berbeda dibandingkan dengan penelitian di atas karena hasil penurunan fungsi paru
31
Penelitian di Brazil yang dilaksanakan pada rumah sakit pendidikan di Universitas
Minas Gerais juga meneliti pengaruh TB paru terhadap fungsi paru. Penelitian ini
menemukan penurunan fungsi paru pada pasien yang telah sembuh dari TB paru
dan pasien yang mengalami sekuelae dari TB paru. Penurunan fungsi paru juga
bahwa dengan dilakukan diagnosis dan penatalaksanaan lebih awal pada TB paru
32
BAB III
METODE PENELITIAN
penelitian dimana peneliti melakukan observasi sekaligus pada waktu yang sama
dan hanya pada satu waktu.27 Peneliti menggunakan desain penelitian ini karena
Penelitian ini dilakukan di Poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan
Sadikin Bandung. Penelitian akan dilakukan mulai dari bulan Agustus 2014 hingga
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pasien TB paru yang mendapat OAT
kategori I dan poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung.
3.3.2. Sampel
33
Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan menggunakan purposive
sampling. Sampel akan diambil dari pasien TB paru di Poli DOTS Rumah Sakit
Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi:
Kriteria Inklusi :
Pasien TB paru dalam masa pengobatan OAT kategori 1 fase lanjutan yang
berobat di Poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung.
Kriteria Eksklusi :
Pasien TB ekstraparu
minimal yang akan dipergunakan adalah 58 orang. Adapun jumlah sampel minimal
yang harus didapatkan dengan cara menghitung jumlah sampel minimal dengan
rumus27:
2
(Z1−α/2 ) 𝑝𝑞
𝑛=
𝑑2
Dimana :
q = 1 – p sebesar 0,816.
34
d = presisi sebesar 0,1.
1. VEP1
2. KVP
3. Rasio VEP1/KVP
ruang lingkup suatu variabel sehingga dapat menghindarkan dari adanya perbedaan
1. VEP1
2. KVP
3. Rasio VEP1/KVP
35
Rasio VEP1/KVP merupakan perbandingan antara VEP1 dan KVP
Normal : ≥ 0,7
Setelah mengetahui nilai normal dari ketiga variabel di atas maka hasil dari
KVP normal (≥80% nilai yang diprediksikan) atau turun (<80% nilai yang
diprediksikan).
VEP1 normal (≥80% nilai yang diprediksikan) atau turun (<80% nilai yang
diprediksikan).
36
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data
mengisi lembar informed consent. Kemudian akan dilakukan tes spirometri pada
subjek.
untuk mengukur tingkat VEP1, KVP, dan VEP1/KVP pada pasien TB paru dalam
yang berobat di Poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung
merupakan pasien TB paru dalam pengobatan OAT kategori 1 fase lanjutan atau
tidak dengan memeriksa data Poli DOTS. Apabila pasien terdiagnosis TB paru dan
dalam masa pengobatan OAT kategori I fase lanjutan maka peneliti akan
pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri di Bagian Tes Faal Paru Rumah
37
Tata cara pemeriksaan menggunakan spirometri adalah sebagai berikut:
3. Segera tiup udara dengan cepat dan selama mungkin hingga paru-
Masalah etik yang mungkin terjadi dari penelitian ini antara lain:
38
BAB IV
DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung. Sampel yang
disebabkan oleh asma. Sampel menjalani tes spirometri untuk mengukur fungsi
paru mereka yang ditunjukkan dengan nilai VEP1, KVP, dan rasio VEP1/KVP.
Hasil dari penelitian ini adalah didapatkannya 60 sampel yang bisa diteliti.
Sampel yang didapatkan memiliki rentang usia 17-85 tahun dengan rata-rata usia
39,18 (16,28) tahun. Pasien dikelompokkan menjadi 6 kelompok usia dengan hasil
kelompok usia 15-24 tahun berjumlah 14 orang (23,3%), kelompok usia 25-34
tahun berjumlah 12 orang (20%), kelompok usia 35-44 tahun berjumlah 10 orang
(16,7%), kelompok usia 45-54 tahun berjumlah 14 orang (23,3%), kelompok usia
54-65 tahun berjumlah 7 orang (11,7%), dan kelompok usia di atas 65 tahun
berjumlah 3 orang (5%). Sampel laki-laki dalam penelitian ini berjumlah 32 orang
39
Karakteristik n=60 (%)
Usia
Kelompok Usia
15 – 24 tahun 14 (23,3)
25 – 34 tahun 12 (20)
35 – 44 tahun 10 (16,7)
45 – 54 tahun 14 (23,3)
54 – 65 tahun 7 (11,7)
>65 tahun 3 (5)
Rata-rata ± SD 39,18 ± 16,28
Jenis Kelamin
Laki-laki 32 (53,3)
Perempuan 28 (46,7)
nilai %VEP1, %KVP, dan VEP1/KVP. Data %VEP1 dan %KVP dibedakan
berdasarkan rentang nilai 0-39, 40-49, 50-59, 60-69, 70-79, dan di atas 80. Data
rasio VEP1/KVP dibedakan berdasarkan rentang nilai 0-39, 40-49, 60-69, dan di
atas 70. Hasil yang didapatkan mengenai %VEP1 secara umum adalah terdapatnya
9 orang (15%) termasuk dalam rentang nilai 0-39, 5 orang (8,3%) dengan termasuk
dalam 40-49, 12 orang (20%) termasuk dalam nilai 50-59, 15 orang termasuk dalam
rentang nilai 60-69, 8 orang termasuk dalam rentang nilai (13,3%), dan 11 orang
termasuk dalam rentang nilai di atas 80. Rata-rata nilai %VEP1 keseluruhan adalah
62,03 (19,5). Hasil yang didapatkan mengenai %KVP secara umum adalah
terdapatnya 6 orang (10%) termasuk dalam rentang nilai 0-39, 10 orang (16,7%)
termasuk dalam rentang nilai 40-49, 15 orang (25%) termasuk dalam rentang nilai
50 – 59, 10 orang (16,7%) termasuk dalam rentang nilai 60-69, 9 orang (15%)
termasuk dalam rentang nilai 70-79, dan 10 orang (16,7%) termasuk dalam rentang
40
nilai di atas 80. Rata-rata nilai %KVP keseluruhan adalah 61,7 (17,95). Hasil yang
dalam rentang nilai 40-49, 2 orang (3,3%) yang termasuk dalam rentang nilai 50-
59, dan 57 orang (95%) yang termasuk dalam rentang nilai di atas 70. Rata-rata
nilai rasio VEP1/KVP secara keseluruhan adalah 88,28 (10,61). Hasil ini akan
Tabel 4.2 Gambaran umum VEP1, KVP, dan rasio VEP1/KVP pada pasien tuberkulosis paru
dalam pengobatan OAT kategori I
Variabel n=60 (%)
%VEP1
0 – 39 9 (15)
40 – 49 5 (8,3)
50 – 59 12 (20)
60 – 69 15 (25)
70 – 79 8 (13,3)
>80 11 (18,3)
Rata-rata ± SD 62,03 ± 19,5
%KVP
0 – 39 6 (10)
40 – 49 10 (16,7)
50 – 59 15 (25)
60 – 69 10 (16,7)
70 – 79 9 (15)
>80 10 (16,7)
