Anda di halaman 1dari 17

1.

Asal-usul Korupsi
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya,
kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banya ilmuwan dan
filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan
sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral merujuk pada
berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa rezim termasuk dalam
sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani
dirinya sendiri.
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian, muncul dalam bahasa
Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa
Indonesia dengan sebutan Korupsi. Alatas (1987), menandaskan esensi korupsi sebagai
pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati keperscayaan. Korupsi merupakan
perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan
penipuan. Titik penting yang ingin diletakkannya di sini, juga mencakup dua bentuk korupsi
yang sulit untuk dimasukkan dalam kebanyakan peristilahan korupsi, yaitu nepotisme dan
korupsi otogenik. Sementara, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada,
“Pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini merupakan definisi yang
sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronomi KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia
menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak
tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus
dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipoting tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan
kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam konteks ajaran
Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan
(al-'adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak
negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat
dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumu, yang sekali-kali amat
dikutuk Allah SWT.
Pengertian al-fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan
hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang menyebabkan
orang takut, membunuh, melukai dan mengambil atau merampas harta orang lain. Berdasarkan
pendapat tersebut, Didin menegaskan bahwa “korupsi samaburuk dan jahatnya dengan
terorisme. Yang aneh, banya kalangan tidak menyadari seolah-olah korupsi itu dianggap
perbuatan kriminal biasa, bahkan sering dianggap perbuatan yang wajar.
Bagi Didin, ungkapan seperti ini sudah pasti harus ditolak dan dinafikan. Karena, hanya dengan
menolak korupsi sebagai perilaku kriminal biasa, barulah perang terhadap korupsi dapat
dilakukan senyaring dan sekeras perang melawan terorisme. Antara terorisme dan korupsi,
merupakan dua entitas yang sangat membahayakan eksistensi serta keutuhan masyarakat dan
bangsa. Demikian pula bila seorang koruptor meninggal dunia, seyogyanya jenasahnya tidak
perlu dishalatkan oleh kaum muslim, sebelum herta hasil korupsinya itu dijamin akan
dikembalikan oleh ahli warisnya kepada negara. Ha ini dianalogikan dengan orang yang
meninggal dunia dalam kedaan masih memiliki utang, yang tidak boleh dishalatkan sebelum ada
keluarga yang bersedia menjaminnya. Jika tidak, kelak di alam kuburnya, pelaku tindak perkara
korupsi akan terombang-ambing oleh kejahatan korupsinya.
Mahzar (2003), menandaskan istilah korupsi secara umum sebagai “berbagai tindakan gelap dan
tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia
lelu menambahkan, bahwa perkembanganya lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi,
terdapat penekanan yang dilakukan sejumlah ahli dalam mendefinisikan korupsi, yakni
“penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi.” Mahzar pun
mencatat beberapa definisi korupsi yang paling seringa digunakan dalam berbagai pembahasan
tentang korupsi. Gagasan yang diambil dari Philip (1997) ini, menyebutkan definisi korupsi
sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered
corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang
menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau
keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib
kerabat dan teman. Pengertian ini, juga mencakup kolusi dan nopotisme pemberian patronase
lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.

2. Sebab-sebab Korupsi

Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai
hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi,
tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk
melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.

Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas,
yakni :

a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),

b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya.

Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :

a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab
meluasnya korupsi;

c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan
peluang orang untuk korupsi;

d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi

Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul “Strategi Pemberantasan
Korupsi,” antara lain :

1. Aspek Individu Pelaku

a. Sifat tamak manusia

Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak
cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk
memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri
sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

b. Moral yang kurang kuat

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan
itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi
kesempatan untuk itu.

c. Penghasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang
wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai
cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang
akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga,
pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang
seharusnya.

d. Kebutuhan hidup yang mendesak

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal
ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas
diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya hidup yang konsumtif

Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku
konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka
peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

f. Malas atau tidak mau kerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas
bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah
dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.

g. Ajaran agama yang kurang diterapkan

Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam
bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah
masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam
kehidupan.

2. Aspek Organisasi

a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting
bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan
bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil
kesempatan yang sama dengan atasannya.

b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi
tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai
kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang
untuk terjadi.

c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai

Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang
diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam
periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit
dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat
lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki.
Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam
sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan
semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh
segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus
berjalan dengan berbagai bentuk.

3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada

a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh
budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang
dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari
mana kekayaan itu didapatkan.

b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang
menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat
umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah
masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.

c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan
anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali
masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka
namun tidak disadari.

d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila
masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung
jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila
masyarakat ikut melakukannya.

e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di


dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang
monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang
memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi
yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan
perundang-undangan.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur
sebagai berikut:

 perbuatan melawan hukum;


 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
 memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:

 memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);


 penggelapan dalam jabatan;
 pemerasan dalam jabatan;
 ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
 menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi.

3. Dampak Negatif Korupsi


Demokrasi

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,


korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi
akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-
seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan
institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat
diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak
efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan
risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa
korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat
aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga,
korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi
dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang
tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan


investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih
banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan
praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga
mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan
lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan
pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk
penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa
ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia,
seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun
lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban
hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970
sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari
jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya
pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam
kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa
pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi.
Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di
luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi
sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan
yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-
politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang
memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
ISLAM MENGATASI KORUPSI
Mencabut Korupsi Sampai Ke Akar-Akarnya Dengan Syariah Islam
Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan
tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain.
(Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi,
keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan
Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 1).

Korupsi merupakan penyakit amat berat yang menyerang negeri ini, yang kini tak lagi bersifat
kasuistik atau individual, tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan secara kelompok/mafia
(“berjamaah”). Korupsi di alam demokrasi saat ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah
(eksekutif), parlemen/wakil rakyat (legislatif), peradilan (yudikatif), dan juga swasta. Ketua MK
(Mahkamah Konstitusi) Mahfud MD pernah menyebutkan pusat-pusat korupsi di Indonesia
terdapat di 4 (empat) sektor lembaga pemerintah, yaitu: pajak, bea cukai, pertamina, dan
pertanahan.

Di lingkungan eksekutif saja, hingga tahun 2012, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
mencatat ada 173 kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) yang tersangkut berbagai kasus
korupsi. Para kepala daerah itu tersangkut dengan berbagai status yang melekat pada mereka,
mulai dari saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Seperti dilansir dari situs
www.setkab.go.id, di pulau Sumatera saja ada tujuh gubernur yang tersangkut kasus korupsi,
termasuk Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin. Hanya propinsi Jambi dan Bangka Belitung
(Babel) saja yang gubernurnya tidak tersangkut kasus korupsi. (www.republika.co.id,
23/4/2012).

Faktor Penyebab Korupsi

Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya korupsi? Banyak pakar sudah melakukan analisis
mengenai hal ini. Menurut Erika Evida (2003), berdasarkan analisisnya terhadap pendapat para
pakar peneliti korupsi seperti Singh (1974), Merican (1971), Ainan (1982), sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah 3 (tiga) faktor berikut : Pertama, gaji yang rendah, kurang
sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan
sebagainya. Kedua, budaya warisan pemerintahan kolonial. Ketiga, sikap mental pegawai yang
ingin cepat kaya dengan cara tak halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan
pada bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah. (Erika
Evida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 3).

Namun demikian, analisis faktor penyebab korupsi itu sebenarnya tidak mendalam, dan hanya
memotret fenomena korupsi dari sisi permukaan atau kulitnya saja. Faktor penyebab korupsi
saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ada, yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor
ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya, menjadi penyebab dan penyubur korupsi saat
ini.

Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi anutan dalam masyarakat kini
yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Demokrasi-kapitalis telah
mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al
aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al
ra`yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah). Empat macam kebebasan inilah
yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai
kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan
(hurriyah al tamalluk) tersebut. (Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990).

Perlu diingat korupsi bukan hanya marak di Indonesia, tapi terjadi di masyarakat manapun yang
menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut. Ledakan korupsi bukan saja
terjadi di tanah air, tapi juga terjadi di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-
negara Barat yang dianggap matang dalam menerapkan demokrasi-kapitalis justru menjadi
biang perilaku bobrok ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses
pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan
dana untuk memenangkan pemilu.

Faktor ideologis ini juga dapat dilihat dari diterapkannya sistem demokrasi melalui pilkada yang
nyata-nyata mendorong terjadinya korupsi. Maraknya korupsi kepala daerah tidak bisa
dilepaskan dari sistem demokrasi ini. Mengapa korupsi menggila di alam demokrasi?
Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar
bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses
politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon
kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar.

Data yang telah dikemukakan di atas, yaitu adanya 173 kepala daerah yang tersangkut berbagai
kasus korupsi, menunjukkan sistem demokrasi-lah yang dapat ditunjuk sebagai faktor paling
utama yang mendorong terjadinya korupsi. Tentu saja tak boleh diabaikan adanya faktor
lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lainnya, yaitu : Pertama, faktor lemahnya karakter individu
(misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat,
seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyakat. Ketiga, faktor
penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi,
serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.

Kesimpulannya, menurut kami, faktor penyebab korupsi setidaknya ada 4 (empat), yaitu :

Pertama, faktor ideologis, yaitu tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dan hedonisme di masyarakat,
dan juga diterapkannya sistem demokrasi yang mendorong korupsi,
Kedua, faktor kelemahan karakter individu,

Ketiga, faktor lingkungan/masyarakat, seperti budaya suap,

Keempat, faktor penegakan hukum yang lemah.

Hambatan Pemberantasan Korupsi

Di Indonesia sudah dibentuk KPK (berdasarkan UU No 32/2002) yang mempunyai misi


melakukan pemberantasan korupsi. Lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan untuk
mencegah korupsi seperti BPK dan Bawasda juga ada. Berbagai undang-undang juga sudah
dibuat untuk memberantas korupsi, di antaranya UU no 31/1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, UU no 20/2001 tentang perubahan atas UU no 31/1999, dan UU No 28/1999
tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Namun bagaimana hasilnya? Boleh dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum
memuaskan, jika tak bisa dikatakan gagal. Indonesia sudah berkali-kali menjadi juara negara
paling korup di Asia.

Apa hambatan utama pemberantasan korupsi di Indonesia? Fakta berbicara, bahwa DPR
sendirilah yang berusaha mengurangi kewenangan KPK melalui upaya DPR menggodok Revisi
UU KPK No 30/2002. Misalnya, kewenangan melakukan penuntutan yang selama ini dimiliki
KPK, hendak dihapuskan oleh DPR (lihat pasal 1 ayat 3, pasal 6 bagian c, pasal 7 bagian a;
Draft Revisi UU KPK No 30/2002).

Fakta juga berbicara, bahwa penegak hukum juga menghambat pemberantasan korupsi. Contoh,
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah tidak mengumumkan status tersangka Bupati Karanganyar Rina
Iriani kepada publik.

Fakta-fakta ini menunjukkan hambatan utama pemberantasan korupsi justru terletak pada sistem
yang ada saat ini. Mungkin ada yang keberatan terhadap kesimpulan ini, tapi paling tidak, fakta-
fakta tersebut menunjukkan kurang seriusnya sistem yang ada dalam memberantas korupsi.

Korupsi dalam Pandangan Syariah Islam

Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in,
termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada
seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam,
sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul
maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil
harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan
harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al
Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi
pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan
sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.

Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in
wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan
bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta
orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat,
hlm. 31).

Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanskinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis
dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti
sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah),
pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga
sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat
ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Mencegah Korupsi Menurut Syariah Islam

Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Ini berarti, langkah paling
utama dan paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan
ideologi demokrasi-kapitalis itu sendiri. Selanjutnya, setelah menghapuskan ideologi yang
merusak itu, diterapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya
berlaku di negeri ini.

Tak dapat dipungkiri, di Indonesia berlaku pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem hukum
ini sebenarnya adalah warisan kafir penjajah, bukan inisiatif asli bangsa Indonesia yang
mayoritas muslim. Dalam sistem hukum plural ini terdapat 3 (tiga) sistem hukum; yaitu sistem
hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem hukum Barat.

Menurut kami, secara normatif, sistem hukum plural ini haram hukumnya diterapkan menurut
Aqidah Islam. Bukankah dalam Al-Qur`an Allah sudah berfirman yang berbunyi,”Laa yusyrik fi
hukmihi ahadan.” Artinya, Allah tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu-Nya dalam
menetapkan hukum. (QS Al-Kahfi : 26). Maka, sistem hukum plural yang syirik dan warisan
kafir penjajah ini sudah semestinya dihapuskan dari muka bumi. Melaksanakan sistem syirik ini
bagi kami sama saja dengan melanggengkan penjajahan di negeri ini.

Dengan diterapkannya Syariah Islam (nantinya) sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di
negeri ini, maka Syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk
memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah
Islam sebagai berikut :

Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan
berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur
peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah
islamiyah). Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya,
maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah
berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena
hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah
Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah
menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak
menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan
menumpuk….”

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi
SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil
rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau
kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah
pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW
bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia
ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat
pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht
(haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).

Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah
Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Kelima, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam
masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan
yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya
kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh
masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu
berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Menindak Korupsi Menurut Syariah Islam


Kalau memang korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan
tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman
untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh
hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang
paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya
kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Penutup

Demikianlah sekilas bagaimana cara memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya menurut


Syariah Islam. Cara ini memang tidak mudah. Karena mengasumsikan perubahan sistem hukum
yang sangat mendasar, yaitu menuju sistem hukum tunggal, yaitu Syariah Islam. Walaupun
tidak mudah, tapi cara inilah yang patut diyakini akan memberantas korupsi hingga ke akar-
akarnya. Tanpa cara ini, pemberantasan korupsi hanya akan ada di permukaan atau kulitnya saja.

Maka dari itu, tugas suci menerapkan Syariah Islam tersebut seharusnya tidak dipikul hanya
oleh kelompok atau jamaah tertentu, melainkan menjadi tugas bersama seluruh komponen umat
Islam, termasuk mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Di sinilah peran yang dapat
dimainkan oleh mahasiswa dan masyarakat. Wallahu a’lam.

Konsep Kepemilikan dalam Islam

Kepemilikan harta adalah hubungan antara manusia dan harta yang di tentukan oleh syara’
dalam bentuk perlakuan khusus terhadap harta tersebut, yang memungkinkan untuk
mempergunakannya secara umum hingga ada larangan untuk menggunakannya. Secara bahasa
kepemilikan berarti penguasaan manusia atas harta dan pengguanaanya secara pribadi. Adapun
secara istialah, kepemilikan adalah penghususan hak atas sesuatu tanpa orang lain, dan iya
berhak untuk mempergunakannya sejak awal, kecuali ada larangan syar’i. Larangan syar’i,
misalnya keadaan gila, keterbelakangan akal (idiot), belum cukup umur ataupun cacat mental,
dan sebagainya.

Secara etimologi, tata milik berasal dari bahasa arab al-Milk, yang berarti penguasaan terhadap
sesuatu. Secara termenologi, definisi al-milksebagaimana dikemukakan oleh ulama fiqh adalah
penghususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertidak hukum
terhadap benda itu selama tidak adanya halangan syara’.

Dari difininisi tersebut dapat di tarik suatu pengeretian umum bahwa yang di maksud dengan
kepemilikan adalah penguasaan manusia atas harta yang dapat di pergunakannya untuk
memenuhi kepentingan peribadinya selama tidak ada aturan syra’ yang melarangnya.

Pembagian harta menurut boleh-tidaknya di miliki adalah sebagai berikut:


 Harata yang tidak dapat di miliki dan hakmiliki orang lain. Contoh seperti jalan umum,
jembatan dan taman kota. Harta ini tidak boleh dimiliki secara individu sebab bermanfaat
bagi kepentingan masyarakat secara luas dan biasanya barang publik ini di sediakan oleh
pemerintah.
 Harta yang tidak bisa dimiliki, kecuali dengan ketentuan syariat. Termasuk dalam harta
jenis ini adalah warisan, wasiat, harta waqaf, harta baitul mal dan sebagainya. Harta ini
dapat diperoleh jika suatu individu termasuk dalam kelompok yang berhak untuk
menerimanya.
 Harta yang dapat dimiliki dan dihakmilikan kepada orang lain. Harta inilah yang
merupakan hak mlik pribadi setiap orang harta ini boleh diperjual belikan sebab telah
dimiliki seutuhnya oleh sang pemilik harta.

Para ulama fiqh menyatakan empat cara pemilikan harta yang di syariatkan islam, yaitu:

 Melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum,
harta ini masih bersifat bebas untuk dimiliki oleh semua orang. Misalnya pebatuan di
sungai yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum, pasir disungai, tambang dan
sebagainya
 Melalui transaksi yang dilakukan dengan pihak lain, seperi jual beli, hibah dan waqaf.
 Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisa ataupun wasiat.
 Diperoleh berdasarkan hasil yang telah dimilikinya selama ini, misalnya buah dari pohon
yang di tanam dikebun atau hewan anak ternak yang lahir.

Kepemilikan secara umum dibagi menjadi dua, yaitu

 Al-milk al-tamm(milik sempurna), yaitu materi dan manfaat harta itu dimiliki seseorang,
misalnya seseorang memiliki rumah maka iya berkuasa penuh terhadap rumah itu dan
iya boleh memenfaatkan secara bebas;
 Al-milk an -naqish(milik yang tidak sempurna), yaitu seseorang hanya menguasai materi
harta, tetapi manfaatnya dikuasai orang lain, seperti rumah yang diserahkan kepada
orang lain untuk dewasa.

Kekasan konsep islam mengenai hak milik pribadi terletak pada kenyataan bahwa dalam islam,
hak milik bergantung pada moral yang dikaitkan padanya. Islam berbeda dari kapitalisme dan
sosialisme dalam menetapkan hak milik karena tidak satupun dari keduanya yang berhasil
menepatkan individu selaras dalam suatu mosaik sosial.
5. Hukuman Apakah Yang Pantas Bagi Para Koruptor

Indonesiaone.org – Pantaskah para koruptor yang ada di Indonesia, yang telah menikmati
kekayaan uang Negara miliaran bahkan triliunan rupiah, hanya dihukum dengan kurungan
penjara saja??? Karena jika kita lihat apa yang telah dilakukan oleh para koruptor sangatlah
merugikan Negara dan menyusahkan masyarakat kecil. Sebenarnya mereka sudah memiliki
segalanya dalam hidup mereka. Tetapi karena keserakahan dan tidak pernah merasa puas dengan
apa yang ada, maka yang menjadi keinginan mereka hanyalah ingin bertambah kaya dan terus
kaya. Jadi yang terjadi di Indonesia adalah orang yang kaya akan semakin kaya dan orang
miskin akan semakin miskin dan melarat.

Jika kita bandingkan antara para koruptor yang mengambil uang Negara untuk kepentingan
pribadi dan memperkaya diri sendiri, dengan masyarakat kecil yang mencuri makanan untuk
kebutuhan makannya, pasti kita akan mendapati perbedaan yang sangat mencolok.
Perbedaannya yaitu saat para koruptor tertangkap tangan melakukan korupsi, mereka hanya bisa
tersenyum dan berkata biarkan proses hukum yang mengatur dan tidak pernah mau mengakui
perbuatannya. Bahkan ada juga yang ngotot bahwa jika dia kedapatan korupsi, dia berkata
gantung saja dia di Monas. Hal tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi pada
masyarakat kecil yang tertangkap tangan mencuri. Mereka akan langsung dihajar oleh massa
hingga babak belur. Padahal mungkin apa yang mereka lakukan kerugiannya tidak sebesar
kerugian akibat tindakan korupsi.

Namun para koruptor yang sudah jelas-jelas merugikan Negara dan rakyat kecil diperlakukan
dengan layak, sedangkan rakyat kecil yang kedapatan mencuri diperlakukan sangat tidak layak.

Inikah yang dikatakan dengan Negara Indonesia adalah Negara Hukum? Di manakah keadilan?
Apakah keadilan hanya milik orang yang berjas dan berdasi saja?

Dengan kasus seperti ini para penegak hukum sangat dituntut untuk melakukan fungsinya
dengan sebaik-baik mungkin dan harus bisa dengan sigap menangani setiap kasus-kasus hukum
yang ada. Peran masyarakat juga sangat mempengaruhi, agar tidak terlalu cepat mengambil
keputusan sendiri. Serahkan semuanya kepada pihak yang berwajib, jangan ada yang main
hakim sendiri. Kita semua tau jika ada perbuatan yang melanggar ketentuan hukum akan
diberikan sanksi hukum. Mulai dari sanksi yang ringan sampai pada sanksi yang berat. Sesuai
dengan tindakan apa yang dilanggar.

Apakah seharusnya para koruptor dihukum mati saja? Saya sangat setuju dengan hukuman
mati bagi para koruptor. Karena saya yakin bukan saja saya yang geram mendengar kasus-
kasus mereka, tetapi anda juga pasti geram dan sangat membenci para koruptor yang ada. Maka
dari itu saya rasa hukuman mati sangatlah pantas bagi mereka. Karena ini akan memberi efek
jera dan akan membuat takut bagi mereka yang berniat untuk melakukan korupsi. Jika hukuman
mati dilakukan maka saya yakin tidak ada satu pun pejabat yang akan berani melakukan korupsi.

Kita bisa melihat salah satu contoh yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu bapak
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang tidak akan segan-segan mencabut jabatan dan memecat
pegawai-pegawai yang kedapatan menerima pungutan liar (pungli). Ini adalah salah satu
langkah terbaik yang diambil oleh bapak Ahok untuk mengurangi tingkat pungli yang ada pada
daerah Jakarta. Hasilnya tidak sedikit pejabat dan pegawai yang dilengserkan dari jabatannya.
Dan sekarang kita bisa lihat tidak ada satu pun yang berani untuk melakukan pungli lagi. Saat
ada yang kedapatan melakukan hal tersebut, maka mereka akan menerima konsekuensinya dan
siap untuk kehilangan pekerjaan mereka.

Kembali pada pembahasan hukuman mati bagi para koruptor, jika ini benar-benar dilakukan,
saya yakin dan percaya tidak ada satu orang pun yang akan berani melakukan korupsi lagi.
Maka Negara kita Indonesia akan terbebas dari yang namanya korupsi. Sebenarnya hukuman
mati bagi para koruptor sudah diatur pada konstitusi kita, yaitu pada Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Pasal 2 ayat (2) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun hukuman
ini belum pernah dieksekusi. Hukuman terberat bagi para koruptor yang telah dilakukan di
Indonesia yaitu hukuman kerungan penjara seumur hidup yang dijatuhkan kepada Adrian
Waworuntu yang telah membobol Bank Negara Indonesia Cabang Kemayoran Baru dan juga
kepada Mantan Ketua Mahkama Konstitusi dan mantan Hakim Konstitusi Akil Mochtar.
Mereka berdua adalah koruptor yang akan mendekam dibalik jeruji besi sampai ajal menjemput
mereka.

Namun pemberlakukan hukuman mati bertolak belakang dengan konstitusi yang berlaku di
Indonesia yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu
dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 juga mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Dan juga para aktifis-aktifis HAM yang
menolak hukuman mati tersebut. Jadi sangat sulit menurut saya untuk hukuman mati bagi para
koruptor untuk bisa dijalankan di Indonesia.

Jadi bisa dikatakan peraturan di Negara Indonesia ini saling bertolak belakang satu dengan
lainnya. Disatu sisi ada aturan yang mengatur tentang hukuman mati tersebut, namun disisi yang
lain ada aturan hukum yang tidak sejalan, karena mengatakan aturan itu melanggar hak asasi
yang dimiliki oleh manusia, yaitu hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Terlepas dari semua konstitusi yang ada, yang sangat berperan adalah orang yang nanti akan
mengambil dan memutuskan keputusan tersebut, yaitu seorang Hakim. Dialah yang berhak
untuk memutuskan dan menjatuhkan vonis kepada para koruptor yang ada. Jadi para hakim
benar-benar harus mengkaji setiap Undang-Undang yang ada untuk mengambil satu keputusan.
Para Hakim diharuskan bisa menjatuhkan hukuman yang benar-benar setimpal dengan
perbuatan yang dilanggar. Pastikan para Hakim kita bisa menjatuhkan hukuman tanpa pandang
bulu. Jadi jika Presiden pun melakukan korupsi, hal tersebut harus diproses dengan tegas.
Karena dalam dunia hukum berlaku asas Equality Before The Law yang artinya setiap orang
memiliki derajat yang sama di mata hukum.

Anda mungkin juga menyukai