Anda di halaman 1dari 33

Makalah Wabah Difteri (Epidemiologi)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun

1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena

kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di

Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-

negara tetangga.

Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian.

Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka

kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%,

sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari

rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan

Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.

Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang

dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia

kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian

1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador,

Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya

adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri

dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%)
menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak

yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun

kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di

banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa

Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan

remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa

belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri.

Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan

Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari

473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun,

dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003,

dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14

tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri

cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada

tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua

untuk kasus difteri pada tahun 2008 (Dinkes Sumsel, 2010).

Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine,

penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anak-

anak.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui konsep difteri dan asuhan yang diberikan pada penderita difteri di jawa timur tahun

2010 s.d 2011.


2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui dan memahami definisi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.

b. Mengetahui dan memahami etiologi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d 2011.

c. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010

s.d 2011.

d. Mengetahui dan memahami patofisiologi pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d

2011.

e. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010

s.d 2011.

f. Mengetahui dan memahami komplikasi dari pada penderita difteri di jawa timur tahun 2010 s.d

2011.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh

kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas

bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat

menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,

selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari (FKUI:

2007).

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit,

yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium

ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan

diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini

(Acang: 2008).

Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh

Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau

mukosa (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008).

Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman

Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius

bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin

yang dapat menimbulkan gejala umum dan local (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
B. Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram

positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi

kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri

merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat

memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini,

karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants

dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type

gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis

menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7

termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang

virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas

dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Widoyono, 2005).

Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan

mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan

bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring.

Di dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran

ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan

bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan

penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan

dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman

difteri menurun dengan drastic (Hastomo, 2008).

C. Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau

tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler.

Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan

pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun

makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri

melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan

kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita

mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga

sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi

kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi

kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai

kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal

jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan

selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri

juga menyerang kulit.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang

terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian

tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran

dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah

penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran

udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.


Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang

dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.

Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan

pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,2003).

D. Triad Epidemiologi Difteria

1. Host

Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae.

Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak-anak berusia 2 sampai 5 tahun.

Pada orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah.

2. Agent

Corynebacterium diphtheria

sumber :http://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/difteri-sebagai-contoh-food-and-water-

borne-disease/

Polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora,mati pada pemanasan

60C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es,air,susu dan lender yang telah
mongering. Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar

perbedaan bentuk kolonin dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit.

Basil dapat membentuk

1. Pseudomembran yang sukar diangkat,mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang

meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin,leukosit,jaringan nekrotik dan basil.

2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbs

dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung,ginjal dan

jaringan saraf.satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan lebih kurang 1/50

dosisi ini dipakai untuk uji schick.

3. Environment

Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh

karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang

kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

E. Pathogenesis

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun

sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi

atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi

penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi,

sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama

saluran pernafasan bagian atas.

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi

radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang

sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-
abuan(psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran

ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan

gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan

mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat

menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis

terutama pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati

dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada

difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea

sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa

mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.3

Sumber : http://obatpropolis.com/penyakit-difteri

F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa

di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi

(bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini

tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan

tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan

disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan

tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang

diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening

di leher sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003)

Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi

dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang

timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak

penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian

yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides,

sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis

paralysis jaringan saraf atau nefritis.

G. Jenis Jenis Difteri

Anterior nasal difteri

Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah)

yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik

toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
Gambar : keluaran cairan dari lubang hidung

Pharyngeal dan difteri tonsillar

Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit

tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin

diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam

jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya

edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.

Gambar : Anoreksia

Difteri laring

Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak,

dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan

kematian.
Gambar : Batuk Menggonggong

Difteri kulit

Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus

dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari

konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.

Gambar : Defteri kulit

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin

terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri

dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal

jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering
mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan

kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.

Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan

napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,

dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri

telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

H. Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat

mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala

klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. karena preparat smear kurang dapat di percaya,

sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari.

Adanya membran di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa

penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.tetapi membran pada difteri agak berbeda

dengan membran penyakit lain,warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan

disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat

terjadi pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.

I. Diagnosis Banding

Pada difteri nasal perdarahan yang timbul Harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka

dalam hidung,korpus alienium atau sifilis kongenital.

Tonsilitis folikularis atau lakunaris


Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih.anak harus dianggap sebagai

penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran

putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang

tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring dan tonsil tampak hiperimis dengan

membran putih kekuningan,rapuh dan lembek,tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada

tonsil saja.

Angina plaut vincent

Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh,tebal,berbau dan tidak mudah

berdarah.sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram

negatif).

Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa

Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai

pembengkakan kelenjar umum.khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah

tepi.

Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia)

Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil.difteri laring harus

dibedakan dengan laringitis akuta, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran

rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang semuanyaakan memberikan gejala

stridor inspirasi dan sesak.

J. Penatalaksanaan Difteri

1. Tindakan Umum

Tujuan :

a. Mencegah terjadinya komplikasi

b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum


c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul

Jenis Tindakan :

a. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi

b. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini

dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan

(terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).

c. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,

stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.

d. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal

e. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)

f. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.

g. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas : Berikan Oksige, Trakeostomi, yang mana

disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson:

1) Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal

2) Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah

3) Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah

4) Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu

tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.

Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.

2. Tindakan Spesifik

Tujuan :

a. Menetralisir Toksin

b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder

Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :

a. Serum Anti Difteri (SAD)

Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.

· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara

unilateral/bilateral.

· 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke

uvula, palatum molle dan dinding faring.

· 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,

komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian

Difteri hidung 20.000 IM

Difteri tonsil 40.000 IM atau IV

Difteri faring 40.000 IM atau IV

Difteri laring 40.000 IM atau IV

Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV

Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV

Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana 80.000-120.000 IV

saja
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc

NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD

merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada

pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :

Uji Kepekaan

· Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah

pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

· Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan (dosisnya 0,01 cc/kg BB im,

maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).

· Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.

Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :

Tes kulit

· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20

menit.

· Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.

Tes Mata

· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata

bagian bawah

· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 –

20 menit kemudian

· Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )

· Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000


Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi

secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi)

dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:

· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

· 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan

· 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan

· 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan

· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan

adrenalin 1:1000.

3. Antibiotik

Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.

Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

4. Kortikosteroid

Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.

Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)

K. Pemeriksaan Penunjang

1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan

tenggorok (nasofaringeal swab)

2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin


3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen

4. Enzim CPK, segera saat masuk RS

5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)

6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan

sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x

seminggu.

7. Tes schick:

Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria.

Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk

larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung

antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada

yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna

merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi

apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung

antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang

akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami

kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah,

sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain

disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya

positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan.

Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo:

2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap

toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam

waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama

beberapa hari.

L. Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.

diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

1. Pengobatan Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali

berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring

selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria

laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan

humidifier.

2. Pengobatan Khusus

-Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin

pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan

lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum

pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.

-Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri
dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin, Penisilin,

kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.

-Kortikosteroid

Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.

3. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit

yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta

gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

4. Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut

terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa

tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat

imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

5. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif

tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah

penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.

Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri

Biakan Uji Shick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari

oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu

minggu.

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40

mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status

imunitas

M. Komplikasi

Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :

Miokarditis

Biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit Pemerikasaan

Fisik : Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-

tanda payah jantung. Gambaran EKG :

1. Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan

perubahan interval QT

2. Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)

3. Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung

Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelectasis

Urogenital : dapat terjadi nefritis

Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama

sistem motorik (terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit dan tanda-tanda renjatan
: TD menurun (systol ≤ 80 mmHg), Tekanan nadi menurun, Kulit keabu-abuan dingin dan basah,

serta anak gelisah)

N. Pencegahan

1. Isolasi

Penderita penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan

sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut.

