Anda di halaman 1dari 20

Tinjauan Pustaka

Senin, 10 April 2017

BRONKIEKTASIS TERINFEKSI

dr. TARMIZI
1607601040001

Penanggung jawab :
Narasumber :

PESERTA PPDS PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN


RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan


bahwa tugas tinjauan pustaka ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai
dengan peraturan yang berlaku di Universitas Syiah Kuala. Jika di kemudian hari
ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab
sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan Universitas Syiah Kuala
kepada saya.

Banda Aceh, April 2017

dr. Tarmizi
ABSTRAK

Bronkiektasis didefinisikan sebagai dilatasi kronik dari satu atau lebih bronkus.
Hal ini menyebabkan gangguan pengeluaran mucus dan mempermudah infeksi
bakteri. Prevalensi bronkiektasis masih belum diketahui pasti dan diperkirakan
sekitar 52/100.000 penduduk di USA. Kasus ini terus meningkat setiap tahunnya
sekitar 2,9% per tahun. Pseudomonas aeruginosa salah satu patogen oportunistik
yang sering ditemukan pada kasus bronkiektasis terinfeksi. Manajemen penyakit
ini meliputi fisioterapi dan terapi antibiotika yang adekuat sebagai terapi keadaan
eksaserbasi ataupun sebagai profilaksis.

Kata kunci : Bronkiektasis, infeksi, tatalaksana

ABSTRACT

Bronchiectasis is defined as chronic dilatation of one or more bronchi. This causes


poor mucus clearance and susceptibility to bacterial infection. The prevalence of
bronchiectasis is not precisely known and estimates of 52/100.000 from the USA.
This case involve withadjusted rate of 2,9% per year. Pseudomonas aeruginosa is
an opportunistic pathogen which is common in infected bronchiectasis.
Management of this case involves physiotherapy and treatment with appropriate
antibiotics as treatment of exacerbations and some cases prophylaxis.

Keywords : Bronchiectasis, infection, treatment


PENDAHULUAN

Pada tahun 1819 Laennec mendefinisikan bronkiektasis sebagai penyakit paru


supuratif dengan tampilan fenotip yang bervariasi. Bronkiektasis didiagnosa
dengan menggunakan High Resolution Computed Tomography (HRCT). Kriteria
spesifik untuk bronkiektasis yaitu; (1) Diameter internal bronkus lebih besar dari
pembuluh darah yang menyertainya, (2) ukuran bronkus tidak lancip pada bagian
perifer thoraks. Bronkiektasis merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
batuk terus menerus, produksi sputum yang berlebihan dan infeksi paru
berulang.1,2

Hal ini terjadi akibat saluran pernafasan mengalami dilatasi permanen yang
mengganggu proses pembersihan mukosiliar yang berujung pada peradangan
kronis dan berulang akibat kolonisasi bakteri. Dalam BTS Guidelines of
Bronchiectasis disebutkan bahwa bronkiektasis ditandai dengan dilatasi permanen
bronkus yang dilihat dari pemeriksaan radiologis, dengan gejala batuk, produksi
sputum dan infeksi saluran nafas berulang. Prevalensi bronkiektasis masih belum
jelas mengingat etiologi yang berbeda menyebabkan tampilan klinis yang
berbeda, teknik yang digunakan untuk mendiagnosa juga berbeda di masing-
masing institusi, seperti penggunaan HRCT yang dapat mengidentifikasi
bronkiektasis yang sebelumnya tidak terdiagnosis. Sebagai pedoman, rata-rata
pasien bronkiektasis dalam 2000 pasien adalah sebanyak 2 orang. Tinjauan
pustaka ini membahas mengenai manajemen bronkiektasis terinfeksi serta
berbagai pilihan terapi terbarunya. 1,3

