Anda di halaman 1dari 58

DAFTAR ISI

BAB I .......................................................................................................................2

1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 2

1.2. Masalah Penelitian ........................................................................................... 4

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 4

1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 4

BAB II ......................................................................................................................6

2.1. Hipertensi ........................................................ Error! Bookmark not defined.

2.1.1. ........................................................................................................................ 6

BAB III ..................................................................................................................33

3.1. Sampel ............................................................. Error! Bookmark not defined.

3.1.1. ...................................................................................................................... 33
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit global berbahaya yang telah

menjangkiti jutaan orang dan menjadi penyebab kematian kedua oleh penyakit

infeksi. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2013 menyatakan

bahwa pada tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus TB baru dan 1,3 juta kematian

karena TB di seluruh dunia. Data menunjukkan bahwa terdapat 58% kasus seluruh

dunia ditemukan di benua Asia dan terkonsentrasi di kawasan Asia Tenggara.

Laporan pada tahun 2012 Asia Tenggara menunjukkan 3,4 juta kasus TB baru dan

450 ribu kematian karena TB. Jumlah tersebut sebagian besar berasal dari India dan

Indonesia yang juga merupakan negara yang memiliki beban terbesar terhadap TB

di seluruh dunia selain Cina, Afrika Selatan, dan Pakistan. Indonesia menempati

urutan keempat diantara kelima negara dengan insidensi TB 0,4—0,5 juta kasus

pada tahun 2012.1 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia pada tahun 2010

menunjukkan bahwa Indonesia memiliki Periode Prevalence TB sebesar 0,725%

dan suspek TB sebanyak 2,728%. Pulau Jawa menjadi daerah dengan angka

kejadian TB tertinggi selain daerah Papua, Jambi, dan Gorontalo. Tuberkulosis di

Indonesia memiliki kecenderungan untuk menyerang kelompok masyarakat dengan

usia di atas 54 tahun, laki-laki, domisili di pedesaan, status ekonomi rendah, dan

2
pendidikan rendah.2 Hal ini menunjukkan bahwa TB masih menjadi masalah besar

di Indonesia.

Tuberkulosis bisa menyerang berbagai organ dan jaringan tubuh manusia.

Organ yang paling sering diserang oleh M. tuberculosis adalah paru.3 Infeksi pada

paru yang disebabkan oleh M. tuberculosis akan menyebabkan inflamasi yang

berujung pada kerusakan paru. Proses tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya

granuloma dan perkejuan paru.4, 5 Kerusakan paru pada penderita TB paru akan

menyebabkan terjadinya gangguan pernapasan dan penurunan fungsi paru. Kondisi

tersebut ditunjukkan dengan menurunnya Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama

(VEP1), Kapasitas Vital Paksa (KVP), dan rasio VEP1/KVP. Menurut hasil

beberapa studi mengenai penurunan fungsi paru akibat TB paru ditemukan bahwa

penurunan fungsi paru bisa disebabkan oleh gangguan paru obstruktif, restriktif,

dan campuran.6-8

Berdasarkan studi yang sebelumnya telah dilakukan, belum ada penelitian

yang menunjukkan kondisi fungsi paru pasien TB yang sedang dalam masa

pengobatan secara spesifik. Pasien TB pada masa pengobatan OAT fase lanjutan

dinilai memiliki tingkat bahaya dan infektivitas yang lebih rendah dibandingkan

pasien TB pada masa pengobatan fase intensif.5 Oleh karena itu, peneliti akan

melaksanakan penelitian yang membahas tentang fungsi paru pada pasien TB pada

masa pengobatan OAT kategori I fase lanjutan dengan judul “Gambaran VEP1,

KVP, dan Rasio VEP1/KVP pada Pasien Tuberkulosis Paru dalam Pengobatan

OAT Kategori I Fase Lanjutan di Poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan

Sadikin Bandung Periode 2013 - 2014”.

3
1.2. Masalah Penelitian

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan pada latar belakang di atas, dapat

diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada

penderita TB paru masa pengobatan OAT kategori I fase lanjutan?

2. Bagaimana gambaran kapasitas vital paksa (KVP) pada penderita TB paru

masa pengobatan OAT kategori I fase lanjutan?

Bagaimana gambaran rasio VEP1 dan KVP pada pasien TB paru dalam

pengobatan OAT kategori I fase lanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan

jawaban atas masalah penelitian yang telah diidentifikasi tersebut, maka tujuan

penelitian ini secara terperinci adalah:

1. Mengetahui gambaran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada

penderita TB paru dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan.

2. Mengetahui gambaran kapasitas vital paksa (KVP) pada penderita TB paru

dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan.

3. Mengetahui gambaran rasio VEP1 dan KVP pada pasien TB paru dalam

pengobatan OAT kategori I fase lanjutan.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan Penelitian dibagi menjadi dua bagian besar yaitu:

1. Kegunaan Ilmiah

4
 Memberikan gambaran fungsi paru pasien TB dalam pengobatan OAT

kategori I fase lanjutan.

2. Kegunaan Praktis

 Menjadi pertimbangan pada pengelola rumah sakit dan pelayanan medis

dalam memberikan tatalaksana pada pasien TB untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Paru

2.1.1. Gambaran Umum

Sistem pernapasan merupakan sistem yang sangat penting dalam

keberlangsungan hidup manusia. Fungsi utama dari sistem pernapasan adalah

menyediakan oksigen dari luar tubuh untuk dan mengeluarkan karbon dioksida dari

dalam tubuh. Tanpa adanya sistem pernapasan maka oksigen yang diperlukan untuk

metabolisme tidak akan tersedia dan karbon dioksida akan menumpuk di dalam

tubuh.9, 10 Apabila oksigen tidak tersedia dan karbon dioksida menumpuk maka

tubuh tidak bisa menghasilkan energi dan kondisi homeostasis tubuh berubah

dengan kondisi yang paling ekstrim adalah kematian.11 Sebagai sebuah sistem,

sistem pernapasan terdiri atas paru, jalur pernapasan, otot pernapasan, saraf

pernapasan, dan dinding dada.9

Proses pernapasan dimulai dari fase inspirasi yaitu fase masuknya udara dari

luar tubuh.9 Udara tersebut akan melewati jalur pernapasan yang terdiri atas hidung,

faring, laring, trakea, dan bronkus.11 Bronkus akan bercabang dan menjadi

bronkiolus dan berakhir di alveolus, komponen utama paru yang berfungsi sebagai

tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida.9, 10, 12 Oksigen yang berasal dari

luar tubuh akan berikatan dengan hemoglobin dalam darah kemudian disebarkan ke

seluruh tubuh. Karbon dioksida yang berasal dari jaringan dan sel-sel seluruh tubuh

akan dikeluarkan dari paru-paru menuju udara luar melalui fase ekspirasi, fase

6
pengeluaran udara dari dalam paru.10 Aliran udara menuju ke dalam dan ke luar

paru-paru dipengaruhi oleh aktivitas otot pernapasan yang menciptakan perbedaan

tekanan di dalam paru dengan tekanan atmosfer.9, 10 Hal ini mungkin terjadi karena

ketika terjadinya inspirasi, masuknya udara ke dalam paru, maka diafragma

mendatar, otot inspirasi berkontraksi, dan dinding dada akan berekspansi sehingga

menciptakan tekanan dalam paru menjadi lebih rendah daripada tekanan atmosfer

sehingga udara akan masuk ke dalam paru. Sebaliknya, saat terjadi ekspirasi,

keluarnya udara dari dalam paru, maka diafragma relaksasi, otot ekspirasi

berkontraksi, dan dinding dada mengecil sehingga akan menciptakan tekanan

dalam paru lebih tinggi daripada atmosfer luar sehingga akan menyebabkan udara

mengalir ke luar tubuh.10, 12


Aktivitas otot pernapasan dikontrol oleh saraf

pernapasan yang menerima impuls dari chemoreceptor tubuh dan diolah di pusat

pernapasan bagian batang otak dan sumsum lanjutan otak. Ketika aktivitas

seseorang meningkat atau seseorang menghasilkan karbon dioksida lebih banyak

maka saraf pernapasan akan memberikan sinyal agar pernapasan dilakukan dengan

lebih cepat dan atau lebih dalam.10 Dinding dada melindungi paru dari trauma dan

mencegah terjadinya tekanan negatif subatmosferik yang disebabkan oleh rekoil

elastis paru dan gerakan inspirasi.12 Apabila terjadi ketidaknormalan pada

komponen pembentuk sistem pernapasan di atas maka gangguan pernapasan akan

terjadi karena masing-masing komponen memegang fungsi yang berbeda, spesifik,

dan penting dalam membuat pernapasan yang efektif dan efisien bagi tubuh

manusia.11

2.1.2. Ventilasi Pulmonal dan Mekanika Ventilasi Pulmonal

7
Ventilasi pulmonal adalah total pertukaran udara antara udara dari luar

tubuh dengan udara di dalam paru.13 Kepentingan utama dari ventilasi pulmonal

adalah agar terus terjadi pembaruan udara di area pertukaran udara di dalam paru.

Udara yang terus terbarui penting dalam menjaga keseimbangan oksigen dan

karbon dioksida dalam tubuh.10 Udara memiliki sifat seperti seperti cairan akan

berpindah dari daerah yang memiliki tekanan lebih tinggi menuju ke daerah yang

memiliki tekanan yang lebih rendah. Sifat udara tersebut menyebabkan

diperlukannya perbedaan tekanan antara atmosfer dan paru. Apabila tidak terdapat

perbedaan tekanan maka tidak akan terjadi aliran udara.9, 10

Ventilasi terdiri dari inspirasi dan ekspirasi dimana di keduanya terdapat perbedaan

tekanan udara antara di dalam paru dan atmosfer. Inspirasi dan ekspirasi dibedakan

berdasarkan daerah yang memiliki tekanan lebih tinggi dan lebih rendah yang

mengakibatkan perbedaan aliran udara yang saling berkebalikan. Ketika terjadi

pernapasan normal, maka inpirasi akan terjadi ketika tekanan udara di dalam paru

lebih rendah daripada tekanan atmosfer luar tubuh yang disebabkan oleh

mendatarnya diafragma, kontraksi otot inspirasi (otot external intercostal, serratus

anterior, serratus posterior superior, sternocleidomastoid, levator costarum, dan

scalene), dan ekspansi dinding dada. Ekspirasi normal memiliki kondisi yang

berlawanan dibanding dengan inspirasi dimana tekanan udara di dalam paru akan

lebih besar daripada tekanan atmosfer luar tubuh yang disebabkan oleh relaksasi

diafragma, kontraksi otot ekspirasi (rectus abdominis, internal intercostal, serratus

posterior inferior, transversus costalis, dan subcostalis), dan mengecilnya dinding

dada.10, 12

8
2.1.3. Volume & Kapasitas Paru

Proses ventilasi melibatkan keluar masuknya udara di paru. Selama terjadi

proses ventilasi tersebut maka akan terjadi perubahan dinamis dari volume udara

paru. Perubahan volume udara di dalam paru tersebut menunjukkan aktivitas yang

terjadi di dalam paru yang bisa direkam dan dipelajari dengan sebuah metode yang

disebut dengan spirometri dan alat yang disebut spirometer. Spirometri akan

merekam aktivitas pernapasan yang ditunjukkan dengan volume paru dan kapasitas

paru.10, 14

Udara dalam paru akan dibagi menjadi empat volume dan empat

kapasitas.10, 14
Empat volume paru pada laki-laki dewasa muda adalah sebagai

berikut:

1. Volume Alun Napas adalah volume udara yang dihirup atau dihembuskan

pada setiap napas normal dan tenang, besar volume rata-rata adalah 500 mL.

2. Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara tambahan yang dapat

dihirup sekuat-kuatnya setelah inspirasi volume alun napas normal, besar

volume rata-rata adalah 3000 mL.

3. Volume Cadangan Ekspirasi adalah volume udara tambahan yang dapat

dihembuskan sekuat-kuatnya setelah ekspirasi volume alun napas normal,

besar volume rata-rata adalah 1100 mL.

4. Volume Residu adalah volume udara yang tersisa di dalam paru setelah

melakukan ekspirasi maksimal, besar volume rata-rata adalah 1200 mL.

9
Kapasitas paru adalah kombinasi dua atau lebih volume paru yang akan

menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam pernapasan.10, 14 Kapasitas paru pada

orang dewasa normal adalah sebagai berikut:

1. Kapasitas Inspirasi setara dengan volume alun napas ditambah dengan

volume cadangan inspirasi. Kapasitas inspirasi rata-rata adalah 3500 mL.

2. Kapasitas Residu Fungsional setara dengan volume cadangan ekspirasi

ditambah dengan volume residu. Kapasitas residu fungsional rata-rata

adalah 2300 mL.

3. Kapasitas Vital setara dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume

alun napas ditambah volume cadangan ekspirasi. Kapasitas vital rata-rata

adalah 4600 mL.

4. Kapasitas Total Paru adalah volume keseluruhan paru yang dicapai dengan

inpirasi maksimal. Kapasitas total paru rata-rata adalah 5800 mL.

Semua volume dan kapasitas paru 20-25% lebih rendah pada wanita

dibandingkan dengan laki-laki, dan lebih besar pada orang yang berbadan besar

dan atletis daripada pada orang berbadan kecil dan kurus.10

10
Gambar 2.1 Diagram volume dan kapasitas paru

2.1.4. Daya Kembang Paru

Daya kembang paru adalah kemampuan paru untuk berekspansi di setiap

unit peningkatan tekanan transpulmonal. Daya kembang paru tercipta karena paru

memiliki kecenderungan untuk selalu kembali ke posisi resting seperti ketika tidak

ada udara yang masuk ke dalam paru sehingga diperlukan gaya untuk membuat

paru berekspansi. Daya kembang kedua paru manusia dewasa memiliki rata-rata

sekitar 200 mL udara/cmH2O. Dengan daya kembang tersebut berarti di setiap 1

cmH2O peningkatan tekanan transpulmonal maka akan terjadi ekspansi volume

paru sebesar 200 mL setelah 10—20 detik dari peningkatan tekanan

transpulmonal.10, 14

Daya kembang paru ditentukan oleh gaya elastik paru.10 Gaya elastik paru

dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Gaya elastik dari jaringan paru.

11
Gaya elastik yang dihasilkan oleh jaringan paru ditentukan oleh benang

elastin dan collagen yang terdapat di parenkim paru. Ketika paru dalam

kondisi mengempis maka kedua benang ini akan memendek dan kusut,

ketika paru mengembang maka kedua benang akan memanjang dan lurus

sehingga akan menghasilkan gaya elastik.10

2. Gaya elastik yang disebabkan oleh tegangan permukaan dari cairan yang

melapisi dinding dalam alveoli.

Gaya elastik yang dihasilkan oleh tegangan permukaan bersifat lebih kompleks.

Cairan yang melapisi dinding bagian dalam alveoli akan memiliki kecenderungan

untuk berikatan satu sama lain ketika telah berkontak degan udara. Hal ini akan

memberikan gaya timbal balik/rekoil yang cukup kuat dan bisa membuat paru

kolaps. Paru yang normal tidak kolaps dikarenakan terdapat cairan surfactant yang

dihasilkan oleh sel-sel epithel alveoli sehingga tegangan permukaan akan jauh

berkurang.10, 15

2.1.5. Kerja Pernapasan

Proses pernapasan yang terdiri dari inspirasi dan ekspirasi melibatkan

banyak komponen yang bersinergis sehingga tercipta pernapasan yang efektif dan

efisien. Ketika inspirasi terjadi maka komponen pembentuk pernapasan khususnya

otot inspirasi harus melawan tahanan yang secara alami dibentuk oleh paru dan

aliran udara menciptakan sebuah proses yang disebut dengan kerja pernapasan,

sedangkan ketika terjadi ekspirasi maka proses yang terjadi cenderung pasif karena

lebih disebabkan oleh gaya timbal balik/rekoil paru.10, 14 Kerja pernapasan dapat

dibagi menjadi tiga jenis9, 10, 14 yaitu:

12
1. Compliance Work/Elastic Work adalah upaya yang diperlukan untuk

melawan tahanan yang dibentuk oleh gaya elastik paru dan dinding dada.

2. Tissue Resistance Work adalah upaya yang diperlukan untuk melawan

tahanan yang dibentuk oleh viskositas jaringan paru dan struktur dinding

dada.

3. Airway Resistance Work adalah upaya yang diperlukan untuk melawan

tahanan udara pada jalur pernapasan ketika udara luar masuk melaluinya.

Kerja pernapasan bisa meningkat dalam kondisi dan penyakit-penyakit tertentu.

Gangguan pernapasan yang bersifat restriktif adalah ketika terjadi peningkatan

elastic work. Contoh kondisi yang akan menyebabkan gangguan restriktif

pernapasan adalah obesitas yang mampu meningkatkan elastic recoil dari paru dan

dinding dada. Contoh kedua adalah fibrosis paru yang meningkatkan elastic recoil

dari alveoli. Apabila tissue resistance work dan atau airway resistance work

meningkat maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan obstruktif paru. Contoh

penyakit yang mampu menyebabkan gangguan obstruktif adalah sarcoidosis yang

akan meningkatkan tahanan yang dibentuk oleh jaringan paru itu sendiri. Asma dan

emphysema juga merupakan gangguan obstruktif pernapasan dimana keduanya

membentuk halangan yang mengobstruksi jalur pernapasan sehingga airway

resistance work yang diperlukan lebih tinggi untuk melewati tahanan di jalur

pernapasan.9, 10

2.2. Pengujian Fungsi Paru

Ventilasi adalah proses dimana paru akan memperbarui udara yang terdapat

di dalam alveoli. Pengukuran fungsi paru dalam kepentingan diagnosis terdiri dari

13
pengukuran volume udara yang terdapat di dalam paru dalam kondisi tertentu dan

pengukuran kecepatan pengeluaran udara dari dalam paru dalam satuan waktu.

Pengukuran volume paru untuk diagnosis umumnya menggunakan (1) kapasitas

total paru/total lung capacity (TLC) yaitu volume udara yang tersimpan di dalam

paru setelah inspirasi maksimal, dan (2) volume residu/residual volume yaitu

volume udara yang tersisa di dalam paru setelah ekspirasi maksimal. Volume gas

yang dikeluarkan setelah mencapai kapasitas total paru hingga ke volume residu

adalah kapasitas vital/vital capacity paru.16

Pengukuran klinis umum untuk pemeriksaan aliran udara napas didapatkan

dari manuver dimana subjek melakukan inspirasi maksimal hingga mencapai

kapasitas total paru dan menghembuskannya hingga mencapai volume residu. Alat

yang paling sering digunakan untuk pengukuran ini adalah spirometer.17 Terdapat

tiga jenis pengukuran berbeda yang dibentuk dari volume ekspirasi paksa dibanding

dengan waktu.16 Tiga volume tersebut adalah sebagai berikut:

1. Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama (VEP1) adalah volume udara

ekspirasi maksimal yang dikeluarkan dari dalam paru pada detik pertama

setelah melakukan inspirasi maksimal.16, 17

2. Kapasitas Vital Paksa (KVP) adalah volume maksimal udara yang

diekspirasikan secara maksimal setelah melakukan inspirasi maksimal.16, 17

3. Aliran Ekspirasi Paksa (AEP) adalah aliran udara rata-rata ketika 50%

kapasitas vital sudah dikeluarkan.16, 17

Layaknya pemeriksaan untuk kepentingan diagnosis lainnya, maka

pengujian fungsi paru memiliki indikasi dan kontraindikasi. Indikasi dari pengujian

14
fungsi paru ditampilkan di Tabel 2-118 dan kontraindikasi dari pengujian fungsi

paru ditampilkan di Tabel 2-218.

Tabel 2.1 Indikasi pengujian fungsi paru.18


No. Indikasi Contoh
1 Investigasi pasien dengan tanda dan gejala  Batuk
yang menunjukkan kemungkinan terjadinya  Mengi/Wheezing
gangguan paru.  Susah napas
 Crackles
 Hasil X-ray dada yang tidak normal
2 Pengawasan pasien dengan penyakit paru  Interstitial fibrosis
yang sudah diketahui untuk memeriksa  PPOK
progresi penyakit dan respon terhadap tata  Asma
laksana yang sudah diberikan.  Penyakit pembuluh darah paru
3 Investigasi pasien yang memiliki komplikasi  Gangguan jaringan ikat
paru disebabkan oleh penyakit lain.  Gangguan neuromuscular
4 Evaluasi preoperative  Reseksi paru
 Operasi Abdomen
 Operasi Cardiothoraks
5 Evaluasi pasien dengan faktor resiko  Paparan terhadap materi yang bersifat
timbulnya penyakit paru racun bagi paru seperti radiasi, obat-
obatan tertentu, atau eksposur lingkungan
dan pekerjaan.
6 Survei respon terhadap tranplantasi paru  Penolakan
 Infeksi
 Obliterative bronchiolitis

Tabel 2.2 Kontraindikasi pengujian fungsi paru.18


No. Kontraindikasi
1. Infark myokard dalam satu bulan terakhir
2. Unstable angina
3. Pasca operasi thoracoabdominal
4. Pasca operasi telinga, hidung, dan tenggorokan
5. Aneurisme pembuluh darah thoraks atau abdomen
6. Pneumothorax

Interpretasi hasil pengujian fungsi paru dilaksanakan dengan melakukan

perbandingan antara nilai yang didapat dari pengujian yang dilakukan dibanding

nilai referensi berdasarkan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan ras. Nilai referensi

tersebut didapatkan dari penelitian populasi yang meneliti fungsi paru rata-rata

berdasarkan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan ras menggunakan protokol tes

sama dan sudah terkalibrasi dan valid. Fungsi paru berdasarkan jenis kelamin, usia,

15
tinggi badan, dan ras memiliki sifat dan kecenderungan tertentu.17 Sifat dan

kecenderungan tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Karakteristik fungsi paru berdasarkan jenis kelamin, usia, tinggi badan
dan ras.17
No. Kategori Karakteristik
1. Jenis kelamin Laki-laki memiliki VEP1, KVP, dan AEP yang
lebih besar daripada wanita, namun memiliki
VEP1/KVP yang lebih kecil.
2. Usia VEP1, KVP, dan AEP akan bertambah, sedangkan
VEP1/KVP akan berkurang hingga mencapai
umur 20 tahun pada wanita dan 25 tahun pada laki-
laki.
3. Tinggi badan Semua nilai fungsi paru meningkat kecuali
VEP1/KVP seiring bertambahnya tinggi atau
semakin tingginya seseorang.
4. Ras Ras Kaukasia memiliki VEP 1 dan KVP paling
tinggi. Polynesia termasuk memiliki nilai yang
terendah. Orang Afrika kulit hitam memiliki nilai
10-15% lebih rendah daripada ras Kaukasia dan
suku asli Australia memiliki nilai yang lebih
rendah. Orang keturunan China memiliki nilai
20% lebih rendah dan orang keturunan India
memiliki nilai 10% di bawah orang Kaukasia.

