Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Orang dengan skizofrenia dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda dari
orang di sekitar mereka. Mereka bisa mendengar, melihat, menghidu, merasakan
hal yang tidak dialami oleh orang lain (halusinasi), misalnya mendengar suara
(yang cenderung menjadi halusinasi yang paling umum). Mereka mungkin
memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan dalam hal yang tidak benar (delusi),
misalnya bahwa orang membaca pikiran mereka, mengendalikan pikiran mereka
atau berencana menyakiti mereka. Ketika dunia mereka kadang-kadang tampak
menyimpang akibat halusinasi dan delusi, orang dengan skizofrenia dapat merasa
takut, cemas dan bingung. Mereka bisa menjadi begitu kacau sehingga mereka
dapat merasa takut sendiri dan juga dapat membuat orang di sekitar mereka takut.
Skizofrenia terjadi sama pada pria dan perempuan, meskipun biasanya
muncul lebih awal pada pria. Usia puncak onset adalah 20-28 tahun untuk laki-
laki dan 26-32 tahun untuk perempuan. Onset pada masa kanak-kanak jauh lebih
jarang, dibanding pada dewasa atau usia tua. Prevalensi skizofrenia seumur hidup,
proporsi individu diperkirakan akan mengalami penyakit tersebut pada setiap saat
dalam kehidupan mereka, umumnya diberikan pada 1%. Namun, tinjauan
sistematis studi 2002 banyak ditemukan prevalensi seumur hidup pada angka
0,55%. Meskipun kebijaksanaan menerima bahwa skizofrenia terjadi pada tingkat
yang sama di seluruh dunia, tetapi prevalensinya bervariasi di seluruh dunia,
dalam masing-masing negara, dan pada tingkat lokal dan lingkungan. Salah satu
penelitian telah menemukan hubungan antara yang hidup di lingkungan perkotaan
dengan diagnosis skizofrenia. Skizofrenia dikenal menjadi penyebab utama
kecacatan. Dalam sebuah penelitian pada tahun 1999, dari 14 negara, psikosis
aktif menduduki peringkat ketiga kondisi paling menonaktifkan setelah
quadriplegia dan demensia.
Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang lebih luas untuk
berbagai gejala skizofrenia dan dapat memperbaiki kemampuan berfungsi pasien

1
telah tersedia sejak 20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru ini dikenal
sebagai antipsikotik atipikal, antipsikotik novel atau antipsikotik generasi kedua.
Obat ini tampaknya memiliki lingkup efek yang lebih luas untuk gejala
skizofrenia. Obat ini efektif untuk mengobati gejala positif, seperti halusinasi dan
delusi, dan juga dapat membantu dalam mengobati gejala negatif seperti
berkurangnya motivasi atau emosi datar. Obat baru juga tersedia dalam bentuk
tablet, cairan dan suntikan jangka pendek dan jangka panjang (tergantung masing-
masing obat).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia
1. Definisi
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis
atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetic, fisik, dan social budaya.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara,
walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

2. Epidemiologi Skizofrenia
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu
waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen
penduduk atau sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini.
Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang akan
terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa
kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr. LS
Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan.
Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada
usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia
biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini
cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.
Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi
skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2%-2,0%. Di Indonesia angka
prevalensi skizofrenia yang tercatat di Depkes berdasarkan survey di rumah

3
sakit (1983), antara 0,5%-0,15%, dengan perkiraan bahwa 90% dari penderita
skizofrenia mengalami halusinasi pada saat mereka sakit. Empat besar kasus
penderita yakni klien dengan paranoid sebanyak 359 orang, skizofrenia 290
orang, depresi 286 orang dan gangguan psikologis akut 269 orang. Penderita
lainnya mengalami neurosa, epilepsi, gangguan afektif, parafrenia, retardasi
mental, sindrom ketergantungan obat dan lainnya.

3. Etiologi Skizofrenia
a. Pengaruh Genetik
Kemungkinan bahwa skizofrenia merupakan kondisi kompleks
warisan, dengan beberapa gen mungkin berinteraksi untuk menghasilkan
resiko skizofrenia terpisah atau komponen yang dapat terjadi mengarah
diagnosa. Gen ini akan muncul untuk nonspesifik dimana mereka dapat
menimbulkan resiko gila lainnya. Seperti kekacauan gangguan bipolar.
Duplikasi dari urutan DNA dalam gen (dikenal sebagai menyalin nomor
varian) memungkinkan terjadi peningkatan resiko skizofrenia.
Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik
dari DNA yang diperkirakan meningkatkan penyakit skizofrenia, serta
beberapa gen lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David
St. Clair seorang psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia
mengatakan, penemuan ini seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti
memahami mekanisme kerja dari proses mutasi, maka obat dan
pendekatan baru dapat dikembangkan.
Dalam penelitian,peneliti menganalisa gen dari 6.000-10.000 orang
dari seluruh dunia yang separuhnya menderita skizofrenia. Mereka
menemukan 1 mutasi pada kromosom 1,dua pada kromosom 15 dan
menetapkan suatu jenis gen yang terkait dengan kondisi skizofrenia pada
kromosom 22. Perubahan ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya
skizofrenia hingga 15 kali lipat.

b. Faktor Biologis

4
1) Hipotesis Dopamin
Gejala skizofrenia merupakan hasil dari peningkatan aktifitas
dopamine pada system limbic (gejala positif) dan penurunan aktifitas
dopamine (gejala negatif). Patologi dopamine ini bisa karena
abnormalitas jumlah reseptor atau sensitifitasnya, atau abnormalitas
pelepasan dopamine (terlalu banyak atau terlalu sedikit).

2) Hipotesis Norepinefrin
Peningkatan level norepinefrin pada skizofrenia menyebabkan
peningkatan sensitisasi masukan sensorik.

3) Hipotesis GABA
Penurunan aktifitas GABA menyebabkan peningkatan aktifitas
dopamine.

4) Hipotesis Serotonin
Metabolisme serotonin tampaknya tidak normal pada beberapa
pasien skizofrenia, dengan dilaporkannya hiperserotoninemia ataupun
hiposerotoninemia. Secara spesifik, antagonis dari reseptor serotonin 5-
HT2 ditegaskan memiliki peran penting dalam mengurangi gejala
psikotik dan dalam melawan perkembangan dari gangguan gerak yang
berhubungan dengan antagonis D2.

5) Halusinogen
Diperkirakan beberapa endogenous amines bertindak sebagai
substrat untuk abnormalitas methylation, yang dihasilkan dalam
endogenous hallucinogens. Hipotesis ini tidak didukung oleh data yang
akurat.

6) Hipotesis Glutamat

5
Penurunan fungsi dari glutamat reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) diteorikan dalam menyebabkan gejala positif ataupun negatif
dari skizofrenia.

7) Teori Neurodevelopmental dan Neurodegeneratif


Angka kejadian untuk abnormalitas migrasi neuronal terjadi selama
trimester ke dua dari perkembangan janin. Teori dari abnormalitas
fungsi neuron pada orang dewasa merujuk kepada gejala-gejala
emergency. Reseptor glutamat yang memediasi kematian sel mungkin
terjadi. Semua ini dapat menjelaskan kematian sel tanpa gliosis yang
terlihat pada skizofrenia, dan perjalanan progresif penyakit ini pada
beberapa pasien.

c. Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari factor psikososial sangat dipengaruhi oleh
faktor keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya
memiliki emosi ekspresi (EE) yang tinggi memiliki angka relaps lebih
tinggi daripada pasien yang berasal dari keluarga berkspresi yang rendah.
EE didefinisikan sebagai perilaku yang intrusive, terlihat berlebihan,
kejam dan kritis. Disamping itu, stress psikologik dan lingkungan paling
mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih terkontrol. Di
Negara industri sejumlah pasien skizofrenia berada dalam kelompok sosio
ekonomi rendah. Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh hipotesis
pergeseran ke bawah (Downward drift hypothesis), yang menyatakan
bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok sosioekonomi rendah
karena penyakitnya. Suatu penjelasan alternative adalah hipotesis akibat
sosial,yang menyatakan stress yang dialami oleh anggota kelompok
sosioekonomi rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari
skizofenia di setiap kultur berbeda tergantung dari bagaimana penyakit
mental diterima di dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya

6
sistem pendukung sosial dan keluarga, dan kompleksitas komunikasi
sosial.

d. Teori Infeksi
Angka kejadian dari penyebab virus meliputi perubahan
neuropatologi karena infeksi: gliosis, glial scaring, dan antivirus antibody
dalam CSF serum pada beberapa pasien skizofrenia.

4. Gejala Skizofrenia
Seperti halnya berbagai macam penyakit, skizofrenia pun memiliki
gejala-gejala awal. Berikut ini adalah beberapa indikator premorbid (pra-
sakit) pre-skizofrenia:
 Ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh.
 Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).
 Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan,
atau memindahkan atensi.
 Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,
tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas,
mengganggu dan tak disiplin.
Pada umumnya gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok
berikut:
a. Gejala-gejala Positif
Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas
yang dapat diamati oleh orang lain. Yang termasuk dalam gejala ini antara
lain adalah halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif).

b. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala ini disebut negatif karena merupakan kehilangan dari
ciri khas atau fungsi normal seseorang. Yang termasuk dalam gejala-gejala

7
ini antara lain adalah kurang atau tidak mampu menampakkan/
mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan
untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang
disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita Skizofrenia atau
penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan Skizofrenia pada kelompok ini
sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom
Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan Post
Traumatic Stress Dissorder. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau
Skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-
hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan
faktor predisposisi skizofrenia, yaitu:
 Gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan,
menganggap semua orang sebagai musuh.
 Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu
bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri.
 Gangguan skizotipal yaitu perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil,
afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh
pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran
obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat
rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam
pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya
gejala skizofrenia, misalnya tekanan (stresor) lingkungan dan faktor genetik
ataupun penggunaan yang salah pada beberapa jenis obat-obatan terlarang.

Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut:
a. Fase Prodromal

8
Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang
lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset
psikotik menjadi jelas. Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi
pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi
perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta
membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini
tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk
prognosisnya.
b. Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku
katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir
semua individu datang berobat pada fase ini. Bila tidak mendapat
pengobatan, gejala-gejala tersebut dapat hilang secara spontan tetapi suatu
saat mengalami eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat disembuhkan).
Fase aktif akan diikuti oleh fase residual.
c. Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal
tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala
yang terjadi pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami
gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan
peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan
sosial).

5. Diagnosis Skizofrenia
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kulitasnya berbeda; atau
- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar
masuk kedalam pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar

9
oleh sesuatu dari luar (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ‘dirinya”: secara jelas
merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan
atau penginderaan khusus);
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

10
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya
kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Perjalanan gangguan skizofrenik dapat diklasifikasikan
menggunakan kode lima karakter berikut:
F20.x0 Berkelanjutan
F20.x1 Episodik dengan kemunduran progresif
F20.x2 Episodik dengan kemunduran stabil
F20.x3 Episodik berulang
F20.x4 Remisi tak sempurna
F20.x5 Remisi sempurna
F20.x8 Lainnya
F20.x9 Periode pengamatan kurang dari satu tahun
6. Klasifikasi Skizofrenia

11
Dalam PPDGJ III Skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok
yang mempunyai spesifikasi masing-masing yang kriterianya didominasi
dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Skizofrenia Paranoid
2. Skizofrenia Hebefrenik
3. Skizofrenia Katatonik
4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)
5. Depresi Pasca Skizofrenia
6. Skizofrenia Residual
7. Skizofrenia Simpleks
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT

B. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)


1. Definisi
Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan
perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan ,ada
kecenderungan untuk selalu menyendiri .dan ungkapan kata yang diulang-
ulang,proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
serta adanya penurunan perawatan diri pada individu.

2. Tanda dan Gejala


Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga disorganised, permulaannya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun.
Pada Skizofrenia Hebefrenik kita dapat melihat tanda dan gejala yang khas,
antara lain :
a. Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya.
b. Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau.
c. Perilaku dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa
puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.

12
d. Waham yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi sebagai
suatu kesatuan.
e. Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisasi
sebagai satu kesatuan.
f. Gangguan proses berfikir
g. Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-
gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan
cenderung untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.

Beberapa tanda dan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien-pasien
Skizofrenia Hebefrenik adalah,
 Waham
 Halusinasi
 Siar pikiran

3. Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :


- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
- Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya
diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk
memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),
senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty

13
manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara
bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang
diulang-ulang (reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan
ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty
of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien. Menurut DSM-IV
TR Skizofrenia disebut sebagai Skizofrenia tipe terdisorganisasi

4. Penatalaksanaan Skizofrenia
a. Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat
mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau
kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Pada
dasarnya semua obat antipsikotik mempunyai afek primer (efek klinis) yang
sama. Perbedaan utama pada efek sekunder(efek samping). Pemilihan jenis
antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek
samping obat. Bila gejala negative lebih menonjol dari gejala positif
pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal(golongan generasi
kedua),sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala
negatif pilihannya adalah antipsikosis tipikal(golongan generasi pertama).

14
Terdapat 2 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik
tipikal dan antipsikotik atipikal.
1) Antipsikotik Tipikal
Walaupun sangat efektif, antipsikotik tipikal sering menimbulkan efek
samping yang serius. Penggolongan obat antipsikotik tipikal antara lain :
a) Phenothiazine
 Rantai Aliphatic :
-Chlorpromazine
-Levomepromazine
 Rantai Piperazine
-Perphenazine
-Trifluoperazine
-Fluphenazine
 Rantai Piperidine
-Thioridazine
b. Butyrophenone
-Haloperidol
c. Diphenyl-butylpiperidine
- Pimozide
Mekanisme kerja antipsikotik tipikal adalah memblokade Dopamine pada
reseptor pasca sinaptik neuron di otak,khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists) sehingga efektif untuk
gejala positif.

2) Antipsikotik Atipikal
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip
kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan
dengan antipsikotik tipikal. Beberapa contoh, antara lain :
a) Benzamide
- Sulpride (dogmatil)
b) Dibenzodiazepine

15
- Clozapine(clozaril)
- Olanzapine (zyprexa)
- Quetiapine (Seroquel)
c) Benzisoxazole
- Risperidone (risperdal)
Mekanisme kerja antipsikotik atipikal berafinitas terhadap Dopamine D2
receptor juga berafinitas terhadap Serotonin 5 HT2 Receptors (Serotonin –
dopamine antagonists) sehingga efektif untuk gejala negatif.

Efek samping obat anti psikotik dapat berupa :


- Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk,kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
- Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik, mulut
kering, sering miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intraokuler meninggi, gangguan irama jantung)
- Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson
berupa tremor, bradikinesia dan rigiditas)
- Gangguan endokrin (amenorrhea, gynaecomastia), metabolik (jaundice)
hematologik (agranulocytosis), biasanya untuk pemakaian jangka
panjang
- Efek samping yang irreversible yaitu tardive dyskinesia (gerakan
berulang involunter pada lidah,wajah,mulut/rahang dan anggota
gerak,dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya
terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada
pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis obat
antipsikotik.

Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama


Atypical antipsycoic merupakan terapi pilihan untuk penderita
Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal
dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah. Biasanya obat

16
antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja. Sebelum
diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para
ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih
lama pada Clozaril)

Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)


Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat
penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat.
Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang
ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat
menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti
dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita
berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral
dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu.
Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya. Terkadang
pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal
ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang
lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal
antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik
atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila
terapi dengan obat-obatan diatas gagal.

Pengobatan Selama fase Penyembuhan


Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan
walaupun setelah sembuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien
Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-
24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia
Skizofrenia lebih dari satu episode, atau belum sembuh total pada episode
pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa
penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan
semakin beratnya penyakit.

17
Nama Generik Sediaan Dosis

Klorpromazin Tablet, 25 dan 100 mg, 150 - 600 mg/hari

Injeksi 25 mg/ml

Haloperidol Tablet, 0,5 mg, 1,5 mg, 5 mg, 5 - 15 mg/hari

Injeksi 5 mg/ml

Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12 - 24 mg/hari

Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10 - 15 mg/hari

Flufenazin dekanoat Inj 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu

Levomeprazin Tablet 25 mg, Injeksi 25 mg/ml 25 - 50 mg/hari

Trifluperazin Tablet 1 mg dan 5 mg 10 - 15 mg/hari

Tioridazin Tablet 50 dan 100 mg 150 - 600 mg/hari

Sulpirid Tablet 200 mg 300 – 600 mg/hari

Injeksi 50 mg/ml 1 - 4 mg/hari

18
Pimozide Tablet 1 dan 4 mg 1 - 4 mg/hari

Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2 - 6 mg/hari

2.Terapi Psikososial
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah dan latihan ketrampilan sosial
untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri,
latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong
dengan pujian atau hadiah. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif
atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat,
dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.

b. Terapi berorientasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, dimana pasien skizofrenia kembali
seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun
intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan, yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya.
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia.
Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif
dalam menurunkan relaps. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar
25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.

c. Terapi kelompok

19
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok efektif dalam
menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif paling membantu bagi pasien skizofrenia.

d. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi adalah membantu
dan menambah efek terapi farmakologis. Menjalin hubungan seringkali sulit
dilakukan karena pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap
keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas,
bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati.

3.Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)


Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan
rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan.

2.2.6 Prognosis
Menurut Kraepelin dan Bleuler,skizofrenia hebefrenik dan jenis jenis
skizofrenia tipe sederhana lainnya memiliki prognosis yang paling
buruk,dibandingkan dengan tipe paranoid atau katatonik akut yang memiliki
reaksi cepat, namun ada juga yang berkembang menjadi kronik dan semakin
lama semakin memburuk.
Berikut daftar faktor yang mempengaruhi prognosis penderita
skizofrenia :

20
Perihal Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset Lama Muda
Faktor pencetus Jelas Tidak ada
Onset Akut Tidak jelas
Riwayat sosial ,seksual Baik Buruk
dan pekerjaan premorbid
Gejala Gangguan mood Perilaku menarik
diri,autistik
Status Perkawinan Menikah Tidak
menikah,bercerai,atau
janda/duda
Riwayat keluarga Gangguan mood Skizofrenia
Dukungan Baik Buruk
Gejala Gejala Positif Gejala negatif
Ada tanda dan gejala
neurologis,
Riwayat trauma
perinatal,tidak ada remisi
dalam 3 tahun,banyak
relaps

21
BAB III

KESIMPULAN

Skizofrenia adalah suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum


diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik, dan sosial budaya. Etiologi skizofrenia meliputi genetic, biologis,
psikososial, dan infeksi. Terdapat beberapa klasifikasi pada skizofrenia, yaitu:
skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak
terinci (undifferentiated), depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual,
skizofrenia simpleks, skizofrenia lainnya, dan skizofrenia YTT.
Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan
prilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,ada
kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan prilaku menunjukkan hampa prilaku
dan hampa perasaan, senang menyendiri, dan ungkapan kata yang di ulang –
ulang, proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta
adanya penurunan perawatan diri pada individu dan merupakan suatu gangguan
yang yang ditandai dengan regresi dan primitif, afek yang tidak sesuai, serta
menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial. Gangguan jiwa skizofrenia
merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat yang dapat dialami manusia sejak
muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan lebih gawat ketika muncul pada
lanjut usia (lansia) karena menyangkut perubahan pada segi fisik, psikologis dan
sosial-budaya.
Gejala karakteristik skizofrenia meliputi gejala positif, gejala negatif, dan
juga gejala-gejala karakteristik lainnya. Diagnosis banding skizofrenia adalah:
gangguan mood, gangguan kepribadian, gangguan psikotik lainnya, dan gangguan
psikotik sekunder dan akibat obat. Penatalaksanaan skizofrenia meliputi
medikamentosa, elektrokonvulsif terapi, dan psikoterapi.
Obat-obatan yang digunakan merupakan obat antipsikotik tipikal dan
atipikal. Antipsikotik tipikal efektif untuk mengatasi gejala positif, sedangkan
antipsikotik atipikal efektif untuk mengatasi gejala negatif. Prognosis untuk

22
penyakit skizofrenia tergantung dari berbagai factor, antara lain onset, factor
pencetus, riwayat keluarga, system pendukung, gejala, riwayat sosial, seksual, dan
lain-lain.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim, Rusdi dr. 2001. Buku Saku Diagnosisi Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta : FK
Unika Atmajaya.
2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 2010. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2 Jilid
1. Jakarta : Binarupa aksara.
3. Elvira,SD. Hadisukanto G. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Puri, Basant K. Paul J. Laking. 2011. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta :
EGC
5. Maslim, Rusdi. 2002. Paduan Praktis Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya

24

Anda mungkin juga menyukai