Epidemiologi

Di Amerika Serikat prevalensi bronkiektasis meningkat setiap tahunnya. Hal ini


berdasarka penelitian Seitz et al yang melakukan studi pada 5% sampel dari
Medicare Part B dengan melihat database pasien dengan diagnose bronkiektasis
mulai dari tahun 2000 hingga 2007. Didapatkan peningkatan prevalensi rata-rata
per tahun sekitar 8,74%. Prevalensi bronkiektasis juga meningkat seiring
bertambahnya usia dengan angka tertinggi pada usia 80-84 tahun. Dari segi jenis
kelamin, prevalensi bronkiektasis lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Data juga menunjukkan prevalensi bronkiektasis tertinggi pada wilayah Asia,
namun tidak dijelaskan apakah prevalensi ini benar-benar menunjukkan tinggia
pasien bronkiektasis atau kemungkinan kedua akibat lebih sering menggunakan
HRCT untuk mendiagnosis. Bronkiektasis non kistik fibrosis diketahui lebh
membebani pasien dibandingkan dengan bronkiektasis kistik fibrosis. Hal ini
karena kebutuhan rawatan yang lebih lama, kunjungan ke rumah sakit yang lebih
sering, dan terapi medis yang lebih mahal yang diperkirakan sekitar $630 juta di
US. Sebuah studi multisenter di Eropa mengidentifikasi bahwa 1,8-3% dari 1310
pasien mengalami eksaserbasi. Dan 26,6-31,4% pasien yang dirawat
membutuhkan follow up lebih dari 2 tahun.1,4,5

Angka mortalitas untuk bronkiektasis berkisar 10-16 % pada lebih dari 4 tahun
observasi. Penyebab kematian secara umum akibat terjadinya gagal nafas. Dalam
suatu penelitian kohort didapatkan 50% pasien meninggal kerena gangguan
pernafasan, dan sekita seperempatnya meninggal dengan sebab kardiovaskular.
Nilai FEV1 yang rendah berhubungan erat dengan peningkatan angka kematian.
Sputum dengan hasil positif Pseudomonas, BMI yang rendah, laki-laki, usia tua,
dan PPOK diketahui sebgai faktor risiko dalam peningkatan angka mortalitas.3,4

Etiologi

Beberapa penelitian mengenai etiologi bronkiektasis telah dilakukan. Pasteur et al


melakukan penelitian di United Kingdom pada 150 pasien dan ditemukan bahwa
53% pasien bronkiektasis idiopatik. Sebuah studi yang sama juga menyebutkan
26% kasus bronkiektasis adalah idiopatik. Dari kedua penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa etiologi yang paling sering ditemukan adalah post infeksi
yaitu sekitar sepertiga kasus Penelitian di US menyebutkan 90% kasus
bronkiektasis memiliki penyebab. Penyebab tersering adalah disregulasi imun
baik hiperimunitas ataupun hipoimunitas. Temuan baru adalah bahwa
transplantasi sel induk dikaitkan dengan perkembangan bronkiektasis di 15 pasien
(14,2%), 11 di antaranya memiliki penyakit graft versus host (GVHD). Kontribusi
yang tepat dari infeksi berulang dari imunosupresi terhadap GVHD terkait cedera
dinding saluran napas yang belum dijelaskan. Beberapa penelitian telah
mendalilkan bahwa infeksi nontuberculous mikobakterium (NTM) menyebabkan
bronkiektasis. Meskipun NTM juga menjadi pathogen yang memperburuk klinis
bronkiektasis itu sendiri. Terdapat bukti bahwa pasien dengan infeksi NTM terkait
bronkiektasis memiliki fenotip imunologi yang berbeda dimana terjadi
ketidakseimbangan sitokin yang menyebabkan ketidakmampuan host dalam
melawan infeksi bakteri.5,6,7

Sebuah penetilian besar menyebutkan bahwa pasien yang terdiagnosa dengan


asma dan PPOK memiliki gambaran HRCT scan yang menggambarkan adanya
bronkiektasis. Diduga lamanya menderita asma dan PPOK berkaitan dengan
kejadian bronkiektasis. Pada penelitian observasional multisenter pada 99 pasien
dengan PPOK sedang-berat yang didiagnosa dengan kriteria GOLD, ditemukan
52,7% pasien dengan gambaran HRCT bronkiektasis. Patogen seperti
Pseudomonas aeuruginosa dan Haemophilus influenza ditemukan pada 42,3%
pasien saat pemeriksaan sputum. Kedua pathogen ini dianggap berperan penting
dalam perkembangan bronkiektasis.1,7

Patogenesis

Hipotesis lingkaran setan merupakan penjelasan umum mengenai pathogenesis


bronkiektasis yang paling diterima saat ini. Dimulai dari individu yang memiliki
kecendrungan untuk terjadi proses peradangan sebagai respon dari infeksi.
Peradangan yang dihasilkan bertanggung jawab atas kerusakan structural pada
saluran nafas. Kelainan structural tersebut menyebabkan mukus mengalami stasis
yang mendukung terjadinya infeksi kronis terus menerus yang mebentuk
lingkaran setan. Mukus itu sendiri sering abnormal dan lebih kompleks.
Pembersihan trakeobronkial pada pasien bronkiektasis terbukti lebih lambat
dibandingkan dengan orang normal. Selanjutnya retensi sputum dapat
menciptakan sumbatan mucus yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas,
obliterasi, serta kerusakan lebih lanjut. Terapi berfokus pada pemutusan rentetan
lingkaran setan ini mulai dari stasis mucus, infeksim inflamasi, hingga obstruksi
saluran nafas. 1,5,7

Gambar 1. Hipotesis “vicious cycle”1

Patofisiologi

Pemahaman mengenai patofisiologi masih terbatas, hal ini berhubungan dengan


kurangnya model eksperimental. Proses peradangan saluran nafas pada bronkus
didominasi oleh neutrofil serta beberapa mediator inflamasi seperti interleukin-8
dan leukotrien B4. Kolonisasi bakteri pada saluran nafas terjadi karena
terganggunya proses pembersian mukosiliar akibat kegagalan proses
opsonofagositik oleh neutrofil. Beberapa penelitian menyebutkan keterlibatan
enzim elastase yang dihasilkan neutrofil pada proses ini. Efek elastase pada sel
epitel saluran nafas adalah memperlambat pergerakan mukosiliar dan
memperbanyak produksi mukus. Sementara penurunan opsonophagocytosis
terjadi di berbagai tingkat, melalui pembelahan opsonins dari permukaan bakteri
dan pembelahan reseptor permukaan neutrofil FcγRIIIb dan CD35. Alpha
defensin dilepaskan dari butiran neutrofil juga menekan respon fagositosis.
mekanisme lain dari disfungsi kekebalan tubuh termasuk kegagalan pembersihan
sel apoptosis dan infiltrasi sel T dengan bukti terbaru merujuk pada peranan penting
dari sel Th17. Namun demikian, banyak hal yang diperlukan untuk mengungkap
kompleksitas respon host di bronkiektasis. kemajuan baru yang signifikan dalam
pemahaman kita tentang bronkiektasis telah muncul melalui teknologi sequencing
16S rRNA yang memungkinkan analisis yang komprehensif dari komunitas
bakteri polimikroba di paru-paru. Teknologi tersebut juga membantah pendapat
bahwa saluran nafas yang sehat adalah yang steril. Studi mengungkapkan bahwa
keanekaragaman kolonisasisi pathogen seperti Hemophilus sp, Pseudomonas
aeruginosa, dan Moraxella sp serta beberapa pathogen lain seperti Prevotella sp.
Dam Neiserria sp. Ditemukan pada bronkiektasis. Dan hilangnya keanekaragaman
dengan dominasi salah satu jenis koloni berhubungan dengan perburukan fungsi
paru dan kejadian eksaserbasi yang lebih sering.1,2,8

Pseudomonas berhubungan dengan fungsi paru yang lebih buruk dan lebih
seringnya terjadi eksaserbasi. Sebuah studi baru-baru mengidentifikasi bahwa P.
aeruginosa dapat menginduksi pembentukan O-antigen imunoglobulin spesifik
(Ig) antibodi G2 yang kemudian melindungi bakteri dari pemusnahan yang
dimediasi komplemen. Sebuah proporsi yang signifikan dari pasien dengan
bronkiektasis berat dan P. aeruginosa kolonisasi memiliki antibodi ini dan mereka
berkorelasi dengan fungsi paru-paru yang lebih buruk dan tingkat keparahan
penyakit.1,6