Rata-rata ± SD 61,7 ± 17,95
VEP1/KVP
0 – 39 0 (0)
40 – 49 1 (1,7)
50 – 59 2 (3,3)
60 – 69 0 (0)
>70 57 (95)
Rata-rata ± SD 88,28 ± 10,61
Keterangan: VEP1: volume ekspirasi paksa detik pertama, KVP: kapasitas vital
paru
kelompok usia dan jenis kelamin. Berdasarkan kelompok usia didapatkan hasil
bahwa setiap kelompok umur menunjukkan nilai rata-rata VEP1, KVP, dan
41
VEP1/KVP yang berbeda. Kelompok usia 15-24 tahun memiliki rata-rata %VEP1
sebesar 62,71 (21,84), rata-rata %KVP sebesar 89,33 (20,89), dan rata-rata rasio
VEP1/KVP sebesar 89,34 (13,09). Kelompok usia 25-34 tahun memiliki rata-rata
%VEP1 sebesar 55,17 (21,49), rata-rata %KVP sebesar 57 (19,42), dan rata-rata
rasio VEP1/KVP sebesar 89,46 (12,06). Kelompok usia 35-44 tahun memiliki rata-
rata %VEP1 sebesar 61,7 (25,2), rata-rata %KVP sebesar 62,2 (22,39), dan rata-
rata rasio VEP1/KVP sebesar 85,95 (12,26). Kelompok usia 45-54 tahun memiliki
rata-rata %VEP1 sebesar 61,36 (14,69), rata-rata %KVP sebesar 57,64 (11,29),
rata-rata rasio VEP1/KVP sebesar 88,26 (7,18). Kelompok usia 55-64 tahun
memiliki rata-rata %VEP1 sebesar 75,43 (11,16), rata-rata %KVP sebesar 67,29
(15,3), dan rata-rata rasio VEP1/KVP sebesar 90,51 (7,84). Kelompok usia di atas
65 tahun memiliki rata-rata %VEP1 sebesar 59,33 (4,72), rata-rata %KVP sebesar
53,67 (6,42), dan rata-rata rasio VEP1/KVP sebesar 81,27 (8,72). Hasil ini akan
rasio VEP1/KVP pada laki-laki dan perempuan. Sampel laki-laki memiliki rata-rata
%VEP1 sebesar 61,66, rata-rata %KVP sebesar 60,44, dan rata-rata rasio
62,46, rata-rata %KVP sebesar 63,14, dan rata-rata rasio VEP1/KVP sebesar 88,7.
Tabel 4.3 Gambaran VEP1, KVP, dan rasio VEP1/KVP pada pasien tuberkulosis paru dalam
pengobatan OAT kategori I fase lanjutan berdasarkan usia dan jenis kelamin
Karakteristik Rata-rata ± sd
Kelompok Usia
15 – 24 tahun
%VEP1 62,71 ± 21,84
42
%KVP 68,36 ± 20,89
VEP1/KVP 89,34 ± 13,09
25 – 34 tahun
%VEP1 55,17 ± 21,49
%KVP 57 ± 19,42
VEP1/KVP 89,46 ± 12,06
35 – 44 tahun
%VEP1 61,7 ± 25,2
%KVP 62,2 ± 22,39
VEP1/KVP 85,95 ± 12,26
45 – 54 tahun
%VEP1 61,36 ± 14,69
%KVP 57,64 ± 11,29
VEP1/KVP 88,26 ± 7,18
55 – 64 tahun
%VEP1 75,43 ± 11,16
%KVP 67,29 ± 15,3
VEP1/KVP 90,51 ± 7,84
>65 tahun
%VEP1 59,33 ± 4,72
%KVP 53,67 ± 6,42
VEP1/KVP 81,26 ± 8,72
Jenis Kelamin
Laki-laki
%VEP1 61,66 ± 20,74
%KVP 60,44 ± 19,23
VEP1/KVP 87,91 ± 10,97
Perempuan
%VEP1 62,46 ± 18,36
%KVP 63,14 ± 16,59
VEP1/KVP 88,69 ± 10,36
Keterangan: VEP1: volume ekspirasi paksa detik pertama, KVP: kapasitas vital
paru.
