Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik biologi molekuler yang
memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dengan penggunaan teknik
PCR maka keberadaan penyakit pada organisme dapat diketahui sedini mungkin,
sehingga dapat dilakukan langkah pengendalian penyakit atau tindakan oleh para
pengambil kebijakan. Pada proses PCR terdapat beberapa siklus yaitu denaturasi,
annealing, dan ekstensi. Denaturasi merupakan proses pemanasan dengan menggunakan
suhu 90-95°C dengan tujuan untuk memisahkan untai ganda pada DNA sehingga menjadi
dua untai tunggal yang akan menjadi tempat menempelnya primer. Selanjutnya tahap
annealing yaitu proses penurunan suhu sampai mencapai 45-50°C, penurunan suhu ini
dilakukan agar primer berpasangan dengan sekuen komplementernya atau terjadinya
penempelan antara oligonukleotida dengan utas tunggal DNA. Lalu tahap selanjutnya
ekstensi pada tahap ini dilakukan kenaikkan suhu sampai 72°C, dengan suhu tersebut
enzim Taq DNA (Thermus Aquaticus) dapat bekerja dengan optimum, pada tahap ini
terjadi pemanjangan primer menjadi suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polymerase.
Suatu keberhasilan reaksi PCR dipengaruhi oleh desain primer yang digunakan,
desain primer dapat dibuat dengan menggunakan beberapa aplikasi, dalam pembuatan
desain primer cukup sulit dilakukan sehingga dibutuhkan keterampilan dalam
membuatnya.

1.2. Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam praktikum
“Perancangan Primer” antara lain :
1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan primer DNA?
1.2.2 Bagaimanakah fungsi primer pada PCR?
1.2.3 Bagaimana kriteria primer yang baik pada PCR?
1.2.4 Apa nama protein dan CDS genom yang dipilih?
1.2.5 Bagaimana kesesuaian primer yang didapat dengan kriteria primer yang baik?
1.2.6 Bagaimana spesifisitasnya?
1.3. Tujuan Percobaan
Dari rumusan masalah di atas diharapkan mahasiswa dapat mencapai tujuan sebagai
berikut:
1.3.1 Mengetahui penegrtian primer DNA
1.3.2 Mengetahui fungsi primer pada PCR
1.3.3 Mengetahui kriteria primer yang baik
1.3.4 Mengetahui protein dan CDS genom yang dipilih
1.3.5 Memahami kesesuaian primer yang didapat dengan kriteria primer yang baik
1.3.6 Memahami spesifisitasnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1.Pengertian PCR (Polimerase Chain Reaction)


Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (polymerase
chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara
enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan
dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik
lain yang menggunakan DNA. Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan
ia memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan
PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah
dan hanya memerlukan jumlah sampel yang kecil. PCR (Polimerase Chain Reaction) atau
reaksi berantai polimerase adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk
mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida
yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA.
Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang
diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya.
Pada awal perkembangannya PCR hanya dapat melipatgandakan DNA, tetapi
kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan
dan melakukan kuantitas molekul mRNA. PCR ini dapat meningkatkan jumlah urutan
DNA ribuan kali bahkan jutaan kali dari semula. Kunci utama pengembangan PCR
adalah menemukan bagaimana cara mengamplifikasi hanya pada urutan DNA target dan
meminimalkan amplifikasi urutan non-target.
2.3. Komponen Penyusun PCR
Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase,
komponen lain yang dibutuhkan adalah:
a. Primer
Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang
menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA.
Jadi jangan membayangkan kalau PCR mampu menggandakan seluruh DNA bakteri
E. coli yang panjangnya kira-kira 3 juta bp itu. PCR hanya mampu menggandakan
DNA pada daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp saja, dan dengan teknik
tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang
komplemen dengan DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah
tertentu yang kita inginkan.
Primer adalah rantai asam nukleat yang berfungsi sebagai titik awal untuk
mensintesis DNA, yang diperlukan untuk mereplikasi DNA karena enzim-enzim
yang mengkatalisis proses ini, yaitu DNA polimerase, hanya dapat menambahkan
nukleotida yang baru ke rantai DNA yang ada. Polimerase mulai melakukan replikasi
dimulai pada akhir 3’ pada primer dan menyalinnya dengan rantai yang berlawanan.
Dalam beberapa kasus replikasi DNA alami, primer untuk mensintesis DNA dan
replikasi adalah rantai pendek pada RNA. Banyak teknik pada laboratorium biokimia
dan biologi molekuler yang melibatkan DNA polimerase, seperti sequencing DNA
dan reaksi rantai polimerase (PCR) yang memerlukan primer DNA. Primer ini
biasanya pendek, oligonukleotida disintesis secara kimia, dengan panjang sekitar 20
basa, dimana primer melakukan hibridisasi ke DNA target, yang kemudian disalin
oleh polimerase.
Primer yang ideal :
1. Memiliki panjang sekitar 18-24 nukleotida
2. Suhu leleh (Tm) primer 50-60°C
3. Selisih Tm antara primer kurang dari 5°C
4. Urutan nukleotida yang sama tidak boleh lebih dari 4
5. Kandungan GC sebaiknya 40-60%
6. Ujung 3’ kedua primer tidak saling berkomplemen.