Setelah melakukan perbandingan terhadap nilai referensi maka bisa

dilakukan klasifikasi jenis penyakit gangguan pernapasan yang dialami oleh subjek.

Klasifikasi tersebut bisa dibedakan menjadi gangguan obstruktif, restriktif, dan

campuran.17 Syarat yang harus didapatkan untuk memberikan diagnosis gangguan

pernapasan berdasarkan klasifikiasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Gangguan Paru Obstruktif ditunjukkan dengan penurunan VEP1

sehingga mengurangi nilai VEP1/KVP (contoh: asma dan emphysema).

Batas bawah nilai VEP1/KVP umumnya adalah 70%-75% nilai yang

diprediksikan berdasarkan nilai referensi yang sesuai dengan jenis kelamin,

usia, tinggi badan, dan ras.17

2. Gangguan Paru Restriktif ditunjukkan dengan nilai VEP1/KVP yang

cenderung normal atau tinggi (umumnya > 80%) namun terjadi

16
pengurangan pada kedua nilai VEP1 dan KVP (contoh: interstitial lung

disease, kyphoscoliosis, dan melemahnya otot pernapasan).17

3. Gangguan Paru Campuran ditunjukkan dengan penurunan di KVP dan

rasio VEP1/KVP yang menunjukkan terjadinya destruksi paru dan restriksi

yang terjadi bersamaan.17

Gambar 2.2 Skema kurva aliran-volume dan spirogram ideal

Tabel 2.4 Karakteristik gangguan paru obstruktif, restriktif, dan campuran.17


Jenis Gangguan Paru Gangguan Paru Gangguan Paru
Pengukuran Obstruktif Restriktif Campuran
VEP1 Turun Turun atau Turun
Normal
KVP Turun atau Normal Turun Turun
VEP1/KVP Turun Normal atau Naik Turun

2.3. Tuberkulosis Paru

2.3.1. Definisi, Etiologi, dan Faktor Resiko

17
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi apapun yang disebabkan oleh

spesies M. tuberculosis yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan tubercle

dengan necrosis perkejuan pada jaringan yang terpengaruh.19 Tuberkulosis dapat

memengaruhi berbagai jaringan di dalam tubuh manusia. Tuberkulosis paru

merupakan infeksi M. tuberculosis pada paru dan merupakan jenis TB yang paling

sering dialami oleh manusia.3, 5 Tuberkulosis paru terjadi di 80% dari semua kasus

TB dan bersifat sangat berbahaya karena memiliki penularan yang sangat mudah.

Tuberkulosis pada jaringan dan organ lain seperti TB pleura dan TB limfatik

membentuk 20% dari keseluruhan kasus TB.4

M. tuberculosis yang menjadi penyebab utama dari penyakit TB merupakan

bakteri aerob tahan asam berbentuk batang berukuran 0,4 x 3 µm. Bakteri ini

disebut bakteri tahan asam (BTA) karena memiliki karakteristik yang sangat khas

karena tidak mampu didekolorisasi oleh alkohol meskipun telah diberikan iodine.

Bakteri ini bisa didekolorisasi dengan acid-alcohol yang terdiri dari 95% etil

alkohol dan 3% asam hidroklorat. Proses pewarnaan yang dilakukan untuk bakteri

ini agar mampu memberikan visualisasi pada penampang mikroskop disebut

dengan teknik Ziehl-Neelsen. Struktur M. tuberculosis terdiri dari lemak, protein,

dan polisakarida. Lemak merupakan konstituen utama dari M. tuberculosis dan

memiliki peran penting di dalam karakteristik dan patogenesis dari TB.20 M.

tuberculosis memiliki banyak faktor virulensi contohnya adalah gen katG yang

berperan dalam ketahanan bakteri terhadap oksidasi. Terdapat juga lokus virulensi

RD1 yang berperan dalam perekrutan makrofag oleh makrofag yang akan

melakukan apoptosis yang disebabkan oleh M. tuberculosis.5

18
Faktor resiko untuk mendapatkan infeksi M. tuberculosis bisa berdasarkan

beberapa hal. Berdasarkan lokasi maka benua Afrika dan Asia memiliki angka

kejadian TB paru yang lebih tinggi dibandingkan benua lain. Etnis dan ras kulit

putih usia tua memiliki faktor resiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan infeksi

M. tuberculosis karena transmisi TB yang tinggi di masa lalu cenderung

memberikan efek di masa sekarang pada kelompok ini. Selain itu orang kulit hitam

di Amerika memiliki angka kejadian yang lebih tinggi untuk TB. Kondisi sosio-

ekonomi yang berbanding terbalik dengan angka kejadian TB, sehingga dengan

semakin rendahnya kondisi sosio-ekonomi seseorang maka kemungkinan

terjangkiti oleh M. tuberculosis akan semakin tinggi.4, 5

2.3.2. Klasifikasi, Tanda, dan Gejala

Klasifikasi TB paru bisa dibedakan menjadi TB paru primer dan sekunder.

Tuberkulosis paru primer adalah infeksi M. tuberculosis pertama dan menghasilkan

manifestasi klinis. Tuberkulosis paru tipe ini paling sering dialami oleh anak-anak.

Tanda dan gejala yang dialami pasien TB paru primer umumnya adalah demam

tinggi yang bisa mencapai 39o C. Demam tersebut dibarengi dengan rasa sakit di

bagian retrosternal dan interscapular. Bradikardi, erythema nodosum, dan

lymphadenopathy bisa ditemukan pada pasien TB paru primer dengan kondisi imun

tubuh yang lemah atau dalam kondisi imunosupresi. Pemeriksaan radiografi dada

menunjukkan ciri yang khas disebut dengan kompleks Ghon, lesi paru yang disertai

dengan lymphadenopathy daerah hilar atau paratracheal, dengan atau tanpa reaksi

pleura.3-5

19
Tuberkulosis paru sekunder merupakan kondisi dimana terjadi reaktifasi dan atau

reinfeksi oleh M. tuberculosis. Kondisi awal TB paru sekunder tidak bersifat

spesifik yang umumnya ditunjukan dengan adanya demam diurnal, penurunan

berat badan, anorexia, malaise, dan badan melemah. Progresi penyakit akan

menimbulkan produksi sputum yang bersifat purulen dengan produksi awal terbatas

pada pagi hari. Progresi terus berlanjut hingga produksi sputum akan terus

meningkat. Hemoptysis terjadi di 20%—30% kasus. Sakit dada pleuritic dapat

ditemukan pada pasien yang mengalami lesi di daerah subpleural atau pada pasien

yang memiliki penyakit pleura. Pemeriksaan fisik pasien TB paru sekunder bersifat

terbatas dan tidak bisa dengan langsung menentukan diagnosis TB paru.

Pemeriksaan yang efektif adalah pemeriksaan sputum yang menunjukkan ada atau

tidaknya bakteri tahan asam dan pemeriksaan radiografi dada yang nantinya

menunjukkan destruksi dan kavitasi paru yang terpengaruh.3-5

2.3.3. Patogenesis dan Patofisiologi

M. tuberculosis menyebar melalui droplet nuklei yang dihasilkan oleh orang

yang menderita TB paru ketika berbicara, bersin, atau batuk. Droplet yang

disebarkan orang dengan TB aktif bisa dihirup oleh orang yang sehat. Ukuran

diameter droplet sebesar 5 µm atau kurang dan terdapat 400 organisme dalam setiap

millimeter droplet. Umumnya diperlukan 5—200 bakteri yang terhirup agar dapat

menyebabkan infeksi. Bakteri tubercle yang terhirup akan terkumpul di bagian

distal dari bronkiolus respirasi, di alveolus, atau di bagian subpleura paru. Untuk

infeksi primer umumnya bakteri akan terkumpul di lobus paru bagian bawah karena

ventilasi lebih baik pada tempat tersebut.4

20
M. tuberculosis yang mencapai alveoli akan berkontak dengan makrofag

alveoli sebagian besar disebabkan karena penempelan dinding bakteri dengan

berbagai molekul permukaan sel makrofag. Molekul-molekul permukaan tersebut

termasuk diantaranya adalah GFcγ receptor, dan type A scavenger receptor.

Fagositosis bakteri akan diperkuat oleh aktifasi komplemen yang membuat bakteri

teropsonisasi oleh produk aktifasi C3 seperti C3b. Ketika fagosom sudah terbentuk

maka M. tuberculosis bisa bertahan di dalamnya karena struktur

lipoarabinomannan pada dinding bakteri akan merusak jalur Ca2+/calmodulin yang

menyebabkan tidak dapat bersatunya fagosom dengan lisosom. Selain itu fagosom

yang berisikan M. tuberculosis akan menghambat produksi phosphatidylinositol-3-

phosphate (PI3P). PI3P memiliki fungsi untuk maturasi fagolisosom. Mekanisme

di atas akan menyebabkan bakteri bisa bertahan dalam fagosom dan melakukan

replikasi hingga fagosom pecah dan bakteri akan menginfeksi makrofag lainnya.

Proses ini akan memancing terjadinya inflamasi yang dapat memberikan kerusakan

pada jaringan paru sehingga akan menimbulkan lesi.3-5

Siklus penghancuran makrofag yang terjadi terus menerus akan

menyebabkan pengeluaran chemoattractant dan produk bakteri menyebabkan sel-

sel dendritik bisa mencapai bakteri dan membawanya menuju ke kelenjar getah

bening untuk dipresentasikan kepada sel limfosit T. Pada titik ini maka akan

terbentuk sistem pertahanan cell-mediated immunity dan humoral immunity. Proses

ini akan terjadi pada awal terjadinya infeksi hingga 2—4 minggu. Setelah mencapai

2—4 minggu awal maka akan timbul 2 respon inang terhadap M. tuberculosis.5 Dua

respon tersebut adalah sebagai berikut:

21
1. Respon Pengaktifan Makrofag adalah respon yang timbul disebabkan oleh

pengaktifan makrofag oleh limfosit T. Makrofag yang telah teraktifasi akan

berkumpul pada pusat lesi yang ditimbulkan M. tuberculosis dan

menetralisir bakteri tubercle yang terdapat di dalamnya. Proses ini akan

menghasilkan material nekrotik yang akan menyerupai keju disebut dengan

nekrosis perkejuan. Apabila proses ini berjalan dengan efektif maka lesi bisa

dikatakan sembuh akan tetapi masih terdapat banyak bakteri yang hidup

dalam keadaan dorman di dalam nekrosis perkejuan. Bakteri-bakteri ini bisa

melakukan reaktifasi apabila kondisi imun subjek menurun.5

2. Respon Perusakan Jaringan adalah respon yang dilakukan oleh tubuh

apabila respon pengaktifan makrofag lemah. Respon ini akan

menghancurkan jaringan paru. Lesi akan cenderung semakin besar dan

jaringan di sekitarnya akan rusak dan membentuk kavitasi. Kerusakan

jaringan akan mencapai bronkus dan pembulu darah. Pada pusat lesi materi

perkejuan yang banyak mengandung bakteri tubercle menjadi cair dan

masuk ke dalam bronkus. Dalam kavitas yang dibentuk bakteri tubercle

akan berreplikasi dan masuk ke dalam jalur pernapasan yang pada akhirnya

bisa keluar menuju lingkungan sekitar ketika pasien batuk, bersin, atau

bicara.5

Progresi penyakit TB paru sangat bergantung pada keseimbangan dua

proses di atas. Apabila respon pengaktifan makrofag mendominasi maka kerusakan

paru yang terjadi bersifat lebih minimal. Apabila respon perusakan jaringan lebih

kuat maka paru akan mengalami destruksi. Selain itu, masih banyak M. tuberculosis