4.1.3. Gambaran Jenis Fungsi Paru pada Pasien Tuberkulosis Paru dalam
Berdasarkan nilai %VEP1, %KVP, dan rasio VEP1/KVP jenis fungsi paru
gangguan paru restriktif, dan gangguan paru campuran. Sampel penelitian ini
memiliki fungsi paru normal, gangguan paru obstruktif, dan gangguan paru
43
restriktif. Terdapat 10 orang (16,7%) dengan fungsi paru normal, 4 orang (6,7%)
dengan gangguan paru obstruktif, dan 46 pasien dengan gangguan paru restriktif
Tabel 4.4 Gambaran jenis fungsi paru pada pasien tuberkulosis paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase lanjutan
Kategori Jumlah (%)
Fungsi Paru Normal 10 (16,7)
Gangguan Paru Obstruktif 4 (6,7)
Gangguan Paru Restriktif 46 (76,7)
Total 60 (100)
Data jenis fungsi paru dibedakan berdasarkan kelompok usia dan jenis
kelamin. Pada kelompok usia 15-24 tahun terdapat 4 (28,6%) orang dengan fungsi
paru normal, 1 orang (7,1%) dengan gangguan paru obstruktif, dan 9 orang dengan
gangguan paru restriktif (64,3%). Pada kelompok usia 25-34 tahun terdapat 2 orang
(16,7%) dengan fungsi paru normal, 1 orang (8,3%) dengan gangguan paru
obstruktif, dan 9 orang (75%) dengan gangguan paru restriktif. Pada kelompok usia
35-44 tahun terdapat 2 orang (20%) dengan fungsi paru normal, 1 orang (10%)
dengan gangguan paru obstruktif, dan 7 orang (70%) dengan gangguan paru
restriktif. Pada kelompok usia 45-54 tahun terdapat 1 (7,1%) orang degan fungsi
paru normal dan 13 orang (92,9%) dengan gangguan paru restriktif. Pada kelompok
usia 55-64 tahun terdapat 1 orang (14,3%) dengan fungsi paru normal, 1 orang
(14,3%) dengan gangguan paru obstruktif, dan 5 (71,4%) orang dengan gangguan
paru restriktif. Pada kelompok usia di atas 65 tahun terdapat 3 orang (100%) dengan
gangguan paru restriktif. Hasil ini akan ditampilkan dalam tabel 4.5.
Tabel 4.5 Gambaran jenis fungsi paru pada pasien tuberkulosis paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase lanjutan berdasarkan usia
Jenis Fungsi Paru Kelompok Usia
44
15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 >65
tahun tahun tahun tahun tahun tahun
(n=14) (n=12) (n=10) (n=14) (n=7) (n=3)
Normal 4 (28,6) 2 (16,7) 2 (20) 1 (7,1) 1 (14,3) 0
Gangguan Paru
1 (7,1) 1 (8,3) 1 (10) 0 (0) 1 (14,3) 0
Obstruktif
Gangguan Paru
9 (64,3) 9 (75) 7 (70) 13 (92,9) 5 (71,4) 3 (100)
Restriktif
Pada jenis kelamin laki-laki terdapat 6 orang (18,8%) dengan fungsi paru
normal, 3 orang (9,4%) dengan gangguan paru obstruktif, dan 23 orang (71,9%)
dengan gangguan paru restriktif. Pada jenis kelamin perempuan terdapat 4 orang
(14,3%) dengan fungsi paru normal, 1 orang (3,6%) dengan gangguan paru
obstruktif, dan 23 orang (82,1%) dengan gangguan paru restriktif. Hasil ini akan
Tabel 4.6 Gambaran jenis fungsi paru pada pasien tuberkulosis paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase lanjutan berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Jenis Fungsi Paru Laki-laki Perempuan
(n=32) (n=28)
Normal 6 (18,8) 4 (14,3)
Gangguan Paru
3 (9,4) 1 (3,6)
Obstruktif
Gangguan Paru
23 (71,9) 23 (82,1)
Restriktif
4.2. Pembahasan
OAT kategori I fase lanjutan yang ditunjukkan pada tabel 4.1 ditemukan bahwa
sampel terdapat paling banyak pada kelompok usia 15-24 tahun dan kelompok usia
45-54 tahun yang dalam kedua kelompok tersebut berjumlah 14 orang (23,3%).
Berdasarkan tabel 4.1 juga ditemukan bahwa rata-rata usia sampel adalah 39,18
45
(16,28) tahun. Penelitian oleh Wu dkk. menunjukkan hasil yang menyerupai dengan
periode usia pelaporan kasus TB di Hong Kong. Metode yang digunakan oleh Wu
adalah dengan pemakaian model cohort periode usia pada data pelaporan kasus TB
mulai dari tahun 1961 hingga 2005. Hasil penelitian dari Wu menyatakan bahwa
rentang usia 20-24 tahun merupakan rentang usia dengan resiko terjadinya TB
paling tinggi.28
TB paru. Hasil yang didapatkan penelitian tersebut adalah rata-rata usia sampel 32,9
tahun dan sebagian besar dari sampel termasuk dalam golongan rentang usia 21-30
tahun. Jumlah sampel dalam golongan rentang usia 21-30 tahun adalah 77 orang
(38%).29
OAT kategori 1 fase lanjutan yang ditunjukkan pada tabel 4.1 ditemukan bahwa
jumlah sampel laki-laki lebih banyak daripada pasien perempuan. Hasil ini sesuai
Afrika Barat, Armenia, dan Bangladesh. Hasil yang didapatkan dalam studi tersebut
46
dengan perempuan dengan rasio yang bervariatif untuk masing-masing daerah.
Rasio tersebut bisa mencapai 4,7:1 dan jarang ada daerah yang rasionya di bawah
studinya bahwa terdapat banyak faktor yang bisa memengaruhi tingkat kerentanan
oleh beberapa hal seperti strain yang menginfeksi, higienitas, status nutrisi, umur,
etnis, genetik, status imunosupresi. Neyrolles menyatakan bahwa selain faktor yang
ia sebutkan, terdapat faktor yang lebih spesifik berhubungan dengan jenis kelamin
Penelitian oleh Zhang dkk. juga mendukung hasil yang didapat dalam
penelitian ini. Dalam penelitiannya Zhang meneliti mengenai efek dari jenis
kelamin, usia, dan ras dalam presentasi klinis TB. Berdasarkan hasil yang
memiliki angka kejadian TB yang lebih tinggi daripada jenis kelamin perempuan.
Jumlah sampel berjenis kelamin laki-laki dalam penelitian Zhang mencapai 62,4%
pasien TB paru dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan yang ditunjukkan
pada tabel 4.2 ditemukan bahwa sebagian besar sampel memiliki %VEP1 pada
kisaran nilai 60-69, %KVP tertinggi pada kisaran nilai 40-49 dan 60-69, dan rasio
VEP1/KVP pada kisaran nilai di atas 70. Hasil menyerupai didapatkan dari
47
penelitian Paspinodya dkk di Amerika. Penelitian tersebut meneliti tentang
melemahnya fungsi paru pada pasien yang telah menjalani pengobatan TB. Dalam
penelitian tersebut digunakan sampel pasien TB paru dan ekstraparu yang telah
dengan sampel kontrol pasien TB laten. Hasil yang didapatkan dalam penelitian
%VEP1 pada kisaran nilai 60-69 (16%), %KVP pada kisaran 60-69 (13%) dan 70-
paru dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan berdasarkan usia dan jenis
kelamin pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa seluruh kelompok usia mengalami
penurunan %VEP1 dan %KVP di bawah batas normal 80%. Hasil ini didukung oleh
terjadi penurunan nilai %VEP1 dengan rata-rata 77,77 dan %KVP dengan rata-rata
76,07 pada pasien TB paru yang sudah menjalani pengobatan. Pasien dengan TB
laten sebagai sampel kontrol tidak menunjukkan penurunan %VEP1 dan %KVP.7
kelamin laki-laki dan perempuan mengalami penurunan nilai %VEP1 dan %KVP
dengan nilai yang tidak berbeda jauh. Nilai %VEP1 dan %KVP sedikit lebih rendah
pada sampel berjenis kelamin laki-laki. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian
oleh Pereira dkk. Penelitian tersebut meneliti nilai referensi fungsi paru baru antara
48
bahwa nilai %VEP1, %KVP, dan rasio VEP1/KVP pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan.32
nilai rata-rata dari %VEP1, %KVP, dan rasio VEP1/KVP lebih tinggi pada sampel
Berdasarkan data gambaran jenis fungsi paru pada pasien TB paru dalam
pengobatan OAT kategori I fase lanjutan pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa
sebagian besar sampel memiliki gangguan paru restriktif. Hasil ini sesuai dengan
tersebut ditemukan bahwa jenis gangguan fungsi paru yang paling sering dijumpai
pada pasien tuberkulosis paru dan telah menjalani pengobatannya adalah gangguan
restriktif terdapat pada 31% sampel pasien TB paru yang telah melakukan
pasien TB laten yang hanya 15% di antaranya mengalami gangguan paru restriktif.7
dkk. Penelitian tersebut dilaksanakan di kota-kota besar Amerika Latin seperti Sao
berusia di atas 40 tahun dan dilakukan multistage sampling pada kota-kota tempat
49
kunjungan rumah dan dilakukan tes spirometri pre-bronchodilator dan post-
menderita TB atau tidak. Hasil yang didapatkan dalam penelitian tersebut adalah
ditemukannya persentase obstruksi jalan napas yang lebih tinggi pada sampel
(13,9%).34
Hasil yang berbeda juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilaksanakan oleh
Hasil dari penelitian Ramos tersebut menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak
pasien TB paru yang memiliki sekuelae memiliki jenis gangguan paru campuran.
sekuelae TB paru atau TB pleura. Terdapat 44 orang (88%) yang memiliki TB paru
Perbedaan presentasi jenis gangguan fungsi paru yang dimiliki oleh pasien
TB paru baik yang dalam masa pengobatan atau sudah dinyatakan sembuh mungkin
berkaitan erat dengan proses penyembuhan paru setelah mengalami kerusakan yang
disebabkan oleh inflamasi. Sebuah penelitian oleh Dheda dkk. meneliti mengenai
inflamasi saat memiliki TB akan menyebabkan kavitasi dan fibrosis pada paru saat
50
dilaksanakan pemeriksaan spirometri.35 Penelitian lain oleh Hwang dkk.
Berdasarkan data gambaran jenis fungsi paru pada pasien TB paru dalam
pengobatan OAT kategori I fase lanjutan berdasarkan usia pada tabel 4.5
kelompok usia 55-64 tahun dan gangguan paru restriktif paling banyak diderita
pada kelompok usia 45-54 tahun. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian
Lamprecht dkk. yang dilakukan di Amerika. Sampel didapatkan dari beberapa kota
dari berbagai negara yaitu Guangzhou (Cina), Adana (Turki), Salzburg (Austria),
(Australia), London (Inggris), and Uppsala (Swedia). Sampel dalam penelitian ini
faktor resiko PPOK yang mereka miliki dan melakukan tes spirometri pre-
penelitian tersebut didapatkan bahwa angka kejadian PPOK baik yang masuk dalam
51
golongan GOLD I maupun GOLD II paling tinggi pada kelompok usia 70-79 tahun
dengan angka prevalensi melebihi nilai 0,4 diikuti kelompok usia 60-69 tahun
Penelitian oleh Mannino dkk. juga mendukung hasil dari penelitian ini.
Penelitian oleh Mannino di Amerika. Sampel didapatkan dari beberapa kota dari
berbagai negara yaitu Guangzhou (Cina), Adana (Turki), Salzburg (Austria), Cape
OAT kategori I fase lanjutan berdasarkan jenis kelamin pada tabel 4.6 menunjukkan
bahwa pada sampel berjenis kelamin laki-laki dan perempuan paling banyak
ditemukan gangguan paru restriktif. Hasil penelitian ini memiliki persamaan dan
adalah sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-laki memiliki gangguan paru
obstruktif (23%).38
52
4.3. Keterbatasan Penelitian
lain:
53
BAB V
5.1. Kesimpulan
dalam pegobatan OAT kategori I fase lanjutan di Rumah Sakit Umum Hasan
lanjutan.
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih luas.
54
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan membandingkan pasien
yang masih dalam masa pengobatan dan yang sudah selesai melakukan
pengobatan.
fungsi paru pada pasien TB paru baik yang masih dalam masa pengobatan
55
1. Global Tuberculosis Report 2013. WHO, 2013.
2. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2010.
3. Rom WN, Garay SM, editors. Tuberculosis. 2 ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
4. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM.
Mycobacterial Infections. In: Wonsiewicz MJ, Shanahan JF, McCullough K,
Sheinis LA, editors. Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3
ed. New York: McGraw-Hill; 2002. p. 764.
5. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J,
editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18 ed. New York: McGraw
Hill; 2012.
6. Hnizdo E, Singh T, Churchyard G. Chronic pulmonary function
impairment caused by initial and recurrent pulmonary tuberculosis following
treatment. Thorax. 2000;55:32-8.
7. Paspinodya JG, Miller TL, Vecino M, Munguia G, Garmon R, Bae S, et
al. Pulmonary Impairment After Tuberculosis. Chest. 2007;131:1817-24.
8. Chung K-P, Chen J-Y, Lee C-H, Wu H-D, Wang J-Y, Lee L-N, et al.
Trends and predictors of changes in pulmonary function after treatment for
pulmonary tuberculosis. Clinics. 2011;66:549-56.
9. Levitzky MG, editor. Pulmonary Physiology. 6 ed. New Orleans: Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2003.
10. Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12 ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. 1120 p.
11. Saladin KS. Anatomy & Physiology: The Unity of Form & Function. 5
ed. New York: McGraw-Hill; 2009. 1248 pages p.
12. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. 6 ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 1134 p.
13. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 2046.
14. Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Ganong's Review of
Medical Physiology. 24 ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill;
2012. 752 p.
15. Mescher AL. Junqueira Basic Histology Text & Atlas. 12 ed. New York:
McGraw Hill; 2010. 480 p.
16. Loscalzo J, Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
et al., editors. Harrison's Pulmonary and Critical Medicine. 1 ed. New York:
McGraw Hill; 2010.
17. Johns DP, Pierce R. Spirometry: The Measurement and Interpretation of
Ventilatory Function in Clinical Practice. Melbourne: National Asthma Council
Ltd. Australia; 2008. 24 p.
18. Ranu H, Wilde M, Madden B. Pulmonary Function Test. Ulster Medical
Journal. 2011;80:84-90.
19. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 1979.
56
20. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. Medical
Microbiology. 25 ed. New York: McGraw Hill; 2010. 814 p.
21. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 1476.
22. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 842.
23. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 252.
24. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. 11 ed. New York:
Mcgraw Hill; 2009. 1232 p.
25. Aditama TY, Subuh M. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.
26. Ramos LMM, Sulmonett N, Ferreira CS, Henriques JF, Miranda SSD.
Functional profile of patients with tuberculosis sequelae in a university hospital.
2006.
27. Dahlan MS. Langkah-Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang
Kedokteran dan Kesehatan. 2 ed: Sagung Seto; 2012. 220 p.
28. Wu P, Cowling BJ, Schooling CM, Wong IOL, Johnston JM, Leung C-
C, et al. Age-period-cohort analysis of tuberculosis notifications in Hong Kong
from 1961 to 2005. BioMed Journal. 2008;63:312-6.
29. Abioye LA, Omotayo MO, Alakija W. Socio-demographic determinants
of stigma among patients with pulmonary tuberculosis in Lagos, Nigeria. African
Health Sciences. 2011;11(Special 1):100-4.
30. Neyrolles O, Murci LQ. Sex Inequality in Tuberculosis. PLoS Medicine.
2009;6(12):1-5.
31. Zhang X, Andersen AB, Lillebaek T, Kamper-Jorgensen Z, Thomsen
VO, Ladefoged K, et al. Effect of Sex, Age, and Race on Clinical Presentation of
Tuberculosis: a 15-year population based study. The American Society of
Tropical Medicine and Hygiene. 2011;85:285-9.
32. Pereira CAdC, Sato T, Rodrigues SC. New reference values for forced
spirometry in white adults in Brazil. Brazil Journal of Pneumology.
2007;33(4):397-406.
33. Pistelli F, Bottai M, Carrozzi L, Baldacci S, Simoni M, Pede FD, et al.
Reference equations for spirometry from a general population sample in central
Italy. Elsevier Respiratory Medicine. 2007;101:814-25.
34. Menezes AMB, Hallal PC, Perez-Padilla R, Jardim JRB, Muino A,
Lopez MV, et al. Tuberculosis and airflow obstruction: evidence from the
PLATINO study in Latin America. European Respiratory Journal.
2007;30(6):1180-5.
35. Dheda K, Booth H, Hugget JF, Johnson MA, Zumla A, Rook GAW.
Lung Remodeling in Pulmonary Tuberculosis. The Journal of Infectious Diseases.
2005;192:1201-10.
36. Hwang YI, Kim JH, Lee CY, Park S, Park YB, Jang SH, et al. The
association between airflow obstruction and radiologic change by tuberculosis.
Journal of Thoracic Disease 2014;6(5):471-6.
57
37. Lamprecht B, McBurnie MA, Vollmer WM, Gudmundsson G, Welte T,
Nizankowska-Mogilnicka E, et al. COPD in Never Smokers. CHEST.
2011;139(4):752-63.
38. Mannino DM, McBurnie MA, Tan W, Kocabas A, Anto J, Vollmer WM,
et al. Restricted spirometry in the Burden of Lung Disease Study. The
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 2012;16(10):1405–11.
58