Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan
Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses
tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan
Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan
hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air
permukaan di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan
yang lebih rendah. Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu,
namun data umur K/Ar lava andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990)
menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu.
Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan, barat daya, barat dan utara
Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki gunung api yang
berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan Pegunungan
Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan Yogyakarta.
Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api
(Gunung) Merapi. Didasarkan pada data umur penarikhan 14C pada endapan
sinder yang tersingkap di Cepogo,aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung
sejak ±42.000 tahun yang lalu; sedangkan data penarikan K/Ar pada lava di
Gunung Bibi, aktivitas gunung api tersebut telah berlangsung sejak 0,67 jtl.
Tinggian di sebelah selatan dan kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah
utara, telah membentuk sebuah lembah datar. Bagian selatan lembah tersebut
berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan bagian baratnya berbatasan dengan
Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi yang diduga pernah terbentuk
lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung hitam. Lempung hitam
tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan endapan gunung api Gunung
Merapi. Didasarkan atas data penarikhan 14C pada endapan lempung hitam di
Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah ±16.590 hingga 470 tahun, dan di
Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung hitam di
Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi. Jadi data tersebut

1
dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan material Gunung
Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo (Kalibayem) tersingkap juga
endapan lempung hitam yang berselingan dengan lahar berumur 310 tahun. Jadi,
aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi daerah ini pada
±6210 hingga ±310 tl.

1.2 Maksud dan Tujuan


Maksud :
1. Untuk mengetahui geologi lokal daerah Hargorejo Kokap.
2. Untuk mengetahui struktur yang ada pada daerah Kokap.
3. Untuk mengetahui formasi pada daerah Kulonprogo.
4. Untuk mengetahui Geomorfologi daerah Kulonprogo.
Tujuan :
1. Dapat mendeskripsikan secara megaskopis batuan pada daerah
Hargorejo Kokap.
2. Dapat memahami/mengetahui geologi regional Kulonprogo.

1.3 Lokasi Dan Pencapaian Daerah


 Lokasi
Lokasi untuk pengambilan sempel batuan kami berada pada daerah
Kulonprogo, tepatnya berada di desa Hargorejo Kokap dengan koordinat
49 M 400175 9133511 (KP 47). Lokasi singkapan kami berada di sungai
yang vegetasinya berupa tumbuhan bambu, jati dan kelapa yang terletah di
sekitar tidak jauh dari pemukiman warga.
 Kesampaian
Menuju ke lokasi kami berangkat dari kampus STTNAS
Yogyakarta pada tanggal 19 November pukul 10.00 WIB menuju lokasi
yang bertempat di Hargorejo Kokap dan sampai di lokasi pada pukul 12.30
WIB dengan cuaca cerah berawan. Dengan menggunakan sepeda motor
melewati perbukitan dan pemukiman warga untuk sampai di lokasi tempat
pengambilan data sample batuan praktikum mineral optik.

2
1.3.1 Kondisi Geografi dan Sosial Daerah
Kondisi geografi di daerah Hargorejo Kec. Kokap Kuloprogo memiliki
morfologi perbukitan denudasional didominasi dengan bukit-bukit yang
mempunyai kemiringan lereng yang curam dengan proses erosi dan longsor yang
berjalan dengan intensif. Satuan bentuk lahan kecamatan kokap terdiri atas
pegunungan denudasional berbatuan andesit terkikis kuat, perbukitan intrusi
andesit, lereng kaki pegunungan denudasional berbatuan andesit, pegunungan
denudasional berbatuan breksi terkikis kuat, perbukitan denudasional berbatuan
breksi, lereng kaki rombakan berbatuan Clastic Limestone, dan dataran Alluvium.
Daerah kokap sebelah utara didominasi oleh pegunungan denudasional dengan
kemiringan lereng relative agak curam hingga curam. Sedangkan untuk bagian
sebelah selatan didominasi lereng bergelombang hingga relative datar. Kecamatan
Kokap sebelah utara merupakan daerah perbukitan dan pegunungan denudasional
dengan kemiringan lereng agak curam hingga curam dimana sebagian besar
lahannya masih berupa hutan dengan sebagian besar penggunaan lahan berupa
lahan pertanian dan pemukiman dan jumlah penduduk yang relative besar.
Kondisi sosial daerah tersebut berada cukup jauh dari kota dimana masih banyak
jalan yang rusak, tetapi warga di daerah tersebut ramah-ramah.

3
1.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang kami peroleh merupakan data dari lapangan yang diambil
secara random pada tubuh batuan beku yang sudah ditentukan, dimana kami
mengambil data yang berada di lokasi sungai yang berupa batuan dari lava/batuan
beku, metode pengambilan data atau sampel kami menggunakan alat yang berupa
palu geologi yang berupa palu batuan beku dimana sampel yang diambil dipukul
mengguakan palu geologi hingga didapatkan sampel seukuran handspecimen.

MENENTUKAN SINGKAPAN

PENGAMATAN SINGKAPAN

SAMPLING BATUAN

DESKRIPSI MEGASKOPIS

LAPORAN SEMENTARA

ANALISIS LABORATURIUM

POSTER GEOLOGI

4
BAB II
GEOLOGI

2.1. Geologi Regional


Secara geologi regional daerah kami termasuk kedalam Kulon Progo, yang
merupakan sebuah plato besar Jongglarangan. Kulon Progo merupakan bagian
dari zona Jawa Tengah bagian selatan, yaitu zona plato. Bagian utara dan timur
Kulon Progo ini dibatasi oleh dataran pantai Samudera Indonesia dan bagian barat
laut berhubungan dengan Pegunungan Serayu Selatan.
Kulon Progo berasal dari daerah up lafi yang luas dan kemudian
membentuk Dome yang luas. Dome tersebut berbentuk relief persegi panjang
dengan diameter berarah utara-selatan mencapai 30km, sedangkan pada arah
barat-timur diperkirakan mencapai 15-20km. Puncak dari dome tersebut berupa
dataran yang sangat luas, disebut plato.

2.1.1. Formasi Batuan Pada Lembar

Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan


stratigrafi regional menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah

5
(1989), dan Mac Donald dan partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi
menjadi 4 formasi, yaitu :
A. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu
pasir, sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi
limonit, batu gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska
dengan ketebalan 300 m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya
didapat umur formasi nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen
atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian
timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m,
terdiri dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang
semuanya berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil
pelecypoda.
2. Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara
selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta
beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
3. Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas
Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu
napal yang terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik,
kemudian terinterklasi lagi dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat
pada discocyclina beds adalah discocyclina.
B. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit,
lapili tuff, tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir
vulkanik yang tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan
secara tidak selaras dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m.
Diperkirakan formasi ini formasi ini berumur oligosen – miosen.

6
C. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal,
breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada
bagian atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan
napal dan batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak
formasi ini tidak selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan
ini diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini
ialah poraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
D. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir
napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal
tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras
dengan formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen
bawah sampai pleistosen.
E. Formasi Alluvial dan gumuk pasir
Formasi ini iendapan secara tidak selaras terhadap lapisan batuan
yang umurnya lebih tua. Litologi formasi ini adalah batu apsr vulkanik
merapi yang juga disebut formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir
terdiri dari pasir – pasir baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan
endapan alluvialnya terdiri dari batuan sediment yang berukuran pasir,
kerikir, lanau dan lempung secara berselang – seling.
Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri
termasuk dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang
penyusunnya berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan
aliran lava andesit. Dari penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974)
didapat beberapa fosil plankton seperti Globogerina Caperoensis bolii,
Globigeria Yeguaensis” weinzeierl dan applin dan Globigerina Bulloides
blow. Fosil tersebut menunjukka batuan berumur Oligosen atas. Karena
berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pada bagian terbawah gunung
berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen andesit tua diperkirakan
berumur oligosen atas sampai miosen bawah dengan ketebalan 660 m.

7
2.1.2. Stratigrafi

Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo merupakan


tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat dan
Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada pembagian tektofisiografi
wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Yang mencirikan tinggian Kulon Progo
yaitu banyaknya gunung api purba yang timbul dan tumbuh di atas batuan
paleogen, dan ditutupi oleh batuan karbonat dan napal yang berumur neogen.
Dalam stratigrafi regional dibahas umur batuan berdasarkan batuan penyusunnya,
untuk itu perlu diketahui sistem umur batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut
antara lain:
1. Sistem Eosen
Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung,
napal, napal pasiran, batu gamping, serta banyak kandungan fosil
foraminifera maupun moluska. Sistem eosen ini disebut “Nanggulan
group”. Tipe dari sistem ini misalnya di desa Kalisongo, Nanggulan Kulon
Progo, yang secara keseluruhannya tebalnya mencapai 300 m. Tipe ini
dibagi lagi menjadi empat yaitu “Yogyakarta beds”, “Discoclyina”,
“Axiena Beds” dan Napal Globirena, yang masing - masing sistem ini
tersusun oleh batu pasir, napal, napal pasiran, lignit dan lempung. Di
sebelah timur ”Nanggulan group” ini berkembang facies gamping yang
kemudian dikenal sebagai gamping eosen yang mengandung fosil
foraminifera, colenterata, dan moluska

8
2. Sistem Oligosen – Miosen
Sistem oligosen – miosen terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang
memuncak dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang
berupa letusan dan dikeluarkannya material – material piroklastik dari
kecil sampai balok yang berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian
material ini disebut formasi andesit tua, karena material vulkanik tersebut
bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava andesit dan tuff andesit.
Sedang pada sistem eosen, diendapkan pada lingkungan laut dekat pantai
yang kemudian mengalami pengangkatan dan perlipatan yang dilanjutkan
dengan penyusutan air laut. Bila dari hal tersebut, maka sistem oligosen –
miosen dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan sistem eosen
yang ada dibawahnya. Diperkirakan ketebalan istem ini 600 m. Formasi
andesit tua ini membentuk daerah perbukitan dengan puncak – puncak
miring.
3. Sistem miosen
Setelah pengendapan formasi andesit tua daerah ini mengalami
penggenangan air laut, sehingga formasi ini ditutupi oleh formasi yang
lebih muda secara tidak selaras. Fase pengendapan ini berkembang dengan
batuan penyusunnya terdiri dari batu gamping reef, napal, tuff breksi, batu
pasir, batu gamping globirena dan lignit yang kemudian disebut formasi
jonggrangan, selain itu juga berkembang formasi sentolo yang formasinya
terdiri dari batu gamping, napal dan batu gamping konglomeratan.
Formasi Sentolo sering dijumpai kedudukannya diatas formasi
Jonggrangan. Formasi Jonggrangan dan formasi Sentolo sama – sama
banyak mengandung fosil foraminifera yang beumur burdigalian – miosen.
Formasi – formasi tersebut memiliki persebaran yang luas dan pada
umumnya membentuk daerah perbukitan dengan puncak yang relative
bulat. Diakhir kala pleistosen daerah ini mengalami pengangkatan dan
pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan vulkanik dimana
pembentukan tersebut berlangsung terus – menerus hingga sekarang yang
letaknya tidak selaras diatas formasi yang terbentuk sebelumnya.

9
2.1.3. Struktur Geologi
Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang
dikelilingi oleh dataran alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja
adalah sebagai berikut :
A. Struktur Dome
Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara
keseluruhan merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km
mengarah NE – SW dan 20 km mengarah SE – NW. Puncak kubah
lonjong ini berupa satu dataran yang luas disebut jonggrangan plateu.
Kubah ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong dibagian
utaranya oleh sesar yang berarah tenggara – barat laut dan tertimbun oleh
dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome. Pemotongan ini
menandai karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona tengah
jawa. Bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah
mempunyai puncak yang relative datar dan sayap – sayap yang miring
dan terjal. Dalam kompleks pegunungan Kulon Progo khususnya pada
lower burdigalian terjadai penurunan cekungan sampai di bawah
permukaan laut yang menyebabkan terbentuknya sinklin pada kaki selatan
pegunungan Menoreh dan sesar dengan arah timur – barat yang
memisahkan gunung Menoreh denagn vulkan gunung Gadjah. Pada akhir
miosen daerah Kulon Progo merupakan dataran rendah dan pada puncak
Menoreh membentang pegunungan sisa dengan ketinggian sekitar 400 m.
secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon Progo terkubahkan
selama pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial yang
memotong breksi gunung ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang
memotong batu gamping Jonggrangan. Pada bagian tenggara kubah
terbentuk graben rendah.
B. Unconformity
Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan geologi berupa
ketidakselarasan (disconformity) antar formasi penyusun Kulon Progo.
Kenampakan telah dijelaskan dalam stratigrafi regional berupa formasi
andesit tua yang diendapkan tidak selaras di atas formasi Nanggulan,

10
formasi Jonggrangan diendapkan secara tidak selaras diatas formasi
Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan secara tidak selaras
diatas formasi Jonggrangan.

2.1.4. Geomorfologi
Menurut penelitian Van Bemmelen (1948), secara fisiografis Jawa Tengah
dibagi menjadi 3 zona, yaitu:
1. Zona Jawa Tengah bagian utara yang merupakan Zona Lipatan
2. Zona Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan Zona Depresi
3. Zona Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan Zona Plato
Berdasarkan letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa
Tengah bagian selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang
sangat luas yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan (Van Bemellen, 1948).
Daerah ini merupakan daerah uplift yang membentuk dome yang luas. Dome
tersebut relatif berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 32 km yang
melintang dari arah utara - selatan, sedangkan lebarnya sekitar 20 km pada arah
barat - timur. Oleh Van Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome.
Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi
menjadi beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu :

A. Satuan Pegunungan Kulon Progo


Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar
antara 100 – 1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng
sebesar 150 – 160. Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya
memanjang dari utara ke selatan dan menempati bagian barat wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo dan
Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini sebagian besar digunakan
sebagai kebun campuran, permukiman, sawah dan tegalan.
B. Satuan Perbukitan Sentolo
Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit
dan terpotong oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten
Kulon Progo dan Kabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50 –

11
150 meter diatas permukaan air laut dengan besar kelerengan rata – rata 15
0. Di wilayah ini, satuan perbukitan Sentolo meliputi daerah Kecamatan
Pengasih dan Sentolo.
C. Satuan Teras Progo
Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan
Sentolo dan disebelah timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi
kecamatan Nanggulan dan Kali Bawang, terutama di wilayah tepi Kulon
Progo.
D. Satuan Dataran Alluvial
Satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke
timur, daerahnya meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan
sebagian Lendah. Daerahnya relatif landai sehingga sebagian besar
diperuntukkan untuk pemukiman dan lahan persawahan.
E. Satuan Dataran Pantai
a. Subsatuan Gumuk Pasir
Subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di
sepanjang pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan
Congot. Sungai yang bermuara di pantai selatan ini adalah kali
Serang dan kali Progo yang membawa material berukuran besar
dari hulu. Akibat dari proses pengangkutan dan pengikisan, batuan
tersebut menjadi batuan berukuran pasir. Akibat dari gelombang
laut dan aktivitas angin, material tersebut diendapkan di dataran
pantai dan membentuk gumuk – gumuk pasir.
b. Subsatuan Dataran Alluvial Pantai
Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di sebelah utara
subsatuan gumuk pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir
halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir oleh kegiatan angin.
Pada subsatuan ini tidak dijumpai gumuk - gumuk pasir sehingga
digunakan untuk persawahan dan pemukiman penduduk.

12
2.2. Geologi Lokal
Dari lokasi pengamatan pengambilan sempel kondisi Geologi Lokal dari
Kulonprogo khususnya daerah Hargorejo Kokap merupakan daerah endapan
permukaan dari kubah lava dan leleran lava yang berasal dari Gunungapi purba
dengan litologi batuan beku dasit yang menerobos batuan andesit yang
berkomposisi antara andesit hipersten sampai andesit-augit-hornblende dan
trakiandesit. Struktur yang terdapat pada daerah tersebut berupa sesar yang direka.
Geomorfologi di daerah Kokap khususnya Hargorejo merupakan Satuan
Pegunungan Kulon Progo yang mempunyai ketinggian berkisar antara 100 – 1200
meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 150 – 160,
sedangkan lokasi penelitian merupakan BA fluvial. Satuan Pegunungan Kulon
Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatan dan menempati bagian
barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi kecamatan Kokap,
Girimulyo dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini sebagian besar
digunakan sebagai kebun campuran, permukiman, sawah dan tegalan.

2.3. Deskripsi Megaskopis di Lapangan

 Warna : Abu-abu
 Tekstur : Porfiritik
 Struktur : Masif
 Kristalinitas : Hipokristalin
 Graularitas : Fanerik
 Fabrik : Subhedral

13
 Relasi : In equigranular
 Komposisi : Feldspar, biotit, amphibol.
 Jenis batuan : Batuan beku
 Nama batuan : Andesit

Deskripsi Mineral Batuan :


Mineral 1

PPL XPL
Warna : colourness Warna : kunning, coklat
Bentuk : anhedral nilai : 0.02
Paleokroisme : dikroik ordo : 2
Relief : lemah pemadaman : paralel
Belahan : 1 arah sudut pemadaman : 51
Pecahan : - orientasi : length slow
Sumbu optis : biaxial
Tanda optis : +
Kembaran : carlsbad-albit

Nama mineral : Bitownite (an 80)


Mineral 2

PPL XPL

14
Warna : coklat kekuningan warna : coklat kemerahan
Bentuk : tabular, subhedral nilai : 0.026
Paleokroisme : lemah ordo : 2
Relief : sedang-tinggi pemadaman : paralel
Belahan : 1 arah orientasi : length slow
Pecahan : ada sumbu optis : biaxial
Tanda optis : +

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Formasi batuan pada geologi regional Kulonprogo diantaranya Formasi
Nanggulan, Formasi Andesit Tua, Formasi Jonggrangan, Formasi Sentolo,
Formasi Alluvial dan gumuk pasir.
 Yang mencirikan tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya gunung api purba
yang timbul dan tumbuh di atas batuan paleogen, dan ditutupi oleh batuan
karbonat dan napal yang berumur neogen.
 Struktur yang terdapat di Kulonprogo dikenali dengan adanya kenampakan
pegunungan yang dikelilingi oleh dataran alluvial. Secara umum struktur
geologi yang bekerja adalah sebagai berikut :Struktur Dome dan
Unconformity.
 Batuan yang berada di lokasi sampel merupakan batuan beku yang berupa
andesit.

16
DAFTAR PUSTAKA

Van Bemmelen, R.W..1970. The Geology of Indonesia, volume 1. A.Haque.


Netherlands.
Abu, zam. 2016. Album mineral optik. Sekolah Tinggi Teknologi Asional Yogyakarta.
Yogyakarta
Verdiansyah, oki. 2016. Buku panduan mineral optik 2016. Sekolah Tinggi Teknologi
Nasional Yogyakarta. Yogyakarta

17
LAMPIRAN

18

Anda mungkin juga menyukai