2. Imunisasi

Imunisasi dasar di mulai pada umur 3 bulan di lakukan 3 kali berturut-turut dengan selang

waktu 1 bulan.biasanya di berikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang telah

di matikan sehingga di sebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subcutan atau

intramuskular .vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar

atau kira-kira umur 1 ½ -2 tahun dan pada umur 5 tahun.selanjutnya setiap 5 tahun sampai

dengan usia 15 tahun hanya di berikan vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau apabila ada

kontak dengan penderita difteri.

3. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteri

Dilkukan dengan uji schick,yaitu bila hasil negatif (mungkin penderita karier atau pernah

mendapat imunisasi)mka harus dilakukan hapusan tenggorok.jika ternyata ditemukan

corynebacterium diphtheria,penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.


BAB III

KASUS

Penyakit mematikan berupa infeksi akut pada saluran pernafasan atau dalam bahasa

kedokteran disebut Difteri mulai mewabah di Kabupaten Situbondo. Berdasarkan data dari Dinas

Kesehatan (Dinkes) Pemkab Situbondo, mulai bulan Januari hingga awal Mei tahun 2012,

tercatat sebanyak 60 orang terjangkit dengan penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Corynebacterium diphtheriae.

Dua orang penderita penyakit difteri meninggal dunia di RS Bondowoso, karena dua

orang penderita penyakit yang disebabkan oleh bakteri tersebut sempat menolak untuk dirujuk

ke RSU dr Abdoer Rahem Situbondo, dengan alasan kedua penderita difteri itu takut untuk

ditempatkan diruang isolasi RS milik Pemkab Situbondo.

Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)

Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemkab Situbondo, pada pertengahan tahun 2012 mengatakan

tercatat sebanyak 60 orang yang terjangkit dengan penyakit difteri. Bahkan, dua orang penderita

diantaranya diketahui meninggal dunia.

Sementara itu, Humas RSU dr Abdoer Rahem Situbondo mengatakan, dalam sepekan

terakhir ini tercatat sebanyak 3 pasien penderita penyakit difteri yang menjalani rawat inap di

RSU dr Abdoer Rahem Situbonndo, namun 1 penderita diantaranya sudah pulang karena

kondisinya mulai membaik, sedangkan 2 penderita penyakit difteri masih dirawat diruang isolasi

Unit Perawatan Fisik (UPF) milik Pemkab Situbondo. Masing-masing adalah Anisyatul (13),
anak pasangan suami istri (Pasutri) asal Desa/Kecamatan Suboh, serta Nabila (3 tahun) anak

Pasutri asal Desa Trebungan, Kecamatan Mangaran. Total jumlah pasien penyakit difteri mulai

Januari hingga Mei 2012 yang dirawat di RSU dr Abdoer Rahem Situbondo sebanyak 8 pasien,

sedangkan pada awal Mei ini sebanyak 3 pasien yang menjalani rawat inap, namun untuk

memastikan tiga pasien itu terjangkit penyakit difteri, kami mengirimkan lendir tenggorokan

tiga pasien tersebut ke laboratorium di Surabaya, menurut Iir Nadiroh, Humas RSU dr Abdoer

Rahem Situbondo.
Anak L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan fisik

anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi.

Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul

dengan 3 lpm.

Anamnesa:

1. Identitas pasien : Nama : L

Usia : 6 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-lak

2. Keluhan Utama : Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.

3. Riwayat Penyakit Sekarang : Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau makan. Sehingga

anak L dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy

4. Riwayat penyakit keluarga

5. Riwayat penyakit masa lalu

Pemeriksaan Fisik

· B1 : Breathing (Respiratory System)

RR tak efektif (Sesak nafas)

· B2 : Blood (Cardiovascular system)

tachicardi

· B3 : Brain (Nervous system)

Normal

· B4 : Bladder (Genitourinary system)

Normal

· B5 : Bowel (Gastrointestinal System)

Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi


· B6 : Bone (Bone-Muscle-Integument)

Lemah pada lengan, turgor kulit

Diagnosa: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.

Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal

Kriteria Hasil:

 Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas

 Pernapasan tetap pada batas normal


No Intervensi Rasional
1. Oksigenasi dengan pemasangan nasal Mempertahankan kebutuhan oksigen
kanul yang maksimal bagi pasien
2. Tirah baring selam 2 minggu di ruang Untuk mepertahankan atau
isolasi memperbaiki keadaan umum
3. Pemberian SAD 40.000 KI secara IM Menetralisir toksin sehingga
atau IV mengurangi peradangan

Diagnosa: Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan berhubungan dengan peradangan

pada faring

Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.

Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan

yang memuaskan.
No Intervensi Rasional
1. Beri makan melalui Naso Gastric Tube (NGT) Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian
memungkinkan.
2. Pantau masukan keluaran dan berat badan. Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutris

Diagnosa : Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT

Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi.

Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso Gastric

Tube
No Intervensi Rasional
1. Bersihkan kateter sesering mungkin Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam
tubuh

Diagnosa: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena

pemasangan NGT.

Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.

Kriteria Hasil:

 Pasien istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga.

 Mulut tetap bersih dan lembab.

 Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada.


No Intervensi Rasional
1. Beri stimulasi taktil (mis; Untuk memudahkan perkembangan
membelai, mengayun). optimal dan meningkatkan
kenyamanan.
2. Beri perawatan mulut. Untuk menjaga agar mulut tetap bersih
dan membran mukosa lembab.
3. Dorong orangtua untuk Untuk memberikan rasa nyaman dan
berpastisipasi dalam perawatan aman.
anak.

Diagnosa : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung

Tujuan : Denyut jantung normal dan pasien tidak gelisah

Kriteria hasil:

- bunyi jantung normal

- tidak ditemukan tanda-tanda payah jantung.

- gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST


No. Intervensi Rasional
1. Pemberian ADS 40.000 KI secara IM atau - Menetralisir Toksin
IV - Eradikasi Kuman
- Menanggulangi infeksi
sekunder
2. Pemberian obat sedative Untuk mengurangi rasa gelisah anak
(diazepam/luminal)
3. Pantau terus hasil perekaman EKG Untuk evaluasi segala kedaaan dari
miokard
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria, oleh

karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun

sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi

atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit

yang mencemari tanah sekitarnya.

Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi 3 yaitu, difteri hidung, difteri faring, difteri

laring dan difteri kutaneus.

Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak

masa inkubasi, sedangkan masa penularancarier bisa sampai 6 bulan.

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah : Panas lebih dari 38 °C,Adapsedomembrane bisa

dipharynx,larynx atau tonsil. Sakit waktu menelan. Leher membengkak seperti leher sapi

(bullneck), disebabkan karena pembengkakakn kelenjar leher

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan,

Infeksi sedang dan Infeksi berat

Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu : Isolasi penderita, Imunisasi, dengan

memberikan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar

Pencegahan dan kemudian mengobati karier difteria

1. Pengobatan difteria dilakukan untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,

mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit

difteria.a. Pengobatan umum

2. Pengobatan khusus, yaitu dengan memberikan antitoksin (Anti Diptheriar Serum ), antibiotic

dan kortikosteroid

3. Pengobatan penyulit

4. Pengobatan kontak

5. Pengobatan karier

B. Saran

Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-

anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi

kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa

sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan

pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.

Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum

minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan

tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri

mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan

yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.


DAFTAR PUSTAKA

Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.

Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.

Hastomo.2008.Makalah Tentang Penyakit Menular Difteri.Politeknik Kesehatan Yogyakarta, diakses


dari http://www.scribd.com/doc/22270094/difteri

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta

Kadun I Nyoman. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV Infomedika: Jakarta

Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta

Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA
FK UI: Jakarta

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta

Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai