BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun
1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena
kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di
Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-
negara tetangga.
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian.
Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka
kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%,
sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang
dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia
kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian
1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador,
Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya
adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri
dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%)
menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak
yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun
kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di
banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa
Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan
remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa
belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan
Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari
473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun,
dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003,
dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14
tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri
cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada
tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua
Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine,
penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anak-
anak.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep difteri dan asuhan yang diberikan pada penderita difteri di jawa timur tahun
a. Mengetahui dan memahami definisi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
b. Mengetahui dan memahami etiologi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.
c. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010
s.d 2011.
d. Mengetahui dan memahami patofisiologi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d
2011.
e. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010
s.d 2011.
f. Mengetahui dan memahami komplikasi dari pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d
2011.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas
bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,
selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari (FKUI:
2007).
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit,
yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium
ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan
diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini
(Acang: 2008).
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius
bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin
yang dapat menimbulkan gejala umum dan local (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
B. Etiologi
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi
kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri
merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat
memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini,
karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants
dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Widoyono, 2005).
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan
mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan
bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring.
ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan
bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan
penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan
dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman
C. Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler.
Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
1. Host
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae.
Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak-anak berusia 2 sampai 5 tahun.
2. Agent
Corynebacterium diphtheria
sumber :http://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/difteri-sebagai-contoh-food-and-water-
borne-disease/
Polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora,mati pada pemanasan
60C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es,air,susu dan lender yang telah
mongering. Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk kolonin dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit.
1. Pseudomembran yang sukar diangkat,mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang
meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin,leukosit,jaringan nekrotik dan basil.
2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbs
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung,ginjal dan
jaringan saraf.satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan lebih kurang 1/50
3. Environment
Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
E. Pathogenesis
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi
penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi,
sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi
radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang
sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-
abuan(psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran
ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan
gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan
mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat
menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis
terutama pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati
dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada
difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea
sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa
Sumber : http://obatpropolis.com/penyakit-difteri
F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa
di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi
(bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini
tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan
tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi
dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang
timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak
penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian
yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides,
sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis
Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah)
yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik
toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
Gambar : keluaran cairan dari lubang hidung
Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit
tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin
diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam
jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya
edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
Gambar : Anoreksia
Difteri laring
Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak,
dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan
kematian.
Gambar : Batuk Menggonggong
Difteri kulit
Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus
dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin
terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri
dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal
jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering
mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan
kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan
napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,
dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri
H. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. karena preparat smear kurang dapat di percaya,
Adanya membran di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa
penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.tetapi membran pada difteri agak berbeda
dengan membran penyakit lain,warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan
disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat
I. Diagnosis Banding
Pada difteri nasal perdarahan yang timbul Harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka
penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran
putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang
tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring dan tonsil tampak hiperimis dengan
membran putih kekuningan,rapuh dan lembek,tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada
tonsil saja.
Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh,tebal,berbau dan tidak mudah
berdarah.sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram
negatif).
Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai
pembengkakan kelenjar umum.khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah
tepi.
Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil.difteri laring harus
rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang semuanyaakan memberikan gejala
J. Penatalaksanaan Difteri
1. Tindakan Umum
Tujuan :
Jenis Tindakan :
b. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini
dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan
c. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,
g. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas : Berikan Oksige, Trakeostomi, yang mana
4) Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu
2. Tindakan Spesifik
Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara
unilateral/bilateral.
· 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke
· 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,
saja
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc
NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD
merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada
Uji Kepekaan
· Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah
· Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan (dosisnya 0,01 cc/kg BB im,
Tes kulit
· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20
menit.
· Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata
bagian bawah
· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 –
20 menit kemudian
secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi)
dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan
adrenalin 1:1000.
3. Antibiotik
Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
4. Kortikosteroid
Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
K. Pemeriksaan Penunjang
1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan
sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x
seminggu.
7. Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.
Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk
larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung
antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada
yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna
merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi
apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami
kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah,
sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain
disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya
positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan.
Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo:
2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap
toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam
waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama
beberapa hari.
L. Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
humidifier.