b. dNTP (deoxynucleoside triphosphate)


dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin
trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP
(deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building
block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel
pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang
komplementer dengan untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses
PCR harus ditentukan. dNTP dirancang untuk menghemat waktu dalam proses PCR
dan untuk meyediakan produktivitas yang tinggi dalam aplikasi PCR. Konsentrasi
optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi. Untuk
panjang target DNA kurang dari satu kilobasa biasanya digunakan konsentrasi
dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu
kilobasa diperlukan konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. dNTP alias building
blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri atas 4 macam
sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.

c. Buffer
Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan
reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase. Reaksi
PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk
melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk
menjamin pH medium. Ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer”(pH 8,75
dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer
tinggi). Untuk panjang DNA target antara 0 – 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-
salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari lima kilobasa
digunakan “high-salt buffer”. Buffer standar untuk PCR tersusun atas 50mM KCl,
10mM Tris-Cl (pH8.3) dan 1.5mM MgCl2. Buffer standard ini akan bekerja dengan
baik untuk DNA template dan primer dengan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak
optimum dengan kombinasi yang lain.

d. Ion Logam
Ion logam bivalen, umumnya Mg2+, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim
DNA polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja. Ion
logam monovalen, kalsium (K+).

2.4. Prinsip Kerja PCR


Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali
siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR
dalam satu siklus:
1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada suhu
tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi
berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama
(sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini
menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat (“patokan”) bagi primer.
Durasi tahap ini 1–2 menit.
2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA templat
yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60 °C.
Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak
terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini
1–2 menit.
3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA
polimerase yang dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan
pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi dan
renaturasi, beberapa berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain.
Akhirnya terdapat berkas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai.
Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.
Pada tahap denaturasi, pasangan untai DNA templat dipisahkan satu sama lain
sehingga menjadi untai tunggal. Pada tahap selanjutnya, masing-masing untai tunggal
akan ditempeli oleh primer. Jadi, ada dua buah primer yang masing-masing menempel
pada untai tunggal DNA templat. Biasanya, kedua primer tersebut dinamakan primer
maju (forward primer) dan primer mundur(reverse primer). Setelah menempel pada untai
DNA templat, primer mengalami polimerisasi mulai dari tempat penempelannya hingga
ujung 5’ DNA templat (ingat polimerisasi DNA selalu berjalan dari ujung 5’ ke 3’ atau
berarti dari ujung 3’ ke 5’ untai templatnya). Dengan demikian, pada akhir putaran reaksi
pertama akan diperoleh dua pasang untai DNA jika DNA templat awalnya berupa
sepasang untai DNA.
Pasangan-pasangan untai DNA yang diperoleh pada suatu akhir putaran reaksi
akan menjadi templat pada putaran reaksi berikutnya. Begitu seterusnya hingga pada
putaran yang ke n diharapkan akan diperoleh fragmen DNA pendek sebanyak 2 n – 2n.
Fragmen DNA pendek yang dimaksudkan adalah fragmen yang ukurannya sama dengan
jarak antara kedua tempat penempelan primer. Fragmen pendek inilah yang merupakan
urutan target yang memang dikehendaki untuk digandakan (diamplifikasi).
Bisa kita bayangkan seandainya PCR dilakukan dalam 20 putaran saja, maka pada
akhir reaksi akan diperoleh fragmen urutan target sebanyak 220 – 2.20 = 1.048576 – 40 =
1.048536 ! Jumlah ini masih dengan asumsi bahwa DNA templat awalnya hanya satu
untai ganda. Padahal kenyataannya, hampir tidak mungkin DNA templat awal hanya
berupa satu untai ganda. Jika DNA templat awal terdiri atas 20 untai ganda saja, maka
jumlah tadi tinggal dikalikan 20 menjadi 20.970.720, suatu jumlah yang sangat cukup
bila akan digunakan sebagai fragmen pelacak.

