Anda di halaman 1dari 23

BAB I

RESPONSI

IDENTITAS PASIEN :

Nama : Ny. BSN

Umur : 20 tahun 7 bulan 15 hari

Alamat :Dsn.Banci Kel.Balongpanggan Kec.Balongpanggang

Gresik

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Tanggal Periksa : 29-10-2017

No RM : 657074

ANAMNESA :

Keluhan utama : Ada benjolan di vagina

Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengatakan terdapat benjolan di vagina

sedang hamil 5 bulan, plentingan ada sejak hamil 1

bulan di sebelah kanan 1 dan sebelah kiri 1 namun

tambah lama tambah banyak dan bergerombol.

1
Terdapat keputihan (+), perih (+), nyeri (+), bau (+),

nyeri (+), kemeng (+), gatal (+).

Riwayat penyakit dahulu : Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelum

menikah, mengalami keluhan seperti ini setelah

menikah 3 bulan dari pernikahan.

Gastritis (+)

Alergi makanan atau obat-obatan disangkal

HT disangkal

DM disangkal

Riwayat penyakit keluarga : Suami mengeluh gatal-gatal di genital

Ibu pasien sedang sakit paru-paru

HT disangkal

DM disangkal

Riwayat pengobatan : Memakai abotil, isoprinosine

Riwayat social : Pasien tidak pernah berhungan intim sebelum

menikah. Pertama kali berhubungan setelah

menikah.

2
PEMERIKSAAN FISIK :

Status Generalis

Keadaan umum : Cukup

Kesadaran : Composmentis

GCS : 456

Tekanan Darah :120/70

Nadi : 100x/menit

Suhu : 37,5 0 C

Respiration Rate : 20x/menit

Kepala / leher :

Rambut : normal

Mata : isokor, Anemis -/-, Ikterus -/-

Telinga : normal

Hidung : normal, dypsneu –

Mulut : normal, sianosis -, bibir kering -, lidah kotor –

Leher : pembesaran kelenjar getah bening -,

peningkatan JVP -, deviasi trakea –

3
Thorax : dbn

Abdomen : dbn

Ekstremitas :

Superior : akral hangat +/+ , oedem -/-,

inferior : akral hangat +/+, oedem -/-

Status Lokalis

Pada gambar 1 di labium mayor et sinistra inferior ditemukan gerombolan nodul


berkonfluen dengan permukaan verukosa, berwarna sesuai warna kulit sebagian
eritema, tidak mudah berdarah.

Gambar 1. Efluoroescence pasien (Sumber: File Pribadi 7/11/17)

4
Gambar 2. Efluoroescence pasien (Sumber: File Pribadi 4/12/17)

Pada gambar 2 merupakan gambaran setelah dilakukan tindakan kauterisasi dan

pemberian TCA 80%, tampak skuama di regio perineum berbatas tegas, gambaran

nodul bergerombol sudah tidak ada.

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

1. Tes asam asetat

2. Kolposkopi

3. Pemeriksaan histologi

4. Pemeriksaan dermoskopi

5. Identifikasi HPV

5
DIAGNOSA BANDING

1. Pearly penile papules

2. Kondiloma latum

3. Karsinoma sel skuamosa

PENATALAKSANAAN

A. Medikamentosa

 Tingtura Podofilin 25%

 Podofilotoksin 0,5%

 Asam Trikloroasetat 80-90%

 5 fluorourasil

 Bedah listrik

 Bedah skalpel

 Bedah beku

 Interferon

 Imunoterapi

B. Non medikamentosa

 Konseling penyakit dari resiko tertular HIV

 Obati pasangan seksual pasien

 Kunjungan ulang 3-7 hari setelah terapi

6
C. KIE

 Jaga Kebersihan kulit

 Menjaga kelembapan; fluor albus (-)

 Sirkumsisi

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Hepatitis B merupakan infeksi virus hepatitis B (VHB) pada hati yang

dapat bersifat akut atau kronis.1 Hepatitis B adalah adanya persistensi vitrus

hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan, sehingga pemaikaian istilah carrier sehat

(healty carrier) tidak diajurkan lagi.2

B. Patogenesis

Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari

peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi

virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane

utuh, partikel HbsAg bentuk bulat tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut

membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh,yang pertama

kali dirangsang adalah respon imun yang nonspesifik (innate immune

response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit

sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi

HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK-T.2

Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun

spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi

sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks

peptida VHB-MHC kelas 1 yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada

permukaan dinding Antigen Presenting cell (APC) dan dibantu rangsangan sel
8
T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida

VHB-MHC kelas 2 pada dinding APC. Sel hati dan menjadi antigen sasaran

respon imun adalah peptida kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+

selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang

terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati

yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolotik.

