DI SUSUN OLEH:
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun makalah dengan judul Konsep Filsafat Ilmu,
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu, Progam Khusus S1 Keperawatan Blora.
Dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini, penulis tidak lepas dari bimbingan dan
pengarahan berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Sehingga
penulis mohon kritik dan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstential yang artinya sangat
erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah
yang menjadi penggerak kehidupan kita sehari-hari sebagai manusia pribadi maupun sebagai
manusia kolektif dalam bentuk masyarakat atau bangsa.
Ilmu pengetahuan pun tidak bisa dilepaskan dari filsafat, sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan menarik sekali untuk dikaji, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta yang
salah satunya berisi hukum-hukum alam yang diperoleh dari sains juga tidak bisa dianggap
memiliki kebenaran kekal.
Ada satu hal yang patut dicatat dalam setiap bentangan historisitas bahwa tiap zaman
memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda, tak terkecuali dalam bentangan sejarah
filsafat barat. Lihat saja, misalnya, dalam yunani diletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas
barat, kemudian zaman patrialistik dan skolastik ditandai oleh usaha yang gigih untuk
mencari keselarasan antara iman dan akal, karena iman dihati, dan akal ada di otak. Tidak
cukuplah sikap credo quia absurdum “aku percaya justru karena tidak masuk akal”. Dalam
zaman modern direfleksikan berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan
itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu tentang sesuatu hal.
Rasa ingin tahu ini tidak terbatas yang ada pada dirinya, juga ingin tahu tentang lingkungan
sekitar, bahkan sekarang ini rasa ingin tahu berkembang ke arah dunia luar. Rasa ingin tahu
ini tidak dibatasi oleh peradaban. Semua umat manusia di dunia ini punya rasa ingin tahu
walaupun variasinya berbeda-beda. Orang yang tinggal di tempat peradaban yang masih
terbelakang, punya rasa ingin yang berbeda dibandingkan dengan orang yang tinggal di
tempat yang sudah maju.
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya dapat
bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat sederhana
didasari dengan rasa ingin tahu tentang apa (ontologi), sedangkan rasa ingin tahu yang
bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa
itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut dipelajari (aksiologi).
Ke tiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan ciri spesifik
dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Berbagai usaha orang untuk dapat mencapai atau
memecahkan peristiwa yang terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut
berhasil dicapai, maka diperoleh apa yang kita katakan sebagai ketahuan atau pengetahuan.
Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di
alam ini dipengaruhi oleh para Dewa. Karenanya para Dewa harus dihormati dan sekaligus
ditakuti kemudian disembah. Adanya perkembangan jaman, maka dalam beberapa hal pola
pikir tergantung pada Dewa berubah menjadi pola pikir berdasarkan rasio.
Ditinjau secara sejarah, proses kemenangan akal manusia dari kekuatan mistis dimulai
sejak dari zaman Yunani Kuno. Setelah periode ini perkembangan ilmu berkembang semakin
pesat. Bahkan pada masa sekarang ini, ilmu pengetahuan berkembang dengan cepat dalam
dinamika yang semakin cepat lagi karena penemuan yang satu sering menyebabkan
penemuan-penemuan lainnya. Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidak
terpusat pada satu tempat atau wilayah tertentu saja. Selain di Eropa , Dunia Timur juga
terbukti memberikan sumbangsih yang besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Banyak
penemuan yang terjadi di Dunia Timur yang baru dikembangkan belakangan di Dunia Barat.
Oleh karena itu untuk memahami sejarah perkembangan ilmu, perlu dilakukan periodesasi.
Periodisasi perkembangan ilmu yang disusun di sini dimulai dari perkembangan
pemikiran dan kebudayaan masyarakat di wilayah Babilonia, Mesir, Cina dan India. Hal ini
sangat penting karena pemikiran dan kebudayaan yang berkembang di wilayah-wilayah
tersebut pada masa itu juga merupakan rangkaian panjang sejarah peradaban umat manusia,
yang dengan kemampuan akal pikirannya selau berusaha melangkah maju.
BAB II
PEMBAHASAN
6. Zaman Kontemporer
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah dalam kontek ini adalah
era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang. Hal yang
membedakan pengamatan tentang ilmu pada zaman sekarang adalah bahwa
zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad
ke-15, sedangkan kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai
perkembangan terakhir yang terjadi hingga saat sekarang. Beberapa contoh
perkembangan ilmu kontemporer adalah : Santri, Priyayi, dan Abangan. Lebih
lanjut Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat
pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang
ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran
kuantitatif sebagai andalan utamanya.
Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara
mengesankan. Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya
mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan
teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu
orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar
menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga
ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan
melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber
technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui
internet. Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan
manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi
bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of
value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta
memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti
sekarang ini. Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan
persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis
dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini.
Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena
manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan
keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di
mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali. Kesuksesan
manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi
bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang
diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si
penciptanya sendiri, yaitu manusia. Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari
kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-
empirik, telah memunculkan berbagai kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik
yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”.[7]
Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik
terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan
determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik.
Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan
didakwa berkecenderungan meretifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme
dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif
yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus
kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan
aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia.
Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme
dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantangsistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang
kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of
value, fisikal, reduktif dan matematika. Aliran post-positivime tidak menerima
adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth
nor a truth – truth is notone thing, -or even a system. It is an increasing
completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk
diikat oleh sebuahteori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada
pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral. Usaha untuk
menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak
mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan
digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980)
mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan
problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apa
yang disebut “obyektivitas”.“ Knowledge is a’socially contitued’, historically
embeded, and valuationally.
Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-
mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggung- jawabkan secara
empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan.
Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidak terpusat pada satu tempat
atau wilayah tertentu saja. Selain di Eropa , Dunia Timur juga terbukti memberikan
sumbangsih yang besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Banyak penemuan yang terjadi di
Dunia Timur yang baru dikembangkan belakangan di Dunia Barat.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu
fikih, ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang biasa pula
disebut sebagai bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis.
Adapun dalam bidang ilmu 'aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu
filsafat, ilmu kedokteran, ilmu farmasi, ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung,
dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas Atau Historivitas?,( cet III Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2002), h. 244
A.W. Munawar, Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah oleh KH.Ali
Ma’sum, KH. Zaenal Abidin,cet. Xiv, (Surabaya Pustaka Progressif, 1997),
h.966.
Bchtiar, Amsal . ( 2010), Filsafat Ilmu, Jakarta; Rajawali Press
Jujun S Suryasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Popular, cet. Xii, (Jakarta; Pustaka
Sinar Harapan, 1999)
Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistic, (Jakarta; UIN Jakarta
Press, 2005)
Mukhtar, Orientasi Ke Arah Pemeahaman Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2014)
Louis O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, (cet. Vii, Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1996),
h.146
Surajiyo, Ilmu Filsafat, suatu pengantar, (cet.I; Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2005)
Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1997)
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), h. 87
Qadir, C. A. (1989), Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta; Yayasan Obor
Indonesia
Supriyadi, Dedi . (2009), Pengantar Filsafat Islam, Bandung; Pustaka Setia
R. Ravertz, Jerome. (2009), Filsafat Ilmu, Yogyakarta; Pustaka pelajar
Sunanto, Musyrifah. (2007), Sejarah Islam Klasik, Jakarta; Kencana Prenada Media Group