2.5. Perancangan Primer


Tahapan PCR yang paling menentukan adalah penempelan primer. Sepasang
primer oligonukleotida (primer maju dan primer mundur) yang akan dipolimerisasi
masing-masing harus menempel pada sekuens target, tepatnya pada kedua ujung fragmen
yang akan diamplifikasi. Untuk itu urutan basanya harus komplementer atau setidak-
tidaknya memiliki homologi cukup tinggi dengan urutan basa kedua daerah ujung
fragmen yang akan diamplifikasi itu. Padahal, kita belum mengetahui dengan pasti urutan
basa sekuens target. Oleh karena itu, diperlukan cara tertentu untuk merancang urutan
basa kedua primer yang akan digunakan.
Dasar yang digunakan adalah urutan basa yang diduga mempunyai kemiripan
dengan urutan basa sekuens target. Urutan ini adalah urutan serupa dari sejumlah
spesies/strain organisme lainnya yang telah diketahui/dipublikasikan. Sebagai contoh,
untuk merancang sepasang primer yang diharapkan dapat mengamplifikasi sebagian gen
lipase pada isolat Bacillus termofilik tertentu dapat digunakan informasi urutan basa gen
lipase dari strain-strain Pseudomonas fluorescens, P. mendocina , dan sebagainya, yang
sebelumnya telah diketahui.
Urutan-urutan basa fragmen tertentu dari berbagai strain tersebut kemudian
dijajarkan dan dicari satu daerah atau lebih yang memperlihatkan homologi tinggi antara
satu strain dan lainnya. Daerah ini dinamakan daerah lestari (conserved area).
Sebagian/seluruh urutan basa pada daerah lestari inilah yang akan menjadi urutan basa
primer.
Sebenarnya, daerah lestari juga dapat ditentukan melalui penjajaran urutan asam
amino pada tingkat protein. Urutan asam amino ini kemudian diturunkan ke urutan basa
DNA. Dari satu urutan asam amino sangat mungkin akan diperoleh lebih dari satu urutan
basa DNA karena setiap asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon.
Dengan demikian, urutan basa primer yang disusun dapat merupakan kombinasi beberapa
kemungkinan. Primer dengan urutan basa semacam ini dinamakan primer degenerate.
Selain itu, primer yang disusun melalui penjajaran urutan basa DNA pun dapat
merupakan primer degenerate karena urutan basa pada daerah lestari di tingkat DNA pun
tidak selamanya memperlihatkan homologi sempurna (100%).
Urutan basa pasangan primer yang telah disusun kemudian dianalisis
menggunakan program komputer untuk mengetahui kemungkinan terjadinya primer-
dimer akibat homologi sendiri(self-homology) atau homologi silang (cross-homology).
Selain itu, juga perlu dilihat kemungkinan terjadinya salah tempel(mispriming), yaitu
penempelan primer di luar sekuens target. Analisis juga dilakukan untuk mengetahui titik
leleh (Tm) masing-masing primer dan kandungan GC-nya. Sepasang primer yang baik
harus mempunyai Tm yang relatif sama dengan kandungan GC yang cukup tinggi.

2.6. Aplikasi teknik PCR


Kary B Mullis yang telah menemukan dan mengaplikasikan PCR pada tahun
1984. Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk berbagai macam kebutuhan,
diantaranya:
a. Isolasi Gen
Kita tahu bahwa DNA makhluk hidup memiliki ukuran yang sangat besar,
DNA manusia saja panjangnya sekitar 3 miliar basa, dan di dalamnya mengandung
ribuan gen. Sebagaimana kita tahu bahwa fungsi utama DNA adalah sebagai sandi
genetik, yaitu sebagai panduan sel dalam memproduksi protein, DNA ditranskrip
menghasilkan RNA, RNA kemudian diterjemahkan untuk menghasilkan rantai asam
amino alias protein. Dari sekian panjang DNA genome, bagian yang menyandikan
protein inilah yang disebut gen, sisanya tidak menyandikan protein atau disebut ‘junk
DNA’, DNA ‘sampah’ yang fungsinya belum diketahui dengan baik. Kembali ke
pembahasan isolasi gen, para ahli seringkali membutuhkan gen tertentu untuk
diisolasi. Sebagai contoh, dulu kita harus mengekstrak insulin langsung dari pankreas
sapi atau babi, kemudian menjadikannya obat diabetes, proses yang rumit dan tentu
saja mahal serta memiliki efek samping karena insulin dari sapi atau babi tidak
benar-benar sama dengan insulin manusia. Berkat teknologi rekayasa genetik, kini
mereka dapat mengisolasi gen penghasil insulin dari DNA genome manusia, lalu
menyisipkannya ke sel bakteri (dalam hal ini E. coli) agar bakteri dapat
memproduksi insulin juga. Hasilnya insulin yang sama persis dengan yang dihasilkan
dalam tubuh manusia, dan sekarang insulin tinggal diekstrak dari bakteri, lebih cepat,
mudah, dan tentunya lebih murah ketimbang cara konvensional yang harus
‘mengorbankan’ sapi atau babi. Untuk mengisolasi gen, diperlukan DNA pencari
atau dikenal dengan nama ‘probe’ yang memiliki urutan basa nukleotida sama
dengan gen yang kita inginkan. Probe ini bisa dibuat dengan teknik PCR
menggunakan primer yang sesuai dengan gen tersebut.

b. DNA Sequencing
Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing,
metode yang umum digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination
method) yang sudah dimodifikasi menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana
proses awalnya adalah reaksi PCR dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya
menggunakan satu primer (PCR biasa menggunakan 2 primer) dan adanya tambahan
dideoxynucleotide yang dilabel fluorescent. Karena warna fluorescent untuk setiap
basa berbeda, maka urutan basa suatu DNA yang tidak diketahui bisa ditentukan.

c. Forensik
Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban),
atau korban kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik
sulit atau tidak mungkin lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang
tepat. DNA dapat diambil dari bagian tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa
PCR untuk mengamplifikasi bagian-bagian tertentu DNA yang disebut fingerprints
alias DNA sidik jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang. Hasilnya
dibandingkan dengan DNA sidik jari keluarganya yang memiliki pertalian darah,
misalnya ibu atau bapak kandung. Jika memiliki kecocokan yang sangat tinggi maka
bisa dipastikan identitas orang yang dimaksud. Konon banyak kalangan tertentu yang
memanfaatkan pengujian ini untuk menelusuri orang tua ‘sesungguhnya’ dari
seorang anak jika sang orang tua merasa ragu.

d. Diagnosa Penyakit
Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang
mewabah saat ini, bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya
seperti ini memerlukan diagnosa yang cepat dan akurat. PCR merupakan teknik yang
sering digunakan. Teknologi saat ini memungkinkan diagnosa dalam hitungan jam
dengan hasil akurat. Disebut akurat karena PCR mengamplifikasi daerah tertentu
DNA yang merupakan ciri khas virus Influenza A (H1N1) yang tidak dimiliki oleh
virus atau makhluk lainnya.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan bahan


Alat : Seperangkat lengkap komputer dan assesorisnya yang terkoneksi internet
Bahan : cds gen dari organisme tertentu sebagai molekul DNA target

3.2 Cara kerja


1. Mencari CDS gen target dari situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov

Buka laman tersebut

Ketikkan gen yang mau dicari sekuensnya pada kolom search

Pilih nukleotida pada pilihan all database

Tekan tombol search

Pilih complete genome

Klik FASTA
2. Mencari primer

Buka kembali situs http://www.ncbi.nlm.gov di tab yang berbeda

Klik DNA & RNA

Klik Primer BLAST

Salin semua CDS gen yang dimaksud pada kolom enter eccession gi or
FASTA sequence

