Anda di halaman 1dari 20

DOSIS RESPON OBAT DAN INDEKS TERAPI

( Rabu 13.30 – 16.30 )

Disusun Oleh:

Kelompok 1
Annisa Trisfalia 260110100138

Ummu Faurikhah 260110100139

Faizah Min Fadhlillah 260110100140

Pritasari Anggraeni 260110100142

Aida Nur Aini 260110100144

Laboratorium Farmakologi

Fakultas Farmasi

Universitas Padjadjaran

201
Percobaan II
Dosis Respon Obat dan Indeks Terapi

I. Tujuan Percobaan

Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa :


1. Memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh
DE50 dan DL50
2. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi-implikasinya

II. Prinsip

1. Indeks Terapi

Indeks terapi (LD50:ED50) merupakan perbandingan antara


dosis letal (besar dosis yang menimbulkan efek toksik) dengan dosis efektif
(takaran obat tertentu yang berefek menyembuhkan) yang dijadikan sebagai
ukuran keamanan suatu obat. Semakin besar indeks terapi, maka obat tersebut
semakin aman karena dosis toksik obat tidak berdekatan dengan dosis
terapeutiknya sehingga pasien dapat terhindar dari efek toksik.
2. Dosis respon obat

Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat


sebanding langsung dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis
peningkatan respon menurun. Pada akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat
meningkatkan respon lagi. Pada sistem ideal atau sistem in vitro hubungan
antara konsentrasi obat dan efek obat digambarkan dengan kurva hiperbolik
III. Teori Dasar

Farmakodinamika merupakan bagian Farmakologi yang mempelajari


kegiatan obat terhadap organisme hidup, terutama cara dan mekanisme kerjanya, reaksi
fisiologi, serta efek terapeutis yang ditimbulkannya. Farmakodinamika mencakup semua
efek yang dilakukan obat terhadap tubuh (Tjay &Rahardja, 2007).

Kadar terapeutik obat dapat dicapai lebih cepat dengan memberikan dosis
muatan yang diikuti dengan dosis rumatan. Dosis muatan adalah dosis awal oabat yang
lebih tinggi dari dosis-dosis selanjutnya dengan tujuan mencapai kadar oabat terapeutik
dalam serum dengan cepat. Dosis muatan diikuti dengan dosis rumatan, yang merupakan
dosis obat yang mempertahankan konsentrasi plasma dalam keadaan stabil pada rentang
terapeutik (Azrifitria, 2011).

Regimen dosis adalah cara, jumlah, dan frekuensi pemberian obat yang
mempengaruhi onset of action dan duration of action kerja obat. Onset of action adalah
jumlah waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk mulai bekerja. Obat-obatan yang
diberikan secara intravena umumya mempunyai onset of action yang lebih cepat
dibandingkan obat-obat yang diberikan peroral karena obat-obatan harus diabsorpsi dan
melalui usus sebelum masuk ke aliran darah. Durasi adalah lamanya waktu suatu obat
bersifat terapeutik. Durasi biasanya sesuai dengan waktu paruh obat tersebut (kecuali
bila obat terikat ireversibel dengan reseptornya) serta tergantung pada metabolisme dan
eksresinya (Azrifitria, 2011).
Interaksi antara obat dan tempat ikatan pada reseptor tergantung pada
terpenuhinya ‘kesesuaian’ antara kedua molekul tersebut. Makin erat kesesuaian dan
makin banyak ikatan (biasanya non kovalen), makin kuat gaya tarik di antara kedua
molekul tersbut, dan makin tinggi afinitas obat tersebut terhadap reseptor. Kemampuan
suatu obat untuk berikatan dengan satu jenis reseptor tertentu disebut spesifisitas. Tidak
ada obat yang benar-benar spesifik, namun banyak obat yang bekerja relatif selektif pada
satu jenis reseptor (Sikawati, 2007).

Obat-obat diresepkan untuk menghasilkan efek terapeutik, namun seringkali


menghasilkan efek yang tidak diharapkan, yang bervariasi mulai dari efek yang tidak
berarti (misalnya mual ringan) sampai efek yang fatal (misalnya anemia aplastik).
Hampir semua obat dengan dosis yang cukup besar dapat menimbulkan efek toksis (=
dosis toksis, TD) dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (=dosis letal, LD).
Dosis terapeutis adalah takaran pada mana obat menghasilkan efek yang diinginkan.
Untuk menilai keamanan dan efek suatu obat, maka dilakukan penelitian dengan
binatang percobaan. Yang ditentukan adalah ED50 dan LD50 yaitu dosis yang masing-
masing memberikan efek atau dosis yang mematikan pada 50% pada jumlah binatang
(Setiawati dkk., 2007).

Indeks terapi (LD50:ED50) merupakan perbandingan antara kedua dosis itu,


yang merupakan suatu ukuran keamanan obat. Semakin besar indeks terapi, semakin
aman penggunaan obat tersebut. Tetapi, hendaknya diperhatikan bahwa indeks terapi
initidak dengan begitu saja dapat dikorelasikan terhadap manusia, seperti semua hasil
percobaan dengan binatang, karena adanya perbedaan metabolisme.
Luas terapi (ED50-LD50) adalah jarak antara ED50 dan LD50, juga dinamakan jarak
keamanan (safety margins). Seperti indeks terapi, luas terapi berguna juga sebagai
indikasi untuk keamanan obat yang digunakan untuk jangka waktu panjang. Obat
dengan luas terapi kecil, yaitu dengan selisih kesil antara dosis terapi dan dosis
toksisnya, mudah sekali menimbulkan keracunan bila dosis normalnya dilampaui,
misalnya anti koagulansia kumarin, fenitoin, teofilin, litiumkarbonat dan tolbutamida
(Katzung, 2002).

Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang
diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, beratnya
penyakit dan keadaan data tangkis penderita. Takaran pemakaian yang dimuat dalam
Farmakope Indonesia dan farmakope negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai
pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat
mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang mutlak untuk ditaati. Dosis
maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah
ditinggalkan Farmakope Eropa dan Negara-negara Barat, karena kurang adanya
kepastian mengenai ketepatannya, antara lain berhubung dengan variasi biologi dan
faktor-faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis
rata-rata yang biasanya (lazim) memberikan efek yang diinginkan (Tjay & Rahardja,
2007).

Dosis Efektif menengah suatu obat adalah jumlah yang akan menghasilkan
intensitas efek yang diharapkan 50% dari jumlah populasi percobaan. Dosis Toksik
median ialah jumlah yang akan menghasilkan efek keracunan tertentu yang diharapkan
pada 50% dari populasi percobaan. Hubungan antara efek obat yang diharapkan dan
yang tidak biasanya dinyatakan dalam indeks terapeutik dan dinyatakan sebagai rasio
(perbandingan) antara dosis toksik median dan dosis efektif median suatu obat,
TD50/ED50. jadi duatu obat dengan indeks terapeutik 15 dapat diharapkan akan
memberikan batas keselamatan yang lebih besar dalam penggunaannya daripada obat
dengan indeks terapeutik 5. untuk beberapa obat tertentu indeks terapeutiknya demikian
rendah sampai 2, sehingga harus cukup berhati-hati menggunakan unsur-unsur obat
semacam ini (Setiawati, 2007).

Indeks terapeutik harus dipandang sebagai petunjuk umum batas keamanan


dan untuk setiap pasien dipertimbangkan secara terpisah. Indeks terapeutik tidak
diperhitungkan pada pasien idiosinkrasi perseorangan. Lebih lanjut, selama criteria
penentuan indeks terapeutik melibatkan pemakaian figure median dan defenisi sempit
yang dimaksudkan dengan kemanjuran dari toksisitas, sedangkan indeks tidak
sepenuhnya mencerminkan populasi contoh dan tergantung pada defenisi kemanjuran
dan “toksisitas”, maka sejumlah indeks terapeutik mungkin menetapkan sebuah obat
saja. Ikatan obat dengan reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion,
hidrogen, hidrofobik, van der waals, mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang
terjadi ikatan kovalen (Ansel, 2005).

Potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya


ditentukan oleh:

1. Kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat-sifat farmakokinetik
obat.
2. Afinitas obat terhadap reseptornya (Ansel, 2005).
Hubungan antara kadar atau dosis obat dengan besarnya efek terlihat sebagai
kurva dosis-intensitas efek yang berbentuk hiperbola. Jika dosis dalam log, maka
hubungan antara log dosis dengan besarnya efek terlihat sebagai kuva log dosis-
intensitas efek yang berbentuk sigmoid.

Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi


diperlukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang
responsif (dalam %) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis), maka akan diperolaeh
kurva distribusi normal. Jika distribusi frekuensi tersebut dibuat kumulatif maka akan
diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang disebut kurva log dosis-persen responsif (log
dose-percent curve = log DPC). Oleh karena respons pasien di sini bersifat kuantal (all
or none), maka kurva sigmoid ini disebut juga kurva log dosis-efek kuantal (quantal log
dose-effect curve = loq DEC kuantal). Jadi log DPC menunjukkan variasi individual dari
dosis yang diperlukan untuk menimbulkan suatu efek tertentu (Katzung, 2002).

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi
median atau dosis efektif median (ED50). Dosis letal median (LD50) ialah dosis yang
menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50%.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam
rasio berikut :

Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50 (Setiawati dkk., 2007).

Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua tanpa menimbulkan efek
toksik pada seorangpun pasien. Oleh karena itu, Indeks terapi = TD1/ED99 adalah lebih
tepat dan untuk obat ideal = TD1/ED99 ≥1. Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak
dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan
bahkan hampir mendatar (Setiawati dkk., 2007).

IV. Alat dan Bahan

Alat:

1. Alat suntik 1 ml
2. Timbangan hewan

Bahan:

1. Cairan infus (natrium klorida fisiologik)


2. Tiopental natrium dosis 75 mg/BB, 150 mg/BB, dan 300 mg/BB

Hewan Percobaan:

1. Mencit jantan bobot berat badan 31,1 gram


2. Mencit jantan bobot berat badan 28 gram
3. Mencit jantan bobot berat badan 36,8 gram
4. Mencit jantan bobot berat badan 21,8 gram

V. Prosedur

Mencit dibagi kepada empat kelompok praktikum, masing-masing


mendapat empat ekor. Setiap mencit kemudian ditimbang berat badannya dan
diberi tanda agar mudah dikenali. Mencit harus diperlakukan dengan lembut agar
tidak stress dan mudah ditangani selama disuntikkan cairan obat.
Pertama, mencit dikeluarkan dari kandang dengan menarik ekornya,
kemudian ditempatkan di atas suatu permukaan yang tidak licin misalnya kasa
atau ram kawat, sehingga jika ditarik ia akan mencengkram. Telunjuk dan ibu
jari tangan kiri menjepit kulit tengkuk sedangkan ekornya masih dipegang
dengan tangan kanan, lalu posisi tubuh mencit dibalikkan sehingga perut
menghadap atas dan ekornya dijepitkan di antara jari manis dan jari kelingking
tangan kiri. Mencit diberi sediaan obat secara intraperitonial. Perut mencit seakan
terbagi empat oleh garis semu dan jarum disuntikkan dengan sudut 10° dari
abdomen agak ke pinggir agar tidak terkena kandung kemih maupun hati.

VI. Data Pengamatan

Data Pengamatan

A. Kelompok 1

Berat Dosis Waktu Mencapai Righting Reflex


Mencit (menit)
(gram) (milligram)

1 31,1 75 56

2 28 150 9

3 36,8 300 46

4 21,8 PGA -

B. Kelompok 2

Berat Dosis Waktu Mencapai Righting Reflex


Mencit (menit)
(gram) (milligram)

1 26,8 75 -

2 28 150 -

3 18,9 300 43

4 29,2 PGA -
C. Kelompok 3

Berat Dosis Waktu Mencapai Righting Reflex


Mencit (menit)
(gram) (milligram)

1 33,8 75 -

2 29 150 -

3 32,4 300 -

4 33,5 PGA -

D. Kelompok 4

Berat Dosis Waktu Mencapai Righting Reflex


Mencit (menit)
(gram) (milligram)

1 28 75 -

2 22,7 150 33

3 32,3 300 16

4 29,7 PGA -

VII. Perhitungan dan Grafik

Kelompok 1
31,1
Volume dosis 75 mg = × 0,5 = 0,78 𝑚𝑙
20

28
Volume dosis 150 mg = × 0,5 = 0,70 𝑚𝑙
20

36,8
Volume dosis 300 mg = × 0,5 = 0,92 𝑚𝑙
20

21,8
Volume PGA = × 0,5 = 0,55 𝑚𝑙
20
Kelompok 2
26,3
Volume dosis 75 mg = × 0,6 = 0,79 𝑚𝑙
20

28
Volume dosis 150 mg = × 0,6 = 0,84 𝑚𝑙
20

18,8
Volume dosis 300 mg = × 0,6 = 0,57 𝑚𝑙
20

29,2
Volume PGA = × 0,6 = 0,87 𝑚𝑙
20

Kelompok 3
33,8
Volume dosis 75 mg = × 0,5 = 0,85 𝑚𝑙
20

29
Volume dosis 150 mg = × 0,5 = 0,73 𝑚𝑙
20

32,4
Volume dosis 300 mg = × 0,5 = 0,81 𝑚𝑙
20

33,5
Volume PGA = × 0,5 = 0,84 𝑚𝑙
20

Kelompok 4
28
Volume dosis 75 mg = × 0,5 = 0,70 𝑚𝑙
20

22,7
Volume dosis 150 mg = × 0,5 = 0,56 𝑚𝑙
20

32,3
Volume dosis 300 mg = × 0,5 = 0,80 𝑚𝑙
20

29,7
Volume PGA = × 0,5 = 0,75 𝑚𝑙
20
Tabel Data Hasil Percobaan

Dosis Jumlah Akumulasi %


Log Observasi Jumlah Rasio
Tidak Tid
(mg) Dosis Tidur Tidur Tidur Hidup Total Tidur ur
Tidur

75 1,875 1/4 1 3 1 6 7 1/7 14

150 2,176 3/4 3 1 4 3 7 4/7 57

300 2,477 2/4 2 2 6 2 8 6/8 75

PGA - - - - - - - - -
VIII. Pembahasan

Percobaan kali ini berjudul dosis respon obat dan indeks terapi. Tujuan
dilakukannya percobaan yaitu memperoleh gambaran bagaimana merancang
ekspeimen untuk memperoleh ED50dan LD50 serta memahami konsep indeks
terapi dan implikasi-implikasinya. Prinsip percobaan kali ini yaitu indeks terapi
obat. Indeks terapi obat adalah perbandingan antara ED50 dan LD50 dan
digunakan untuk mengetahui suatu ukuran keamanan obat. ED50 adalah dosis
yang memberikan efek pada 50% hewan percobaan. Sedangkan LD50 adalah dosis
obat yang memberikan kematian pada 50% hewan percoabaan. Rumus untuk
menghitung indeks terapi obat yaitu :

Indeks terapi = LD50


ED50

Jika suatu obat memiliki indeks terapi yang besar maka obat tersebut
masih aman jika dilakukan sedikit saja dalam peningkatan dosisnya. Namun, jika
indeks terapi suatu obat kecil maka obat tersebut dapat menimbulkan kematian
jika sedikit saja dilakukan peningkatan dosis.
Prosedur dalam percobaan kali ini dimulai dengan membagi praktikan
menjadi 4 kelompok. Hewan percobaan yang digunakan dalam pengujian kali ini
yaitu mencit putih. Mencit putih dipilih karena mencit ini bersifat mudah
ditangani, penakut, fotofobik cenderung berkumpul sesamanya, suhu tubuhnya
mirip dengan suhu tubuh manusia yaitu 37.4 derajat celcius dan laju respirasi
normalnya 163/menit.
Disiapkan 16 mencit yang dibagi ke dalam 4 kelompok sehingga
masing-masing kelompok mendapatkan 4 mencit. Kemudian setiap mencit pada
setiap kelompoknya diberi tanda agar mudah dikenali. Dilakukan penimbangan
terhadap mencit dengan menggunakan neraca ohauss. Pada saat menimbang, alat
timbangan harus benar-benar bersih, bebas dari kotoran-kotoran yang mungkin
dikeluarkan oleh mencit sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar berat yang didapat
benar-benar merupakan berat mencit itu sendiri. Karena hal tersebut akan
berpengaruh terhadap dosis obat yang diberikan pada mencit. Didapat hasil dari
penimbangan untuk setiap mencitnya yaitu untuk mencit pertama yaitu 31.1 gram,
untuk mencit kedua yaitu 28 gram, untuk mencit ketiga yaitu 36.8 gram, dan untuk
mencit keempat yaitu 21.8 gram.
Setelah diketahui berat dari masing-masing mencit, kemudian
dilakukan pengkonversian dosis untuk mendapatkan dosis yang sesuai untuk setiap
mencitnya. Hal ini dilakukan agar dosis obat yang diberikan terhadap mencit
sesuai dengan berat badannya. Dosis yang tidak tepat akan mengakibatkan tidak
didapatnya efek yang diinginkan. Konversi dosis hewan percobaan dilakukan
dengan membandingkan berat badan hewan percobaan dengan berat badan hewan
percobaan standar dan dikalikan dengan faktor konversi sesuai dengan rute
pemberiaan obatnya. Karena obat yang diberikan pada mencit dilakukan secara
intraperitonial maka faktor konversinya adalah 1, tetapi karena 1 ml itu adalah
volume maksimum maka pemberian obat pada hewan uji cukup dikalikan 0.5 ml
saja. Konversi dosis untuk mencit dihitung dengan menggunakan rumus :

berat badan mencit sebenarnya x 0.5 ml


20

Dari hasil konversi, banyaknya obat yang diberikan secara


intraperitonial untuk setiap mencit adalah 0.78 ml untuk mencit pertama, 0.7 ml
untuk mencit kedua, 0.92 ml untuk mencit ketiga dan 0.55 ml untuk mencit
keempat. Pemberian obat secara intraperitonial tehadap mencit dilakukan dengan
menyuntikkan pada arah 10 derajat dari adomen agak ke pinggir, untuk mencegah
terkenanya kandung kemih dan apabila terlalu tinggi akan mengenai hati.
Disiapkan pula suatu obat yaitu tiopental natrium yang diberikan
secara intraperitonial dengan variasi dosis yang meningkat. Obat tiopental natrium
merupakan golongan obat hipnotik-sedativ yang berkhasiat sebagai anastetika
umum. Anestetika umum adalah obat yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat
yang menimbulkan hilangnya kesadaran. Obat anastetika umum dibagi menurut
bentuk fisiknya menjadi tiga golongan yaitu anastetika gas, anastetika menguap
dan anastetika parenteral. Tiopental natrium ini termasuk pada golongan anastetika
parenteral. Dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan mempertahankan anastetika
ini tergantung dari berat badan, keadaan fisik dan penyakit yang diderita. Jika
dosis yang diberikan melebihi yang seharusnya maka seketika akan mengalami
kematian karena dosis letalnya.
Dosis yang diberikan pada setiap mencit bervariasi. Hal ini
dimaksudkan untuk melihat efek yang ditimbulkan untuk setiap variasi obatnya,
menetapkan ED50, menetapkan LD50 serta menghitung indeks terapinya. Dosis
yang diberikan yaitu : 75 mg, 150 mg dan 300 mg. Sedangkan untuk melihat
pembandingnya salah satu mencit disuntikkan NaCl fisiologik secara
intraperitonial.
Kemudian dilakukan suatu pengamatan terhadap jumlah mencit yang
kehilangan righting reflex pada setiap kelompok dan dinyatakan angkanya dalam
persentase serta dicatat pula jumlah mencit yang mati pada setiap kelompoknya.
Righting reflex adalah reflex mengembalikan posisi tubuh ke posisi normal.
Hilangnya kesadaran dapat dilihat saat mencit mulai kehilangan righting reflex.
Hilangnya reflex ini dapat menunjukkan adanya penghambatan saraf sensorik,
sinyal sinaps, atau jalur eferen. Dicatat waktu yang dibutuhkan sampai mencit
mulai kehilangan righting reflex.
Kemudian langkah selanjutnya adalah digambarkan grafik dosis-
responnya. Jika grafik dosis-respon menunjukkan kelandaian maka obat tersebut
memiliki indeks terapi yang besar. Indeks terapi besar menunjukkan obat tersebut
aman. Namun sebaliknya dengan grafik dosis-respon yang menunjukkan
keterjalan maka obat tersebut memiliki indeks terapi yang kecil. Indeks terapi yang
kecil menunjukkan bahwa obat tersebut dapat menimbulkan kematian jika sedikit
saja dilakukan peningkatan dosis.
Dari percobaan diperoleh hasil sebagai berikut pada mencit pertama
sampai ketiga disuntikan obat uji Phenobarbital dengan dosis yang semakin
meningkat. Secara teori, semakin besar dosis obat yang diberikan maka efek kerja
obat tersebut semakin cepat terasa, waktu efek obat semakin singkat. Pada mencit
pertama dosis 75 mg/ kg BB disuntikan obat sebanyak 31,1/20x0,5 = 0,78 ml,
waktukehilangan righting reflex 56 menit 2 detik. Mencit kedua dosis 150 mg/kg
BB disuntikan obat sebanyak 28/20x0,5 = 0,7 ml, waktu kehilangan righting
reflex 9 menit 38 detik. Mencit ketiga dosis 300 mg/kg BB disuntikan obat
sebanyak 36,8/20x0,5 = 0,92 ml, waktu kehilangan righting reflex 46 menit 2
detik. Pada mencit keempat disuntikan NaCl fisiologis sebanyak 21,8/20x0,5
=0,55 ml, mencit tidak mengalami righting reflex.
Untuk menguji righting reflex pada mencit dapat dilakukan dengan
mengangkat badan tikus (terlentang) jika mencit secara refleks membalikan
badannya (terlungkup kembali)maka mencit belum kehilangan righting reflex.
Perubahan perilaku mencit yang dapat terlihat, keaktifan mencit berkurang, terlihat
mengantuk, dan pada akhirnya akan kehilangan righting reflex karena Fenobarbital
mengakibatkan inhibisi aktivitas sistem retikuler mesensefalik. Sistem retikuler ini bertanggung
jawab sebagai penggalak kesadaran. Jika ada inhibisi pada sistem ini, maka akan timbul efek
penurunan kesadaran yang dapat dilihat dari keadaan yang awalnya compos mentis menjadi
somnolen. Keadaan somnolen ditunjukkan dengan ptosis, menurunnya aktivitas
motorik, menurunnya kewaspadaan, dan berkurangnya respon saat dirangsang.
Obat diinjeksikan melaui rongga perut (intraperitoneal), dengan
harapan efek yang timbul cukup cepat, karena dalam rongga perut terdapat banyak
pembuluh darah, sehingga obat yang diinjeksikan akan menembus membran
pembuluh darah dan masuk ke pembuluh darah. Dari hasil percobaan dapat
terlihat bahwa mencit kedua mengalami hilang righting reflex paling cepat
dibandingkan mencit lain. Secara teori, semakin besar dosis obat yang diberikan,
