Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hipertensi


2.1.1 Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah yang intermiten atau terus-menerus

>140/90 mmHg (Marrelli, 2007: 125). Hipertensi adalah peningkatan

tekanan darah sistolik dan diastolic dengan konsisten diatas 140/90 mmHg

(Baradero, 2008).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari

120 mmHg dan tekanan diastolic lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering

menyebabkan perubahan pada pembuluh darah, yang mengakibatkan

makin tingginya tekanan darah (Mutaqqin, 2012).

2.1.2 Klasifikasi
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat di bedakan menjadi 2

golongan, yaitu :
2.1.2.1 Hipertensi Primer atau Essensial
Hipertensi Primer adalah hipertensi yang tidak di ketahui penyebabnya.

Hipertensi primer terdapat pada 90% penderita hipertensi. Faktor

predisposisi hipertensi primer meliputi umur (lebih lanjut), jenis kelamin

(pria), riwayat keluarga mengalami hipertensi, obesitas yang terkait

dengan peningkatan volume intravaskuler, merokok (nikotin dapat

membuat penyempitan pembuluh darah), kadar garam tinggi (natrium

membuat retensi air yang dapat menyebabkan volume darah meningkat),

alkohol (dapat meningkatkan plasma katekolamin), dan stress emosi yang

dapat merangsang sistem saraf simpatis (Baradero, 2008).

2.1.2.2 Hipertensi Sekunder atau Simtomatik


Hipertensi Sekunder adalah peningkatan tekanan darah karena suatu

kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau kerusakan

8
2

sistem hormon tubuh. Hipertensi sekunder terdapat pada 10% kasus

hipertensi yang sudah di ketahui penyebabnya (Udjianti, 2010).


Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut The
Seventh Report of The Joint National Commite on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pleassure (JNC VII).

Diastolik
Klasifikasi Sistolik (mmHg)
(mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130-139 85-89
Hipertensi stadium I 140-159 90-99
Hipertensi stadium II 160-179 100-109
Hipertensi stadium III > 180 > 110
Sumber: (Syamsudin, 2011).

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO

Diastolik
Klasifikasi Sistolik (mmHg)
(mmHg)
Normal <140 < 90
Hipertensi ringan 140-180 90-105
Hipertensi perbatasan 140-160 90-95
Hipertensi sedang-berat > 180 > 105
Hipertensi sistolik terisolasi > 140 < 90
Hipertensi sistolik perbatasan 140-160 < 90
Sumber : (Priyanto, 2008).

2.1.3 Etiologi
Menurut udjianti (2010,), penyebab hipertensi terbagi menjadi dua

golongan, yaitu:
a. Hipertensi Primer atau Essensial
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial

yang di definisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak di

ketahui penyebabnya (idiopatik). Beberapa faktor yang di duga

berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial adalah sebagai

berikut:
1) Genetik
3

Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,

beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini.


2) Jenis kelamin dan usia
Laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca menopause beresiko

tinggi untuk mengalami hipertensi.


3) Diet
Konsumsi diet garam atau lemak secara langsung berhubungan

dengan berkembangnya hipertensi.


4) Berat Badan
Obesitas (>25% di atas BB ideal) dikaitkan dengan berkembangnya

hipertensi.
5) Gaya Hidup
Merokok dan konsumsi alkohol dapat meingkatkan tekanan darah,

bila gaya hidup menetap.


b. Hipertensi sekunder atau Simtomatik
Menurut 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder,

yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena suatu

kondisi fisik seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid. Faktor

pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan

kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurogenik (tumor otak, ensefalitis,

gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan volume intravaskuler,

luka bakar dan stress.


2.1.4 Manifestasi Klinik
Hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala. Namun, pada hipertensi

berat atau progresif akan terjadi gangguan penglihatan atau nyeri kepala.

Nyeri kepala adalah keluhan yang timbul sebagai hasil perangsangan

terhadap bagian-bagian di wilayah leher, wajah dan kepala yang peka

terhadap nyeri. Bagian-bagian ekstrakranial yang peka nyeri adalah otot-

otot oksiput, temporal dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan

periosteum. Tulang tengkorak sendiri tidak peka terhadap nyeri.


4

Sedangkan bagian-bagian intrakranial yang peka terhadap nyeri adalah

meninges yang mendindingi sinus venous serta arteri-arteri pada basis

otak. Selain itu sumber nyeri kepala biasanya juga terdapat pada bagian

perbatasan leher dengan kepala bagian belakang. Pada penderita hipertensi

ada dua macam nyeri kepala, yaitu: (Sidharta, 2009).


a. Pegal dan tegang pada kaku kuduk, oksiput, verteks, pelipis yang

mereda pada pemijatan daerah-daerah tersebut atau jika berbaring dan

menjadi berat pada sikap duduk.


b. Nyeri yang berdenyut-denyut di seluruh kepala, yang timbul pada

dini hari dan mereda pada sikap duduk atau setelah sarapan. Batuk,

bertenaga dan membungkuk juga dapat memperberat nyeri kepala ini.


Nyeri kepala pada hipertensi dapat terjadi karena peningkatan atau

pergeseran jaringan intrakranial yang peka terhadap nyeri. Penanganan

nyeri kepala pada penderita hipertensi primer dengan vasotonus rendah

ternyata juga dapat diterapkan pada nyeri kepala yang timbul pada

penderita sekunder. Nyeri kepala (rasa berat di tengkuk) terjadi

terutama ketika bangun pagi (Baradero, 2008). Hal ini dikarenakan

secara normal terjadi peningkatan aktivitas metabolisme yang paling

tinggi saat pagi hari, pada saat tidur menjelang bangun pagi fase REM

(rapid eye movement) mengaktifkan metabolisme dan produksi CO2

sehingga mengakibatkan terjadinya vasodilatasi. Nyeri kepala yang

berlangsung terus-menerus dan tidak segera ditangani akan

menyebabkan komplikasi, seperti stroke, gagal jantung dan gagal

ginjal (Udjianti, 2010).

2.1.5 Patofisiologi
5

Pengaturan tekanan arteri meliputi kontrol sistem saraf yang komplek dan

hormonal yang saling berhubungan satu sama lain dalam mempengaruhi

curah jantung dan tahan vaskuler perifer. Hal lain yang ikut dalam

pengaturan tekanan darah adalah refleks baroreseptor. Curah jantung

ditentukan oleh volume sekuncup dan frekuensi jantung. Tahanan perifer

ditentukan oleh diameter arteriol. Bila diameternya menurun

(vasokontriksi), maka tahanan perifer meningkat. Sebaliknya, bila

diameternya meningkat (vasodilatasi), maka tahanan perifer akan menurun

(Muttaqin, 2012). Dalam perkembangan hipertensi, resistensi perifer

meningkat dan curah jantung kembali normal (Wayne, 2007). Hipertensi

juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol, sehingga terjadi

kenaikan tekanan darah (Simpson, 2005).

Mekanisme lain yang mempunyai reaksi jangka panjang dari adanya

peningkatan tekanan darah adalah faktor ginjal. Renin yang dilepaskan

oleh ginjal ketika aliran darah ke ginjal menurun akan mengakibatkan

terbentuknya angiotensin I, yang akan berubah menjadi angiotensin II.

Angiotensi II meningkat yang mengakibatkan kontraksi langsung arteriol

sehingga terjadi peningkatan resistensi perifer (TPR) yang secara tidak

langsung juga merangsang pelepasan aldosteron, sehingga terjadi

resistensi natrium dan air dalam ginjal serta menstimulasi perasaan haus.

Pengaruh ginjal lainnya adalah pelepasan eritropoetin yang menyebabkan

peningkatan produksi sel darah merah. Manifestasi dari ginjal secara

keseluruhan akan menyebabkan peningkatan volume darah dan

peningkatan volume darah secara simultan (Muttaqin, 2012).


6

Mekanisme terjadinya hipertensi dari penyebab primer dan sekunder

tersebut akan mengakibatkan peningkatan beban pada ventrikel kiri,

sehingga kontraktilitas miokard menjadi menurun (Muttaqin, 2012).

Kenaikan tekanan darah akan memicu timbulnya peningkatan tekanan

intrakranial yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri kepala (Ginsberg,

2008). Nyeri kepala yang tidak segera di tangani berakibat pada kerusakan

organ tubuh, seperti stroke, gagal jantung dan gagal ginjal, yang terjadi

karena tersumbat dan pecahnya pembuluh darah. Hal ini juga akan

mengakibatkan suplay oksigen ke organ-organ vital menurun, dan otak

tidak mendapatkan oksigen sehingga menimbulkan kematian sel-sel otak

di bagian tertentu.

2.1.6 Komplikasi
a. Stroke
Stroke dapat timbul akibat pendarahan karena tekanan tinggi di otak

atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh nonotak. Stroke

dapat terjadi pada penderita hipertensi kronis apabila arteri-arteri yang

memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran

darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya menjadi berkurang.

Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah,

sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.


b. Infark Miokardium
Infark miokardium terjadi apabila arteri koroner yang mengalami

arterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium

atau apabila terbentuk thrombus yang dapat menghambat aliran darah

melalui pembuluh tersebut. Hal ini terjadi akibat hipertensi kronik dan

hipertrofi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium tidak dapat


7

dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkannya

infark. Demikian juga, hipertrofi ventrikel dapat menimbulkan

perubahan-perubahan waktu hantaran listrik saat melintasi ventrikel,

sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko

pembentukan bekuan darah.


c. Gagal Ginjal
Gagal ginjal terjadi karena keruskan progresif akibat tekanan tinggi

pada kapiler-kapiler glomerulus. Akibat rusaknya glomerulus, darah

akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, neuron akan tertanggu,

dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Rusaknya

membran glomerulus mengakibatkan protein akan keluar melalui

urine, sehingga tekana osmotic koloid plasma berkurang. Hal ini

menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.


d. Ensefalopati
Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi

maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi

akibat kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan

mendorong cairan ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf

pusat. Akibatnya, neuron-neuron di sekitarnya menjadi kolaps dan

terjadi koma serta kematian. Wanita dengan PIH dapat mengalami

kejang. Bayi yang lahir mungkin memiliki berat lahir rendah akibat

perfusi plasenta yang tidak memadai. Bayi juga dapat mengalami

hipoksia dan asidosis apabila ibu mengalami kejang selama atau

sebelum proses persalinan (Ardiansyah, 2012).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang (Diagnostik)


8

Menurut Udjianti (2010), pemeriksaan penunjang pada pasien hipertensi,

sebagai berikut:
a. Hitung darah lengkap (Complete Blood Cells Count) meliputi

pemeriksaan hemoglobin, hematokrit untuk menilai viskositas dan

indikator faktor resiko, seperti hiperkoagulabilitas.


b. Kimia darah.
1) BUN, kreatinin: peningkatan kadar menandakan penurunan

perfusi atau faal renal.


2) Serum glukosa: hiperglisemia (diabetes melitus adalah

presipitator hipertensi) akibat dari peningkatan kadar katekolamin.


3) Kadar kolesterol atau trigliserida: peningkatan kadar

mengindikasikan predisposisi pembentukan plaque atheromatus.


4) Kadar serum aldosteron: menilai adanya aldosteronisme

perifer.
5) Studi tiroid (T3 dan T4): menilai adanya hipertiroidisme

yang berkontribusi terhadap vasokontriksi dan hipertensi.


6) Asam urat: hiperuricemia merupakan implikasi faktor

resiko hipertensi.
c. Elektrolit
1) Serum potasium atau kalium (nipokalemia,

mengindikasikan adanya aldosteronisme atau efek samping terapi

diuretik).
2) Serum kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap

hipertensi.

d. Urine
1) Analisa urine adanya darah, glukosa dan protein dalam

urine mengindikasikan disfungsi renal atau diabetes.


9

2) Steroid urine: peningkatan kadar mengindikasikan

hiperadrenalisme, pheochromacytoma, atau disfungsi pituary,

sindrom cushing, kadar renin juga meningkat.


e. Radiologi
1) Intra Venous Pyelografi (IVP): mengindentifikasi sebab

hipertensi, seperti renal parencymal disease.


2) Rontgen thorak: menilai klasifikasi obstruktif katub

jantung, deposit kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung.


3) ECG: menilai adanya hipertrofi miokard, gangguan

konduksi atau disritmia.

2.1.8 Penatalaksanaan dan Terapi


a. Terapi Farmakologi
Menurut Simpson (2005) penatalaksaan farmakologi ialah

penatalaksanaan menggunakan obat-obatan. Pada hipertensi, jika

penggunaan obat dirasakan perlu, gunakan dosis awal paling rendah

secara bertahap ditingkatkan. Umumnya obat diminum pada pagi hari,

bukan pada malam hari untuk menghindari eksaserbasi penurunan

tekanan darah mendadak. Adapun beberapa terapi obat untuk

hipertensi yaitu :

1) Diuretik
Semua diuretik akan menurunkan tekanan darah secara akut

dengan pengeluaran garam dan air, tetapi setelah 4-6 minggu

keseimbangan kembali dan tekanan darah kembali ke nilai asal.

Untuk terapi hipertensi gunakan tiazid kerja panjang, seperti

hidroklorotiazid (12,5-50 mg/hari) atau bendrofluazid (2,5-5,0

mg/hari). Tiazid mempunyai efek vasodilatasi langsung pada

arteriol yang menyebabkan efek hipotensif berlanjut. Selain tiazid


10

ada pula Indapamid yang merupakan diuretic sulfonamide dengan

kerja seperti tiazid tetapi dengan efek ringan pada glukosa dan

kolestrol.
2) Penghambat Adrenergik
Obat-obatan ini dapat bekerja sentral pada pusat vasomotor

dibidang otak, di perifer pada pelepasan katekolamin neuron, atau

menyekat reseptorα atau β, atau keduanya. Pada otot polos

vaskuler, stimulasi alfa menyebabkan vasokontriksi dan stimulasi

beta menyebabkan relaksasi.efek sentral penyekat βkurang jelas.

Penyekat β digunakan secara luas sebagai antihipertensi.


3) Vasodilator Langsung
Obat ini menurunkan TD dengan mengurangi resistensi vaskuler

perifer. Contoh golongan obat ini adalah obat oral hidralazin,

prazosin, minoksidil dan obat intravena diazoksid dan nitropruzid.

Semua cenderung menimbulkan takikardi reflektif.

4) Antagonis Kalsium
Antagonis Kalsium merupakan obat antihipertensi yang paling

sering digunakan. Mempunyai efek samping yang ringan seperti

muka merah, edema perifer, dan konstipasi. Adapun contoh

obatnya yaitu nifedipin, verapamil, diltiazem, nisoldipin,

nikardipin, amlodipin, dan felodipin.


5) Penghambat Renin-Angiostensin
Obat yang sering digunakan dalam kelompok ini untuk terapi

hipertensi adalah penghambat ACE, seperti captropil, nelapril,

lisinopril, dan ramipril. Obat ini dapat menurunkan resistensi

perifer dengan efek minimal atau tanpa efek terhadap denyut

jantung, curah jantung atau volume cairan tubuh.


11

Tabel 2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas Utama Obat


Antihipertensi Menurut ESH.

Kontraindikasi
Kelas Obat Indikasi Tidak
Mutlak
Mutlak
Diuretika (Thiazide) Gagal jantung kongestif, usia Gout Kehamilan
lanjut, isolated systolic
hypertention, ras Afrika
Diuretika (Loop) Insufisiensi ginjal, gagal - -
ginjal kongestif
Diuretika (anti Gagal jantung kongestif, Gagal ginjal, -
Aldosteron) pasca infark miokardium hiperkalemia

Penyekat β Angina pectoris, pasca infark Asma, Penyakit


miokardium, gagal jantung PPOM, AV pembuluh
kongestif, kehamilan, Blok derajat darah
takiaritmia 2 atau 3 perifer,
intoleransi
glukosa,
pasien
yang aktif
secara fisik
Calsium Antagonis Usia lanjut, isolated systolic - Takiaritmia
(dihydropiridine) hypertension, angina pectoris, , gagal
penyakit pembuluh darah jantung
perifer, aterosklerosis karotis, kongestif
kehamilan
Calcium Antagonis Angina pektoris AV Blok -
(verapamil, diltiazem) aterosklerosis karotis, supra derajat 2/3,
ventrikel takikardi gagal jantung
kongestif
Penghambat ACE Gagal jantung kongestif, Kehamilan, -
disfungsi ventrikel kiri, pasca hiperkalemia
infark miokardum, non-
diabetik nefropati, nefropati
DM tipe 1, proteinuria
Angiostensin II Nefropati DM tipe 2, Kehamilan, -
receptor antagonis mikroalbuminuria, diabetic, hiperkalemia,
(AT1-blocker) proteinurea, batuk karena stenosis arteri
ACEI, hipertrofi ventrikel kiri renalis
bilateral
Sumber: (Sudoyo, 2010)

b. Terapi Non-farmakologi
12

Terapi non-farmakologi digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi

ringan dan sebagai tindakan suporatif pada hipertensi sedang dan

berat. Terapi non-farmakologi meliputi :


1) Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
a) Restriksi garam secara moderat dari 10gr/hr menjadi 5

gr/hr.
b) Diet randah kolestrol dan rendah asam lemak jenuh.
c) Penurunan berat badan.
d) Penurunan asupan etanol.
e) Berhenti merokok.
f) Diet tinggi kalium.

2) Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang

dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olahraga yang

mempunyai empat prinsip yaitu :


a) Macam olahraga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari,

jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain.


b) Intensitas olahraga yang baik antara 60-80% dari kapasitas

aerobik.
c) Lamanya latihan berkisar antara 20-25 menit.
d) Frekuensi latihan sebaiknya 3x perminggu dan paling baik

5x perminggu
3) Pendidikan Kesehatan/Penyuluhan
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan

pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan

pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya

dan mencegah komplikasi lebih lanjut.


4) Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
13

a) Teknik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu teknik yang dipakai untuk

menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan

tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.

b) Relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau teknik yang bertujuan

untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara

melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam

tubuh menjadi rilek (Padila, 2013).


Adapun macam-macam teknik relaksasi yaitu :
1) Aromaterapi
Aromaterapi adalah suatu teknik relaksasi untuk

penyembuhan dengan menggunakan konsentrasi minyak

esensial yang sangat aromatik yang diekstraksi dari

tumbuh-tumbuhan.
2) Terapi music
Terapi musik dapat membantu penderita mengatasi

berbagai keluhan atau gangguan, terutama gangguan

intelektual dan kesulitan belajar. Musik dapat merangsang

timbulnya perasaan gairah, damai, sedih, ataupun gembira.


3) Hidroterapi
Hidroterapi adalah penggunaan air untuk penyembuhan

dan meringankan berbagai keluhan. Manfaat air hangat

dapat merileksasikan tubuh, menyingkirkan rasa pegal-

pegal, kaku di otot dan membuat tidur lebih nyenyak.

4) Meditasi
14

Meditasi dapat mengurangi kerja otot dengan menurunkan

respon stress. Tekanan darah tinggi akan menurun dengan

melakukan meditasi.
5) Massage
Massage merupakan suatu teknik dengan melakukan

penekanan pada tubuh untuk menurunkan keteganggan otot

dan mengurangi stress. Massage dapat digunakan untuk

menangani penderita hipertensi, sinusitis, sakit kepala,

insomnia, dan hiperaktifitas. Juga bagi mereka yang

menderita gangguan sirkulasi darah, jantung, dan stroke.

Massage digunakan untuk menstimulasi sistem saraf, otot,

dan peredaran darah. Selain itu, massage menghasilkan

perasaan tenang dan damai. Tindakan utama massage di

anggap untuk menghambat perjalanan rangsangan nyeri

pada pusat yang lebih tinggi pada system saraf pusat

sehingga nyeri terkendali (Andarmoyo, 2013).


Massage yang dipilih adalah head massage yang dijelaskan

di sub pokok bahasan penatalaksanaan teknik halaman 38.

Bagan 2.1 Pathway Hipertensi

Faktor Presdiposisi: Usia, merokok, jenis kelamin, stress,


kurang olahraga, genetik, alkohol, konsentrasi garam,
obesitas

Hipertensi Ansietas

Tekanan Sistemik Kerusakan vaskuler


Perubahan situasi
darah pembuluh darah
Aliran darah makin
cepat keseluruh tubuh Resiko
Beban Kerja
Vasokontriksi Perubahan Struktur Krisis situasional Informasi yg minim
sedangkan nutrisi ketidakefektifan
Jantung
Pemb. Darah
Merangsang
Blood Flow Resistensi
Nyeri
Penyumbatan SuplayCurah
Penurunan O2
Metode kopingPembuluh
Ketidakefektifan Defisiensi
Iskemia
Nyeri
dalam sel sudah Pemb.darahGangguan perfusi jaringan Intoleransi Retina
Fatigueaktivitas
Vasokontriksi
Sistemik
Afterload Koroner
Respon
ginjal
Ginjal
Retensi
Edema RAA
Na
Aldosteron
darah kebutuhan otak
Vasokontriksi
Kepala
Pembuluh
Otak darah ke otak
Jantung tidak efektif
Koping darah Resiko
Pengetahuan
Spasme cidera
arteriol
Miokard
dada
mencukupi otak
15

Kelebihan vol.cairan
Sumber: (NOC-NIC, 2013).

Bagan 2.1 Pathway

2.2 KONSEP NYERI


2.2.1 Definisi
Nyeri adalah suatu hal yang bersifat subjektif, tidak ada dua orang dan

kejadian menyakitkan yang mengakibatkan respons atau perasaan yang

sama pada individu (Perry & Potter, 2010).


16

Nyeri adalah kondisi berupa keadaan tidak menyenangkan bersifat sangat

subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala

atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan

atau mengevaluasi rasa nyeri yang di alaminya (Alimul, 2006).


Nyeri adaah peristiwa yang tidak menyenangkan pada seseorang dan dapat

menimbulkan penderitaan/sakit (Kartika Dewi, 2014).

2.2.2 Klasifikasi
Menurut Asmadi (2008) nyeri dapat di klasifikasikan ke dalam beberapa

golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu

lamanya serangan.
a. Nyeri berdasarkan tempatnya:
1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan

tubuh misalnya pada kulit, mukosa.


2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

yang lebih dalam atau organ-organ tubuh visceral.


3) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena

penyakit organ atau struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke

bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.


4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan

pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus dan lain-

lain
b. Nyeri berdasarkan sifatnya:
1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang.
2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap dan

dirasakan dalam waktu yang lama.


3) Paroximal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas

tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut bias menetap kurang lebih 10

sampai 15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.


c. Nyeri berdasarkan berat ringannya:
1) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
17

2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.


3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.
d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan:
1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang

singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah

nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat

dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit

arteriosclerosis pada arteri coroner. Nyeri akut terkadang disertai

oleh aktivitas sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan

gejala – gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan denyut

jantung, dilatasi pupil dan peningkatan tekanan darah. Secara

verbal klien yang mengalami nyeri akanmelaporkan adanya

ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang di rasakannya.

Klien yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan

memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis,

mengerang kesakitan, mengerutkan wajah, atau menyeringai

(Andarmoyo, 2013).
2) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang

dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini polanya beragam

dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.Ragam

pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi

interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali lagi nyeri, dan begitu

seterusnya.Ada pula pola nyeri kronis yang konstan, artinya rasa

nyeri tersebut terus menerus terasa makin lama semakin meningkat

intensitasnya walaupun telah diberi pengobatan.


Tabel 2.4 Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis

Nyeri akut: Nyeri kronis:


18

a) Waktu kurang dari enam bulan a) Waktu lebih dari enam


b) Daerah nyeri terlokalisasi bulan
c) Nyeri terasa tajam seperti ditusuk, disayat, b) Daerah nyeri menyebar
dicubit, dan lain-lain c) Nyeri terasa tumpul
d) Respons sitem saraf simpatis: takikardia, seperti ngilu, linu, dan
peningkatan respirasi, peningkatan tekanan lain lain
darah, pucat, lembab, berkeringat, dan d) Respon system saraf
dilatasi pupil parasimpatis: penurunan
e) Penampilan klien tampak cemas, gelisah, tekanan darah,
dan terjadi ketegangan otot bradikardia, kulit kering,
panas, dan pupil
konstriksi
e) Penampilan klien tampak
depresi dan menarik diri
Sumber: (Asmadi, 2008).

2.2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Menurut Perry & Potter (2006), nyeri merupakan sesuatu yang kompleks.

Hal ini di sebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman

nyeri individual. Faktor – faktor tersebut antara lain :


a. Usia
Nyeri bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang tidak dapat

di hindari. Perbedaan perkembangan yang di temukan di antara

kelompok berbeda usia dapat mempengaruhi reaksi terhadap nyeri.

Usia anak mengalami kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal

dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan di

bandingkan dengan usia remaja maupun lanjut usia.


b. Jenis kelamin
Pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon

terhadap nyeri. Hal ini terkait dengan cara mereka dalam

pengekspresian nyeri, bahwa anggapan seorang laki – laki harus berani

dan tidak boleh menangis, sedangkan perempuan boleh menangis

dalam situasi yang sama.


c. Kebudayaan
19

Keyakinan dan kebudayaan mempengaruhi cara individu mengatasi

nyeri. Beberapa kebudayaan meyakini bahwa memperlihatkan nyeri

adalah sesuatu yang wajar namun ada kebudayaan yang mengajarkan

untuk menutup perilaku untuk tidak memperlihatkan nyeri.

d. Makna Nyeri
Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang

beradaptasi terhadap nyeri.


e. Perhatian
Seseorang yang mampu mengalihkan perhatian, sensasi nyeri akan

berkurang. Karena upaya pengalihan di hubungkan dengan respon

nyeri yang menurun.


f. Ansietas
Ansietas sering meningkatkan persepsi nyeri dan nyeri dapat

menimbulkan ansietas.
g. Keletihan (stress)
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri yang menurunkan kemampuan

koping.
h. Pengalaman sebelumnya
Seseorang dengan pengalaman nyeri akan lebih terbentuk koping yang

baik di banding dengan orang pertama yang terkena nyeri, maka akan

mengganggu koping.
i. Gaya Koping
Klien sering menemukan cara untuk mengembangkan koping terhadap

efek fisiologis dan psikologis. Gaya koping ini berhubungan dengan

pengalaman nyeri.
j. Dukungan Keluarga dan Sosial
Kehadiran keluarga atau orang yang di cintai akan meminimalkan

persepsi nyeri.
2.2.4 Penilaian Respon Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual


20

dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat

berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran tunggal yang paling penting untuk mengetahui intensitas nyeri

adalah laporan klien tentang nyeri. Penggunaan skala intensitas nyeri

adalah metode yang mudah dan dapat dipercaya dalam menentukan

intensitas nyeri klien. Skala seperti itu memberikan konsistensi bagi

perawat untuk berkomunikasi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya.

Penilaian intensitas nyeri dapat di lakukan dengan menggunakan skala

sebagai berikut: (Kozier dan Erb, 2009).


a. Skala intensitas nyeri deskritif.
Skala pendeskripsian verbal (Verbal Deskriptor Scale, VDS) dilakukan

dengan cara menunjukkan skala tersebut pada klien dan meminta klien

untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang klien rasakan. Kemudian

menanyakan pada klien seberapa jauh nyeri terasa menyakitkan dan

seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan (Perry & Potter,

2006: 1519).
b. Skala identitas nyeri numerik.
Skala penilaian numerik (Numeral Rate Scales, NRS) lebih digunakan

sebagai pengganti alat pendeskripsia kata. Dalam hal ini, klien menilai

nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan

saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.

Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan

patokan 10 cm (Perry & Potter, 2006: 1519).


Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri ringan sedang berat hebat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

c. Skala nyeri menurut Bourbanis.


21

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri hebat Nyeri hebat


Nyeri ringan sedang terkontrol tdk terkontrol

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan

baik).

4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik).

7-9 : Nyeri berat (secara obyektif klien kadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan

lokasi nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang

dan distraksi).

10 : Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul).

2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Menurut Hidayat (2006) nyeri dapat di pengaruhi oleh beberapa hal,

diantaranya adalah :
a. Arti Nyeri
Arti nyeri memiliki banyak perbedan dan hampir sebagian arti nyeri

merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan, merusak, dan

lain–lain, sehingga berat dan ringannya suatu nyeri dapat dipengaruhi

pemahaman seseorang terhadap arti nyeri.


b. Persepsi Nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subyektif tempatnya

pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif).


22

c. Toleransi Nyeri
Toleransi ini sangat erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang

dapat mempengaruhi mempengaruhi kemampuan seseorang menahan

nyeri. Faktor yang dapat mempengaruhi toleransi adanya nyeri, seperti

alkohol, obat – obatan, hipnosis, gesekan atau garukan, pengalihan

perhatian, kepercayaan yang kuat, sedangkan faktor yang menurunkan

toleransi nyeri adalah kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang

tidak kunjung hilang, sakit, dan lain – lain.


d. Reaksi terhadap Nyeri
Reaksi terhadap nyeri ini merupakan kemampuan seseorang berespon

terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan

menjerit.

2.2.6 Strategi Penatalaksanaan Nyeri


MenurutPerry & Potter (2006) strategi penatalaksanaan nyeri atau lebih

dikenal dengan manajemen nyeri adalah suatu tindakan untuk mengurangi

nyeri, diantaranya dengan strategi penatalaksanaan farmakologis dan

nonfarmakologis.
a. Farmakologis
Metode farmakologi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri

adalah dengan pemberian obat analgesik, yang mempunyai tiga jetis,

yaitu sebagai berikut :


1) Analgesik Narkotika atau opiat, yang bekerja pada sistem

saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek mendepresi dan

menstimulasi, umumnya diresepkan dan digunakan untuk nyeri

sedang sampai berat, seperti pascaoperasi dan nyeri maligna.


2) Analgesik Non-narkotika, NSAID (Non Steroid Anti

Inflamatory Drug), bekerja pada reseptor saraf perifer untuk

mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri yang umumnya


23

menghilangkan nyeri ringan dan redang, seperti artritis reumatoid,

episiotomi, masalah pada punggung bagian bawah, dan nyeri kepala

vaskuler.
3) Obat Tambahan (Adjuvan), diberikan dalam bentuk tunggal

atau disertai dengan analgesik yang berguna untuk merelaksasika

otot, meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain

yang terkait dengan nyeri, seperti mual dan muntah serta dapat

menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi, keputusasaan,

dan kewaspadaan mental.


b. Nonfarmakologis
Tindakan nonfarmakologis menurutPerry & Potter (2006) meliputi:

bimbingan antisipasif, stimulus kutaneus, terapi es dan panas,

imajinasi terbimbing, distraksi, dan relaksasi. Salah satu tenik relaksasi

adalah dengan menggunakan massage. Massage juga bisa di gunakan

untuk mengatasi sakit kepala pada penderita hipertensi atau lebih

tepatnya adalah dengan menggunakan teknik relaksasi (head massage)

(Aslany, 2003).

2.3 Konsep Teknik Relaksasi (Head Massage)


2.3.1 Definisi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari

ketegangan dan stres (Andarmoyo, 2013). Cara yang paling efektif untuk

menurunkan nyeri kepala pada hipertensi adalah dengan caramassage,

salah satunya adalah head massage (Gleadle, 2007). Massage adalah

melakukan tekanan tangan pada jaringan lunak, biasanya otot, tendon, atau

ligamentum, untuk meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi atau

memperbaiki sirkulasi (Andarmoyo, 2013). Sedangkan head massage

adalah gerakan-gerakan tangan yang mekanis terhadap tubuh manusia


24

pada permukaan kulit kepala untuk meregang jaringan otot dibawahnya

agar kembali lunak dan rileks dengan keluhan pegal dan sakit karena

jaringan otot yang tegang dan kaku (Wiyanto, 2012, ¶ 3, http:

//ejournal.akperwilliambooth.ac.id, diperoleh tanggal 9 September 2017).

2.3.2 Tujuan Teknik Relaksasi (Head Massage)


Ruang lingkup head massage meliputi memijat bagian leher, wajah, dan

kepala untuk menghilangkan ketegangan (merilekskan), kegelisahan, dan

nyeri kepala (Aslani, 2005: 48). Efek fisiologis manual therapy antara lain

memperlancar peredaran darah (vasodilatasi), mencetuskan hormon

endhorphin dan merilekskan otot. Sistem saraf parasimpatis melepaskan

neurotransmiter asetilkolin untuk menghambat aktifitas saraf simpatis

dengan menurunkan kontraktilitas otot jantung, volume sekuncup,

vasodilatasi arteriol dan vena kemudian menurunkan tekanan darah serta

nyeri kepala dapat berkurang (Muttaqin, 2012).

2.3.3 Indikasi Teknik Relaksasi (Head Massage)


Menurut Sidharta (2009) head massage diperbolehkan pada pasien

hipertensi primer maupun hipertensi sekunder yang mengalami nyeri

kepala.

2.3.4 Kontra Indikasi Teknik Relaksasi (Head Massage)


Menurut Rahardja (2010) dan Wiyanto (2012, ¶ 3, http:

//ejournal.akperwilliambooth.ac.id, diperoleh tanggal 9 September 2017),

pasien yang tidak boleh di lakukan head massage adalah:


a. Pasien yang mengalami penyakit-penyakit kulit di bagian kepala.
b. Pasien yang mengalami tumor otak atau kelainan lain pada otak.
25

2.3.5 Hal-hal yang diperhatikan pada Teknik Relaksasi (Head

Massage)
Menurut Rahardja (2010) dan Wiyanto (2012, ¶ 3, http: //

ejournal.akperwilliambooth.ac.id, diperoleh tanggal 9 September 2017),

hal-hal yang perlu diperhatikan dalam head massage adalah:


a. Pakailah obat gosok/lotion, seperti minyak kelapa, minyak zaitun

dan minyak kayu putih supaya kulit tidak lecet saat di pijat.
b. Pemijatan di lakukan pada pagi hari karena biasanya pasien

hipertensi akan merasakan nyeri kepala pada pagi hari. Hal ini

dikarenakan secara normal terjadi peningkatan aktivitas metabolisme

yang paling tinggi saat pagi hari, pada saat tidur menjelang bangun

pagi fase REM (rapid eye movement) mengaktifkan metabolisme dan

produksi CO2 sehingga mengakibatkan terjadinya vasodilatasi. Head

massage bisa di lakukan setiap hari karena dapat merelaksasikan

pasien hipertensi.
c. Setiap titik akhir pijatan di lakukan tahanan selama 5 detik.
d. Pijatan tidak diperkenakan pada pasien yang mengalami penyakit-

penyakit kulit di bagian kepala, tumor otak atau kelainan lain pada

otak.

2.3.6 Penatalaksanaan Teknik Relaksasi (Head Massage)


Menurut Wiyanto (2012, ¶ 3, http: // ejournal.akperwilliambooth.ac.id,

diperoleh tanggal 9 September 2017) dan Rahardja (2010: 53) langkah-

langkah melakukan head massageadalah :


a. Posisikan pasien (berbaring atau duduk) di tempat yang aman dan

nyaman.
b. Meletakkan kedua tangan dengan ringan di kedua sisi leher atau

bahu. Melakukan pemijatan dari bahu melalui tengkuk di teruskan ke


26

atas. Sebagai lotion dapat di tambahkan dengan minyak kelapa, minyak

zaitun atau minyak kayu putih yang di oleskan ke telapak tangan.

Sumber: Akoso, 2009


c. Jika tindakan dilakukan dengan cara pasien duduk, maka dapat

ditambahkan teknik dengan memiringkan ke samping dan

menopangnya dengan menggunakan tangan.

Sumber: Akoso, 2009


d. Melakukan gosokan (Eflourage): dari tengah dahi sampai pada

kepala belakang melewati atas daun telinga.

Sumber: Akoso, 2009


e. Melakukan pijatan (Petrissage): daerah kepala dari tepi menuju ke

bagian tengah atas kepala (ubun-ubun / parietalis) . Tahan selama 5

detik.
27

Sumber: Akoso, 2009


f. Melakukan gerusan (Friction): dari pelipis sampai atas daun

telinga & dari bawah prosesus mastoideus dari sebelah kiri menuju

kanan. Tahan selama 5 detik.

Sumber: Akoso, 2009


g. Gerakan di atas dilakukan secara berulang selama 10 menit waktu

pagi hari (setiap hari) pada penderita hipertensi baik esensial maupun

simtomatik.
h. Membersihkan bagian leher, wajah dan kepala dengan

menggunakan tissue lalu merapikan kembali pasien.

2.3.7 Konsep Tentang Hasil Tindakan Keperawatan


Konsep tentang hasil tindakan keperawatan yang dilakukan menurut

Muttaqin (2012) adalah:


1. Meningkatkan relaksasi ditandai dengan penurunan tekanan darah,

nadi, dan frekuensi pernafasan, kualitas tidur meningkat.


2. Mengurangi kecemasan sebagai efek dari pengeluaran hormon

endorphin yang dapat memberikan ketenangan.

2.4 KONSEP TEORI MODEL KEPERAWATAN CALLISTA ROY


2.4.1 Biografi Calista Roy
28

Calista Roy adalah seorang suster dari Saint Joseph of Carondelet. Roy

dilahirkan pada tanggal 14 oktober 1939 di Los Angeles California. Roy

menerima Bachelor of Art Nursing pada tahun 1963 dari Mount Saint

Marys College dan Magister Saint in Pediatric Nursing pada tahun 1966 di

University of California Los Angeles.Roy memulai pekerjaannya dengan

teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964 ketika dia lulus dari

University of California Los Angeles. Dalam Sebuah seminar dengan

Dorrothy E. Johnson, Roy tertantang untuk mengembangkan sebuah model

konsep keperawatan. Konsep adaptasi mempengaruhi Roy dalam kerangka

konsepnya yang sesuai dengan keperawatan. Dimulai dengan pendekatan

teori sistem. Roy menambahkan kerja adaptasi dari Helsen (1964) seorang

ahli fisiologis – psikologis. Untuk memulai membangun pengertian

konsepnya. Helsen mengartikan respon adaptif sebagai fungsi dari

datangnya stimulus sampai tercapainya derajat adaptasi yang di butuhkan

individu. Derajat adaptasi dibentuk oleh dorongan tiga jenis stimulus

yaitu : focal stimuli, konsektual stimuli dan residual stimuli.

Roy mengkombinasikan teori adaptasi Helson dengan definisi dan

pandangan terhadap manusia sebagai sistem yang adaptif. Selain konsep-

konsep tersebut, Roy juga mengadaptasi nilai “ Humanisme” dalam model

konseptualnya berasal dari konsep A.H. Maslow untuk menggali

keyakinan dan nilai dari manusia. Menurut Roy humanisme dalam

keperawatan adalah keyakinan, terhadap kemampuan koping manusia

dapat meningkatkan derajat kesehatan.Sebagai model yang berkembang,

Roy menggambarkan kerja dari ahli-ahli lain dari ahli-ahli lain di area
29

adaptasi seperti Dohrenwend (1961), Lazarus (1966), Mechanic (1970)

dan Selye (1978). Setelah beberapa tahun, model ini berkembang menjadi

sebagai suatu kerangka kerja pendidikan keperawatan, praktek

keperawatan dan penelitian. Tahun 1970, model adaptasi keperawatan

diimplementasikan sebagai dasar kurikulum sarjana muda keperawatan di

Mount Saint Mary’s College. Sejak saat itu lebih dari 1500 staf pengajar

dan mahasiswa-mahasiswa terbantu untuk mengklarifikasi, menyaring, dan

memperluas model. Penggunaan model praktek juga memegang peranan

penting untuk klarifikasi lebih lanjut dan penyaringan model.

Sebuah studi penelitian pada tahun 1971 dan survey penelitian pada tahun

1976-1977 menunjukkan beberapa penegasan sementara dari model

adaptasi. Perkembangan model adaptasi keperawatan dipengaruhi oleh

latar belakang Roy dan profesionalismenya. Secara filosofi Roy

mempercayai kemampuan bawaan, tujuan, dan nilai kemanusiaan.

Pengalaman klinisnya telah membantu perkembangan kepercayaannya itu

dalam keselarasan dari tubuh manausia dan spirit. Keyakinan filosofi Roy

lebih jelas dalam kerjanya yang baru pada model adaptasi keperawatan.

2.4.2 Teori Filosofi Calista Roy


Roy mengembangkan ilmu dan filosofinya berdasarkan 3 asumsi dasar,

yaitu
2.4.2.1 Asumsi dari Teori Sistem

Sistem adalah seperangkat bagian yang saling berhubungan dari satu

bagian ke bagian lain. Sistem adalah bagian dari yang berfungsi bagian

yang satu dengan yang lain saling ketergentungan. Sistem mempunyai


30

input, out put, control, proses dan umpan balik. Input merupakan umpan

balik yang juga disebut informasi. Sistem kehidupan lebih kompleks dari

sistem mekanik, mempunyai standard dan umpan balik langsung terhadap

fungsinya.

2.4.2.2 Asumsi dari Teori Melson.

Perilaku manusia adalah hasil adaptasi dari lingkungan dan kekuatan

organism. Perilaku adaptif adalah berfungsinya stimulus dan tingkatan

adaptasi, yang dapat berpengaruh terhadap stimulus fokal, stimulus

kontekstual, dan stimulus residual. Adaptasi adalah proses adanya respon

positif terhadap perubahan lingkungan. Respon merupakan refkleksi

keadaan organisme terhadap stimulus.

2.4.2.3 Asumsi dari Humanisme.

Individu mempunyai kekuatan kreatif. Perilaku individu mempunyai

tujuan dan tidak selalu dalam lingkaran sebab akibat. Manusia merupakan

makhluk holistic. Opini manusia dan nilai yang akan datang;

Mobilisasi antar manusia bermakna.

Adapun teori Adaptasi Calista Roy yang diambil dari berbagai sumber dari

teoritis keperawatan. Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy (1984)

sebagai penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga,

kelompok, masyarakat yang dipandang sebagai “Holistic adaptif system”

dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan.Sistem adalah Suatu

kesatuan yang di hubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk

beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-


31

bagiannya. Sistem terdiri dari proses input, autput, kontrol dan umpan

balik ( Roy, 1991 ), dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Input

Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan

kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang

dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu

stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual.

INPUT: PROSES : INPUT :

Stimulus tingkat Koping mekanisme, Stimulus tingkat


adaptasi regulator, cognator adaptasi

OUTPUT :
FEED
Adaptasi respon
inefektif
32

Diagram : Respon adaptasi Callista Roy

1. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan


seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi

2. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami


seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi
dan dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan.
Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan
respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.

3. Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan


dengan situasiyang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi
kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang
lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya
pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang
tidak

b. Kontrol

Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping

yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan

kognator yang merupakan subsistem.

1. Subsistem regulator.

Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen : input-proses

dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter

regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom

adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan

sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis

yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.

2. Subsistem kognator.
33

Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal.

Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus

umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses

berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,

penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan

dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan

mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement

(penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian

masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang

berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses

pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan

kasih sayang.

c. Output

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapt di amati, diukur

atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam

maupun dari luar . Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem.

Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau

respon yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat

meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat

terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang

berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi

dan keunggulan. Sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang

tidak mendukung tujuan ini.


34

Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan

proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa mekanisme

koping diwariskan atau diturunkan secara genetik (misal sel darah

putih) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang menyerang

tubuh. Mekanisme yang lain yang dapat dipelajari seperti penggunaan

antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep

ilmu Keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut

Regulator dan Kognator dan mekanisme tersebut merupakan bagian

sub sistem adaptasi.

Tabel “Holistic adaptif system” Callista Roy

INPUT PROSES EFFECTOR OUTPUT


Stimulus (Fokal, Mekanisme Fungsional fisik Respon adaptife
contextual dan koping
residual)
Level Adaptasi Regulator Konsep diri Respon
(Integrated, ineffectife
compensatory,
compromise)
Kognator Fungsi peran
interdependency

2.4.3 Elemen-elemen Utama dari Teori Calista Roy

Menurut Roy terdapat empat objek utama dalam ilmu keperawatan, yaitu :

2.4.3.1 Manusia (individu yang mendapatkan asuhan keperawatan)

Roy menyatakan bahwa penerima jasa asuhan keperawatan individu,

keluarga, kelompok, komunitas atau social. Masing-masing dilakukan oleh


35

perawat sebagai system adaptasi yang holistic dan terbuka. System terbuka

tersebut berdampak terhadap perubahan yang konstan terhadap informasi,

kejadian, energi antara system dan lingkungan. Interaksi yang konstan

antara individu dan lingkungan dicirikan oleh perubahan internal dan

eksternal. Dengan perubahan tersebut individu harus mempertahankan

intergritas dirinya, dimana setiap individu secara kontunyu beradaptasi.

Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif.

Sebagai sistem adaptif, manusia dapat digambarkan secara holistik sebagai

satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol, out put dan proses umpan

balik. Proses kontrol adalah mekanisme koping yang dimanifestasikan

dengan cara- cara adaptasi. Lebih spesifik manusia didefenisikan sebagai

sebuah sistem adaptif dengan aktivitas kognator dan regulator untuk

mempertahankan adaptasi dalam empat cara-cara adaptasi yaitu : fungsi

fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Dalam model

adaptasi keperawatan, manusia dijelaskan sebagai suatu sistem yang hidup,

terbuka dan adaptif yang dapat mengalami kekuatan dan zat dengan

perubahan lingkungan. Sebagai sistem adaptif manusia dapat digambarkan

dalam istilah karakteristik sistem, jadi manusia dilihat sebagai satu-

kesatuan yang saling berhubungan antara unit fungsional secara

keseluruhan atau beberapa unit fungsional untuk beberapa tujuan. Input

pada manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah dengan menerima

masukan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu

sendiri. Input atau stimulus termasuk variabel standar yang berlawanan

yang umpan baliknya dapat dibandingkan. Variabel standar ini adalah


36

stimulus internal yang mempunyai tingkat adaptasi dan mewakili dari

rentang stimulus manusia yang dapat ditoleransi dengan usaha-usaha yang

biasa dilakukan. Proses kontrol manusia sebagai suatu sistem adaptasi

adalah mekanisme koping. Dua mekanisme koping yang telah

diidentifikasi yaitu : subsistem regulator dan subsistem kognator.

Regulator dan kognator digambarkan sebagai aksi dalam hubungannya

terhadap empat efektor atau cara-cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis,

konsep diri, fungsi peran dan interdependen.

2.4.4 Empat Fungsi Mode Yang Dikembangkan Oleh Roy Terdiri

Dari:
2.4.4.1 Fisiologis.
a. Oksigenasi: menggambarkan pola penggunaan oksigen

berhubungan dengan respirasi dan sirkulasi.


b. Nutrisi: menggambarkan pola penggunaan nutrient untuk

memperbaiki kondisi tubuh dan perkembangan.


c. Eliminasi: menggambarkan pola eliminasi.
d. Aktivitas dan istirahat: menggambarkan pola aktivitas, latihan,

istirahat dan tidur.


e. Integritas kulit: menggambarkan pola fungsi fisiologis kulit.
f. Rasa/senses: menggambarkan fungsi sensori perceptual

berhubungan dengan panca indera


g. Cairan dan elektrolit: menggambarkan pola fisiologis penggunaan

cairan dan elektrolit


h. Fungsi neurologist: menggambarkan pola control neurologist,

pengaturan dan intelektual


i. Fungsi endokrin: menggambarkan pola control dan pengaturan

termasuk respon stress dan system reproduksi


2.4.4.4 Konsep Diri (Psikis)
37

Model konsep ini mengidentifikasi pola nilai, kepercayaan dan emosi yang

berhubungan dengan ide diri sendiri. Perhatian ditujukan pada kenyataan

keadaan diri sendiri tentang fisik, individual, dan moral-etik.

2.4.4.5 Fungsi Peran (Sosial)


Fungsi peran mengidentifikasi tentang pola interaksi social seseorang

berhubungan dengan orang lain akibat dari peran ganda.


2.4.4.6 Interdependent

Interdependen mengidentifikasi pola nilai-nilai manusia, kehangatan, cinta

dan memiliki. Proses tersebut terjadi melalui hubungan interpersonal

terhadap individu maupun kelompok.

2.4.5 Konsep Keperawatan

Keperawatan adalah bentuk pelayanan professional berupa pemenuhan

kebutuhan dasar dan diberikan kepada individu baik sehat maupun sakit

yang mengalami gangguan fisik, psikis dan social agar dapat mencapai

derajat kesehatan yang optimal. Roy mendefinisikan bahwa tujuan

keperawatan adalah meningkatkan respon adaptasi berhubungan dengan

empat mode respon adaptasi. Perubahan internal dan eksternal dan

stimulus input tergantung dari kondisi koping individu. Kondisi koping

seseorang atau keadaan koping seseorang merupakan tingkat adaptasi

seseorang. Tingkat adaptasi seseorang akan ditentukan oleh stimulus fokal,

kontekstual, dan residual. Fokal adalah suatu respon yang diberikan secara

langsung terhadap ancaman/input yang masuk. Penggunaan fokal pada

umumnya tergantung tingkat perubahan yang berdampak terhadap

seseorang. Stimulus kontekstual adalah semua stimulus lain seseorang baik

internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat


38

diobservasi, diukur, dan secara subjektif disampaikan oleh individu.

Stimulus residual adalah karakteristik/riwayat dari seseorang yang ada dan

timbul releva dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur secara

objektif.

2.4.6 Konsep sehat

Roy mendefinisikan sehat sebagai suatu continuum dari meninggal sampai

tingkatan tertinggi sehat. Dia menekankan bahwa sehat merupakan suatu

keadaan dan proses dalam upaya dan menjadikan dirinya secara

terintegrasisecara keseluruhan, fisik, mental dan social. Integritas adaptasi

individu dimanifestasikan oleh kemampuan individu untuk memenuhi

tujuan mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi. Sakit adalah suatu

kondisi ketidakmampuan individu untuk beradapatasi terhadap rangsangan

yang berasal dari dalam dan luar individu. Kondisi sehat dan sakit sangat

individual dipersepsikan oleh individu. Kemampuan seseorang dalam

beradaptasi (koping) tergantung dari latar belakang individu tersebut

dalam mengartikan dan mempersepsikan sehat-sakit, misalnya tingkat

pendidikan, pekerjaan, usia, budaya dan lain-lain.

2.4.7 Konsep lingkungan

Roy mendefinisikan lingkungan sebagai semua kondisi yang berasal dari

internal dan eksternal,yang mempengaruhi dan berakibat terhadap

perkembangan dari perilaku seseorang dan kelompok. Lingkunan eksternal

dapat berupa fisik, kimiawi, ataupun psikologis yang diterima individu dan

dipersepsikan sebagai suatu ancaman. Sedangkan lingkungan internal


39

adalah keadaan proses mental dalam tubuh individu (berupa pengalaman,

kemampuan emosioanal, kepribadian) dan proses stressor biologis (sel

maupun molekul) yang berasal dari dalam tubuh individu.manifestasi yang

tampak akan tercermin dari perilaku individu sebagai suatu respons.

Dengan pemahaman yang baik tentang lingkungan akan membantu

perawat dalam meningkatkan adaptasi dalam merubah dan mengurangi

resiko akibat dari lingkungan sekitar.

2.5 Teori Calista Roy Terhadap Asuhan Keperawatan

Model adaptasi Roy memberikan petunjuk untuk perawat dalam

mengembangkan proses keperawatan. Elemen dalam proses keperawatan

menurut Roy meliputi pengkajian tahap pertama dan kedua, diagnosa,

tujuan, intervensi, dan evaluasi, langkah-langkah tersebut sama dengan

proses keperawatan secara umum.

2.5.1 Pengkajian

Pengkajian pertama meliputi pengumpulan data tentang perilaku klien

sebagai suatu sistem adaptif yang berhubungan dengan masing-masing

model adaptasi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan ketergantungan.

Oleh karena itu, pengkajian pertama diartikan sebagai pengkajian perilaku,

yaitu pengkajian klien terhadap masing-masing model adaptasi secara

sistematik dan holistic. Pelaksanaan pengkajian dan pencatatan pada empat

model adaptif tersebut akan memberikan gambaran keadaan klien kepada

tim kesehatan yang lainnya. Setelah pengkajian pertama perawat

menganalisa pola perubahan perilaku klien tentang ketidakefektifan


40

respons atau respons adaptif yang memerlukan dukungan perawat. Jika

ditemukan ketidakefektifan respons (maladaptive), perawat melaksanakan

pengkajian tahap 2. Pada tahap ini, perawat mengumpulkan data tentang

stimulus fokal, residual, dan kontekstual yang berdampak terhadap klien.

Proses ini bertujuan untuk mengklarifikasi penyebab dari masalah dan

mengidentifikasi faktor residual dan kontekstual yang sesuai.

2.5.2 Perumusan Diagnosa Keperawatan

Roy mendefinisikan 3 metode untuk menyusun diagnosa keperawatan:

a. Menggunakan tipologi diagnosa yang dikembangkan oleh Roy dan

berhubungan dengan 4 mode adaptasi (fisiologis, konsep diri, fungsi

peran, dan interdependen).


b. Menggunakan diagnosa dengan pernyataan/mengobservasi dari

perilaku yang tampak dan berpengaruh tehadap stimulusnya. Dengan

menggunakan metode diagnosa ini maka diagnosanya adalah “nyeri

dada disebabkan oleh kekurangan oksigen pada otot jantung

berhubungan dengan cuaca lingkungan yang panas”.


c. Menyimpulkan perilaku dari satu atau lebih adaptif mode

berhubungan dengan stimulus yang sama, yaitu berhubungan Misalnya

jika seorang petani mengalami nyeri dada, dimana ia bekerja di luar

pada cuaca yang panas. Pada kasus ini, diagnosa yang sesuai adalah

“kegagalan peran berhubungan dengan keterbatasan fisik (myocardial)

untuk bekerja di cuaca yang panas”.

2.5.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan merubah

ataumemanipulasi stimulus fokal, kontekstual, dan residual.


41

Pelaksanaannya juga ditujukan kepada kemampuan klien dalam koping

secara luas, supaya stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada klien,

sehinga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat.

Tujuan intervensi keperawatan adalah pencapaian kondisi yang optimal,

dengan menggunakan koping yang konstruktif. Tujuan jangka panjang

harus dapat menggambarkan penyelesaian masalah adaptif dan

ketersediaan energi untuk memenuhi kebutuhan tersebut

(mempertahankan, pertumbuhan, reproduksi). Tujuan jangka pendek

mengidentifikasi harapan perilaku klien setelah manipulasi stimulus fokal,

kontekstual dan residual.

2.5.4 Implementasi

Implementasi keperawatan direncanakan dengan tujuan merubah atau

memanipulasi fokal, kontextual dan residual stimuli dan juga memperluas

kemampuan koping seseorang pada zona adaptasi sehinga total stimuli

berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat.

2.5.5 Evaluasi

Penilaian terakhir dari proses keperawatan berdasarkan tujuan

keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan

keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dari kriteria hasil yang

ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu.

Anda mungkin juga menyukai