Pilih genome (all organisms) sebagai pilihan database

Lalu klik Get Primer

Tunggu hingga hasilnya keluar

3. Menentukan spesifisitas primer

Buka kembali situs http://www.ncbi.nlm.gov di tab yang berbeda

Pilih BLAST

Pilih nucleotide BLAST

Masukkan primer yang ingin dicek pada kolom enter accession number (s),
gi (s), or FASTA sequence

Pilih nucleotide pada pilihan database

Lalu klik BLAST

Tunggu beberapa saat, akan diperoleh presentase kesamaannya


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengertian Primer


Primer adalah suatu oligonukleotida (biasanya 16 hingga 30 nukleotida) yang
dapat digunakan untuk mengawali dalam mengamplifikasi sekuen DNA. Amplifikasi
sekuen DNA dengan PCR pada dasarnya menggunakan primer- primer yang
berhibridisasi pada utas DNA yang berlawanan. Orientasi arah pemanjangan dari primer
mengarah ke dalam melewati daerah sekuen DNA diantara dua primer yang digunakan.
Produk DNA yang disintesis dari satu primer berfungsi sebagai DNA template (cetakan)
bagi primer yang lain. Fungsi Primer adalah menyediakan ujung 3’-OH yang akan
digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses polimerisasi.
Primer biasa merupakan sepasang oligonukleotida, antara 15–25 basa atau mer
yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen yang berada diantaranya. Syarat
mendesain primer biasa diantaranya kedua primer hendaknya tidak mengalami self
annealing sehingga sekuen sepasang primer tidak saling komplemen, lalu khususnya pada
ujung 3’, tidak terjadi primer-dimer, dan kedua primer sebaiknya tidak mempunyai basa
nukleotida T pada ujung 3’-nya karena akan menyebabkan mismatch. Degenerate primer
adalah campuran urutan oligonukleotida di mana beberapa posisi berisi sejumlah
kemungkinan basa, memberikan populasi primer dengan urutan yang sama yang
mencakup semua kombinasi nukleotida yang mungkin untuk urutan protein yang
diberikan. Degenerate primer dipergunakan apabila sekuen DNA template tidak diketahui
dengan pasti. Degenerate primer tidak spesifik, tapi sangat sensitif.

4.2. Fungsi Primer untuk PCR


Fungsi primer pada PCR adalah untuk menyediakan ujung 3’ – OH yang akan
digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses polimerisasi dan
untuk membatasi daerah yang akan diperbanyak.
4.3. Kriteria Primer yang Baik
Syarat primer yang baik adalah sebagai berikut :