obat akan cepat menimbulkan efek.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil percobaan,
seperti obat uji phenobarital yang dibuat dalam bentuk suspensi seharusnya
dikocok terlebih dahulu sebelum digunakan agar dosis obat homogen pada tiap
bagiannya. Namun, pada saat pengambilan obat dengan jarum suntik obat tidak
dikocok terlebih dahulu tetapi hanya dengan memiringkan botol vial dengan jarum
suntik menyentuh dasar botol vial, obat langsung diambil. Hal inilah yang
menyebabkan obat tidak bekerja dengan efektif, waktu untuk hilang righting reflex
pun semakin lama.
Faktor lain yang mempengaruhi yaitu kemungkinan terjadi kesalahan
pada saat menangani mencit. Kesalahan dalam caranya akan menyebabkan
kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam
melakukan penyuntikan intraperitoneal) danjuga bagi orang yang memegangnya. Jarum
suntik yang terlalu tegak pada abdomen dan kurang tajam dapat menyulitkan saat pemberian
obat sehingga tidak semua obat dapat masuk ke dalam daerah peritoneal mencit, efek obat pun
tidak bekerja efektif. Teknik penyuntikan yang kurang tepat akan menyebabkan mencit celaka,
mencit akan berdarah karena jarum mengenai pembuluh darah di sekitar abdomen, selain itu
jarum suntik dapat menembus organ dalam seperti kandung kemih maupun hati akibatnya
mencit akan kehilangan righting reflex bukan karena efek dari obat sepenuhnya melainkan
adanya kerusakan organ dalam mereka yang dapat menyebabkan kematian.
Hewan uji hendaknya dipuasakan dahulu tujuannya agar tidak terjadi
interaksi yang tidak diinginkan, juga dengan tidak adanya sari-sari makanan dalam
darah diharapkan obat yang diberikan dapat diabsorbsi dengan cepat dan lengkap.
Pada mencit keempat sebagai control (blanko) tidak disuntikan
Phenobarbital melainkan NaCl fisiologis sebanyak 21,8/20x0,5= 0,55 ml, mencit
tidak kehilangan righting reflex.NaCl fisiologis digunakan karena komposisinya mirip
dengan cairan tubuh sehingga tidak akan memberikan efek farmakologis apapun
bila diberikan pada mencit.
Semakin tinggi dosis suatu obat semakin cepat kerja suatu obat(onset
of action) dan semakin meningkatkan efek terapi obat tersebut, namunpeningkatan
dosis diluar batas keamanan (slope) obat dapat mengakibatkan efek letal obat pada
pasien. Pada dosis kecil tidak menimbulkan efek karena jumlah reseptor yang ada
lebih banyak dari jumlah obat sehingga efek tidak timbul. Sedangkan pada dosis
besar dapat menimbulkan kematian karena jumlah obat melebihi jumlah reseptor
sehingga kadar obat yang tidak berikatan dengan reseptor/ kadar obat bebas di
darah meningkat sehingga menimbulkan toksik.
Hubungan dosis-respon sangatlah penting dalam hasil terapi dan
percobaan farmakologi. Data dosis-respon digambarkan dengan grafik atau kurva,
dimana ukuran respon berada pada posisi ordinat (y) dan log dosis pada posisi
absis (x). Pada kurva tersebut digambarkan konsentrasi obat untuk dapat
menghasilkan efek maksimum, potensi obat, efikasi, dan keamanan obat.
Keamanan suatu obat dapat terlihat dari indeks terapinya. Semakin curam kurva
maka obat tersebut semakin tidak baik.
Setelah dilakukan pengamatan dan diperoleh data dosis respon,
maka dibuat kurva log dosis-respon. Digunakan log dosis agar pembuatan
skalanya lebih mudah dan kurva tersebut akan lebih teliti. Seharusnya dilakukan
perhitungan untuk mencari Indeks Terapi dengan rumus IT=LD50/ED50 .
Obat aman digunakan jika nilai IT ≥ 1 artinya dengan sedikit
penambahan dosis tidak menyebabkan efek toksik.
Namun, dari hasil percobaan tidak diketahui letal dose obat uji karena
tidak ditemukan mencit yang mati setelah pemberian Phenobarbital sehingga nilai
indeks terapi tidak dapat ditentukan. Sebagian besar mencit hanya mengantuk, dan
beberapa diantaranya tidur, serta hilang righting reflex.
Dari data mencit tiap kelompok diatas dapat disimpulkan bahwa pada
kelompok 1 jumlah mencit yang kehilangan righting reflex sebanyak tiga ekor
(dosis 75, 150, 300 mg/kg ). Pada kelompok 2 mencit yang kehilangan righting
reflex adalah satu ekor (dosis 150 mg/kg). Pada kelompok 3 tidak ada mencit yang
kehilangan righting reflex. Sementara itu pada kelompok 4 terdapat 2 mencit yang
kehilangan righting reflex (dosis 150 dan 300 mg/kg).
Perbedaan respon dari tiap mencit dalam kelompok terhadap tiap dosis
terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya adalah ketidaktepatan dalam proses
injeksi obat dan kesalahan dosis obat yang terjadi akibat obat tidak terdispersi
secara sempurna. Pengambilan obat uji yang berbentuk suspensi dengan alat suntik
tidak dikocok terlebih dahulu akibatnya obat tidak terdispersi dengan baik, terjadi
perbedaan respon pada masing-masing mencit.
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya.
Jikadosis yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan
adadidapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur.

IX. Simpulan

1. Praktikan memiliki gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk


memperoleh ED50 dan LD50.
2. Praktikan memahami konsep indeks terapi dan implikasinya.
3. Terdapat perbedaan respon mencit terhadap obat yang diberikan disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu ketidaktepatan dalam proses injeksi obat dan
kesalahan dosis obat yang terjadi akibat obat tidak terdispersi secara
sempurna.
4. Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya.
Jikadosis yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak
akan adadidapatkan efek
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta: UI


Press.
Azrifitria. 2011. Dosis Obat. Available online at: http://www.slideshare.
net/john_binus/52320021-dosisobatfarsetdasar [diakses 19 Maret 2012].
Katzung, BG. 1997.Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6.EGC : Jakarta, hal.354-356

Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Edisi VIII. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika.
Mycek, MJ dkk. 2001.Farmakologi Ulasan Bergambar . Widya Medika : Jakarta,hal.149
Setiawati, A. dan Armen Muchtar. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Respons Pasien terhadap Obat: Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. Jakarta:
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setiawati, A., F.D. Suyatna dan Sulistia Gan. 2007. Pengantar Farmakologi:
Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Sikawati, Z. 2007. Drug Receptor Interaction. Available online at: http://
zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/drug-receptor-interaction-
bw.pdf [diakses 19 Maret 2012].
Tjay, T. H. dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai