Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 2011, diperkirakan ada 9 juta
pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus
TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terutama terjadi pada negara-negara
berkembang.1
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi
lima dengan jumlah penderita TB Paru sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan
jumlah terbesar kasus ini adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia.2,3

Penemuan pasien baru TB BTA positif dilakukan dengan pemeriksaan kultur atau
biakan dahak yang merupakan metode baku emas (gold standard). Pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik,
sensitif dan hanya dapat dilaksanakan di laboratorium.3

Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak
menimbulkan gejala yang dapat dilihat/dikenal antara gejala dengan luasnya penyakit
maupun lamanya sakit, sering tidak mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan
oleh karena penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit paru yang besar (great
imitator), yang mempunyai diagnosis banding hampir pada semua penyakit dada dan
banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum berupa kelelahan dan panas.3,4

Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya


belum lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan
sistem pengobatan jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip pengobatan jangka
pendek adalah membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia.
Obat yang sering digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol.3
Bronkiektasis (BE) adalah penyakit saluran napas kronik ditandai dengan dilatasi
abnormal yang irreversible disertai rusaknya dinding bronkus. Di seluruh dunia angka
kejadian BE tinggi, biasanya terjadi pada negara terbelakang atau berkembang. BE
kebanyakan terjadi pada penduduk usia pertengahan sampai lanjut, sedangkan akibat
1
penyakit kongenital terjadi pada usia muda. Tingkat sosial ekonomi yang rendah, nutrisi
buruk, perumahan yang tidak memadai dan sulit mendapatkan fasilitas kesehatan karena
alasan finansial atau jangkauan fasilitas kesehatan mempermudah timbulnya infeksi
tersebut.

Banyak penyebab yang menjadi etiologi maupun faktor predisposisi terjadinya BE


antara lain : Infeksi primer (bakteri, jamur dan virus), obstruksi bronkus, fibrosis kistik,
keadaan imunodefisiensi, merokok. Gejala akibat bronkiektasis dapat berupa batuk kronik,
dahak purulen, panas, lemah dan berat badan menurun.

Gejala sesak napas banyak ditemukan pada bronkiektasis luas yang telihat pada
gambaran foto toraks. Pemeriksaan fisik kadang tidak dijumpai kelainan. Kelainan yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik tergantung pada luas, derajat dan ada tidaknya obstruksi
saluran napas.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. TUBERCULOSIS PARU

2.1. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882.
2.2. MIKROBIOLOGI

2
A. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak


berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4
mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai
panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding
sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur
dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan
asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat
warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan
spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan
antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi
(somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya
antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.9

Gambar 1. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl


Neelsen

2.3. PATOGENESIS

3
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi
dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru
disebut Fokus Primer gohn.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan
jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks


primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam
masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik


kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar
individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam

4
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut, bronkus dapat terganggu, obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru

5
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB
akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang
akan membatasi pertumbuhannya.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Pada anak, lima tahun pertama setelah infeksi (terutama satu tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada
anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak
0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi
segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu
yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada
usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di
dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

6
Gambar 2. Patogenesis Tuberculosis

2.4. KLASIFIKASI
A. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)


1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.

7
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif
atau perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu
antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):

8
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi.9

B. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk
kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti
klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

II.5. DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan penunjang (pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya).

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

1. Gejala respiratorik
a. Batuk lebih dari 2 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas

9
d. Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior
(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering


di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.

C. Pemeriksaan Bakteriologik

10
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik
ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari
berturut-turut.
Bahan pemeriksaan spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan atau ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan
apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL,
urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik :
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto
toraks, kemudian
 bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
 bila 3 kali negatif : BTA negatif

D. Pemeriksaan Radiologik

11
Pemeriksaan standart ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :


1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit
hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction
dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus
vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas

2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk
membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan
pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan

12
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).

3. Pemeriksaan darah
d. Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan
sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin
e. Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat
besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan
hasil negatif.

13
Gambar 3. Alur diagnosa TB Paru

II.6. PERJALANAN PENYAKIT

Cara penularan

1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.


2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
14
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

A. Risiko penularan12
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.

II.7. PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

15
2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang
fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat
dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi

b. TB paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji
resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat
yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat
diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak
dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5
R3H3E3.

c. TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal
5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan.
Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi
dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat :
2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
4) Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan

16
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
5) Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
6) Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama. Jika
memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.
d. TB Paru kasus kronik
1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan
walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap
dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis
tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.