a. Panjang primer
Desain primer yang diperlukan untuk PCR adalah sepasang primer forward dan
reverse primer. Primer yang diperoleh merupakan rangkaian basa nukleotida yang
unik dan diusahakan memiliki ukuran pendek untuk meminimalkan biaya. Panjang
primer berkisar 18-24 basa nukleotida. Penelitian lain tidak menggunakan panjang
primer sebagai batasan langsung, melainkan menggunakan selisih panjang forward
primer dan reverse primer.
b. Primer Melting Temperature (Tm)
Primer Melting Temperature (Tm) atau suhu leleh merupakan temperatur yang
diperlukan oleh primer untuk mengalami disosiasi atau pelepasan ikatan. Suhu leleh
primer yang digunakan harus sama untuk memastikan kinerja yang konsisten pada
pasangan primer.Terdapat beberapa formula yang dapat digunakan untuk menghitung
suhu leleh primer, antara lain Wallace’s Formula, Bolton and McCarthy’s Formula
dan Thermodynamic Basis Sets for Nearest Neighbor Interactions.
c. Primer Annealing Temperature (Ta)
Primer Annealing Temperature (Ta) merupakan suhu yang diperkirakan agar
primer dapat berkaitan dengan template (DNA) secara stabil. Suhu aneling yang tinggi
akan menyulitkan terjadinya ikatan primer sehingga menghasilkan produk PCR yang
kurang efisien. Sebaliknya, suhu aneling yang terlalu rendah menyebabkan terjadinya
penempelan primer pada DNA di tempat yang tidak spesifik. Ta dapat dihitung
menggunakan rumus:
Ta 𝑇𝑎Annealing
: Primer 𝑃 + 0.7 x 𝑇𝑚 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡 − 14.9
= 0.3 x 𝑇𝑚Temperature
Tm (P) : Primer Melting Temperature
Tm(product) : Product Melting Temperature, suhu leleh pada produk
d. Selisih Primer Melting Temperature (∆Tm)
Pasangan primer sebaiknya tidak memiliki selisih suhu leleh yang tinggi.
Pasangan primer dengan selisih suhu leleh yang lebih dari 5°C menyebabkan
penurunan proses amplifikasi, atau bahkan memungkinkan tidak terjadi proses
amplifikasi.
e. GC content
Aturan umum yang diikuti oleh sebagian besar program desain primer adalah
menggunakan persen basa G dan C antara 40% hingga 60%.
f. GC clamp
Beberapa program mensyaratkan pasangan primer memiliki basa GC pada ujung
3’ dari primer. GC Clamp yang dimaksud adalah ujung C, G, CG atau GC, yang
diyakini membuat hibridisasi lebih stabil. Namun perlu dihindari lebih dari 3 basa G
atau C pada 5 basa terakhir ujung 3′ karena ujung 3′-nya bisa melipat membentuk
struktur dimer dan hiarpin yang mengakibatkan ujung 3′ primer tidak terikat pada
template.
g. Struktur Sekunder / Secondary structure
Reaksi PCR sebaiknya tidak mengandung secondary structures berupa hairpin
atau dimer. Hairpin adalah struktur yang dibentuk oleh basis pasangan asam
polynucleic antara urutan komplementer untai tunggal baik DNA maupun RNA.
Kedua primer sebaiknya tidak memiliki basa nukleotida T pada ujung 3’-nya karena
dapat menyebabkan mismatch/ketidakcocokan. Banyaknya mismatch atau mismatch
pada ujung 3’-primer juga dapat menyebabkan hairpin. Hairpin pada ujung 3' dengan
ΔG (energy yang dipelukan untuk memecah struktur hairpin) = -2 kcal/mol dan
hairpin internal dengan ΔG = -3 kcal/mol masih dapat ditoleransi.
Self-dimer adalah primer yang berikatan dengan primer lainnya yang sejenis.
Self-dimer pada ujung 3’ dengan ΔG = -5 kkal/mol dan self-dimer pada bagian internal
dengan ΔG= -6 kkal/mol masih dapat ditoleransi.
Cross-dimer adalah primer yang berikatan dengan primer pasangannya (reverse
dan forward). Cross-dimer pada ujung 3’ dengan ΔG= -5 kkal/mol dan self-dimer
pada bagian internal dengan ΔG= -6 kkal/mol masih dapat ditoleransi.
h. Self-Complementary (SC) dan Pair-Complementary (PC)
Self complementary dapat menyebabkan struktur hairpin yang stabil hanya
dengan 4 pasangan basa GC pada ujung maupun bagian tengah primer. Primer harus
berisi kurang dari 4 basa komplementer, terutama pada ujung 3’. Pair complementary
terutama pada ujung 3’ primer dapat menyebabkan struktur dimer.
i. Repeats & Run
Perulangan yang cukup panjang dengan basa sama (lebih dari tiga basa
berurutan sama) harus dihindari karena dapat menyebabkan terjadinya breathing pada
primer dan mispirming, sehingga proses penempelan primer menjadi sulit. Primer
sebaiknya juga tidak memiliki urutan pengulangan dari 2 basa dan maksimum
pengulangan 2 basa sebanyak 4 kali masih dapat di toleransi. Hal ini juga
menyebabkan terbentuknya struktur hairpin.

Gambar 4. Breathing pada


primer
j. Specificity atau keunikan
Primer merupakan rangkaian basa nukleotida yang berasal dari template / DNA
target. Primer yang baik adalah rangkaian basa nukleotida yang unik pada template
tersebut, sehingga tidak terdapat pada sequence atau lokasi lain pada template. Untuk
menghindari cross homology, perlu dilakukan analsis primer melalui BLAST-NCBI
untuk mengetahui bahwa primer yang digunakan benar-benar unik dan tidak
menempel pada organisme lain.
k. Panjang produk / product length
Jarak antara ujung 5’ kedua primer dikenal dengan istilah amplicon atau product
length. Pada umumnya, product length yang digunakan adalah <2000 basa. Jarak ini
dirasa cukup untuk proses amplifikasi pada template.
l. Restriction Site
Restriction Site diberikan jika diperlukan. Untuk kasus primer yang memiliki
restriction site, maka algoritma tertentu digunakan untuk memeriksa kesamaan pola
dari ujung 5’ ke ujung 3’ primer, dan memproses apakah terdapat enzim sesuai
restriksi yang diberikan atau tidak. Jika terdapat restriction site yang sama, maka
algoritma yang digunakan akan menyesuaian nilai yang dimiliki untuk proses seleksi
primer yang optimal.
4.4. Printscreen Hasil Perancangan Primer
4.4.1 Pencarian CDS gen target dari situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov
a. Situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov beserta gen dan sekuens yang dicari

b. Tampilan gen dan sekuens


c. Tampilan Complete Genome
d. Tampilan FASTA

4.4.2 Pencarian Primer


a. Situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov di tab berbeda
b. Tampilan DNA & RNA

c. Tampilan Primer-BLAST
d. Tampilan Primer-BALST dan salinan CDS Gen

e. Running proses pembentukan primer spesifik


f. Hasil Get Primer
4.4.3 Menentukan Spesifisitas Primer
a. Situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov di tab berbeda

b. Tampilan BLAST

c. Tampilan kolom BLAST dan salinan primer forward


d. Running BLAST

e. Tampilan Nucleotide BLAST


f. Deskripsi BLAST
4.4.4 Tabel Hasil Pengamatan Primer

4.5 Analisis Hasil Primer


4.5.1 Primer 1

Gambar Hasil primer 1


Susunan primer 1 adalah sebagai berikut: Panjang primer dari primer 1 adalah
20 nukleotida, Tm forward 59.97°C, Tm reverse 59.97°C dan selisih Tm 0°C.
Nilai GC pada forward primer adalah 60% dan reverse primer adalah 55%.
Panjang produk dari primer 1 adalah 409. Pada primer 1 tidak dijumpai adanya >4
urutan nukleotida yang sama, dan ujung 3’ kedua primer tidak sama, ujung 3’
forward primer adalah C dan reverse primer adalah T. Jadi primer 1 telah
memenuhi kriteria primer yang baik. Hasil BLAST Nucleotide (BLASTN)
forward primer sebanyak 114 BLAST dengan spesifisitas 100% sebanyak 25
BLAST. Salah satu dimer yang dihasilkan dari CCGTACTACTTCCGCGAGAC
pada rantai ke-1 sampai 20 adalah CCGTACTACTTCCGCGAGAC pada rantai
ke 26.566 sampai 26.585. Sedangkan hasil BLAST Nucleotide (BLASTN)
reverse primer sebanyak 147 BLAST dengan spesifisitas 100% sebanyak 12
BLAST. Salah satu dimer yang dihasilkan dari TCTACCGATTCGCTGATGGC
pada rantai ke-1 sampai 20 adalah TCTACCGATTCGCTGATGGC pada rantai
ke 26.974 sampai 26.955.

4.5.2 Primer 5

Gambar Hasil primer 5


Susunan primer 5 adalah sebagai berikut: Panjang primer dari primer 1 adalah
20 nukleotida, Tm forward 59.97°C, Tm reverse 59.97°C dan selisih Tm 0°C.
Nilai GC pada forward primer adalah 55% dan reverse primer adalah 55%.
Panjang produk dari primer 1 adalah 699. Pada primer 1 tidak dijumpai adanya >4
urutan nukleotida yang sama, dan ujung 3’ kedua primer tidak sama, ujung 3’
forward primer adalah T dan reverse primer adalah G. Jadi primer 5 telah
memenuhi kriteria primer yang baik. Hasil BLAST Nucleotide (BLASTN)
forward primer sebanyak 110 BLAST dengan spesifisitas 100% sebanyak 12
BLAST. Salah satu dimer yang dihasilkan dari GTCATCCTAGCGATGCTGCT
pada rantai ke-1 sampai 20 adalah GTCATCCTAGCGATGCTGCT pada rantai
ke 30.052 sampai 30.071. Sedangkan hasil BLAST Nucleotide (BLASTN)
reverse primer sebanyak 116 BLAST dengan spesifisitas 100% sebanyak 12
BLAST. Salah satu dimer yang dihasilkan dari GGTGCGTTCCAACCAAAGTC
pada rantai ke-1 sampai 20 adalah GGTGCGTTCCAACCAAAGTC pada rantai
ke 30.750 sampai 30.731.

4.5.3 Primer 7

Gambar Hasil primer 7

Susunan primer 7 adalah sebagai berikut: Panjang primer dari primer 1 adalah
20 nukleotida, Tm forward 59.97°C, Tm reverse 59.97°C dan selisih Tm 0°C.
Nilai GC pada forward primer adalah 60% dan reverse primer adalah 55%.
Panjang produk dari primer 7 adalah 144. Pada primer 7 tidak dijumpai adanya >4
urutan nukleotida yang sama, dan ujung 3’ kedua primer tidak sama, ujung 3’
forward primer adalah C dan reverse primer adalah T. Jadi primer 7 telah
memenuhi kriteria primer yang baik. Hasil BLAST Nucleotide (BLASTN)
forward primer sebanyak 100 BLAST dengan spesifisitas 100% sebanyak 10
BLAST. Salah satu dimer yang dihasilkan dari GAGAGTAGTAAGCCCGCGAC
pada rantai ke-1 sampai 20 adalah GAGAGTAGTAAGCCCGCGAC pada rantai
ke 17.936 sampai 17.955. Sedangkan hasil BLAST Nucleotide (BLASTN)
reverse primer sebanyak 129 BLAST dengan spesifisitas 100% sebanyak 39
BLAST. Salah satu dimer yang dihasilkan dari GTTCAGAGTGCTCTGCCAGT
pada rantai ke-1 sampai 20 adalah GTTCAGAGTGCTCTGCCAGT pada rantai
ke 18.079 sampai 18.060.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Primer adalah suatu oligonukleotida (biasanya 16 hingga 30 nukleotida) yang dapat


digunakan untuk mengawali dalam mengamplifikasi sekuen DNA.

2. Fungsi primer pada PCR adalah untuk menyediakan ujung 3’ – OH yang akan
digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses polimerisasi
dan untuk membatasi daerah yang akan diperbanyak.

3. Kriteria persyaratan primer yang baik adalah panjang primer terdiri dari 18 – 24
nukleotida, suhu leleh atau Tm dari suatu primer berada dalam kisaran 50 – 600C,
selisih Tm antara primer satu dengan yang lain adalah kurang dari 50C, urutan
nukleotida yang sama tidak boleh lebih dari 4, kandungan GC sebaiknya adalah 40 –
60%, dan ujung 3’ kedua primer tidak saling berkomplemen.

4. Semua primer yang telah dipilih memenuhi persyaratan primer yang baik.

5. Semua primer yang telah dipilih mempunyai persamaan 100% dengan nukleotida
target,

5.2 Saran
1. Mempersiapkan perangkat komputer yang lengkap dan koneksi internet yang baik
sehingga tidak mengganggu jalannya praktikum
2. Memahami langkah-langkah kerja sehingga dapat mengikuti praktikum dengan
baik
DAFTAR PUSTAKA

Dieffenbach, C.W. and Dveksler, G.S. 1995. PCR Primer, a Laboratory Manual. Cold Spring
Harbor Laboratory Press, New York
Handoyo, Darmo dan Ari Rudiretna. 2001. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase
Chain Reaction (PCR). Pusat Studi Bioteknologi – Universitas Surabaya
Joshi, Mohini dan Dr. Deshpande J.D. 2010. Polymerase Chain Reaction: Methods,
Principles, and Application. International Journal of Biomedical Research.
Riupassa, Pieter Agusthinus. Perancangan Primer Oligonukleotida untuk Polimerisasi in
Vitro Gen Sukrosa Sintase.
Sasmito, Dinda Eling K. Rahadian Kurniawan, dan Izzati Muhimmah. Karakteristik Primer
pada Polymerase Chain Reaction(PCR) untuk Sekuensing DNA: Mini Review.
Yusuf, Zuhriana K. 2010. 2010. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek Vol 5, No 6.
LAMPIRAN

Tampilan hasil pencarian gen


Tampilan setelah pilih complete genome
Tampilan setelah klik FASTA
Hasil tampilan Primer BLAST
Tampilan hasil Get Primer
Tampilan BLAST F
Tampilan BLAST R

Anda mungkin juga menyukai