Manifestasi Klinis

Batuk dialami pada 90% pasien. Batuk disertai produksi sputum pada 75-100%,
sputum dapata bersifat mukopurulen maupun purulen pada 71-97% kasus. Gejala
lain yang mungkin seperti dyspneu, nyeri dada, hemoptisis, dan perkembangan
gagal nafas dan korpulmonal. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai krepitasi
saat inspirasi paa sekitar 70% kasus dan ronkhi pada ekspirasi pada sepertiga
pasien dewasa. Beberapa criteria untuk dugaan bronkiektasis pada dewasa;5

1. Batuk produktif persisten dengan criteria :


- Muncul saat usia muda
- Riwayat batuk produktif dalam waktu bertahun-tahun
- Tidak ada riwayat merokok
- Produksi sputum purulen dalam jumlah besar tiap harinya
- Hemoptisis
2. Hemoptisis yang tidk diketahui penyebabnya serta batuk non produktif
3. Pasien yang menderita PPOK dapat mengalami bronkiektasis secara
terpisah atau sebagai tambahan. Pertimbangkan sebagai bronkiektasis jika:
- Tidak ada kemajuan terapi
- Perbaikan yang lambat pada saluran nafas bawah
- Terdapat eksaserbasi berulang
- Tidak ada riwayat merokok
- Sputum mengandung kolono Pseudomonas aeruginosa.

Diagnosis

Bronkiektasis harus dicurigai pada pasien dengan batuk kronis dan produksi
sputum ataupun infeksi pernapasan berulang. faktor tambahan untuk diagnosis
meliputi: produksi sputum harian, rhinosinusitis, kelelahan, hemoptisis, pasien
yang bukan perokok dengan diagnosis PPOK , dan pasien dengan P. aeruginosa
atau NTM pada sputum . Meskipun produksi sputum kronis adalah gejala klasik
yang mendukung diagnosis, pasien mungkin memiliki batuk kronis yang tidak
produktif. Dyspnea, mengi, dan nyeri dada pleuritik juga dapat dikeluhkan.
HRCT adalah tes diagnostik pilihan . Gambar 3 menunjukkan scan HRCT yang
menunjukkan fitur diagnostik bronkiektasis.. Langkah pertama dalam
mengevaluasi dari bronkiektasis adalah untuk menyingkirkan CF dengan dua
Gambar 2. Gambaran pewarnaan HE pada dinding bronkus pasoen bronkiektasis
(kiri) dan pasien normal (kanan).

pengukuran yaitu pengukuran kadar klorida dan pengujian gen sesuai dengan
pedoman CF . Dua pengukuran lebih besar dari 60 mmol / L adalah diagnostik
untuk CF. Nilai tidak melebihi 59 mmol / L membutuhkan pengujian genetik
sebagai tindak lanjut kasus yang terbukti secara genetik CF telah dikaitkan dengan
hasil di bawah 40 mmol / L. BTS guideline untuk non-CF bronkiektasis
menyarankan evaluasi berikut : Sejarah untuk memasukkan gejala neonatal,
infertilitas, pneumonia sebelumnya atau penyakit virus di masa kecil, aspirasi
lambung, asma, dan jaringan ikat atau gejala autoimun. Riwayat keluarga penting
untuk mengidentifikasi penyebab genetik seperti silia dyskinesia primer (PCD).
PCD adalah penyebab bronkiektasis yang harus dilakukan pengujian genetik.
Batuk harian pada masa anak, distress neonatal, infeksi otosinopulmonary
berulang, dan kelainan kongenital merupakan ciri khas dari PCD. Pengujian Nasal
Nitric Oxide merupakan langk ah awal dalam evaluasi PCD. Kadarnya yang
rendah memerlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan genetik. Pasien
dengan klinis fenotip yang diduga PCD harus di rujuk ke senter yang lebih
berkompeten.1,2

Pemeriksaan yang harus dilakukan di layanan primer :5

1. Foto thoraks. Hasil normal dari foto thoraks tidak langsung


menyingkirkan diagnosis bronkiektasis. Sebaliknya hasil yang
menunjukkan dugaan bronkiektasis tidak langsung meneggakan diagnose.
2. HRCT scan. HRCT scan merupakan gold standart untuk menegakkan
diagnose. Jika tidak tersedia, lakukan rujukan ke pelayanan sekunder.
3. Spirometri. Dapat dilakukan pada dewasa dan anak diatas 5 tahun.
4. Analisis sputum. Sputum harus dilakukan analaisis mikrobiologi ketika
pasien dalam klinis yang stabil.