22
yang bisa menyebar dan dalam kondisi dorman dalam paru. Kondisi ini membuat

TB paru bersifat sangat menular dan memiliki kemungkinan reaktifasi yang tinggi.4,
5

2.3.4. Diagnosis

Kunci dalam diagnosis TB paru adalah dengan meningkatkan tingkat

kecurigaan pada orang yang memiliki faktor resiko TB yang tinggi. Sebagai contoh,

diagnosis akan mudah dilakukan pada orang jalanan, peminum alkohol dengan hasil

radiograf dada menunjukkan kavitasi. Diagnosis pada TB paru bisa menjadi sulit di

pasien usia lanjut atau pada pasien remaja yang memiliki infiltrat focal. Semakin

lama jarak waktu antara terjadinya gejala dengan diagnosis akan meningkatkan

kemungkinan ditemukannya kavitasi paru saat dilakukan pemeriksaan.5 Terdapat

beberapa metode untuk melakukan diagnosis TB paru. Metode-metode tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam

Metode diagnosis dasar yang cukup sering dipakai adalah pemeriksaan

mikroskopi bakteri tahan asam (BTA) pada spesimen diagnostik. Pada TB

paru umumnya menggunakan spesimen sputum pasien yang diambil pada 3

waktu yaitu sewaktu-pagi-sewaktu. Prosedur utama yang dilakukan dalam

pemeriksaan ini adalah pewarnaan BTA dengan teknik pewarnaan tertentu.

Cara tradisional pewarnaan BTA adalah menggunakan pewarnaan Ziehl-

Neelsen dengan pewarna utama carbol fuchsin. Pada laboratorium dengan

fasilitas yang lebih canggih pewarnaan dilakukan menggunakan pewarna

auramine-rhodamine dan mikroskop fluorescence. Kelebihan dari metode

23
ini adalah biaya yang dipakai tidak tinggi untuk melaksanakan pemeriksaan

ini dan prosedur pelaksanaannya cukup mudah. Kekurangan dari metode ini

adalah sensitivitasnya rendah (40%-60%) serta cukup memakan waktu

untuk mendapatkan hasil pemeriksaan.5

2. Kultur Mycobacteria

Diagnosis definitif dari M. tuberculosis akan bergantung dari dua

pemeriksaan, kultur dari spesimen diagnosis dan amplifikasi DNA M.

tuberculosis. Spesimen bisa dikultur dengan medium berbasis telur dan

medium berbasis agar (contoh: Lowenstein-Jensen atau Middlebrook 7H10)

yang diinkubasikan pada suhu 37o C. Mycobacterium tuberculosis

membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pertumbuhan dan

replikasinya. Umumnya dibutuhkan waktu 4—8 minggu untuk bisa

mendeteksi bakteri di dalam kultur. Waktu lama yang dibutuhkan untuk

pendeteksian M. tuberculosis ini menjadi pertimbangan penting dalam

memberikan tatalaksana awal pasien suspek TB.5, 20

3. Amplifikasi Asam Nukleat

Amplifikasi asam nukleat merupakan salah satu metode diagnosis definitif

untuk menentukan ada atau tidaknya bakteri M. tuberculosis pada spesimen.

Amplifikasi asam nukleat bersifat spesifik dan sensitif. Waktu yang

dibutuhkan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan sedikit sehingga bisa

memberikan diagnosis dengan cepat. Selain itu, tes ini bisa dipergunakan

untuk pasien TB BTA positif maupun BTA negatif dengan kecurigaan TB

24
ekstrapulmonal. Kekurangan dari cara amplifikasi adalah tidak semua

instalasi kesehatan menyediakan jenis pemeriksaan ini.5

4. Tes Resistensi Obat

Mycobacterium tuberculosis memiliki kemampuan dan kecenderungan

untuk membentuk resistensi terhadap obat-obat yang dipergunakan dalam

tata laksana TB.4, 5, 20 Kondisi tersebut menyebabkan pentingnya dilakukan

tes resistensi obat pada M. tuberculosis yang ditemukan dalam spesimen

pasien. Pemeriksaan ini bisa digunakan secara langsung pada spesimen

pasien atau secara tidak langsung pada kultur M. tuberculosis yang berasal

dari spesimen pasien. Apabila dilaksanakan pada kultur bakteri maka akan

dibutuhkan waktu kurang lebih 8 hari untuk mendapatkan hasil

pemeriksaan. Pemeriksaan ini sangat penting khususnya pada pasien yang

tidak mendapatkan respon dari terapi pertama atau mengalami relaps setelah

menyelesaikan pengobatan. Pada pasien suspek multiple drug resistance

(MDR) TB maka penting dilakukan tes resistensi obat lini kedua.5

5. Pemeriksaan Radiograf

Kecurigaan awal terhadap TB umumya berangkat dari hasil pemeriksaan

radiografi. Temuan yang paling sering ditemukan adalah adanya infiltrat

dan kavitasi pada lobus paru atas pada pemeriksaan X-ray. Namun pada

prakteknya mungkin ditemukan gambaran lain seperti adanya nodule paru

atau infiltrat yang bersifat menyebar. Pasien yang memiliki AIDS

cenderung tidak menunjukkan gambaran spesifik pada hasil tes radiografi

dadanya. Pemeriksaan CT scan bisa membantu dalam memperkuat hasil

25
pemeriksaan X-ray yang bersifat kurang spesifik dan bisa membantu dalam

menentukan diagnosis TB ekstra paru. MRI membantu dalam menemukan

TB intrakranial.5

6. Tes Tuberculin

Tuberculin dibentuk dari bahan dasar old tuberculin (kultur pada medium

cair yang dikonsentrasikan). Old tuberculin dimurnikan menggunakan

presipitasi ammonium sulfate dan menghasilkan tuberculin purified protein

derivative (PPD). Tuberculin mampu menghasilkan reaksi imun pada kulit

yang menimbulkan ruam merah pada kulit. Umumnya pemeriksaan ini

dipergunakan untuk memeriksa orang dengan infeksi M. tuberculosis laten.

Pemeriksaan ini memiliki peningkatan resiko mendapatkan hasil false

positive pada pasien yang baru saja mendapatkan vaksinasi BCG atau

mengalami infeksi mycobacterium non-tuberkulosis.5

7. Pemeriksaan Pengeluaran IFN-γ

Pemeriksaan ini mendeteksi pengeluaran IFN-γ oleh limfosit T yang

disebabkan reaksi spesifik antigen ESAT-6 dan CFP-10 M. tuberculosis.

Pemeriksaan ini bersifat lebih spesifik dibanding dengan tes tuberculin

karena mencegah terjadinya reaksi silang yang disebabkan oleh vaksinasi

BCG atau infeksi mycobacterium non-tuberkulosis. Pada pasien yang

memiliki AIDS pemeriksaan ini bersifat kurang efektif karena sistem imun

pasien yang melemah. Pemeriksaan pengeluaran IFN-γ lebih disarankan

untuk screening orang dengan infeksi M. tuberculosis laten. Selain itu

antara tes tuberculin dan pengeluaran IFN-γ bisa saling menguatkan.5

26
2.3.5. Komplikasi dan Sekuelae

Tuberkulosis yang terus berprogresi memiliki resiko timbulnya komplikasi.

Komplikasi utama TB paru adalah terjadinya pneumothorax dan hemoptysis.3

Pneumothorax merupakan kondisi dimana terjadi akumulasi udara pada ruang

pleura.21 Hemoptysis merupakan kondisi dimana terjadi ekspektorasi sputum

disertai dengan darah.22 Pneumothorax biasanya disebabkan pembentukan fistula

pada daerah bronkus dan pleura. Fistula bisa terjadi dikarenakan dua hal, pertama

karena disebabkan oleh kavitasi yang mencapai ruang pleura dan yang kedua

disebabkan oleh ekstensi nekrosis perkejuan yang mencapai daerah subpleura.

Hemoptysis disebabkan oleh destruksi pembuluh darah saat terjadi kavitasi yang

menginvasi hingga ke tunica media pembuluh darah atau karena pecahnya

aneurisme Rasmussen. 3

Selain memiliki komplikasi yang berbahaya, TB paru yang sudah sembuh

mungkin menimbulkan sekuelae. Sekuelae yang umum ditemukan di pasien yang

sudah sembuh dari TB adalah bronchiectasis, right middle lobe syndrome, dan

fibrosis paru.3 Bronchiectasis adalah kondisi dimana terjadi dilatasi bronkus yang

ditunjukkan napas tidak sedap dan batuk yang hilang timbul disertai dengan dahak

yang kental.23 Right middle lobe syndrome adalah kondisi dimana terjadi

penambahan lymph node pada lobus paru kanan yang bisa menyebabkan

atelectasis.3 Fibrosis merupakan pembentukan jaringan fibrous paru yang

disebabkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan paru.3

2.3.6. Tatalaksana dan Pengobatan

27
Penatalaksanaan TB paru bersifat kompleks. Hal tersebut disebabkan

karena sifat organisme etiologisnya, M. tuberculosis, yang mampu menciptakan

resistensi terhadap obat dan dorman di dalam tubuh.4, 5


Karakteristik M.

tuberculosis tersebut menyebabkan diperlukannya banyak jenis obat untuk

penatalaksanaan dan pengobatan TB paru.5, 24 Obat anti tuberculosis (OAT) yang

digunakan dalam penatalaksanaan dan pengobatan TB paru akan diperlihatkan pada

Tabel 2-525 dan obat OAT lini pertama diperlihatkan di Tabel 2-625.

Tabel 2.5 Pengelompokan OAT.25


Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini  Isoniazid (H)  Pyrazinamide (Z)
Pertama  Ethambutol (E)  Rifampicin (R)
 Streptomycin (S)
Golongan-2/Obat  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)
suntik/Suntikan lini  Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan-3/Golongan  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin (Mfx)
Fluoroquinolone  Levofloxacin (Lfx)
Golongan-4/Obat  Ethionamide (Eto)  Para amino salisilat
bakteriostatik lini kedua  Prothionamide (PAS)
(Pto)  Terizidone (Trd)
 Cycloserine (Cs)
Golongan-5/Obat yang  Clofazimine (Cfz)  Thioacetazone
belum terbukti  Linezolid (Lzd) (Thz)
efikasinya dan tidak  Amoxilin-  Clarithromycin
direkomendasikan WHO Clavulanate (Amx- (Clr)
Clv)  Imipenem (Ipm)

Tabel 2.6 Jenis, Sifat, dan Dosis OAT lini pertama.25


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3xseminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

28
Penatalaksanaan TB memiliki tujuan untuk mencegah transmisi M.

tuberculosis, mencegah morbiditas dan kematian, dan mencegah terjadinya

resistensi obat.5 Untuk mencapai tujuan tersebut maka terdapat beberapa prinsip

yang berperan penting dalam penatalaksanaan dan pengobatan TB paru.25 Prinsip-

prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Obat anti tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi

beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan

kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). OAT-

Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat

dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT=Directly Observed Treatment) oleh Pengawas

Menelan Obat (PMO).

2. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap

lanjutan.

 Tahap Intensif

o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

o Bila pengobatan thap intensif tersebut diberikan secara tepat maka

umumnya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 bulan.

 Tahap Lanjutan

29
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat yang lebih sedikit

namun memerlukan jangka waktu yang lebih lama.

o Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri M. tuberculosis yang

masih dorman dan persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Kedua tahap penatalaksanaan dan pengobatan TB paru memergunakan

kombinasi obat yang sesuai. Kombinasi obat yang akan dipergunakan disesuaikan

berdasarkan kategori pasien.25 Pengategorian utama pasien dan obat-obatan yang

dipergunakan adalah sebagai berikut:

1. Kategori 1 adalah pasien baru TB paru tanpa sejarah TB paru

sebelumnya dengan hasil pemeriksaan BTA (+) atau BTA (-) foto toraks

positif. Kombinasi obat pada pasien TB kategori 1 ditunjukkan dalam

Tabel 2-725

Tabel 2.7 Kombinasi OAT dan dosisnya untuk pasien TB paru Kategori 1 25
Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali
Berat Badan selama 56 hari RHZE seminggu selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2. Kategori 2 Adalah pasien pasien TB paru yang telah menerima

pengobatan sebelumnya tetapi mengalami kekambuhan, gagal dalam

terapi, atau putus berobat. Kombinasi obat pada pasien TB kategori 2

ditunjukkan dalam Tabel 2-825

Tabel 2.8 Kombinasi OAT dan dosisnya untuk pasien TB paru Kategori 2 25
Tahap lanjutan 3
Tahap Intensif tiap hari RHZE
kali seminggu RH
Berat Badan (150/75/400/275) + S
(150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30
2 tab 4KDT + 500 2 tab 2 KDT + 2 tab
30-37 kg 2 tab 4KDT
mg Streptomisin inj Etambutol
3 tab 4KDT + 750 3 tab 2KDT + 3 tab
38-54 kg 3 tab 4KDT
mg Streptomisin inj Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 4 tab 2 KDT + 4 tab
55-70 kg 4 tab 4KDT
mg Streptomisin inj Etambutol
5 tab 4KDT + 1000 5 tab 2 KDT + 5 tab
71 kg 5 tab 4KDT
mg Streptomisin inj Etambutol

2.3.7. Hubungan Fungsi Paru dan Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru menyebabkan terjadinya destruksi paru melalui

mekanisme inflamasi dan hipersensitivitas terlambat. Destruksi paru pada penderita

TB paru memungkinkan terjadinya penurunan fungsi pernapasan. Sebuah

penelitian di Texas menunjukkan bahwa orang yang mengalami dan telah sembuh

dari TB paru mengalami penurunan fungsi paru. Penurunan terjadi pada VEP1,

KVP, VEP1/KVP, dan AEP. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa fungsi paru

akan jauh lebih menurun pada pasien yang sedang mengalami TB atau sudah

sembuh dari TB daripada pada orang yang memiliki infeksi TB laten. Data dalam

studi ini menunjukkan bahwa kebanyakan penurunan fungsi paru disebabkan oleh

gangguan restriktif.7

Penelitian tentang tuberkulosis dan fungsi paru juga dilaksanakan di Afrika

Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan semakin sering orang terkena TB paru

maka fungsi parunya akan semakin menurun. Fungsi paru menurun ditunjukkan

dengan berkurangnya VEP1, KVP, dan VEP1/KVP yang semakin progresif seiring

dengan seberapa sering seseorang terkena TB paru. Penurunan fungsi paru paling

signifikan pada bulan ke-6 setelah diagnosis. Penelitian ini menunjukkan hasil yang

berbeda dibandingkan dengan penelitian di atas karena hasil penurunan fungsi paru

yang lebih banyak disebabkan oleh gangguan obstruktif.6

31
Penelitian di Brazil yang dilaksanakan pada rumah sakit pendidikan di Universitas

Minas Gerais juga meneliti pengaruh TB paru terhadap fungsi paru. Penelitian ini

menemukan penurunan fungsi paru pada pasien yang telah sembuh dari TB paru

dan pasien yang mengalami sekuelae dari TB paru. Penurunan fungsi paru juga

ditunjukkan dengan penurunan VEP1, KVP, dan VEP1/KVP. Perbedaan

ditemukan pada proporsi karakteristik gangguan paru yang ditemukan dimana

gangguan paru campuran lebih banyak ditemukan. Penelitian menyimpulkan

bahwa dengan dilakukan diagnosis dan penatalaksanaan lebih awal pada TB paru

menurunkan kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru nantinya.26

32
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan

menggunakan desain cross-sectional. Desain cross-sectional adalah desain

penelitian dimana peneliti melakukan observasi sekaligus pada waktu yang sama

dan hanya pada satu waktu.27 Peneliti menggunakan desain penelitian ini karena

desain ini sesuai dengan tujuan penelitian, mudah dilaksanakan, sederhana,

ekonomis, dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat, mengingat adanya

keterbatasan waktu yang tersedia bagi peneliti.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan

Sadikin Bandung. Penelitian akan dilakukan mulai dari bulan Agustus 2014 hingga

bulan November 2014.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien TB paru yang mendapat OAT

kategori I dan poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung.

3.3.2. Sampel

33
Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan menggunakan purposive

sampling. Sampel akan diambil dari pasien TB paru di Poli DOTS Rumah Sakit

Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi:

Kriteria Inklusi :

 Pasien TB paru dalam masa pengobatan OAT kategori 1 fase lanjutan yang

berobat di Poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung.

Kriteria Eksklusi :

 Pasien TB ekstraparu

 Pasien TB paru dengan riwayat operasi paru

 Pasien TB paru yang merokok

 Pasien TB paru yang mengidap asma atau PPOK

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan keluaran variabel

kategorik sehingga disebut dengan penelitian deskriptif kategorik. Jumlah sampel

minimal yang akan dipergunakan adalah 58 orang. Adapun jumlah sampel minimal

yang harus didapatkan dengan cara menghitung jumlah sampel minimal dengan

rumus27:
2
(Z1−α/2 ) 𝑝𝑞
𝑛=
𝑑2

Dimana :

n = jumlah minimal sampel yang dibutuhkan.

Z1-α/2 = Z score untuk 1 – α/2 sebesar 1,96.

p = variabel proporsi outcome dari studi sebelumnya6 sebesar 0,184.

q = 1 – p sebesar 0,816.

34
d = presisi sebesar 0,1.

3.4. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari:

1. VEP1

2. KVP

3. Rasio VEP1/KVP

3.5. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional merupakan suatu definisi yang dibuat untuk membatasi

ruang lingkup suatu variabel sehingga dapat menghindarkan dari adanya perbedaan

interpretasi data dan dapat memudahkan pengumpulan data. Definisi operasional

yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. VEP1

VEP1 merupakan hasil dari tes spirometri disesuaikan terhadap jenis

kelamin, usia, dan tinggi badan dengan interpretasi sebagai berikut:

 Normal : ≥ 80% dari nilai yang diprediksikan

 Abnormal : < 80% dari nilai yang diprediksikan

2. KVP

KVP merupakan hasil dari tes spirometri disesuaikan terhadap jenis

kelamin, usia, dan tinggi badan dengan interpretasi sebagai berikut:

 Normal : ≥ 80% dari nilai yang diprediksikan

 Abnormal : < 80% dari nilai yang diprediksikan

3. Rasio VEP1/KVP

35
Rasio VEP1/KVP merupakan perbandingan antara VEP1 dan KVP

disesuaikan terhadap jenis kelamin, usia, dan tinggi badan dengan

interpretasi sebagai berikut:

 Normal : ≥ 0,7

 Abnormal : < 0,7

Setelah mengetahui nilai normal dari ketiga variabel di atas maka hasil dari

ketiganya dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Gangguan Paru Obstruktif

 VEP1 turun (<80% nilai yang diprediksikan).

 KVP normal (≥80% nilai yang diprediksikan) atau turun (<80% nilai yang

diprediksikan).

 Rasio VEP1/KVP turun (<0,7).

2. Gangguan Paru Restriktif

 VEP1 normal (≥80% nilai yang diprediksikan) atau turun (<80% nilai yang

diprediksikan).

 KVP turun (<80% nilai yang diprediksikan).

 Rasio VEP1/KVP normal atau naik (>0,7).

3. Gangguan Paru Campuran

 VEP1 turun (<80% nilai yang diprediksikan).

 KVP turun (<80% nilai yang diprediksikan).

 Rasio VEP1/KVP turun (<0,7).

3.6. Teknik Pengumpulan Data

36
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data

yang diambil langsung dari subjek penelitian. Masing-masing subjek akan

diberikan penjelasan tentang penelitian ini. Kemudian, subjek penelitian diminta

kesediannya dalam berpartisipasi. Apabila bersedia, maka subjek diminta untuk

mengisi lembar informed consent. Kemudian akan dilakukan tes spirometri pada

subjek.

3.7. Instrumen Penelitian

Instrumen pada penelitian ini adalah spirometer sebagai kriteria diagnostik

untuk mengukur tingkat VEP1, KVP, dan VEP1/KVP pada pasien TB paru dalam

pengobatan OAT kategori I fase lanjutan.

3.8. Tatacara Penelitian

3.8.1. Tahap Pelaksanaan

Hal pertama yang dilakukan adalah menentukan apakah pasien TB paru

yang berobat di Poli DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung

merupakan pasien TB paru dalam pengobatan OAT kategori 1 fase lanjutan atau

tidak dengan memeriksa data Poli DOTS. Apabila pasien terdiagnosis TB paru dan

dalam masa pengobatan OAT kategori I fase lanjutan maka peneliti akan

mengajukan lembar informed consent untuk meminta kesediaan pasien untuk

mengikuti penelitian. Pasien yang bersedia mengikuti penelitian akan melakukan

pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri di Bagian Tes Faal Paru Rumah

Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung.

3.8.2. Tatacara Pemeriksaan

37
Tata cara pemeriksaan menggunakan spirometri adalah sebagai berikut:

1. Peserta menarik napas sedalam mungkin.

2. Masukkan mouthpiece pada mulut peserta.

3. Segera tiup udara dengan cepat dan selama mungkin hingga paru-

paru terasa kosong, tidak boleh disentak.

4. Tarik nafas lagi sedalam dan sekuat mungkin (bila diperlukan

pemeriksaan kurva inspirasi)

3.9. Aspek Etik Penelitian

Masalah etik yang mungkin terjadi dari penelitian ini antara lain:

1 Tes spirometri terkadang harus dilakukan berulang-ulang untuk

mendapatkan nilai yang terbaik, sehingga menghabiskan waktu dan dapat

menimbulkan kelelahan dan kejenuhan dari subjek penelitian. Untuk

mengurangi hal tersebut dilakukan penerangan teknik sebelumnya dan

subjek penelitian dapat memperhatikan cara peserta lain.

2 Dalam pengisian informed consent, akan dijelaskan terlebih dahulu

mengenai tujuan penelitian yang akan dilaksanakan sehingga subjek

penelitian memahami dan mengerti mengenai manfaat penelitian ini bagi

penderita khususnya dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

3 Tes spirometri membutuhkan biaya. Untuk mengurangi ketidaknyamanan

peserta maka biaya pemeriksaan akan ditanggung peneliti.

4 Adanya jaminan kerahasiaan mengenai data pasien.

38
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2014 di Poli

DOTS Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung. Sampel yang

didapatkan berjumlah 62 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan 2 sampel

dieksklusikan karena menderita asma yang bias memengaruhi hasil pemeriksaan

spirometri dengan menunjukkan hasil spirometri gangguan paru obstruktif yang

disebabkan oleh asma. Sampel menjalani tes spirometri untuk mengukur fungsi

paru mereka yang ditunjukkan dengan nilai VEP1, KVP, dan rasio VEP1/KVP.

4.1.1. Karakteristik Umum Sampel

Hasil dari penelitian ini adalah didapatkannya 60 sampel yang bisa diteliti.

Sampel yang didapatkan memiliki rentang usia 17-85 tahun dengan rata-rata usia

39,18 (16,28) tahun. Pasien dikelompokkan menjadi 6 kelompok usia dengan hasil

kelompok usia 15-24 tahun berjumlah 14 orang (23,3%), kelompok usia 25-34

tahun berjumlah 12 orang (20%), kelompok usia 35-44 tahun berjumlah 10 orang

(16,7%), kelompok usia 45-54 tahun berjumlah 14 orang (23,3%), kelompok usia

54-65 tahun berjumlah 7 orang (11,7%), dan kelompok usia di atas 65 tahun

berjumlah 3 orang (5%). Sampel laki-laki dalam penelitian ini berjumlah 32 orang

(53,3%) dan sampel perempuan berjumlah 28 orang (46,7%). Karakteristik umum

sampel akan disajikan dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik umum sampel

39
Karakteristik n=60 (%)
Usia
Kelompok Usia
15 – 24 tahun 14 (23,3)
25 – 34 tahun 12 (20)
35 – 44 tahun 10 (16,7)
45 – 54 tahun 14 (23,3)
54 – 65 tahun 7 (11,7)
>65 tahun 3 (5)
Rata-rata ± SD 39,18 ± 16,28
Jenis Kelamin
Laki-laki 32 (53,3)
Perempuan 28 (46,7)

4.1.2. Gambaran VEP1, KVP, dan Rasio VEP1/KVP pada Pasien

Tuberkulosis Paru dalam Pengobatan OAT Kategori I Fase Lanjutan

Penelitian ini meneliti mengenai fungsi paru yang digambarkan melalui

nilai %VEP1, %KVP, dan VEP1/KVP. Data %VEP1 dan %KVP dibedakan

berdasarkan rentang nilai 0-39, 40-49, 50-59, 60-69, 70-79, dan di atas 80. Data

rasio VEP1/KVP dibedakan berdasarkan rentang nilai 0-39, 40-49, 60-69, dan di

atas 70. Hasil yang didapatkan mengenai %VEP1 secara umum adalah terdapatnya

9 orang (15%) termasuk dalam rentang nilai 0-39, 5 orang (8,3%) dengan termasuk

dalam 40-49, 12 orang (20%) termasuk dalam nilai 50-59, 15 orang termasuk dalam

rentang nilai 60-69, 8 orang termasuk dalam rentang nilai (13,3%), dan 11 orang

termasuk dalam rentang nilai di atas 80. Rata-rata nilai %VEP1 keseluruhan adalah

62,03 (19,5). Hasil yang didapatkan mengenai %KVP secara umum adalah

terdapatnya 6 orang (10%) termasuk dalam rentang nilai 0-39, 10 orang (16,7%)

termasuk dalam rentang nilai 40-49, 15 orang (25%) termasuk dalam rentang nilai

50 – 59, 10 orang (16,7%) termasuk dalam rentang nilai 60-69, 9 orang (15%)

termasuk dalam rentang nilai 70-79, dan 10 orang (16,7%) termasuk dalam rentang

40
nilai di atas 80. Rata-rata nilai %KVP keseluruhan adalah 61,7 (17,95). Hasil yang

didapatkan mengenai rasio VEP1/KVP adalah terdapatnya 1 (1,7%) orang termasuk

dalam rentang nilai 40-49, 2 orang (3,3%) yang termasuk dalam rentang nilai 50-

59, dan 57 orang (95%) yang termasuk dalam rentang nilai di atas 70. Rata-rata

nilai rasio VEP1/KVP secara keseluruhan adalah 88,28 (10,61). Hasil ini akan

ditampilkan dalam tabel 4.2.

Tabel 4.2 Gambaran umum VEP1, KVP, dan rasio VEP1/KVP pada pasien tuberkulosis paru
dalam pengobatan OAT kategori I
Variabel n=60 (%)
%VEP1
0 – 39 9 (15)
40 – 49 5 (8,3)
50 – 59 12 (20)
60 – 69 15 (25)
70 – 79 8 (13,3)
>80 11 (18,3)
Rata-rata ± SD 62,03 ± 19,5
%KVP
0 – 39 6 (10)
40 – 49 10 (16,7)
50 – 59 15 (25)
60 – 69 10 (16,7)
70 – 79 9 (15)
>80 10 (16,7)
Rata-rata ± SD 61,7 ± 17,95
VEP1/KVP
0 – 39 0 (0)
40 – 49 1 (1,7)
50 – 59 2 (3,3)
60 – 69 0 (0)
>70 57 (95)
Rata-rata ± SD 88,28 ± 10,61
Keterangan: VEP1: volume ekspirasi paksa detik pertama, KVP: kapasitas vital
paru

Data %VEP1, %KVP, dan rasio VEP1/KVP dibedakan berdasarkan

kelompok usia dan jenis kelamin. Berdasarkan kelompok usia didapatkan hasil

bahwa setiap kelompok umur menunjukkan nilai rata-rata VEP1, KVP, dan

41
VEP1/KVP yang berbeda. Kelompok usia 15-24 tahun memiliki rata-rata %VEP1

sebesar 62,71 (21,84), rata-rata %KVP sebesar 89,33 (20,89), dan rata-rata rasio

VEP1/KVP sebesar 89,34 (13,09). Kelompok usia 25-34 tahun memiliki rata-rata

%VEP1 sebesar 55,17 (21,49), rata-rata %KVP sebesar 57 (19,42), dan rata-rata

rasio VEP1/KVP sebesar 89,46 (12,06). Kelompok usia 35-44 tahun memiliki rata-

rata %VEP1 sebesar 61,7 (25,2), rata-rata %KVP sebesar 62,2 (22,39), dan rata-

rata rasio VEP1/KVP sebesar 85,95 (12,26). Kelompok usia 45-54 tahun memiliki

rata-rata %VEP1 sebesar 61,36 (14,69), rata-rata %KVP sebesar 57,64 (11,29),

rata-rata rasio VEP1/KVP sebesar 88,26 (7,18). Kelompok usia 55-64 tahun

memiliki rata-rata %VEP1 sebesar 75,43 (11,16), rata-rata %KVP sebesar 67,29

(15,3), dan rata-rata rasio VEP1/KVP sebesar 90,51 (7,84). Kelompok usia di atas

65 tahun memiliki rata-rata %VEP1 sebesar 59,33 (4,72), rata-rata %KVP sebesar

53,67 (6,42), dan rata-rata rasio VEP1/KVP sebesar 81,27 (8,72). Hasil ini akan

ditampilkan dalam tabel 4.3.

Berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil rata-rata %VEP1, %KVP, dan

rasio VEP1/KVP pada laki-laki dan perempuan. Sampel laki-laki memiliki rata-rata

%VEP1 sebesar 61,66, rata-rata %KVP sebesar 60,44, dan rata-rata rasio

VEP1/KVP sebesar 87,91. Sampel perempuan memiliki rata-rata %VEP1 sebesar

62,46, rata-rata %KVP sebesar 63,14, dan rata-rata rasio VEP1/KVP sebesar 88,7.

Hasil ini akan ditampilkan dalam tabel 4.3.

Tabel 4.3 Gambaran VEP1, KVP, dan rasio VEP1/KVP pada pasien tuberkulosis paru dalam
pengobatan OAT kategori I fase lanjutan berdasarkan usia dan jenis kelamin
Karakteristik Rata-rata ± sd
Kelompok Usia
15 – 24 tahun
%VEP1 62,71 ± 21,84

42
%KVP 68,36 ± 20,89
VEP1/KVP 89,34 ± 13,09
25 – 34 tahun
%VEP1 55,17 ± 21,49
%KVP 57 ± 19,42
VEP1/KVP 89,46 ± 12,06
35 – 44 tahun
%VEP1 61,7 ± 25,2
%KVP 62,2 ± 22,39
VEP1/KVP 85,95 ± 12,26
45 – 54 tahun
%VEP1 61,36 ± 14,69
%KVP 57,64 ± 11,29
VEP1/KVP 88,26 ± 7,18
55 – 64 tahun
%VEP1 75,43 ± 11,16
%KVP 67,29 ± 15,3
VEP1/KVP 90,51 ± 7,84
>65 tahun
%VEP1 59,33 ± 4,72
%KVP 53,67 ± 6,42
VEP1/KVP 81,26 ± 8,72
Jenis Kelamin
Laki-laki
%VEP1 61,66 ± 20,74
%KVP 60,44 ± 19,23
VEP1/KVP 87,91 ± 10,97
Perempuan
%VEP1 62,46 ± 18,36
%KVP 63,14 ± 16,59
VEP1/KVP 88,69 ± 10,36
Keterangan: VEP1: volume ekspirasi paksa detik pertama, KVP: kapasitas vital
paru.

4.1.3. Gambaran Jenis Fungsi Paru pada Pasien Tuberkulosis Paru dalam

Pengobatan OAT Kategori I Fase Lanjutan

Berdasarkan nilai %VEP1, %KVP, dan rasio VEP1/KVP jenis fungsi paru

pasien diinterpretasikan menjadi fungsi paru normal, gangguan paru obstruktif,

gangguan paru restriktif, dan gangguan paru campuran. Sampel penelitian ini

memiliki fungsi paru normal, gangguan paru obstruktif, dan gangguan paru

43
restriktif. Terdapat 10 orang (16,7%) dengan fungsi paru normal, 4 orang (6,7%)

dengan gangguan paru obstruktif, dan 46 pasien dengan gangguan paru restriktif

(76,7%). Hasil ini akan ditampilkan dalam tabel 4.4.

Tabel 4.4 Gambaran jenis fungsi paru pada pasien tuberkulosis paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase lanjutan
Kategori Jumlah (%)
Fungsi Paru Normal 10 (16,7)
Gangguan Paru Obstruktif 4 (6,7)
Gangguan Paru Restriktif 46 (76,7)
Total 60 (100)

Data jenis fungsi paru dibedakan berdasarkan kelompok usia dan jenis

kelamin. Pada kelompok usia 15-24 tahun terdapat 4 (28,6%) orang dengan fungsi

paru normal, 1 orang (7,1%) dengan gangguan paru obstruktif, dan 9 orang dengan

gangguan paru restriktif (64,3%). Pada kelompok usia 25-34 tahun terdapat 2 orang

(16,7%) dengan fungsi paru normal, 1 orang (8,3%) dengan gangguan paru

obstruktif, dan 9 orang (75%) dengan gangguan paru restriktif. Pada kelompok usia

35-44 tahun terdapat 2 orang (20%) dengan fungsi paru normal, 1 orang (10%)

dengan gangguan paru obstruktif, dan 7 orang (70%) dengan gangguan paru

restriktif. Pada kelompok usia 45-54 tahun terdapat 1 (7,1%) orang degan fungsi

paru normal dan 13 orang (92,9%) dengan gangguan paru restriktif. Pada kelompok

usia 55-64 tahun terdapat 1 orang (14,3%) dengan fungsi paru normal, 1 orang

(14,3%) dengan gangguan paru obstruktif, dan 5 (71,4%) orang dengan gangguan

paru restriktif. Pada kelompok usia di atas 65 tahun terdapat 3 orang (100%) dengan

gangguan paru restriktif. Hasil ini akan ditampilkan dalam tabel 4.5.

Tabel 4.5 Gambaran jenis fungsi paru pada pasien tuberkulosis paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase lanjutan berdasarkan usia
Jenis Fungsi Paru Kelompok Usia

44
15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 >65
tahun tahun tahun tahun tahun tahun
(n=14) (n=12) (n=10) (n=14) (n=7) (n=3)
Normal 4 (28,6) 2 (16,7) 2 (20) 1 (7,1) 1 (14,3) 0

Gangguan Paru
1 (7,1) 1 (8,3) 1 (10) 0 (0) 1 (14,3) 0
Obstruktif
Gangguan Paru
9 (64,3) 9 (75) 7 (70) 13 (92,9) 5 (71,4) 3 (100)
Restriktif

Pada jenis kelamin laki-laki terdapat 6 orang (18,8%) dengan fungsi paru

normal, 3 orang (9,4%) dengan gangguan paru obstruktif, dan 23 orang (71,9%)

dengan gangguan paru restriktif. Pada jenis kelamin perempuan terdapat 4 orang

(14,3%) dengan fungsi paru normal, 1 orang (3,6%) dengan gangguan paru

obstruktif, dan 23 orang (82,1%) dengan gangguan paru restriktif. Hasil ini akan

ditampilkan dalam tabel 4.6.

Tabel 4.6 Gambaran jenis fungsi paru pada pasien tuberkulosis paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase lanjutan berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Jenis Fungsi Paru Laki-laki Perempuan
(n=32) (n=28)
Normal 6 (18,8) 4 (14,3)
Gangguan Paru
3 (9,4) 1 (3,6)
Obstruktif
Gangguan Paru
23 (71,9) 23 (82,1)
Restriktif

4.2. Pembahasan

Berdasarkan data karakteristik umum pasien TB paru dalam pengobatan

OAT kategori I fase lanjutan yang ditunjukkan pada tabel 4.1 ditemukan bahwa

sampel terdapat paling banyak pada kelompok usia 15-24 tahun dan kelompok usia

45-54 tahun yang dalam kedua kelompok tersebut berjumlah 14 orang (23,3%).

Berdasarkan tabel 4.1 juga ditemukan bahwa rata-rata usia sampel adalah 39,18

45
(16,28) tahun. Penelitian oleh Wu dkk. menunjukkan hasil yang menyerupai dengan

hasil penelitian ini. Dalam penelitiannya Wu melakukan analisis cohort pada

periode usia pelaporan kasus TB di Hong Kong. Metode yang digunakan oleh Wu

adalah dengan pemakaian model cohort periode usia pada data pelaporan kasus TB

mulai dari tahun 1961 hingga 2005. Hasil penelitian dari Wu menyatakan bahwa

rentang usia 20-24 tahun merupakan rentang usia dengan resiko terjadinya TB

paling tinggi.28

Penelitan oleh Abioye dkk. menunjukkan hasil yang menyerupai hasil

penelitian ini. Penelitian Abioye merupakan penelitian cross-sectional untuk

mengetahui determinan sosio-demografis dari stigma terhadap orang yang memiliki

tuberkulosis paru di Nigeria. Penelitian tersebut mendapatkan 205 sampel pasien

TB paru. Hasil yang didapatkan penelitian tersebut adalah rata-rata usia sampel 32,9

tahun dan sebagian besar dari sampel termasuk dalam golongan rentang usia 21-30

tahun. Jumlah sampel dalam golongan rentang usia 21-30 tahun adalah 77 orang

(38%).29

Berdasarkan data karakteristik umum pasien TB paru dalam pengobatan

OAT kategori 1 fase lanjutan yang ditunjukkan pada tabel 4.1 ditemukan bahwa

jumlah sampel laki-laki lebih banyak daripada pasien perempuan. Hasil ini sesuai

dengan penelitian oleh Neyrolles dkk. di Perancis. Dalam penelitiannya Neyrolles

membandingkan angka kejadian TB berdasarkan jenis kelamin berdasarkan studi-

studi sebelumnya yang telah dilakukan di berbagai negara seperti negara-negara

Afrika Barat, Armenia, dan Bangladesh. Hasil yang didapatkan dalam studi tersebut

menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak kasus TB pada laki-laki dibandingkan

46
dengan perempuan dengan rasio yang bervariatif untuk masing-masing daerah.

Rasio tersebut bisa mencapai 4,7:1 dan jarang ada daerah yang rasionya di bawah

angka 1 bahkan di daerah yang bersifat non-endemik. Neyrolles menyatakan dalam

studinya bahwa terdapat banyak faktor yang bisa memengaruhi tingkat kerentanan

terkena TB yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan dipengaruhi

oleh beberapa hal seperti strain yang menginfeksi, higienitas, status nutrisi, umur,

etnis, genetik, status imunosupresi. Neyrolles menyatakan bahwa selain faktor yang

ia sebutkan, terdapat faktor yang lebih spesifik berhubungan dengan jenis kelamin

dan berpengaruh terhadap tingkat kerentanan terserang TB. Faktor-faktor yang

dimaksudkan oleh Neyrolles adalah hormon steroid seks, kondisi genetik

kromosom seks, dan fitur metabolik spesifik seks.30

Penelitian oleh Zhang dkk. juga mendukung hasil yang didapat dalam

penelitian ini. Dalam penelitiannya Zhang meneliti mengenai efek dari jenis

kelamin, usia, dan ras dalam presentasi klinis TB. Berdasarkan hasil yang

didapatkan dalam penelitiannya Zhang menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki

memiliki angka kejadian TB yang lebih tinggi daripada jenis kelamin perempuan.

Jumlah sampel berjenis kelamin laki-laki dalam penelitian Zhang mencapai 62,4%

dari total sampel.31

Berdasarkan data gambaran umum VEP1, KVP, dan rasio VEP1/KVP

pasien TB paru dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan yang ditunjukkan

pada tabel 4.2 ditemukan bahwa sebagian besar sampel memiliki %VEP1 pada

kisaran nilai 60-69, %KVP tertinggi pada kisaran nilai 40-49 dan 60-69, dan rasio

VEP1/KVP pada kisaran nilai di atas 70. Hasil menyerupai didapatkan dari

47
penelitian Paspinodya dkk di Amerika. Penelitian tersebut meneliti tentang

melemahnya fungsi paru pada pasien yang telah menjalani pengobatan TB. Dalam

penelitian tersebut digunakan sampel pasien TB paru dan ekstraparu yang telah

menjalani pengobatan minimal selama 20 minggu. Sampel tersebut dibandingkan

dengan sampel kontrol pasien TB laten. Hasil yang didapatkan dalam penelitian

tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dengan TB paru memiliki

%VEP1 pada kisaran nilai 60-69 (16%), %KVP pada kisaran 60-69 (13%) dan 70-

79 (13%), dan rasio VEP1/KVP pada kisaran nilai di atas 70.7

Berdasarkan data gambaran VEP1, KVP, dan rasio VEP1/KVP pasien TB

paru dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan berdasarkan usia dan jenis

kelamin pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa seluruh kelompok usia mengalami

penurunan %VEP1 dan %KVP di bawah batas normal 80%. Hasil ini didukung oleh

penelitian Paspinodya dkk. dimana dalam penelitiannya ia menyatakan bahwa

terjadi penurunan nilai %VEP1 dengan rata-rata 77,77 dan %KVP dengan rata-rata

76,07 pada pasien TB paru yang sudah menjalani pengobatan. Pasien dengan TB

laten sebagai sampel kontrol tidak menunjukkan penurunan %VEP1 dan %KVP.7

Berdasarkan data dalam tabel 4.3 ditunjukkan bahwa sampel berjenis

kelamin laki-laki dan perempuan mengalami penurunan nilai %VEP1 dan %KVP

dengan nilai yang tidak berbeda jauh. Nilai %VEP1 dan %KVP sedikit lebih rendah

pada sampel berjenis kelamin laki-laki. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian

oleh Pereira dkk. Penelitian tersebut meneliti nilai referensi fungsi paru baru antara

laki-laki dan perempuan di Brazil. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan

48
bahwa nilai %VEP1, %KVP, dan rasio VEP1/KVP pada laki-laki lebih tinggi

daripada perempuan.32

Penelitian oleh Pistelli dkk. juga menunjukkan hasil yang berbeda.

Penelitian Pistelli dilaksanakan di Itali. Penelitian tersebut meneliti mengenai nilai

referensi spirometri populasi di Italia. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa

nilai rata-rata dari %VEP1, %KVP, dan rasio VEP1/KVP lebih tinggi pada sampel

laki-laki daripada pada sampel perempuan.33

Berdasarkan data gambaran jenis fungsi paru pada pasien TB paru dalam

pengobatan OAT kategori I fase lanjutan pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa

sebagian besar sampel memiliki gangguan paru restriktif. Hasil ini sesuai dengan

penelitian yang dilaksanakan oleh Paspinodya dkk. Dalam penelitian Paspinodya

tersebut ditemukan bahwa jenis gangguan fungsi paru yang paling sering dijumpai

pada pasien tuberkulosis paru dan telah menjalani pengobatannya adalah gangguan

paru restriktif. Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa gangguan paru

restriktif terdapat pada 31% sampel pasien TB paru yang telah melakukan

pengobatan selama minimal 20 minggu dibandingkan dengan sampel kontrol yaitu

pasien TB laten yang hanya 15% di antaranya mengalami gangguan paru restriktif.7

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukanoleh Menezes

dkk. Penelitian tersebut dilaksanakan di kota-kota besar Amerika Latin seperti Sao

Paulo (Brazil), Santiago (Chile), Mexico City (Meksiko), Montevideo (Uruguay),

dan Caracas (Venezuela). Dalam penelitian tersebut mengguanakan sampel orang

berusia di atas 40 tahun dan dilakukan multistage sampling pada kota-kota tempat

pelaksanaan penelitian. Sampel-sampel yang telah dipilih kemudian mendapatkan

49
kunjungan rumah dan dilakukan tes spirometri pre-bronchodilator dan post-

bronchodilator. Masing-masing sampel juga ditanya tentang apakah pernah

menderita TB atau tidak. Hasil yang didapatkan dalam penelitian tersebut adalah

ditemukannya persentase obstruksi jalan napas yang lebih tinggi pada sampel

dengan riwayat TB (30,7%) dibandingkan dengan sampel tanpa riwayat TB

(13,9%).34

Hasil yang berbeda juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilaksanakan oleh

Ramos dkk. Penelitian Ramos mempergunakan sampel pasien TB paru yanng

memiliki sekuelae di sebuah klinik Federal University of Minas Gerais di Brazil.

Hasil dari penelitian Ramos tersebut menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak

pasien TB paru yang memiliki sekuelae memiliki jenis gangguan paru campuran.

Sampel yang dipergunakan dalam penelitian Ramos berjumlah 50 orang dengan

sekuelae TB paru atau TB pleura. Terdapat 44 orang (88%) yang memiliki TB paru

dengan sekuelae, 34% diantaranya menunjukkan gangguan paru campuran.26

Perbedaan presentasi jenis gangguan fungsi paru yang dimiliki oleh pasien

TB paru baik yang dalam masa pengobatan atau sudah dinyatakan sembuh mungkin

berkaitan erat dengan proses penyembuhan paru setelah mengalami kerusakan yang

disebabkan oleh inflamasi. Sebuah penelitian oleh Dheda dkk. meneliti mengenai

proses remodeling paru setelah mengalami inflamasi yang disebabkan oleh

M.tuberculosis. Dheda menyatakan bahwa kerusakan paru yang disebabkan oleh

inflamasi saat memiliki TB akan menyebabkan kavitasi dan fibrosis pada paru saat

proses penyembuhan hingga kesembuhan total. Kondisi ini akan menyebabkan

berkurangnya volume paru dan terjadinya gangguan paru restriktif ketika

50
dilaksanakan pemeriksaan spirometri.35 Penelitian lain oleh Hwang dkk.

menunjukkan hasil dimana pasien yang memiliki riwayat TB paru memiliki

kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami PPOK. Penelitian tersebut memeriksa

kondisi paru pasien secara radiografis dan memperlihatkan kerusakan paru

menyebabkan gangguan paru obstruktif pada pasien.36 Berdasarkan kedua

penelitian tersebut terdapat kemungkinan bahwa kerusakan paru yang terjadi

disebabkan oleh TB paru mampu menurunkan fungsi paru pasien dengan

kemungkinan presentasi gangguan paru obstruktif ataupun restriktif.

Berdasarkan data gambaran jenis fungsi paru pada pasien TB paru dalam

pengobatan OAT kategori I fase lanjutan berdasarkan usia pada tabel 4.5

menunjukkan bahwa gangguan paru obstruktif paling banyak diderita pada

kelompok usia 55-64 tahun dan gangguan paru restriktif paling banyak diderita

pada kelompok usia 45-54 tahun. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian

Lamprecht dkk. yang dilakukan di Amerika. Sampel didapatkan dari beberapa kota

dari berbagai negara yaitu Guangzhou (Cina), Adana (Turki), Salzburg (Austria),

Cape Town (Afrika Selatan), Reykjavik (Islandia), Hannover (Jerman), Krakow

(Polandia), Bergen (Norwegia), Vancouver, British Columbia (Kanada),

Lexington, Kentucky (Amerika), Manila (Filipina), Sydney, New South Wales

(Australia), London (Inggris), and Uppsala (Swedia). Sampel dalam penelitian ini

mengisi kuesioner untuk mengetahui keluhan berkaitan dengan pernapasan dan

faktor resiko PPOK yang mereka miliki dan melakukan tes spirometri pre-

bronchodilator dan post-bronchodilator. Berdasarkan data yang didapatkan dalam

penelitian tersebut didapatkan bahwa angka kejadian PPOK baik yang masuk dalam

51
golongan GOLD I maupun GOLD II paling tinggi pada kelompok usia 70-79 tahun

dengan angka prevalensi melebihi nilai 0,4 diikuti kelompok usia 60-69 tahun

dengan angka prevalensi dengan nilai antara 0,2 hingga 0,3.37

Penelitian oleh Mannino dkk. juga mendukung hasil dari penelitian ini.

Penelitian oleh Mannino di Amerika. Sampel didapatkan dari beberapa kota dari

berbagai negara yaitu Guangzhou (Cina), Adana (Turki), Salzburg (Austria), Cape

Town (Afrika Selatan), Reykjavik (Islandia), Hannover (Jerman), Krakow

(Polandia), Bergen (Norwegia), Vancouver, British Columbia (Kanada),

Lexington, Kentucky (Amerika), Manila (Filipina), Sydney, New South Wales

(Australia), London (Inggris), and Uppsala (Swedia). Sampel menerima kuesioner

berkaitan dengan keluhan pernapasan dan melakukan tes spirometri pre-

bronchodilator dan post-bronchodilator. Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut

didapatkan bahwa sebagian besar gangguan paru restriktif ditemukan pada

kelompok usia 40-49 tahun (15,6%).38

Berdasarkan gambaran jenis fungsi paru pasien TB paru dalam pengobatan

OAT kategori I fase lanjutan berdasarkan jenis kelamin pada tabel 4.6 menunjukkan

bahwa pada sampel berjenis kelamin laki-laki dan perempuan paling banyak

ditemukan gangguan paru restriktif. Hasil penelitian ini memiliki persamaan dan

perbedaan hasil dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Mannino dkk.

Persamaan yang ditemukan adalah sebagian besar sampel berjenis kelamin

perempuan memiliki gangguan paru restriktif (16,4%). Perbedaan yang ditemukan

adalah sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-laki memiliki gangguan paru

obstruktif (23%).38

52
4.3. Keterbatasan Penelitian

Untuk penelitian ini peneliti menemukan beberapa keterbatasan. Antara

lain:

1) Penelitian hanya menggambarkan gambaran secara cross-sectional karena

adanya keterbatasan waktu dan biaya dalam pelaksanaan penelitian.

2) Peneliti tidak menentukan rentang waktu pengobatan OAT kategori I fase

lanjutan dan di lapangan didapatkan durasi pengobatan yang variatif.

53
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian terhadap pasien TB paru

dalam pegobatan OAT kategori I fase lanjutan di Rumah Sakit Umum Hasan

Sadikin Bandung, maka dapat disimpulkan sebagian berikut:

1) Pasien TB paru dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan memiliki

rata –rata usia 39,18 tahun.

2) Pasien TB paru dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan sebagian

besar adalah laki-laki.

3) Pasien TB paru dalam pengobatan OAT kategori I fase lanjutan mengalami

penurunan fungsi paru ditunjukkan dengan %VEP1 rata-rata sebesar

62,03% dan %KVP rata-rata sebesar 61,7%.

4) Terdapat lebih banyak gangguan paru restriktif ditemukan (76,7%)

dibandingkan gangguan paru obstruktif (6,7%) dan fungsi paru normal

(16,7%) pada pasien TB paru dalam pengobatan OAT kategori I fase

lanjutan.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Ilmiah

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih luas.

54
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan membandingkan pasien

yang masih dalam masa pengobatan dan yang sudah selesai melakukan

pengobatan.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan

kelompok usia dan berat badan pasien.

5.2.2. Saran Praktis

1. Perlu dilakukan pemeriksaan fungsi paru secara berkala pada pasien TB

paru untuk memonitor perubahan fungsi paru pasien.

2. Perlu dilakukan penanganan khusus untuk meminimalisir penurunan

fungsi paru pada pasien TB paru baik yang masih dalam masa pengobatan

maupun yang sudah sembuh.

55
1. Global Tuberculosis Report 2013. WHO, 2013.
2. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2010.
3. Rom WN, Garay SM, editors. Tuberculosis. 2 ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
4. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM.
Mycobacterial Infections. In: Wonsiewicz MJ, Shanahan JF, McCullough K,
Sheinis LA, editors. Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3
ed. New York: McGraw-Hill; 2002. p. 764.
5. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J,
editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18 ed. New York: McGraw
Hill; 2012.
6. Hnizdo E, Singh T, Churchyard G. Chronic pulmonary function
impairment caused by initial and recurrent pulmonary tuberculosis following
treatment. Thorax. 2000;55:32-8.
7. Paspinodya JG, Miller TL, Vecino M, Munguia G, Garmon R, Bae S, et
al. Pulmonary Impairment After Tuberculosis. Chest. 2007;131:1817-24.
8. Chung K-P, Chen J-Y, Lee C-H, Wu H-D, Wang J-Y, Lee L-N, et al.
Trends and predictors of changes in pulmonary function after treatment for
pulmonary tuberculosis. Clinics. 2011;66:549-56.
9. Levitzky MG, editor. Pulmonary Physiology. 6 ed. New Orleans: Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2003.
10. Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12 ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. 1120 p.
11. Saladin KS. Anatomy & Physiology: The Unity of Form & Function. 5
ed. New York: McGraw-Hill; 2009. 1248 pages p.
12. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. 6 ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 1134 p.
13. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 2046.
14. Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Ganong's Review of
Medical Physiology. 24 ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill;
2012. 752 p.
15. Mescher AL. Junqueira Basic Histology Text & Atlas. 12 ed. New York:
McGraw Hill; 2010. 480 p.
16. Loscalzo J, Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
et al., editors. Harrison's Pulmonary and Critical Medicine. 1 ed. New York:
McGraw Hill; 2010.
17. Johns DP, Pierce R. Spirometry: The Measurement and Interpretation of
Ventilatory Function in Clinical Practice. Melbourne: National Asthma Council
Ltd. Australia; 2008. 24 p.
18. Ranu H, Wilde M, Madden B. Pulmonary Function Test. Ulster Medical
Journal. 2011;80:84-90.
19. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 1979.

56
20. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. Medical
Microbiology. 25 ed. New York: McGraw Hill; 2010. 814 p.
21. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 1476.
22. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 842.
23. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 32 ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012. Dorland's Illustrated Medical Dictionary; p. 252.
24. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. 11 ed. New York:
Mcgraw Hill; 2009. 1232 p.
25. Aditama TY, Subuh M. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.
26. Ramos LMM, Sulmonett N, Ferreira CS, Henriques JF, Miranda SSD.
Functional profile of patients with tuberculosis sequelae in a university hospital.
2006.
27. Dahlan MS. Langkah-Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang
Kedokteran dan Kesehatan. 2 ed: Sagung Seto; 2012. 220 p.
28. Wu P, Cowling BJ, Schooling CM, Wong IOL, Johnston JM, Leung C-
C, et al. Age-period-cohort analysis of tuberculosis notifications in Hong Kong
from 1961 to 2005. BioMed Journal. 2008;63:312-6.
29. Abioye LA, Omotayo MO, Alakija W. Socio-demographic determinants
of stigma among patients with pulmonary tuberculosis in Lagos, Nigeria. African
Health Sciences. 2011;11(Special 1):100-4.
30. Neyrolles O, Murci LQ. Sex Inequality in Tuberculosis. PLoS Medicine.
2009;6(12):1-5.
31. Zhang X, Andersen AB, Lillebaek T, Kamper-Jorgensen Z, Thomsen
VO, Ladefoged K, et al. Effect of Sex, Age, and Race on Clinical Presentation of
Tuberculosis: a 15-year population based study. The American Society of
Tropical Medicine and Hygiene. 2011;85:285-9.
32. Pereira CAdC, Sato T, Rodrigues SC. New reference values for forced
spirometry in white adults in Brazil. Brazil Journal of Pneumology.
2007;33(4):397-406.
33. Pistelli F, Bottai M, Carrozzi L, Baldacci S, Simoni M, Pede FD, et al.
Reference equations for spirometry from a general population sample in central
Italy. Elsevier Respiratory Medicine. 2007;101:814-25.
34. Menezes AMB, Hallal PC, Perez-Padilla R, Jardim JRB, Muino A,
Lopez MV, et al. Tuberculosis and airflow obstruction: evidence from the
PLATINO study in Latin America. European Respiratory Journal.
2007;30(6):1180-5.
35. Dheda K, Booth H, Hugget JF, Johnson MA, Zumla A, Rook GAW.
Lung Remodeling in Pulmonary Tuberculosis. The Journal of Infectious Diseases.
2005;192:1201-10.
36. Hwang YI, Kim JH, Lee CY, Park S, Park YB, Jang SH, et al. The
association between airflow obstruction and radiologic change by tuberculosis.
Journal of Thoracic Disease 2014;6(5):471-6.

57
37. Lamprecht B, McBurnie MA, Vollmer WM, Gudmundsson G, Welte T,
Nizankowska-Mogilnicka E, et al. COPD in Never Smokers. CHEST.
2011;139(4):752-63.
38. Mannino DM, McBurnie MA, Tan W, Kocabas A, Anto J, Vollmer WM,
et al. Restricted spirometry in the Burden of Lung Disease Study. The
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 2012;16(10):1405–11.

58

Anda mungkin juga menyukai