Disamping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel interferon gamma dan

tissue nekrotik factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme

nonsitolitik).2

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan

produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi anti

HBs adalah netralisasi dalam sel. Dengan demikian anti HBs akan mencegah

menyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronis VHB bukan disebabkan

gangguan produksi anti HBs. Buktinya pada pasien hepatitis B kronik ternyata

dapat ditemukan adanya anti HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode

pemeriksaan biasa karena anti HBs bersembunyi dalam kompleks dengan

HBsAg.2

Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat

diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi

VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien

dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor penjamu.2

9
Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk

VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel

terinfeksi, terjadinya muatan VHB yang tidak memproduksi HBeAg, intregasi

genom VHB dalam genom sel hati.2

Faktor penjamu antara lain : faktor genetik kurangnya produksi IFN,

adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit,

respon antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal.2

Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk VHB dalam

persistensi VHB adalah mekanisme infeksi VHB pada neonatus yang

dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi tersebut

disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk dalam tubuh

janin mendahului invasi VHB sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga

disebabkan oleh kelelehan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.

Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore

dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya

HBeAg pada muatan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi

VHB.2

Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan

tetap HBsAg positip sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B kronik,

sedangkan hanya 5 % individu dewasa yang mendapatkan akan mengalami

persistensi infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada

individu yang berbeda, tergantung konsentrasi partikel VHB dengan respon

10
imun tubuh.Interaksi antara VHB dengan respon imun tubuh terhadap VHB,

sangat besar besar perannya dalam menentukan derajat keparahan hepatitis.

Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan

jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka terjadi

kerusakan hati.2

Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik yaitu

fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance, dan fase

nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa

muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus

dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati

yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer

HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positip, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB

tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase

imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi

HBeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HBeAg

tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu dengan persistensi

VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses

nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini

pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase

imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh berusaha

menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi

VHB. Pada fase immunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan

maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu

11
tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada

kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HBsAg rendah dengan

HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif secara

spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase

nonreplikatif atau fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan

kekambuhan.2

Pada sebagian pasien residual, pada waktu terjadi serokonversi HBeAg

positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena

terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang

berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual,

replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan

bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi

dibandingkan pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah

infeksi hepatitis B menjadi tenang justru resiko untuk terjadi karsinoma

hepatoseluler (KHS) mungkin meningkat. Sebagai contoh, Onata melaporkan

dari 500 pasien KHS, 53 orang (11%) menunjukkan HBsAg yang positif. Dari

jumlah ini,46 (87%) anti-HBe positif dan 30% HbeAg positif. Diduga integrasi

genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses yang penting dalam

karsinogenesis. Karena itu, terapi anti virus harus diberikan selama mungkin

untuk mencegah sirosis tapi di samping itu juga sedini mungkin untuk

mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang dapat berkembang

menjadi KHS.2

12
C. Faktor Resiko

Tingginya prevelensi Hepatitis B sebagian diakibatkan oleh

infeksi perinatal (transmisi vertical) dan sebagian kecil terjadi secara

horizontal, yakni melalui kontak langsung cairan tubuh (darah dan produk

darah, saliva, cairan serebrospinal, cairan peritonium, cairan pleura, cairan

amnion, semen, cairan vagina, dan sebagainya).1

D. Gambaran Klinis

Gambaran klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak

kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati

hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan

splenomegali atau tanda-tanda penyakit kronis lainya, misalnya eritema

palmaris dan spider nevi, serta pada pemeriksaan laboratorium kenaikan

konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya

didapatkan konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum

umumnya masi normal kecuali pada kasus-kasus yang parah.

Secara sederhana manisfestasi klinis hepatitis B kronik dapat

dikelompokan menjadi 2 yaitu :

1. Hepatitis B kronik yang masi aktif (hepastitis B kronik aktif), HBsAg

positif dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan ALT

yang menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda

penyakit hati kronik. Pada biopsi hati didapatkan gambaran peradangan

yang aktif. Menurut status HBeAg pasien dikelompokan menjadi hepatitis

13
B kronik HBeAg positif dan hepatitis B kronik HBeAg negatif.

2. Carrier VHB inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini

HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 10 5

kopi/ml. Pasien menunjukan konsentrasi ALT normal dan tidak didapatkan

keluhan. Pada pemeriksaan histologik terdapat kelainan jaringan yang

minimal. Sering sulit membedakan Hepatitis B kronik HBe negative

dengan pasien carrier VHB inaktif karena pemeriksaan DNA kuantitatif

masi jarang dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu dilakukan

pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu yang cukup lama.

Pemeriksaan biopsi untuk pasien hepatitis B kronik sangat penting

terutama untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2 x

nilai normal tertinggi atau lebih. Biopsi dihati diperlukan untuk

menegakkan diagnosis pasti dan untuk meramalkan prognosis serta

kemungkinan keberhasilan terapi (respon histologik). Sejak lama

diketahui bahwa pasien hepatitis B kronik dengan peradangan hati yang

aktif mempunyai resiko tinggi untuk mengalami progesi, tetapi gambaran

histologik yang aktrif juga dapat meramalkan respon yang baik terhadap

terapi imunomodulator atau virus.

E. Diagnosa Banding

Kondiloma akuminata harus dibedakan dari semua kelainan berbentuk

papul di daerah genital, baik lesi karena variasi anatomis, infeksi, maupun

neoplasma jinak dan ganas lain, yaitu :

14
1. Pearly penile papules

Secara klinis tampak sebagai papul berwarna sama dengan kulit

sekitarnya, kadang sedikit lebih putih, berukuran 1-2 mm, tersebar diskrit,

mengelilingi sulkus koronarius. Papul-papul ini merupakan varian anatomis

normal dari kelenjar sebasea, sehingga tidak perlu diobati.1

2. Kondiloma lata

Merupakan salah satu bentuk klinis sifilis stadium sekunder. Lesi

berupa papul-papul dengan permukaan yang lebih halus dan bentuknya

lebih bulat dibandingkan kondiloma akuminata, terdapat di daerah lipatan

yang lembab, misalnya anus dan vulva.1

3. Karsinoma sel skuamosa

Kadang-kadang sulit dibedakan dengan kondiloma akuminata. Pada

lesi yang tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan untuk kondiloma

akuminata, perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk memastikan

diagnosis.1

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Serologi hepatitis B (lihat Tabel 2)

2. Biokimia hati. Pemeriksaan ALT,AST, gamma-glutamyl transpeptidase


15
(GGT), alkaline fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, serta pemeriksaan

darah perifer lengkap dan waktu protrombin.Umumnya akan ditentukan

ALT yang lebih tinggi dari AST, tetapi seiring berkembangnya penyakit

menuju siroris, rasio itu akan berbalik. Bila sirosis telah terbentuk, akan

tampak penurunan progresif albumin, peningkatan globulin, pemanjangan

waktu protrombin yang disertai penurunan jumlah trombosit. Pada pasien

Hepatitis B kronis, perlu dilakukan pemeriksaan α-fetoprotein untuk

mendeteksi karsinoma hepatoseluer.

3. USG dan biopsi hati untuk menilai derajat nekroin-flamasi dan fibrosis

pada kasus infeksi kronis dan sirosis hati.

4. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain, bila diperlukan,

termasuk kemungkinan ko-hepatitis C dan atau HIV.2

G. Tatalaksana

Pilihan obat berdasarkan keadaan lesi, yaitu jumlah, ukuran, dan

bantuk, serta lokasi. Cara pengobatan dapat dibagi atas pengobatan yang

dilakukan oleh pasien (home-patient-applied-treatment) dan pengobatan oleh

dokter (physician-apllied-treartment).2

1. Kemoterapi

 Tinktura podofilin 25%

Aplikasi dilakukan oleh dokter,tidak boleh oleh pasien

sendiri. Kulit di sekitarnya dilindungi dengan vaselin agar tidak

terjadi iritasi, dan dicuci setelah 4-6 jam. Jika belum ada
16
penyembuhan dapat diulangi setelah 3 hari. Setiap kali pemberian

jangan melebihi 0,3 cc karena akan diserap dan bersifat toksik.

Gejala intoksikasi berupa mual, muntah, nyeri abdomen, gangguan

alat nafas, dan keringat yang disertai kulit dingin. Dapat pula

terjadi supresi sumsum tulang yang disertai trombositopenia dan

leukopenia. Obat ini jangan diberikan pada wanita hamil karena

dapat terjadi kematian fetus.

Cara pengobatan dengan pedofilin ini sering dipakai.

Hasilnya baik pada lesi yang baru, tetapi kurang memuaskan pada

lesi yang lama atau yang berbentuk pipih.2

 Asam triklorasetat (trichloroacetic acid atau TCA) konsentrasi 80-

90%

Asam trikloroasetat (TCA) merupakan zat yang bersifat

kaustik dan dapat mengikis kulit dan membrana mukosa.

Mekanisme kerja TCA adalah dengan cara koagulasi protein yang

menyebabkan terjadi kekeringan sel dan jaringan sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya destruksi yang berat pada kondiloma.

Asam trikloroasetat dinyatakan aman digunakan pada kehamilan

karena tidak diabsorbsi secara sistemik. Zat ini dapat diaplikasikan

langsung ke permukaan lesi dengan lidi/kapas lidi aplikator

dibiarkan hingga kering dan terjadi frosting.5 Pengobatan diulang

setelah satu minggu.1 Tingkat keberhasilan TCA untuk terapi

17
kondiloma adalah 56-81% dengan tingkat rekurensi 36%. Terapi

dengan TCA mempertimbangkan tingkat keamanan dibanding

alternatif terapi yang lain, ketersediaan modalitas terapi dan biaya

yang lebih murah. Selain itu didapatkan hasil yang memuaskan dan

tidak ada efek samping pada pasien dan janin.5

 5-fluorourasil

Konsentrasinya antara 1-5% dalam krim, dipakai terutama

pada lesi di meatus uretra. Pemberiannya setiap hari oleh pasien

sendiri sampai lesi hilang. Pasien dianjurkan untuk tidak miksi

selama 2 jam setelah pengobatan.2

2. Interferon.3

 Bentuk sediaan : injeksi (im,intralesi), topikal (krim)

 Interferon alfa 5-6 Mu IM 3 kali seminggu selama 6 minggu atau

1-5 Mu selama 6 minggu

 Interferon beta 2x106 U IM selama 10 hari.

3. Imunoterapi

Jika lesi luas dan resistensi terhadap pengobatan tambahan

imunostimulator. Krim imiquimod dioleskan 3 kali seminggu,

maksimal 16 minggu, dicuci setelah 6-8 jam.3

18
4. Tata laksana bedah.3

 Bedah listrik (elektrokauterisasi)

 Bedah skalpel

 Bedah cair (N2 cair, N2O cair)

 Bedah laser (laser CO2), luka lebih cepat sembuh dengan sedikit

jaringan parut.

Tatalaksana Nonfarmakologi.3

 Konseling penyakit resiko tertular HIV

 Obati pasangan seksual pasien

 Kunjungan ulang 3-7 hari setelah terapi

H. Prognosis

Insidens kumulatif 5 tahun dari saat terdiagnosis Hepatitis B kronis

menjadi sirosis hati ialah 8-20%, dan insidens kumulatif 5 tahun dari sirosis

kompensata menjadi sirosis dekompensata pada hepatits B kronis yang tidak

diobat adalah 20 %. Pada kondisi sirosis dekompensata tersebut, angka survival

dalam 5 tahun hanya berkisar 14-35%. Di lain sisi, setelah terjadi sirosis hati,

angka kejadian KHS pada hepatitis B kronis ialah 2-5%.2

Walaupun sering mengalami residif, prognosisnya baik. Perbaiki faktor

presdisposisi misalnya higiene, flour albus, atau kelembapan pada laki-laki


19
akibat tidak disirkumsisi, atau keadaan imunosupresi.2

BAB III

PEMBAHASAN

Kondiloma akuminata adalah penyakit menular seksual yang disebabkan

oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe 6 dan 11 dengan kelainan berupa

fibroepitelioma pada kulit dan mukosa.4 Lesi berbentuk papilomatosis, dengan

permukaan verukosa.2 Namun pada Ny.BSN tidak dilakukan pemeriksaan genom

untuk memastikan tipe HPV yang menyebabkan kondiloma akuminata.

Faktor resiko kondiloma akuminata karena higiene kurang, terdapat fluor

albus dan laki-laki tidak disirkumsisi sehingga lembab.5 Selain itu, kondisi imun

seseorang yang menurun seperti pada penderita HIV, transplamtasi organ tubuh,
20
serta pada kondisi hamil akan mempengaruhi pertumbuhan dari lesi kondiloma

akuminata .3

Lesi kondiloma akuminata umumnya memburuk secara progresif dalam

keadaan hamil dan akan cepat sembuh dengan berakhirnya kehamilan. Faktor yang

mendasari progresif ini adalah efek hormon selama kehamilan, peningkatan aliran

darah, dan penurunan respon imun secara umum. Pasca kehamilan, lesi KA

umumnya akan mengalami regresi. Terapi perlu dilakukan pada wanita yang ingin

menjalani prosedur persalinan normal. Beberapa KA dapat dilakukan selama

kehamilan adalah aplikasi larutan TCA 80-90% oleh karena aman untuk ibu hamil

dan janin karena tidak diabsorbsi secara sistemik, elektrokauterisasi, bedah beku,

eksisi, dan laser. Namun, laser CO2 dan elektrokauterisasi dapat menyebabkan

perdarahan yang berat pada 33% pasien bila dilakukan pada kehamilan, serta dapat

menimbulkan infeksi dan nekrosis jaringan yang berat. Sedangkan laser Nd YAG

yang menembus lebih dalam dapat memberikan hasil yang lebih baik tetapi sangat

mahal dan tidak tersedia di setiap rumah sakit.5

Pilihan persalinan pada ibu dengan kondiloma akuminata disarankan

dengan bedah sesar untuk mengurangi resiko transmisi vertical melalui jalan lahir

dan mengurangi resiko terjadi pepiloma larings pada bayi yang dapat

mengakibatkan kematian atau morbiditas seumur hidup pada anak walaupun jarang

terjadi namun, risiko penularan dari ibu ke anak dengan perkembangan penyakit

selanjutnya pada anak diperkirakan 1 antara 80 dan 1 antara 1500.1,5 Selain itu,

infeksi HPV pada trofoblas ekstravili dapat menginduksi kematian sel dan

21
mengurangi invasi plasenta ke dinding rahim sehingga menyebabkan disfungsi

plasenta dan secara spontan dapat menyebabkan kelahiran prematur.5

Daftar Pustaka

1. Indriatmi, W., Zubier, F., Infeksi Menular Seksual. Dalam Kondiloma


Akuminata. Edisi ke lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2017. Hal 176-187

2. Indriatmi, W., dan Handoko, R.P., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Dalam
Kondilma Akuminata. Edisi ke tujuh. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2015 . Hal 481- 483.

3. Marcelena, R., dan Menaldi, S.M., Kapita Selekta Kedokteran. Dalam


Kondiloma Akuminata. 2014. Jakarta. Media Aesculapius. Hal 351- 353.

4. Murtiastutik, D., Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Dalam Kondiloma


Akuminata. Edisi ke dua. 2016. Surabaya. Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair. Hal 224-225.

5. Yenny, S.W., dan Hidayah, R., Kondiloma Akuminata pada Wanita Hamil :
Salah Satu Modilitas Terapi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2 (1). 47-50.
22
23

Anda mungkin juga menyukai