Pemeriksaan yang harus dilakukan di layanan sekunder :5

1. HRCT thoraks
2. Darah rutin : FBC, ESR, CRP, Serum immunoglobulins (G,A,M) dan
serum elektrophoresis.
3. Tes imunologi yang berkaitan dengan imunodefisiensi
4. Tes untuk kistik fibrosis jika perlu
5. Kultur sputum.

Gambar 3. Gambaran HRCTscan pada bronkiektasis1


Manajemen terapi

Pendekatan komprehensif untuk manajemen bronkiektasis penting dilakukan,


terlepas dari apakah bronkiektasis terjadi secara difus atau lokal. Hal ini penting
untuk menentukan adakah penyebab yang dapat dimodifikasi yang mendasari,
seperti defisiensi imunoglobulin atau defisiensi a1-antitrypsin. Langkah
berikutnya adalah untuk memulai rejimen pembersihan jalan napas dan
mendapatkan sampel dahak untuk analisis bakteri, termasuk bakteri asam. Hasil
kultur sputum menentukan pilihan antibiotik berikutnya bila ada indikasi, seperti
dibahas di bawah. Pada pasien dengan frekuensi eksaserbasi yang sering, terapi
macrolide kronis harus dipertimbangkan. Pendapat ahli mengenai olahraga,
sebagai bagian dari rutinitas harian pasien atau dalam bentuk rehabilitasi paru,
yang terintegrasi dalam manajemen. Secara umum tujuan terapi bronkiektasis
adalah sebagai berikut :1,2,5
1. Untuk mengidentifikasi dan tatalaksana penyebab penyakit untuk
mencegah progresi
2. Untuk menjaga serta meningkatkan fungsi paru
3. Untuk mengurangi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan mengurangi gejala harian serta eksaserbasi
4. Untuk mencapai pertumbuhan normal pada anak.
Pilihan terapi :5
1. Edukasi pasien. Pasien membutuhkan informasi mengenai bronkiektasis,
Suatu pendekatan mengenai pilihan terapi yang rasional untuk pasien.
Pasien harus mengetahui tanda-tanda eksaserbasi dan bagaimana
memperoleh pertolongan medis.
2. Fisioterapi. Semua pasien bronkiektasis harus mendapatkan layanan dari
spesialis fisioterapi thoraks untuk belajar teknik pembersihan saluran
nafas.
3. Semua pasien harus mendapat vaksinasi influenza dan vaksin
pneumokokal per 5 tahun.
4. Nilai ada tidaknya obstruksi saluran nafas dan reversibilitasnya untuk
penggunaan B2 agonis dan bronkodilator antikolinergik.
5. Steroid inhalasi tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien anak
maupun dewasa kecuali pasien memiliki asma atau PPOK dan sesuai
dengan criteria penggunaan steroid menurut guideline internasional.
6. Efikasi klinis dari karbostein dan manitol belum diteliti lebih lanjut pada
penelitian acak terkontrol namun dapat digunakan berdasrakan basis klinis
dan bila diperlukan.
7. Tidak ada bukti mengenai peran serta manfaat dari leukotrin reseptor
antagonis, obat anti inflamasi lainnnya, dan atau metilxantin.
8. Penggunan antibiotic dan terapi pembedahan dapat dilakukan dengan
indikasi.
9. Indikasi penggunaan oksigen jangka panjang sama dengan indikasi pada
PPOK.

Gambar 4. Pendekatan manajemen bronkiektasis1


Pembersihan jalan nafas
Tujuan dari bersihan jalan napas adalah untuk memobilisasi sekresi
bronkopulmoner dan menghentikan lingkaran setan peradangan dan infeksi.
Pembersihan jalan napas menggunakan agen inhalasi (misalnya, 7% hipertonik
saline) yang berkaitan dengan fisioterapi dada (CPT), seperti perangkat osilasi
tekanan ekspirasi positif (PEP), osilasi dinding dada frekuensi tinggi (HFCWO,
misalnya, sistem bersihan jalan napas The Vest; Hill-Rom, St. Paul, MN),
drainase autogenic, siklus aktif bernapas dengan batuk, atau perkusi dada manual.
Nebulasi saline hipertonik dan manitol yang dihirup sebagai bubuk kering
meningkatkan clearance lendir dengan mengurangi osmolalitas, sehingga lebih
mudah untuk membersihkan jalan nafas. Selain itu dapat diberikan agen mukolitik
untuk pembersihan jalan nafas. Agen mukolitik dimaksudkan untuk mengurangi
viskositas sputum. Dornase alfa (rekombinan manusia DNase) adalah agen
mukolitik yang tersedia secara komersial yang telah diteliti pada kasus
bronkiektasis. Pemberian dornase alfa bertujuan untuk meningkatkan fungsi paru-
paru dan mengurangi frekuensi eksaserbasi pada populasi CF namun tidak terlalu
berpengaruh pada kasus nonCF bronkiektasis. Subyek yang diobati dengan
dornase alfa lebih sering mengalami eksaserbasi, peningkatan kebutuhan rawat
inap, dan penggunaan antibiotik dan kortikosteroid lebih lama dibandingkan
subyek yang secara acak menerima plasebo. Oleh karena itu, dornase alfa tidak
dianjurkan untuk populasi ini. Ini adalah contoh di mana ekstrapolasi dari studi
pada bronkiektasis-CF tidak selalu tepat dan dibutuhkan penelitian lanjutan untuk
kasus non-CF bronkiektasis.1,2,10

Inhalasi kortikosteroid dan bronkodilator

Peran kortikosteroid inhalasi (ICS) pada kasus bronkiektasis masih belum jelas.
Efeknya lebih bermanfaat pada asma dan PPOK, dan digunakan pada pasien
bronkiektasis yang disertai dua gangguan ini. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa dosis tinggi steroid inhalasi mengurangi volume sputum,
mengurangi inflamasi dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, steroid belum
menunjukkan perbaikan yang signifikan pada fungsi paru-paru, dan frekuensi
eksaserbasi. Dalam uji coba secara acak terkontrol yang dilakukan pada pasien
bronkiektasis dengan keterbatasan aliran udara kronis (bukan diagnosis utama
asma atau PPOK), kombinasi dari formoterol inhalasi ditambah budesonide
dibandingkan dengan budesonide inhalasi saja. Kelompok kombinasi mengalami
perbaikan dispnea, batuk dan kualitas hidup tanpa perubahan pada patogen
sputum atau peningkatan efek samping.2,9

Antibiotik
Tujuan penggunaan antibiotik pada kasus bronkiektasis adalah sebagai berikut :
(1) dalam upaya untuk memberantas Pseudomonas dan / atau MRSA, (2) untuk
menekan beban kolonisasi bakteri kronis, atau (3) untuk mengobati eksaserbasi.
Penggunaan “rotasi” antibiotik untuk meminimalkan perkembangan resistensi
pada bakteri, seperti yang telah diterapkan pada unit perawatan intensif, namun
hal ini belum memadai jika digunakan pada rawat jalan dan karena itu tidak
direkomendasikan untuk populasi pasien ini. Pedoman BTS menganjurkan upaya
untuk memberantas Pseudomonas dan MRSA pada identifikasi pertama dengan
antibiotik dengan harapan menghentikan lingkaran setan infeksi, peradangan, dan
kerusakan saluran napas. White et al menerbitkan review retrospektif, terapi
eradikasi agresif pada pasien non CF bronkiektasis dengan infeksi Pseudomonas.
Pasien menerima ciprofloxacin oral 500 mg dua kali sehari atau 2 minggu selama
3 bulan dari rejimen intravena (biasanya kombinasi terapi dengan ceftazidime dan
aminoglikosida). Kedua kelompok kemudian menerima nebulasi colistin setelah
terapi sistemik selama 3 bulan. Pseudomonas awalnya berhasil diberantas pada
80% pasien. Pada follow up lanjutan, 50% pasien tetap bebas dari Pseudomonas.
Frekuensi eksaserbasi juga terlihat berkurang, bahkan dalam kelompok yang tetap
dengan Pseudomonas. Pemberantasan bakteri patogen lain seperti H. influenzae,
M. catarrhalis, atau S. pneumoniae pada pasien yang stabil telah terbukti
berkorelasi dengan penurunan frekuensi napas dan sirkulasi yang menjadi
penanda peradangan. Tujuan dari terapi antibiotik supresif adalah untuk
pemberantasan organisme yang sebelumnya tidak berhasil, untuk memperbaiki
gejala dan mengurangi frekuensi eksaserbasi.1,9
Makrolida memberi efek imunomodulator pada respon inflamasi host tanpa
penekanan pada sistem kekebalan tubuh. Efek imunomodulator dari makrolida
banyak dan mencakup modifikasi produksi lendir, penghambatan produksi
biofilm, menekan mediator inflamasi. Manfaat klinis azitromisin telah diamati
pada pasien dengan CF dan pasien dengan non-CF bronkiektasis. berkurangnya
frekuensi eksaserbasi pernapasan, penurunan volume dahak 24 jam, dan dan
meningkatkan kualitas hidup pasien yang diberikan azitromisin dosis rendah,
yaitu, 250 mg tiga kali seminggu, atau 500 mg dua kali seminggu pada pasien
dengan non-CF bronkiektasis.1,2

Gambar. 5 Pendekatan terapi berdasarkan “Cole vicious cycle”

Terapi eksaserbasi
Membedakan gejala awal eksaserbasi bisa sulit karena pasien dengan
bronkiektasis sering melaporkan sesak napas, kelelahan, dan sputum
mukopurulen. Meskipun tidak ada definisi otoritatif dari non-CF bronkiektasis
Gambar 6. Manajemen non CF- Bronkiektasis

eksaserbasi, gejala berikut konsisten dengan temuan ini: peningkatan sputum


(volume, viskositas, atau purulence), peningkatan batuk, mengi, sesak napas,
hemoptisis, dan penurunan fungsi paru-paru. Setelah kehadiran eksaserbasi
ditegakkan, sampel dahak harus diperoleh dan dikirim untuk analisis bakteri,
termasuk bakteri asam. Sambil menunggu hasil kultur sputum, antibiotik terhadap
organisme spektum luas harus dimulai sebelum hasil kultur sputum ada. Jika data
kultur sebelumnya tidak tersedia, fluorokuinolon dengan aktivitas terhadap
Pseudomonas, seperti ciprofloxacin menjadi pilihan yang efektif. Fluoroquinolone
dengan dosis yang lebih tinggi seperti ciprofloxacin (yaitu, 750 mg dua kali
sehari) mungkin diperlukan untuk mencapai rasio konsentrasi puncak yang cukup
dengan konsentrasi hambat minimum. Penggunaan fluorokuinolon merupakan
faktor risiko untuk Clostridium difficile kolitis dan berhubungan dengan
tendinopathy, terutama pada pasien usia lanjut yang secara bersamaan
menggunakan glukokortikoid. Untuk organisme dengan kepekaan terhadap
fluoroquinolone, penambahan tobramycin inhalasi dosis tinggi serta ciprofloxacin
oral (750 mg dua kali sehari) menunjukkan hasil yang lebih efektif dalam
memberantas Pseudomonas daripada ciprofloxacin ditambah plasebo, tetapi
perbedaannya tidak signifikan secara statistik dan subyek yang menerima
tobramycin diketahui mengalami peningkatan frekuensi mengi.1,5,10
Banyak pasien dengan bronkiektasis yang memiliki strain bakteri resisten
terhadap berbagai antibiotik. Pendekatan antibiotik pada pasien ini, terutama
mereka dengan strain resisten Pseudomonas, berasal dari studi pasien dengan CF.
Dalam studi ini, monoterapi (yaitu, ceftazidime) telah terbukti tidak lebih efektif
secara klinis dibandingkan terapi kombinasi (misalnya penisilin spektrum luas
ditambah aminoglikosida). Guideline BTS merekomendasikan kombinasi
antibiotik untuk infeksi strain resisten dari Pseudomonas. Dalam prakteknya,
antibiotik disesuaikan untuk setiap pasien sesuai dengan tingkat penyakit, tingkat
keparahan infeksi, pola resistensi lokal, dan hasil kultur sebelumnya. Pedoman
BTS memberikan rincian tentang dosis aminoglikosida untuk mencapai
konsentrasi puncak 7-10 mg / L dan konsentrasi terendah kurang dari 2 mg / L.
Fungsi ginjal harus dipantau ketat1

Terapi pembedahan

Meskipun manajemen yang komprehensif telah dilakukan dalamjangka panjang, ,


beberapa pasien gagal mengalami perbaikan, atau menunjukkan ketidakmampuan
untuk mentoleransi terapi. Pada pasien ini, jika bronkiektasis terlokalisir, rujukan
ke pusat khusus untuk evaluasi bedah untuk lobektomi atau Segmentectomy dapat
dibenarkan. Intervensi bedah melalui pendekatan thoracoscopic memiliki
tantangan tersendiri karena perlengketan pembuluh darah pleura dan hipertrofi
arteri bronkial yang melekat pada penyakit. Namun demikian, pendekatan
thoracoscopic pada bronkiektasis dikaitkan dengan morbiditas perioperatif yang
rendah. Pad penelitian Coutinho et al pada 69 pasien dilakukan tindakan
lobektomi, pneumectomi, dan bilobektomi. Didapatkan hasil morbiditas sebesar
14,5%. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa reseksi pembedahan merupakan
prosedur aman pada bronkiektasis dan terbukti meningkatkan kualitas hidup
pasien. Mitchell dan rekannya melaporkan pengalaman mereka pada 212
thoracoscopic lobectomi atau segmentectomi. Mortalitas operasi adalah nol.
Komplikasi operasi yang paling umum adalah kebocoran udara yang
berkepanjangan pada 5,6% pasien dengan tingkat komplikasi operasi keseluruhan
8,9%. Komplikasi yang sementara termasuk fibrilasi atrium, cedera bronkial,
pneumonia, infeksi luka, atelektasis, dan efusi pleura. Dalam semua kasus,
intervensi bedah adalah bagian dari pendekatan multidisiplin.1,11
DAFTAR PUSTAKA

1. Pamela J, Naureckas ET, Tino G, Strek M. Non-Cystic Fibrosis Bronchiectasis.


Am J Respir Crit Care Med : 2013: 188(6); p.647-657.
2. Chalmers JD, Aliberti S, Blasi F. State of the art review : management of
bronchiectasis in adults. ERJ Express: 2014.p.1-17.
3. Chalmers JD, Song Y, Mallow C, et al. Year in review 2016: Respiratory
infections, acute respiratory distress syndrome, pleural disease, lung cancer and
interventional pulmonology. Respirology. 2017.p.1-10.
4. Hill AT, Welham S, Reid K, Bucknall CE, et al. British Thoracic Society
national bronchiectasis audit 2010 and 2011. Chest clinic. 2012p.928-32.
5. Hill AT, Pasteur M, Cornford C, et al. Primary care summary of the British
Thoracic Society Guideline on the management of non-cyctic fibrosis
bronchiectasis. Prim Care Respir J: 2011;p.135-141.
6. Davies G, Wells AU, Doffman S, et al. The effect of Pseudomonas aeruginosa
on pulmonary function in patient with bronchiectasis. Eur Respir J. 2006:28;974-
979.
7. Gao YH, Guan WJ, Liu SX, et al. Aetiology of bronchiectasis in adults : A
systematic literature review. Respirology: 2016:p. 1-8.
8. Rogers GB, Zain NMN, Bruce KD, et al. A novel microbiota stratification
system predicts future exacerbations in bronchiectasis. Annals ATS. 2014;11: p.
496-504.
9. Brodt AM, Stovold E, Zhang L. Inhaled antibiotics for stable non-cystic
fibrosis bronchiectasis: a systematic review. ERJ Express. 2014;p.1-12.
10. Mao B, Wang JW, Lu HW, et al. Asthma and bronchiectasis exacerbation.
ERJ Express. 2015; p.1-7.
11. Coutinho D, Fernandes P, Guerra M. Surgical treatment of bronchiectasis: A
review of 20 years of experience. Elsevier. 2015;p. 1-4.

Anda mungkin juga menyukai