2. Pengobatan Khusus
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan
lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum
pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
-Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri
dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin, Penisilin,
-Kortikosteroid
3. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
4. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa
tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat
5. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
minggu.
imunitas
M. Komplikasi
Miokarditis
Biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit Pemerikasaan
Fisik : Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-
1. Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan
perubahan interval QT
Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama
sistem motorik (terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit dan tanda-tanda renjatan
: TD menurun (systol ≤ 80 mmHg), Tekanan nadi menurun, Kulit keabu-abuan dingin dan basah,
N. Pencegahan
1. Isolasi
Penderita penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
2. Imunisasi
Imunisasi dasar di mulai pada umur 3 bulan di lakukan 3 kali berturut-turut dengan selang
waktu 1 bulan.biasanya di berikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang telah
di matikan sehingga di sebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subcutan atau
intramuskular .vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar
atau kira-kira umur 1 ½ -2 tahun dan pada umur 5 tahun.selanjutnya setiap 5 tahun sampai
dengan usia 15 tahun hanya di berikan vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau apabila ada
Dilkukan dengan uji schick,yaitu bila hasil negatif (mungkin penderita karier atau pernah
KASUS
Penyakit mematikan berupa infeksi akut pada saluran pernafasan atau dalam bahasa
kedokteran disebut Difteri mulai mewabah di Kabupaten Situbondo. Berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan (Dinkes) Pemkab Situbondo, mulai bulan Januari hingga awal Mei tahun 2012,
tercatat sebanyak 60 orang terjangkit dengan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae.
Dua orang penderita penyakit difteri meninggal dunia di RS Bondowoso, karena dua
orang penderita penyakit yang disebabkan oleh bakteri tersebut sempat menolak untuk dirujuk
ke RSU dr Abdoer Rahem Situbondo, dengan alasan kedua penderita difteri itu takut untuk
Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemkab Situbondo, pada pertengahan tahun 2012 mengatakan
tercatat sebanyak 60 orang yang terjangkit dengan penyakit difteri. Bahkan, dua orang penderita
Sementara itu, Humas RSU dr Abdoer Rahem Situbondo mengatakan, dalam sepekan
terakhir ini tercatat sebanyak 3 pasien penderita penyakit difteri yang menjalani rawat inap di
RSU dr Abdoer Rahem Situbonndo, namun 1 penderita diantaranya sudah pulang karena
kondisinya mulai membaik, sedangkan 2 penderita penyakit difteri masih dirawat diruang isolasi
Unit Perawatan Fisik (UPF) milik Pemkab Situbondo. Masing-masing adalah Anisyatul (13),
anak pasangan suami istri (Pasutri) asal Desa/Kecamatan Suboh, serta Nabila (3 tahun) anak
Pasutri asal Desa Trebungan, Kecamatan Mangaran. Total jumlah pasien penyakit difteri mulai
Januari hingga Mei 2012 yang dirawat di RSU dr Abdoer Rahem Situbondo sebanyak 8 pasien,
sedangkan pada awal Mei ini sebanyak 3 pasien yang menjalani rawat inap, namun untuk
memastikan tiga pasien itu terjangkit penyakit difteri, kami mengirimkan lendir tenggorokan
tiga pasien tersebut ke laboratorium di Surabaya, menurut Iir Nadiroh, Humas RSU dr Abdoer
Rahem Situbondo.
Anak L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan fisik
anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi.
Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul
dengan 3 lpm.
Anamnesa:
Usia : 6 Tahun
2. Keluhan Utama : Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang : Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau makan. Sehingga
anak L dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy
Pemeriksaan Fisik
tachicardi
Normal
Normal
Diagnosa: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.
Kriteria Hasil:
Diagnosa: Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan berhubungan dengan peradangan
pada faring
Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan
yang memuaskan.
No Intervensi Rasional
1. Beri makan melalui Naso Gastric Tube (NGT) Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian
memungkinkan.
2. Pantau masukan keluaran dan berat badan. Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutris
Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso Gastric
Tube
No Intervensi Rasional
1. Bersihkan kateter sesering mungkin Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam
tubuh
pemasangan NGT.
Kriteria Hasil:
Kriteria hasil:
PENUTUP
A. Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria, oleh
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit
Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi 3 yaitu, difteri hidung, difteri faring, difteri
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah : Panas lebih dari 38 °C,Adapsedomembrane bisa
dipharynx,larynx atau tonsil. Sakit waktu menelan. Leher membengkak seperti leher sapi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan,
Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu : Isolasi penderita, Imunisasi, dengan
memberikan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar
1. Pengobatan difteria dilakukan untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
2. Pengobatan khusus, yaitu dengan memberikan antitoksin (Anti Diptheriar Serum ), antibiotic
dan kortikosteroid
3. Pengobatan penyulit
4. Pengobatan kontak
5. Pengobatan karier
B. Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-
anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum
minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan
tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri
mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta
Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA
FK UI: Jakarta
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta
Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta