Anda di halaman 1dari 13

Nama : Ariansyah Eka S

Npm : 110110110375

TASK 4

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL SELAIN NEGARA (NON-STATE ACTOR)

A. SUBJEK-SUBJEK INTERNASIONAL SELAIN NEGARA

Secara umum, subjek hukum diartikan sebagai setiap pemegang, pemilik, atau pendukung hak
dan pemikul kewajiban berdasarkan atau menurut hukum. Dengan kemampuan sebagai pemilik,
pemegang, ataupun pendukung hak dan pemikul kewajiban, secara tersimpul juga adanya kemampuan
untuk mengadakan hubungan-hubungan hukum antara sesamanya. Hubungan-hubungan hukum itulah
yang selanjutnya melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Secara umum, yang
dipandang sebagai subjek hukum adalah:1

1. Individu atau orang-perorangan atau disebut juga dengan pribadi alamiah, yakni orang atau
individu yang karena sifat alamiah dan sosialnya, dengan sendirinya berstatus subjek hukum.
2. Badan hukum atau disebut juga sebagai pribadi hukum (legal person, rechtspersoon), yaitu
suatu badan atau lembaga yang sengaja dibuat atau didirikan untuk suatu tujuan tertentu dan
diberikan status sebagai subjek hukum sehingga dapat mengadakan hubungan-hubungan
hukum dan memikul hak dan Universitas Sumatera Utara kewajiban hukum secara mandiri,
terpisah dari hak dan kewajiban hukum secara mandiri, terpisah dari hak dan kewajiban hukum
dari para anggotanya.

Dengan berpedoman pada pengertian subjek hukum pada umumnya, maka dengan mudah
dapat dirumuskan tentang apa yang disebut dengan subjek hukum internasional. Dalam arti yang
sebenarnya subjek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum
internasional. Kalau mau subjek hukum internasional demikian dapat kita sebut subjek hukum
internasional penuh. Negara merupakan subjek hukum internasional dalam arti ini.

Pada awal mula dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang
dipandang sebagai subjek hukum internasional. Hal ini bisa dimengerti, sebab pada masa awal tersebut

1
I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, (Cet. II; Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 85.

1
tidak ada atau jarang sekali ada pribadi-pribadi hukum internasional yang lain selain daripada negara
yang melakukan hubungan-hubungan internasional.8 Secara teoritis, subjek hukum internasional
sebenarnya hanyalah negara. Perjanjian internasional seperti misalnya konvensi-konvensi Palang Merah
tahun 1949 memberikan hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara
tidak langsung kepada orangperorangan (individu) melalui negaranya yang menjadi peserta konvensi itu.
Melalui konstruksi demikian, banyak keadaan atau peristiwa individu menjadi subjek hukum
internasional berdasarkan suatu konvensi dapat dikembalikan kepada negaranya yang menjadi peserta
konvensi yang bersangkutan. Contoh konvensi demikian adalah Convention on the Settlement of
Investment Disputes between States and Nationals of other States dan The European Convention on
Human Rights.

Dalam perkembangan selanjutnya, pelaku-pelaku dalam hubunganhubungan internasional tidak


lagi dimonopoli oleh negara. Munculnya organisasi-organisasi dan pribadi-pribadi hukum internasional
lain yang secara aktif terlibat dalam hubungan-hubungan internasional, menjadikan hubungan-
hubungan internasional mengalami pergeseran yang cukup fundamental yang tentu saja membutuhkan
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional baru untuk mengaturnya. Dengan demikian
hubunganhubungan (hukum) internasional semakin lama semakin bertambah luas dan kompleks. Oleh
karena itu, pandangan lama yang menyatakan, bahwa negara sebagai satu-satunya subjek hukum
internasional harus sudah ditinggalkan.2

a. Organisasi Internasional

Menurut Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, organisasi internasional
adalah organisasi antar pemerintah. Definisi yang diberikan konvensi ini adalah sempit karena
membatasi diri hanya pada hubungan antara pemerintah. Penonjolan aspek antar pemerintah ini
kiranya dimaksudkan untuk membedakan antara organisasi-organisasi antar pemerintah
(intergovernmental organizations – IGO) dan organisasi-organisasi nonpemerintah (non-governmental
organizations – NGO). Definisi yang sempit ini tidak berisikan penjelasan mengenai
persyaratanpersayaratan apa saja yang harus dipenuhi oleh suatu organisasi untuk dapat dinamakan
organisasi internasional dalam arti kata sebenarnya.3

2
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: P.T. Alumni, 2003), hlm.
95.
3
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, cet.1, Jakarta,1990, halaman. 1

2
Berbeda dari negara, organisasi-organisasi internasional yang merupakan himpunan dari negara-
negara bukanlah subjek asli hukum internasional. Organisasi internasional adalah subjek buatan, subjek
hukum yang diciptakan oleh negara-negara yang mendirikannya. Organisasi-organisasi internasional
melaksanakan kehendak negara-negara anggota yang dituangkan dalam suatu perjanjian internasional.
Oleh karena itu, organisasi-organisasi internasional melalui bermacam-macam ikatan, sangat dekat
dengan negara-negara yang mendirikannya, dan dalam banyak hal sangat bergantung pada negara-
negara tersebut.32 Menurut Ian Brownlie, kriteria kepribadian hukum bagi suatu organisasi
internasional, dapat disimpulkan sebagai berikut:4

a) Organisasi internasional itu merupakan suatu persekutuan antara negara-negara yang bersifat
permanen dengan tujuan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku,
serta dilengkapi dengan organ-organnya.
b) Adanya suatu pemisahan atau pembedaan dalam kewenangan hukum maupun maksud dan
tujuan dari organisasi internasional itu sendiri pada satu pihak dengan negara-negara
anggotanya.
c) Adanya suatu kekuasaan hukum yang dapat dilaksanakan oleh organisasi internasional itu
sendiri, tidak saja dalam hubungannya dengan sistem hukum nasional dari satu atau leih negara-
negara, tetapi juga pada tingkat internasional.

Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak


diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional
seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan International Labour Organization (ILO) mempunyai hak
dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam
anggaran dasarnya.

b. Palang Merah Internasional (International Committee for the Red Cross – ICRC)

Palang Merah Internasionalyang berkedudukan di Jenewa, Swiss mempunyai tempat tersendiri


dalam sejarah hukum internasional.Boleh dikatakan bahwa organisasi ini sebagai subjek hukum yang
lahir karena sejarah. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang
lingkup nasional yakni sesuai dengan hukum nasional negara Swiss, didirikan oleh lima orang
berkewarganegaraan Swiss yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak dalam bidang kemanusiaan

4
ICRC, ICRC answes to your questions, Geneva, 1996, halaman. 6

3
yang bertujuan memberikan bantuan dan pertolongan yang berlandaskan dan berjiwakan kemanusiaan
universal kepada setiap orang anggota pasukan yang menjadi korban dalam pertempuran yang sedang
berlangsung tanpa memandang kawan maupun lawan, kebangsaan, etnis, agama, dan lain-lain.

Oleh karena kegiatannya dalam bidang kemanusiaan, lama kelamaan Palang Merah
Internasional mendapat simpati dan sambutan positif, tidak saja di dalam negeri Swiss tetapi juga
meluas ke berbagai negara yang diikuti dengan langkah yang nyata, berupa pembentukan Palang Merah
Nasional di masingmasing negara bersangkutan, sehingga akhirnya berkembang pesat di seluruh
penjuru dunia. Palang Merah Nasional dari negaranegara tersebut kemudian menghimpun diri menjadi
Palang Merah Internasional. Dengan demikian, keanggotaan dari Palang Merah Internasional bukanlah
negara-negara melainkan Palang Merah Nasional dari negara-negara. Jadi Palang Merah Internasional
sebenarnya dapat dipandang sebagai organisasi internasional nonpemerintah (non-governmental
organization).

c. Takhta Suci (Vatikan)

Takhta Suci (Vatikan) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada
sejak dahulu di samping negara.Hal ini merupakan peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika Paus
bukan hanya merupakan kepala gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang
Takhta Suci (Vatikan) mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota terpenting di dunia yang
sejajar kedudukannya dengan wakil diplomatik negara-negara lain.37 Berdasarkan Traktat atau
Perjanjian Lateran (the Lateran Treaty) tanggal 11 Februari 1929 antara Italia dan Takhta Suci,
pemerintah Italia menyerahkan sebidang tanah di Roma yaitu wilayahVatikan sekarang, sebagai tempat
kedudukan Takhta Suci. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan
Italia atas eksistensi Takhta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri. Tugas dan
kewenangan Takhta Suci tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas dalam bidang
kerohanian dan kemanusiaan, sehingga tampak hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa
dan pengaruh Paus sebagai pemimpin tertinggi Takhta Suci dan umat Katolik sedunia, sudah diakui
secara luas di seluruh dunia. Dalam praktek hubungan internasional maupun diplomasi, negara-negara
memperlakukan Paus sebagai pemimpin tertinggi Takhta Suci, sesuai dengan norma-norma hukum
internasional maupun norma-norma sopan santun diplomatik, sama seperti kepala-kepala negara dan
pemerintahan negara-negara pada umumnya.

4
d. Organisasi Pembebasan atau Bangsa yang Memperjuangkan HakHaknya

Sebenarnya pengertian organisasi pembebasan ataupun bangsa (yang sedang memperjuangkan


haknya) itu sendiri, hingga kini masih sangat kontroversial. Hal ini disebabkan oleh karena pandangan
atau penilaian masyarakat internasional tentang apa yang disebut organisasi pembebasan ataupun
bangsa, lebih banyak ditentukan oleh faktor atau pertimbangan politik yang tentu saja konsekuensinya
menjadi sangat subjektif. Organisasi pembebasan atau bangsa yang sedang berjuang ini dapat diakui
sebagai subjek atau pribadi hukum internasional, sifatnya hanyalah sementara waktu saja, yakni selama
dia berjuang untuk mewujudkan cita-cita dan tujuannya. Jika cita-cita atau tujuannya telah tercapai,
misalnya telah berhasil berdiri sebagai merdeka, maka eksistensinya sebagai oraganisasi pembebasan
atau bangsa yang sedang berjuang sudah berakhir, sebab sudah berubah menjadi negara baru. Jadi yang
akan menjadi subjek hukum internasional adalah negara baru itu sendiri. Sebaliknya jika ia tidak berhasil
atau gagal, maka eksistensinya sebagai pribadi hukum internasional juga akan berakhir. Untuk masa
sekarang ini, kelompok atau organisasi pembebasan yang sudah mendapat pengakuan secara luas dari
masyarakat internasional adalah Palestine Liberation Organization (Organisasi Pembebasan Palestina).
Kini sebagian besar Negaranegara ataupun organisasi-organisasi internasional sudah mengakui
eksistensi PLO sebagai wakil yang sah dari bangsa Palestina untuk memperjuangkan hak-haknya yakni
mendirikan Negara Palestina. Selain itu, South West African’s People Organization/SWAPO (Organisasi
Rakyat Afrika Barat Daya) juga merupakan salah satu organisasi pembebasan atau bangsa yang sedang
memperjuangkan hak-haknya yakni mendirikan negara Afrika Barat Daya atau lebih dikenal dengan
Namibia, yang hampir selama Sembilan puluh tahun dikuasai oleh Afrika Selatan. Selama dalam
perjuangannya itu, SWAPO mendapat dukungan dan pengakuan internasional yang luas sampai akhirnya
berhasil mencapai tujuannya yakni berdirinya negara Namibia. Dengan berdirinya negara Namibia, maka
eksistensi SWAPO sebagai organisasi pembebasan tentu saja berakhir sebab tujuannya telah tercapai.

e. Kaum Pemberontak (Belligerent)

Berbeda dengan organisasi pembebasan yang munculnya karena rakyat wilayah jajahan
menghadapi penjajahnya atau bergolak menghadapi bangsa lain yang menindasnya, kaum pemberontak
ini pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Sebagai
contoh, pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara yang dilakukan oleh sekelompok
orang melawan pemerintah yang sedang berkuasa. Dengan demikian, hukum yang harus diberlakukan

5
terhadap peristiwa pemberontakan dalam suatu negara adalah hukum nasional dari negara yang
bersangkutan. Hukum internasional pada hakekatnya tidak mengaturnya oleh karena hal itu merupakan
masalah dalam negeri suatu negara, kecuali melarang negaranegara lain untuk mencampurinya tanpa
persetujuan dari negara tempat terjadinya peristiwa pemberontakan itu. Dengan kata lain, negara-
negara lain berkewajiban menghormati kedaulatan teritorial negara bersangkutan termasuk
menghormati haknya untuk menerapkan hukum nasionalnya terhadap peristiwa pemberontakan itu.
Pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara dapat meningkat dan berkembang
sedemikian rupa, dari yang semula kecil-kecilan kemudian semakin bertambah besar, sehingga tampak
seperti perang antara dua kekuatan yang setara atau yang lebih dikenal dengan perang saudara.

Menurut Oppenheim-Lauterpacht, suatu kelompok pemberontak dapat digolongkan memiliki


kedudukan sebagai pribadi hukum internasional apabila memenuhi empat syarat berikut: 5

a) Adanya perang saudara itu disertai dengan pernyataan hubungan permusuhan antara
negara yang bersangkutan dengan kaum pemberontak tersebut.
b) Kaum pemberontakan itu harus menguasai atau menduduki sebagian dari wilayah negara
itu.
c) Adanya penghormatan atas peraturan-peraturan hukum pernag oleh kedua pihak yakni
negara yang bersangkutan dan kaum pemberontak itu sendiri.
d) Adanya kebutuhan praktis bagi pihak atau negara-negara ketiga untuk menentukan sikapnya
terhadap perang saudara tersebut.

f. Orang Perorangan (Individu)

Kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional sudah tidak perlu diragukan lagi.
Dalam perjanjian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris
dan Prancis, dengan masing-masing sekutunya, sudah terdapat pasalpasal yang memungkinkan orang
perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional, sehingga dengan
demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa negara yang bisa menjadi pihak di hadapan suatu
peradilan internasional. Dalam proses di muka Mahkamah Penjahat Perang yang diadakan di Nurnberg
dan Tokyo, bekas para pemimpin Jerman dan Jepang, dituntut sebagai orang perorangan (individu)
untuk perbuatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap

6
perikemanusiaan, dan kejahatan perang (pelanggaran terhadap hukum perang) dan persekongkolan
untuk mengadakan kejahatan tersebut.

Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak


dan membebani kewajiban serta tanggung jawab secara langsung kepada individu semakin bertambah
pesat, setelah Perang Dunia II. Lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10
Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak-hak asasi manusia pada
berbagai kawasan seperti di Eropa, Amerika, dan Afrika, kemudian diikuti pula dengan deklarasi,
konvensi, maupun berbagai bentuk kadidah hukum lainnya yang lebih bersifat sektoral tentang hak-hak
asasi manusia, semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subjek atau pribadi hukum
internasional yang mandiri. Setiap individu tanpa memandang asal-usul, ras, etnis, agama atau
kepercayaannya, serta paham politik atau ideologinya, diakui memiliki hak-hak asasi manusia.Setiap
anggota masyarakat internasional, apakah negaranegara, organisasi internasional, bahkan juga sesama
individu, wajib untuk menghormatinya

B. HAK DAN KEWAJIBAN BELLIGERENT

Pandangan dari segi hukum perang, kaum pemberontak dapat menjadi subjek hukum
internasional karena memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa
keadaan tertentu. Personalitas internasional terhadap para pihak dalam suatu sengketa sangat
tergantung pada pengakuan. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara
yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum
internasional.

a. BLA Sebagai Subjek Hukum Internasional


Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu, pemberontak dapat memperoleh
kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent). Akhir-akhir ini muncul perkembangan
baru yang mirip dengan pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang. Namun,
perkembangan baru tersebut memiliki ciri lain yang khas. Perkembangan baru tersebut adalah, adanya
pengakuan terhadap gerakan pembebasan, seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO).

Pengakuan terhadap sekelompok orang bersenjata secara teroganisir dalam sebuah negara yang
bertujuan menentang rezim pemerintahan yang sah adalah untuk melindungi dan menjalankan asas

7
humaniter atau kemanusiaan. Sehingga setiap individu yang terlibat sengketa dan tidak mendapatkan
hak mereka sesuai dengan peraturan hukum humaniter internasional serta tidak melanggar hak asasi
manusia.

Para kelompok yang menentang pemerintahan sah, bisa disebut insurgensi dan pada tahap
tertentu bisa masuk dalam kategori belligerensi (pemberontak). Dalam konteks hukum internasional
kelompok belligerensi masuk dalam kategori subjek hukum, artinya mereka memiliki hak dan kewajiban
dalam hukum Internasional. Pengakuan ini dimunculkan karena kelompok semacam ini terkadang secara
politis tidak diuntungkan mengingat keberadaan mereka dalam menentang sebuah rezim yang sedang
berkuasa.

Pihak yang berhak menentukan status pemberontak adalah negara tempat pemberontakan itu
sendiri atau oleh negara lain namun dengan ketentuan netralitas negara ketiga tersebut. Jika pengakuan
muncul dari negara yang bersengketa maka konsekwensinya negara yang bersangkutan harus
memperlakukan para pemberontak seperti tawanan perang bukan sebagai penjahat, serta setiap pihak
baik pemberontak maupun pemerintah bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pemberontak
terhadap warga asing yang berada dalam wilayah sengketa. Pengakuan terhadap pemberontak ini pada
dasarnya dilandasi atas dasar kemanusiaan semata, agar para pemberontak tidak diperlakukan sebagai
penjahat biasa, namun meskipun pengakuan telah diberikan, pemerintah tetap diperbolehkan untuk
menumpas pemberontakan tersebut. Karena pihak pemberontak telah menerima pengakuan sebagai
pihak berperang maka peperangan yang terjadi bukan lagi di anggap perang saudara, konsekwensi dari
itu ialah hukum yang di pakai adalah hukum perang yang telah diakui dalam penyelenggaraan perang
non-internasional yakni konvensi Jenewa 1949 dalam pasal 3.

Berbagai gerakan penolakan terhadap pemerintahan sah yang muncul dalam dunia
internasional memiliki berbagai ketentuan sehingga bisa disebut sebagai subjek hukum internasional.
Terkait dengan pemberian status belligerensi pihak yang berhak memberikan status ini adalah negara
yang sedang dalam sengketa dan karena itulah kemudian di berbagai negara yang sedang terjadi
pemberontakan enggan memberikan status ini karena jika memberikan status belligeren maka mereka
memiliki hak yang sama dalam hak-hak internasional, hal ini terjadi karena memang sifat hukum
internasional yang bersifat tidak bisa memaksa.

8
b. Kewenangan BLA Menuntut Dan Membuat Perjanjian BLA
Menurut Kusumaatmadja, subjek hukum internasional secara penuh dapat didefinisikan sebagai
pemegang dari segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional itu sendiri. Kusumaatmadja
mengasumsikan negara sebagai implementasi penuh dari definisi ini. Sedangkan individu (aktor lain)
diasumsikan sebagai implementasi terbatas dari definisi ini. Lebih jauh, untuk merealisasikan sifat-sifat
hukum internasional kedalam subjek, seperti: kemampuan untuk menuntut hak di depan pengadilan
internasional; menjadi subyek dari kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional;
kemampuan untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum
internasional; dll, subjek hukum internasional haruslah memenuhi semua persyaratan dari hukum
internasional itu sendiri.

c. UNSG Sebagai Subjek Hukum Internasional


The Secretary-General of the United Nations (UNSG) is the head of the United Nations
Secretariat, one of the principal organs of the United Nations. The Secretary-General also acts as the de
facto spokesperson and leader of the United Nations. Yang dimaksud dengan subjek dari suatu sistem
hukum diakui mempunyai kemampuan untuk bertindak. Di dalam hukum internasional subjek-subjek
tersebut termasuk negara organisasi internasional dan kesatuan-kesatuan lainnya. karena itu
kemampuan untuk bertindak hakikatnya merupakan personalitas dari suatu subjek hukum internasional
tersebut. Tiap organisasi internasional mempunyai personalitas hukum dalam hukum internasionl.
Tanpa personalitas hukum maka suatu organisasi internasional tidak akan mampu untuk melakukan
tindakan yang bersifat hukum. Subjek hukum dalam jurisprudensi secara umum dinggap mempunyai hak
dan kewajiban yang menurut ketentuan hukum dapat dilaksanakan. Dengan demikian subjek hukum
yang ada di bawah sistem hukum internasional merupakan personalitas hukum yang mampu untuk
melaksanakan hak dan kewajiban tersebut.

Dewasa ini sudah tidak di ragukan lagi bahwa organisasi internasional itu merupakan subjek
hukum internasional. Sejumlah praktik yang dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran bahwa
organisasi internasional merupakan subjek hukum internasional, antara lain:6

1) Mahkamah Internasional dalam kasus “Reparation For Injuries Suffered in the Service of the
United Nations Case” tahun 1949 yang antara lain dinyatakan bahwa PBB merupakan subjek
hukum internasional dan mampu untuk melaksanakan hak dan kewajiban internasional dan

6
F. Sugeng Istanto, Studi Kasus Hukum Internasional, Penerbit PT Tatannusa, Jakarta, 1998, hal 17

9
karen itu badan tersebut mempunyai kapasitas untuk mempertahankan haknya dalam rangka
mengajukan tuntutan internasional.
2) Anggapan semacam itu juga telah ditekankan lagi dalam “international Court of Justice Advisory
Opinion interpretation of the Agreement of 25 March 1951 betwen WHO and Egypt dalam
tahun 1980 yang menyatakan bahwa organisasi internasional adalah subjek hukum internasional
yang dengan sendirinya terikat oleh kewajiban-kewajiban yang terletak padanya di bawah
aturan-aturan umum dalam hukum internasional, konstitusinya maupun persetujuan-
persetujuan internsional dimana organisasi itu sebagai pihak Pada tanggal 26 Juni 1946 PBB
mengadakan perjanjian bilaeral dengan pemerintah Amerika Serikat mengenai status markas
besar PBB di New York
3) Pada tanggal 16 November 1946 PBB mengadakan perjanjian bilateral dengan Swiss mengenai
status gedung PBB di Jenewa. Bahkan di dalam pasal 1 perjanjian tersebut ditegaskan bahwa
pemerintah Swiss mngakui bahwa PBB sebagai suatu “International Personality”.

d. Kewenangan Menuntut dan Membuat Perjanjian UNSG


Suatu organisasi internasional yang di bentuk melalui suatu perjanjian dengan bentuk
“instrumen pokok” apapun akan memiliki suatu personalitas hukum di dalam hukum internasional.
Personalitas hukum ini mutlak penting guna memungkinkan organisasi internasional itu dapat berfungsi
di dalam hubungan internasional, khususnya kapasitasnya untuk melaksanakan fungsi hukum seperti
membuat kontrak, membuat perjanjian dengan suatu negara atau mengajukan tuntutan dengan negara
lainnya.

Personalitas hukum bagi sesuatu organisasi internasional itu tidak dicantumkan dalam
instrumen pokoknya, sebagai subjek hukum internasional, organisasi internasional tersebut tidak perlu
kehilangan personalitas hukum, karena organisasi internasional akan mempunyai kapasitas untuk
melakukan prestasi hukum sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional. Dengan
adanya personalitas hukum itu maka organisasi internasional akan dapat mengembangkan dan
memperluas fungsinya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan utamanya.

e. Keluarga KATHARINE WRIGHTSebagai Subjek Hukum Internasional


Dalam arti yang terbatas orang perorangan sudah lama dianggap sebagai subjek hukum
internasional. Pernyataan tersebut mungkin dapat kita benarkan berdasarkan beberapa sejarah, di
antaranya tentang perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri PD I antara Jerman
dengan Inggris dan Perancis, dengan masing-masing sekutunya, sudah terdapat pasal-pasal yang

10
memungkinkan orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional,
sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di
hadapan suatu peradilan internasional. Ketentuan yang serupa terdapat dalam perjanjian antara Jerman
dan Polandia tahun 1922 mengenai Silesia Atas( Upper Silesia).

f. Hak Menuntut Dan Membuat Perjanjian Keluarga Da Luiz Alves


Didalam hukum internasional, individu adalah ‘legal personality’ yang bisa menjadi subjek
hukum. Mereka bisa menuntut atau dituntut atas segala tindakan yang telah dilakukan. Mereka bisa
melakukan perbuatan hukum karena statusnya sebagai subjek hukum yang mempunyai kemampuan
untuk mempunyai, memelihara hak-hak dan melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan.
Sehingga dapat disimpulkan keluarga Da Luiz dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai subjek hukum
internasional yang memiliki kewenangan menuntut dan membuat perjanjian.

C. AKIBAT HUKUM BELLIGERENT

Pemberontak atau gerakan separatis dapat dianggap sebagai suatu subjek hukum internasional
karena memiliki hak yang sama dengan apa yang dimiliki oleh subjek hukum internasional lainnya.
Pemberontak dibebankan hak seperti dapat menentukan nasibnya sendiri, dapat memilih sistem
ekonomi, politik dan sosial sendiri, dan dapat menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang
didudukinya. Para pemberontak sebagai kelompok maupun gerakan yang dapat diberikan hak-hak
tersebut sebagai pihak yang sedang dalam keadaan berperang dalam perselisihannya dengan
pemerintah yang sah, meskipun tidak dalam artian organisasi kompleks seperti negara.7

Akibat Hukum

1) Memberikan kepada pihak yang memberontak hak-hak dan kewajiban suatu negara merdeka
selama berlangsungnya peperangan.

2) Angkatan perangnya adalah kesatuan yang sah sesuai dengan hukum perang dan bukan para
pembajak.

3) Peperangan antara pihak harus sesuai dengan hukum perang.

4) Kapal-kapal perangnya adalah kapal-kapal yang sah dan bukan bajak laut.

11
5) Blokade-blokade yang dilakukannya di laut harus dihormati oleh negara-negara netral.

6) Di lain pihak, pemerintah yang memberontak tersebut tidak dapat merundingkan perjanjian-
perjanjian internasional, tidak dapat menerima dan mengirim wakil-wakil diplomatik dan
hubungan dengan negara-negara lain hanya bersifat informal. Pemerintah tersebut tidak dapat
menuntut hak-hak dan kekebalan-kekebala bidang internasional. Ia merupakan subjek hukum
internasional dalam bentuk terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara.

7) Sebagai akibat pengakuan belligerency oleh negara-negara ke-3, negara induk dibebaskan dari
tanggungjawab terhadap negara ke-3 tersebut sehubungan dengan perbuatan-perbuatan
kelompok yang memberontak.

8) Bila negara induk memberikan puka pengakuan belligerency kepada pihak yang memberontak,
ini berarti kedua pihak harus melakukan perang dengan hukum perang. Dalam hal ini, pihak ke-3
tidak boleh ragu-ragu lagi dalam memberikan pengakuan yang sama.

9) Pengakuan belligerency ini bersifat terbatas dan sementara seperti halnya selama berlangsung
perang tanpa memperhatikan kelompok yang memberontak itu akan kalah atau menang dalam
peperangan.

10) Dengan pengakuan belligerency ini negara-negara ke-3 akan mempunyai hak-hak dan kewajiban
sebagai negaranetral dan pengakuan belligerency ini terutama diberikan karena alasan
humaniter.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, The English Language Book Society and Oxford
University Press, 1977,

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, cet.1, Jakarta,1990

ICRC, ICRC answes to your questions, Geneva, 1996

Pasal 5 (1) Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional

Pasal 1 dan 2 Statuta ICRC

ICRC,What it is, What it does, Geneva, 1993

13

Anda mungkin juga menyukai