Anda di halaman 1dari 13

Penyebab, Gejala dan Penatalaksanaan Demam Typhoid

Pendahuluan
Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada
usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit
ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya
berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan
sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Infeksi demam tifoid terjadi ketika seseorang mengonsumsi makanan atau minuman
yang telah terkontaminasi sejumlah kecil tinja yang mengandung bakteri Salmonella typhi.
Demam tifoid bila biasanya terlihat saat seseorang mengalami demam terus menerus lebih
dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam, tampak pucat, sakit perut, tidak
buang air besar atau diare beberapa hari. Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin
baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja
daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat
saja.1
Anamnesis
Tujuan utama suatu anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar
yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya.
Komunikasi adalah kunci untuk berhasilnya suatu wawancara. Pewawancara harus dapat
menanyakan pertanyaan – pertanyaan kepada pasien dengan bebas. Pertanyaan-pertanyaan ini
harus mudah dimengerti dan disesuaikan dengan pengalaman medik pasien. Anamnesis
terdiri dari beberapa pertanyaan yang dapat mengarahkan kita untuk dapat mendiagnosa
penyakit apa yang diderita oleh pasien. Pertanyaan tersebut meliputi identitas pasien, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga dan
riwayat sosial.
- Identitas pasien :seorang laki-laki 22 tahun
- Keluhan utama :demam sejak 1 minggu
- Riwayat penyakit sekarang :demam dirasakan sepanjang hari dan lebih
tinggi menjelang sore hari. Keluhan disertai pusing, nyeri perut, mual dan muntah.
Belum buang air besar sejak 4 hari yang lalu dan memiliki kebiasaan makan di
tempat yang kurang bersih.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah 120/80
mmHg, frekuensi nadi 90 kali/menit teraba kuat, suhu 37,8oC, frekuensi nafas 18 kali/menit.
Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan di ulu hati.
Tingkat kesadaran pasien ada enam yaitu compos mentis (sadar sepenuhnya, baik
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya.Pasien dapat menjawab pertanyaan
pemeriksaan dengan baik), apatis (kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau
bersifat acuh tak acuh terhadap sekelilingnya), delirium (penurunan kesadaran disertai
kekacauanmotorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah,
kacau, disorientasi dan meronta-ronta), somnolen (keadaan mengantuk yang masih dapat
pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali),
sopor (keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang
yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
memberikan jawaban verbal yang baik), semi koma (penurunan rangsangan yang tidak
memberikan respon terhadap rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali,
tetapi refleks pupil dan kornea masih baik), koma (tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap
rangsangan apapun juga).2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah didapatkan Hb 14 g/Dl, Ht 42%, leukosit 4.000/Ul, trombosit
200000/Ul. Pemeriksaan Widal didapatkan titer Salmonella typhi O : 1/160, Salmonella typhi
H : 1/160, Salmonella paratyphi A O : 1/80.
Pemeriksaan penunjang di atas menunjukan pemeriksaan yang dilakukan untuk
diagnosis demam tifoid. Secara lengkapnya, pemeriksaan penunjang diagnosis demam tifoid
diawali dengan pemeriksaan darah perifer lengkap dimana biasa ditemukan leukopenia,
walaupun dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukosistosis. Leukositosis dapat
terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia.Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
walaupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan
SGPT seringkali meningkat, dan akan kembali normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan
SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu aglutinin
O (dari tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman) dan aglutinin Vi (simpai kuman).Dari
ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara tepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan
aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih ditemukan setelah 4-6 bulan.
Sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Titer aglutinin O akan naik lebih dulu dan
lebih cepat hilang daripada aglutinin H atau Vi, karena pembentukannya T independent
sehingga dapat merangsang limfosit B untuk mengekskresikan antibodi tanpa melalui limfosit
T. Titer aglutinin O ini lebih bermanfaat dalam diagnosa dibandingkan titer aglutinin H. Bila
bereaksi dengan antigen spesifik akan terbentuk endapan seperti pasir. Titer aglutinin O
1/160 dinyatakan positif demam typhoid dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat
vaksinasi atau sembuh dari demam typhoid dan untuk yang tidak pernah terkena 1/80
merupakan positif.
Uji Tubex digunakan untuk mendeteksi antibody anti S. typhi O9 pada serum pasien,
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjungasi pada partikel latex
yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang terkonjungasi pada partikel magnetik
latex. Hasil posistif uji TUBEX ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroupD
walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphiakan
memberikan hasil negatif.
Secara imunologi antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang
respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpan bantuan
dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap anti-gen O9 dapat dilakukan lebih dini,
yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu
diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG
sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi tabung
berbentuk V yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, reagen A yang
mengandung partikel magnetik yang diselubungi antigen S. typhi O9, reagen B yang
diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes
reagen A. setelah itu dua tetes reagen B ditambahkan ke dalam tabung.Hal tersebut dilakukan
pada kelima tabung lainnya.Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung
yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm.Intepretasi
hasil dilakukan berdasarkan larutan campuran yang bervariasi dari kemerahan hingga
kebiruan.Berdasarkan warna tersebut ditentukan skor dimana kurang dari 2 maka
intepretasinya adalah negatif. Jika skor sama dengan 3 maka intepretasinya adalah borderline
dimana harus dilakukan pengujian lagi untuk memastikan hasilnya. Kemudian jika skor
menunjukkan lebih dari 4 maka intepretasinya adalah positif, yang jika menunjukkan angka
lebih dari 6, maka infeksi tifoid sudah sangat kuat.
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B bereaksi dengan reagen A. ketika diletakkan
pada daerah mengandung medan magnet, komponen magnet yang dikandung reagen A akan
tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. Sebaliknya, bila serum
mengandung antibodi terhadap O9, antbodi pasien akan berikatan dengan reagen A dan
menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada
larutan.
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhiI.Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.
typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. Pada kasus reinfeksi, respon imun
sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat
bertahan sampai 2 tahun hingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi
primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-
M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif dan lebih cepat.
Uji lain adalah uji IgM dipstick. Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM
spesifik terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip
yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. Typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol),
reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna,
cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.
Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25 derajat
Celcius di tempat kering tanpa paparan sinar matahari.Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi
strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama tiga jam pada suhu
kamar.Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.Secara semi
kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan
reference strip.Garis kontrol harus terwarna dengan baik.
Tes lain yang dapat dilakukan adalah kultur darah. Hasil biakan darah yang positif
memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid,
karena mungkin disebabkan beberapa hal seperti telah mendapat terapi antibiotik, volume
darah yang kurang, pernah divaksinasi, dan jika pengambilan darah dilakukan setelah minggu
pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.1,3

Diagnosis Banding
Diagnosis banding adalah penentuan yang mana dari dua atau lebih penyakit atau
kondisi yang dimiliki pasien, dengan sistematis membandingkan dan mengkontraskan temuan
klinis atasnya.

- Demam Berdarah Dengue : juga mengalami nyeri kepala dan nyeri otot serta
demam. Akan tetapi demam pada demam berdarah dengue bersifat bifasik yang
naik turun tidak teratur, Demam tinggi yang mendadak, terus menerus
berlangsung 2 – 7 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi,
dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak turun, berbeda dengan demam tifoid
yang demamnya sepanjang hari.3
- Malaria : demam pada malaria adalah demam intermitten, dimana suhu badan
turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Demam khas
malaria terdiri atas 3 stadium, yaitu menggigil (15 menit – 1 jam), puncak demam
(2-6 jam), dan berkeringat (2-4 jam). Demam akan mereda secara bertahap karena
tubuh dapat beradaptasi terhadap parasit dalam tubuh dan ada respons imun
Berbeda dengan demam tifoid yang tergolong demam kontinyu, demam sepanjang
hari.3,4
- Leptospirosis : seperti demam tifoid, sama-sama mengalami demam namun
demam pada leptospira secara tiba-tiba, tetapi pada leptospirosis terdapat nyeri
tiba-tiba di kepala, terutama bagian frontal, nyeri otot yang hebat terutama pada
paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Selain itu pada leptospirosis
ditemukan fotofobia.3
Working Diagnosis
Dari anamnesa yang didapat adalah demam meningkat perlahan-lahan dan terutama
pada sore dan malam hari, mual dan muntah, dan tidak bisa BAB selama 4 hari. Dan
dilakukan pemeriksaan fisik maupun penunjang yang memperkuat WD. Sehingga pasien
didiagnosa menderita penyakit demam thypoid.3

Etiologi
Demam tifoid timbul akibat infeksi oleh bakteri golongan Salmonella (Salmonella
typhi) yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Bakteri Salmonella dapat
menyebar dari kotoran penderita demam tifoid saat sakit maupun yang dalam masa
penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella sp di
dalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak
akan menjadi karier sementara, sedang 2% yang lain akan menjadi karier yang menahun.
Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal type) sedang yang
lain termasuk urinary type. Salmonella adalah kuman batang gram negative, fakultatif
aerobik, motil ber flagel, tidak membentuk spora. Memiliki ukuran 1-3µm×0.5µm, kuman
akan mati pada suhu 55oC dalam satu jam dan 60oC dalam 15 menit. Mempunyai 3 macam
antigen :
1. Antigen O (Somatik) : terdapat pada lapisan luar tubuh bakteri, mempunyai struktur
lipopolisakarida atau endotoksin
2. Antigen H : terletak pada flagella, mempunyai struktur kimia suatu protein
3. Antigen V (virulence) : terletak pada kapsul (envelope) dari bakteri yang dapat melindungi
bakteri terhadap fagositosis, struktur kimia glikolipid.3
Epidemiologi
Kejadian demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia
Selatan, Asia Tenggara dan kemungkinan Afrika Selatan (insiden >100 kasus per 100000
populasi pertahun). Kejadian demam tifoid sedang (10-100 kasus per100000 populasi per
tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (Kec. Australia dan Selandia
Baru) serta yang rendah (< 10 kasus per 100000 populasi per tahun) dibagian dunia lainnya.
Di indonesia, insiden demam tipoid banyak dijumpai pada populasi berusia 3-19
tahun. Kejadian demam tifoid di indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya
anggota keluarga dengan riwayat terkena demam typoid, tidak adanya sabun cuci tangan,
mengguanakan piring yang sama untuk makan dan tidak tersedianya tempat buang air besar
dalam rumah.1,3
Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten kedalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental,
dan koagulasi.

Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.
typhi intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.3,5

Gambaran Klinis
Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membentu
mendekteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan
untuk membantu menegakan diagnosis. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-
14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat,
dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada
pemerikaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sift demam adalah meningkat
perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala
menjadi leih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatifadalah peningkatan
suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor
di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolea jarang
ditemukan pada orang indonesia.3,6
Tatalaksana
Istirahat dan perawatan.
Dengan tirah baring dan perawatan profesinal bertujuan untuk mencegah
komplikasi.Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perklengkapan pakaian yang di pakai.
Diet dan terapi penunjang.
Makanan yang kurang akan menurukan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin
turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan
dengan makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari
sementara sayuran berserat) dapat di beri dengan aman pada pasien demam tifoid
Pemberian antimikroba
Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin dan amoksilin, golongan
fluorokuinon, azitromisin
 Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien
demam tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau
intravena,sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat
intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat
turun rata 5 hari
 Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang
daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam
tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.
 Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-
trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2
kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80
mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata
turun d setelah 5-6 hari
 Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,efektivitas
ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi
mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang
dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas
demam
 Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin
generasi ketiga antara lain Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk
demam tifoid. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberika selama setengah jam per infuse sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5
hari
 Fluorokinolon : terdiri atas norfloksasin, siproflosaksin, oflosaksin, peflosaksin, dan
fleroksasin
 Azitromisin : Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan azitromisin mengurangi
kemungkinan kegagalan klinis, durasi rawat inap, dan mengurangi angka relaps.
Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi dalam sel
sehingga ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi S. typhi yang merupakan
kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan
oral maupun suntikan intravena.
Selain memberikan antimikroba diatas, terapi medikamentosa juga dapat berupa
pemberian kombinasi dari antimikroba tersebut. Kombinasi dua atau lebih antimikroba hanya
pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok
septik. Kemudian bisa juga terapi dengan pemberian kortikosteroid, khusus untuk toksik
tifoid atau syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
Pada wanita hamil, tidak dianjurkan pemberian kloramfenikol, terutama pada trimester
pertama karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematus, kematian fetus intrauterine, dan
grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan karena kemungkinan efek
teratogenik yang belum dapat disingkirkan, terutama pada trimester pertama.Demikian juga
obat golongan fluorokuinon dan kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada wanita hamil.Obat
yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksilin, dan seftriakson.3,7

Komplikasi
Demam tifoid dapat memiliki komplikasi pada berbagai sistem organ yaitu sebagai
berikut :
 Komplikasi Intestinal

- Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri yang terinfeksi dapat menimbulkan luka pada usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila luka menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
atau gabungan kedua faktor.7
- Perforasi usus
Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah bising usus yang melemah, nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.7
- Ileus paralitik
Keadaan abdomen akut berupa kembung distensi usus karena usu tidak dapat
bergerak. Pasien tidak bisa BAB.
 Komplikasi Eksta-Intestinal
Komplikasi yang dapat terjadi adalah komplikasi hematologi. Komplikasi
hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan prothrombin
time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products,
sampai koagulasi intravaskular diseminata (KIP) dapat ditemukan pada kebanyak
pasien demam tifoid. Kemudian komplikasi lain dapat berupa hepatitis tifosa.
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tifoid, dapat terjadi pada pasien malnutrisi dan sistim imun kurang. Meskipun jarang,
komplikasi hepatosenselopati dapat terjadi.
Komplikasi ektra-intestnal lain adalah pankreatitis tifosa. Komplikasi ini
merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat
disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, caciing, maupun zat-zat
farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-Scan
dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Lalu ada miokarditis, terjadi
pada 1-5% pasien demam tifoid. Perubahan elektrokardiografi yang terjadi akibat
mikoarditis mempunyai prognosis yang buruk.
Dan yang terakhir adalah manifestasi neropsikiatrik/tifoid toksik.
Manifestasinya dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma,
parkinson, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia
sitotoksi, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, sindroma Guillain-Barre,
dan psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan
atau penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya
dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Diduga faktor-faktor
sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim,
nutrisi, kebudayaan, dan kepercayaan yang masih terbelakang ikut mempermudah
terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan kematian.3,5,7

Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian
pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa rata-rata 5,7%.5

Pencegahan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien demam. Tindakan identifikasi atau
penyaringan pengidap kuman S. thypi ini cukup sulit dan memerlukan biaya cukup
besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat
secara aktifyaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan
pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi
tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga,
restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang
terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas
kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier.
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan lingkungan
sekitar orang yang telah diketahui mengidap kuman S.typhi.
3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi pada
populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun
hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non endemis,
tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah
frekuensinya, serta golongan individu beresiko, yaitu golongan imunokompromais
maupun golongan rentan.
4. Vaksinasi. Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di
daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila a). hendak mengunjungi daerah endemik,
risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika
Latin, Asia Afrika), b). orang yang terpapar dengan penderita demam tifoid karier,
dan 3). petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Jenis vaksin dan jadwal
pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS (vaksin kapsul
polisakarida). Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi
dengan ViCPS terjadi sangat cepat yaitu sekitar 15 hari – 3 minggu dan 90% bertahan
selama 3 tahun.3
Kesimpulan
Demam typhoid adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi dimana
penyebarannya melalui makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih atau
terkontaminasi oleh kuman Salmonella typhi. Gejala klinis pada demam typoid adalah
demam meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari, mual dan muntah,
dan tidak bisa BAB atau diare. Agar tidak terinfeksi maka kita harus menjaga kebersihan diri
misalnya mencuci tangan sebelum makan dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar.

Daftar Pustaka
1. Cook GC. Problem gastroenterologi daerah tropis. Jakarta : EGC; 2002. H.60-3
2. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan tata laksana demam tifoid. Jakarta :Ikatan Dokter
Anak Indonesia;2003.h. 37-46.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing; 2009. H.2773-9, 2797-
805
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011.H.195
5. USU. Demam typhoid. Unduh 1 Desember 2016
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28625/4/Chapter%20II.pdf
6. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran demam tifoid. Jakarta: FKUI; 2008. h. 422-5.
7. UNDIP. Demam typhoid. Diunduh 1 Desember 2016
http://eprints.undip.ac.id/44817/3/BAB_II.pdf

Anda mungkin juga menyukai