17
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.

1. Tabel dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis
(mg/kgBB/ Harian Intermitten Maksimum
Hari) (mg/kgBB/ (mg/kgBB/Har < 40 40-60 > 60
Hari) i)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

Dosis per hari / kali Jumlah


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobata Pengoba Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
n tan @ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

18
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu


30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
kg + 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
kg + 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
kg + 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
kg + 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomi Jumlah/
Pengobat Pengobat Isonias Rifampis Pirazinam Table Tablet sin Injeksi kali
an an id in id t @ menelan
@ 300 @ 450 @ 500 mg @ 400 obat
mg mg 250 mg
mg
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
semingg
u)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:

19
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan
obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam
batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap
tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter
spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

B. Tatalaksana TB Anak

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik


overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala
utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu
kriteria lain dengan menggunakan sistem skor.

20
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP-IDAI telah membuat Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP-IDAI telah membuat Pedoman Nasional


Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan
oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor
yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah
TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti
bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak jelas Laporan BTA (+)
keluarga, BTA (-)
atau tidak tahu,
BTA tidak jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
keadaan gizi (KMS) atau BB/U < (BB/U < 60%)
80 %
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah > 1,
kelenjar linfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulan
g/sendi
panggul, lutut,
falang

21
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak jelas
Jumlah

Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
a. kejang, kaku kuduk
b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis

22
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 9. Dosis OAT Kombipak pada anak


Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 - 19 kg BB 2 - 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 10. Dosis OAT KDT pada anak


Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.
C. Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.


Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.

23
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian
piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan
tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada
kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan
pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang
diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala
ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun
gejalanya telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini
harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang
dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam,
mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

24
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan
okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-
25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk
dideteksi

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan
meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan
ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika
pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap
(kehilangan keseimbangan dan tuli).

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsu makan, Rifampisin Obat diminum malam sebelum
mual, sakit perut tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
dengan rasa terbakar di
kaki
Warna kemerahan pada Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
air seni apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana

Mayor Hentikan pengobatan

25
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kulit dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,


ganti etambutol

Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,


(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol

Ikterik/Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai
(penyebab lain disingkirkan) ikterik menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor

Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
(suspect drug-induced pre- lakukan uji fungsi hati
icteric hepatitis)

Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol

Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan Rifampisin


syok dan purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya
disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis
rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan
dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat
lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal
ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll
karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
D. Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan


klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya
tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan

26
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis,
kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.

2. Pasien rawat inap


Indikasi rawat inap :
TB paru disertai komplikasi sebagai berikut :
a. Batuk darah
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat. Kriteria Sembuh yaitu :
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

E. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek


samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap
1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

27
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi
radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:


1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala)
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.

II.8. RESISTEN GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE)

A. Definisi

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan


INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis
dibagi menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan
TB.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada
riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.

3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

28
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang
atau karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat
yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan
resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat
kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
4. Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan
dalam suatu paduan
5. pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat
hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten
6. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik,
sehingga
7. mengganggu bioavailabiliti obat
8. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang
terhenti
9. pengirimannya sampai berbulan-bulan
10. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan
kebosanan
11. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
12. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru

B. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)

Klasifikasi OAT untuk MDR


Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja
pada pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon
Secara invitro fluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten
terhadap lini-1 yaitu moksifloksasin konsentrasi hambat minimal paling rendah
dibandingkan fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnya gatifloksasin,
sparfloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin. Siprofloksasin harus dihindari
pemakainnya karena efek samping pada kulit yang berat (foto sensitif).

29
Resistensi silang
Tionamid dan tiosetason
Etionamid pada kelompok tionamid komplit resistensi silang dengan
a. Aminoglikosid
b. Fluorokuinolon
c. Sikloserindan terizidon
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasi untuk pasien menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat
tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin
dan siprofloksasin),aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid,
sikloserin, klofazimin, amoksilin, klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT
lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 – 1500 mg atau
ofloksasin 600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan
waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan
salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment
Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan
berobat. Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetetapi pencegahan MDR-TB.

II.9. PENGOBATAN PADA KEADAAN KHUSUS

A. TB Milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan
evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik

30
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7
hari, lama pemberian 4 – 6 minggu.

B. Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB)

1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.


2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan
berikan kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB)

1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.


2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan
untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah
dilakukan untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
b. Pengobatan :
1) perikarditis konstriktiva
2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung,
dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang
dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu.

D. TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)

1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol


2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap
belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada
mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat
oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol /
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

E. TB Paru Dengan HIV / AIDS

31
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau
menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di bawah
ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary
Counseling and Testing/VCT)
1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai
yang steril.
5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
toksik yang serius pada hati
6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat korelasi
antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis
standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam
serum
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH
diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan
MDR-TB
F. TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui
1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek
samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan
tidak menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat
pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat
dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,
dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.

32
G. TB Paru dan Gagal Ginjal
1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan
terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat
diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru

H. TB Paru dengan Kelainan Hati


1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2
SHE/10 HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat
diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru

II.10. KOMPLIKASI

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum


pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa
komplikasi yang mungikin timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

II.11. DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan
program penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang
juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan
hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

33
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah
DOTS (directly observed therapy short course)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT
diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO)
A. Tujuan
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi
B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
C. Langkah Pelaksanaan DOTS

Dalam melaksanakan DOTS, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien


diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di
poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOTS.
D. Persyaratan PMO

1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama


pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
2. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO

1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik


2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah

34
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

II.12. PENCATATAN DAN PELAPORAN

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam
sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus
melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan
dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan formulir yang
sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa
item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identitas penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)
5. Daftar tersangka penderita TB (TB06)
6. Formulir pindah penderita TB (TB09)
7. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB
Nasional (P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir TB01
dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03) dan direkap ke dalam formulir rekapan
yang ada di tingkat kabupaten/kota
Catatan :
1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
2. Bila seorang pasien ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra paru
pada organ yang penyakitnya paling berat

35
BAB III

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. Y
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 44 tahun
Alamat : Jl. Air Tiris
Tanggal Masuk RS : 30 April 2015
Tanggal Pemeriksaan : 05 Mei 2015

ANAMNESIS (Autoanamnesis)

Keluhan Utama

Batuk sejak 3 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat Penyakit Sekarang

Batuk sejak tiga minggu yang lalu, batuk tidak berdahak, batuk berlangsung
sepanjang hari.
Batuk disertai darah, darah berwarna merah segar, batuk disertai darah berlangsung
setiap hari sebanyak ± 10-15 cc perhari.
Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, sesak tidak menciut, sesak semakin memberat
ketika cuaca dingin, sesak tidah dipengaruhi oleh aktifitas.
Nyeri dada tidak ada.
Sakit kepala sejak 1 hari yang lalu, sakit terasa dibagian belakang kepala hingga
tengkuk.
Nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu.
Mual dan muntah tidak ada.
Demam tidak ada.
Nyeri menelan tidak ada.

36
Keringat malam tidak ada.
Penurunan berat badan tidak diketahui oleh pasien.
Nafsu makan baik.
Pasien mudah merasa lelah.
Sering BAK terutama malam hari.
BAB dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat diabetes sejak 4 tahun yang lalu
 Riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu
 Riwayat asma tidak ada.
 Riwayat penyakit jantung tidak ada.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang sama
 Riwayat asma tidak ada
 Riwayat diabetes dikeluarga ada (ibu pasien)
 Riwayat hipertensi tidak ada
 Riwayat penyakit jantung tidak ada.

Riwayat Pengobatan
 Sudah pernah minum obat sesak nafas yang diperoleh dari puskesmas tapi pasien
lupa nama obatnya.
 Pasien juga minum obat glibenclamid dan obat hipertensi (lupa nama obatnya) tapi
tidak teratur
 Riwayat minum OAT sebelumnya tidak ada

Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan dan Sosial Ekonomi


 Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga
 Riwayat minum alkohol (-)
 Riwayat merokok (-)
 Sosial ekonomi sedang
 Pola makan baik.

PEMERIKSAAN UMUM

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang


 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda-tanda vital : Tekanan darah : 120/90 mmHg
37
Nadi : 80 x/menit (teratur, kuat)
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,0°C

Pemeriksaan fisik

Kepala dan leher

 Kulit dan wajah : Pucat (-), jaundice (-)


 Mata : Edema periorbital (-/-), Perdarahan subconjungtiva (-/-),
Konjungtiva anemis (-/-), sclera tidak ikterik, pupil bulat,
isokor dengan diameter 3/3 mm, refleks cahaya (+/+), mata
cekung (-), eksoftalmus (-), retraksi palpebra (-)
 Mulut : Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), faring hiperemis (-)
 Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB
(-)

Thorak

Paru

Paru-paru (Depan)

 Inspeksi : Pengembangan dada simetris kiri dan kanan, gerak nafas


simetris dalam keadaan statis dan dinamis, tidak ada
bagian yang tertinggal.
 Palpasi : Vokal fremitus sama kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi : Kanan : suara pernapasan bronkovesikuler , wheezing (-/-)
, ronkhi (+/+)
Kiri : suara pernapasan bronkovesikuler, wheezing (-/-),
ronkhi (+/+)
Paru-paru (belakang)
 Inspeksi : Pengembangan dada simetris kiri dan kanan, gerak nafas
simetris dalam keadaan statis dan dinamis, tidak ada
bagian yang tertinggal.
 Palpasi : Vokal fremitus sama kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi : Kanan : suara pernapasan bronkovesikuler , wheezing
(-/-) , ronkhi (+/+)
Kiri : suara pernapasan bronkovesikuler, wheezing (-/-),
ronkhi (+/+)

38
Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


 Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIK V, 1 jari medial dari garis
linea midclavicula sinistra.
 Perkusi :
o Batas jantung kiri atas : SIK III garis parasternal sinistra
o Batas jantung kiri bawah : SIK V 1 jari medial dari garis linea
midclavicularis sinistra
o Batas jantung kanan atas : SIK III garis sternalis dextra
o Batas jantung kanan bawah : SIK V garis sternalis dextra
o Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, gallop (-),
murmur (-).

Abdomen

 Inspeksi : Bentuk perut datar, simetris kanan dan kiri, distensi (-),
 Auskultasi : Bising usus (+) normal, bunyi tambahan (-)
 Palpasi : Supel, nyeri tekan di epigastrium (+), tidak ada pemesaran
hepar dan lien.
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), hepar dalam batas normal.

Ektremitas

 Superior : Akral hangat, capillary refilling time < 2 detik, edema (-), telapak
tangan lembab (-), tremor jari (-), kelemahan (-)

 Inferior : Akral hangat, capillary refilling time < 2 detik, edema ekstremitas
bawah (-), telapak tangan lembab (-), tremor jari (-), kelemahan (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

Darah rutin (01/05/2015) :


Hemoglobin : 10,2 gr/dl

Hematokrit : 29,7 %

Leukosit : 10.000/mm3

Trombosit : 359.000/mm3

Glukosa : 114 mg/dl
39

Ureum : 24 mg/dl

Creatinin : 1,3 mg/dl

Pemeriksaan mikrobiologi (02/05/2015)


Pemeriksaan BTA (-)

Rontgen thorak (02/05/2015) :

Interpretasi gambaran radiologi thoraks :

 Paru
- Terdapat infiltrate dikedua lapangan paru
- Terdapat honey comb appearance di dekat hilus kiri
- Tidak ada calsifikasi

 Jantung : CTR < 50%

 Diafragma

- Sudut costophrenicus lancip


- Tinggi diafragma di costa 9 (dalam batas normal)
Kesan : Tuberculosis Paru dan bronkiektasis

RESUME
Ny. Y batuk sejak 3 minggu yang lalu, batuk tidak berdahak, dan batuk
berlangsung sepanjang hari.
Batuk disertai darah, darah berwarna merah segar, batuk disertai darah berlangsung
setiap hari sebanyak ± 10-15 cc perhari.

40
Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, sesak tidak menciut, sesak semakin memberat
ketika cuaca dingin, sesak tidah dipengaruhi oleh aktifitas.
Nyeri dada tidak ada.
Sakit kepala sejak 1 hari yang lalu, sakit terasa dibagian belakang kepala hingga
tengkuk.
Nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu, mual (-), muntah (-), demam (-), nyeri
menelan (-), keringat malam (-), penurunan berat badan tidak diketahui oleh pasien, pasien
mudah merasa lelah, nafsu makan baik, sering BAK terutama malam hari, BAB dalam
batas normal.
Dari pemeriksaan fisikdidapatkan suara pernapasan bronkovesikuler, ronkhi (+/+),
wheezing (-/-) di kedua lapangan paru. Dari pemeriksaan penunjang seperti rontgen thorak
ditemukan infiltrate dikedua lapangan paru, honey comb appareance di hilus sebelah kiri,
calsifikasi (-), CTR <50%, diafragma dalam batas normal.

DAFTAR MASALAH
1. Batuk
2. Batuk darah
3. Sesak nafas
4. DM
5. Hipertensi

Rencana Penatalaksanaan
 Infus NaCL 0,9%
 Propepsa sirup 3x1
 Flumycil sirup 3x1
 Rimstar 1x2 tablet
 Sanpuliq 2x1 tablet
 Amlodipine 1 x 5mg
 Glibenclamid 1x1
 SF 1x1

Follow up
Tanggal S O A P

41
05/05/2015 Batuk (+) T: 120/80 mmHg TB Paru  NaCL 0,9%,
Sesak (-) N: 84 x/menit Bronkiektasis  Propepsa sirup
S: 36,5° C Gastritis
 Flumycil sirup
P: 20 x/menit DM
Hipertensi  Rimstar 1x2 tablet
 Sanpuliq 2x1 tablet
 Amlodipine 1 x 5 mg
 Glibenclamid 1x1
 SF 1x1

Tanggal O A P
06/05/2015 Pusing (+) T: 130/70 mmHg TB Paru  NaCL 0,9%,
Sesak (-) N: 82 x/menit Bronkiektasis  Propepsa sirup
S: 35,9° C Gastritis
 Flumycil sirup
P: 18 x/menit DM
Hipertensi  Rimstar 1x2 tablet
 Sanpuliq 2x1 tablet
 Amlodipine 1 x 5 mg
 Glibenclamid 1x1
 SF 1x1 tablet

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan dapat


disimpulkan bahwa pada pasien ini mengalami penyakit tuberculosis paru dengan BTA (-),
Rontgen (+). Hal ini berdasarkan dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan batuk
sejak 3 minggu yang lalu, batuk disertai darah dan sesak nafas dan diperkuat dari
pemeriksaan radiologi rontgen thoraks didapatkan gambaran infiltrate dikedua lapangan
paru, honey comb appareance di hilus sebelah kiri.
Masalah pada pasien adalah batuk. Berdasarkan kepustakaan diketahui bahwa manifestasi
klinis TB Paru dan bronkiektasis adalah batuk lebih dari 2 minggu, batuk disertai darah,
sesak nafas dan nyeri dada. Gejala sistemik seperti demam, keringat malam, penurunan
berat badan, nafsu makan menurun, mudah lelah juga sering ditemukan.. Penatalaksaan
pada pasien ini adalah dengan pemberian NaCL 0,9%, Propepsa sirup 3x1, Flumycil sirup
3x1, Rimstar 1x2 tablet, Sanpuliq 2x1 tablet, Amlodipine 1 x 5mg, Glibenclamid 1x1 dan
SF 1x1 tablet.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Sulastomo, H. 2010. Sindroma Koroner Akut dengan Gangguan Metabolik.


Diunduh dari: http://www.kardiologi-ui.com/newsread.id=355
2. Kalim, H., dkk. 2004. Pedoman Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia:
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Dengan ST-Elevasi. Jakarta: PERKI.
3. Zafari, A.M., et al. 2012. Myocardial Infarction. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/155919-overview
4. Sudoyo, A.W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi ke-IV.
Jakarta: Balai penerbitan FK UI.
5. Rilantono, L.I., dkk. 2001. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta Balai penerbitan FK UI.
173-178
6. Kalim, H., dkk. 2004. Pedoman Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia:
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Tanpa ST-Elevasi. Jakarta: PERKI.
7. Stary, H.C., et al. 2002. Update on the Medical Management of Acute Coronary
Syndrome.
8. O’Connor, et al. 2010. Circulation Journal of American Heart Association: Part 10:
Acute Coronary Syndromes : 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
9. Antman, A. M., et al. 2004. Circulation Journal of American Heart Association:
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation

43
Myocardial Infarction Executive Summary. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf+html
10. Antman, A. M., et al. 2008. Circulation Journal of American Heart Association:
2007 Focused Update of the ACC/AHA 2004 Guidelines for the Management of
Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org/content/123/18/2022.full.pdf
11. Hamn, C.W., et al. 2011. European Heart Journal : ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent
ST-segment elevation. Diunduhdari:
http://www.escardio.org/guidelinessurveys/escguidelines/GuidelinesDocuments/Gu
idelines- NSTE-ACS-FT.pdf
12. Tobing, D. 2006. ECG Changes In Ischemia, Injury and Infarction. Department Of
Cardiology and Vascular Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia
National Cardiovascular Center Harapan Kita.
13. Price S. A. Patofisiology : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta
EGC 2005. Hal 580-595

44

Anda mungkin juga menyukai