ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
SEHAT SAKIT
Mengacu pada esensi budaya, nilai budaya sehat merupakan bagian yang tak
terpisahkan akan keberadaanya sebagai upaya mewujudkan hidup sehat dan
merupakan bagian budaya yang ditemukan secara universal. Dari budaya pula, hidp
sehat dapat ditelusuri melalui keomponen pemahaman tentang sehat, sakit, derita
akibat penyakit, cacat dan kematian, nilai yang dilaksanakan dan dipercaya serta
diyakini itu, sesuai dengan pemahaman masyarakat sesuai dengan kebudyaan dan
teknologi yang masyarakat miliki.
Pemahaman terhadap keadaan sehat dan keadaan sakit tentunya berbeda di setiap
masyarakat tergantung dari kebudayaan yang mereka miliki. Pada masa lalu, ketika
pengetahuan tentang kesehatan masih belum berkembang, kebudayaan memaksa
masyarakat untuk menempuh cara “trial and error” guna menyembuhkan segala jenis
penyakit, meskipun resiko untuk mati masih terlalu besar bagi pasien. Kemudian
perpaduan antara pengalaman empirical dengan konsep kesehatan ditambah juga
dengan konsep budaya dalam hal kepercayaan merupakan konsep sehat tradisional
secara kuratif (Rusli Ngatimin,2005)
KESIMPULAN
REFERENSI
Prof. Dr. dr. H.M. Rusli Nagtimin, MPH. dari Hippo Crates sampai Winslow dan
pengembangan ilmu kesehatan masyarakat selanjutnya. Makassar 2005
Kebudayaan atau budaya itu sendiri menurut Joyomartono merupakan konsep sentral dari
Antropologi. Goodenough mengemukakan “kebudayaan adalah suatu system kognitif –suatu
system yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai- yang berada dalam pikiran
anggota-anggota individual masyarakat”.[1] Dengan demikian kebudayaan dalam suatu
masyarakat akan selalu dinamis, karena system ide, pengetahuan, dan kepercayaan serta nilai-
nilai dalam suatu masyarakat dapat berubah sesuai kebutuhan tantangan zaman. Kaitannya
dengan permasalahan kesehatan, System ide dan budaya yang mereka miliki akan berpengaruh
terhadap perilaku yang berbeda-beda dalam menjaga suatu kesehatan, serta memiliki cara-cara
yang berbeda dalam menanggapi sakit dan penyakit. Budaya bukanlah satu-satunya faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku kesehatan seorang individu maupun masyarakat, terdapat faktor-
faktor lain yang mempengaruhi seperti; gender, pendidikan, pengalaman, dan kondisi social
maupun ekonomi.
Kesehatan menurut World Health Organization (WHO) adalah “a state of complete physical,
mental, and social well being, and not merely the absence of desease or infirmity”. Yang artinya:
“suatu keadaan lengkap dan baik secara fisik, mental, dan social, dan tidak semata-mata tidak
hadirnya penyakit atau kelemahan tubuh saja”.
Definisi ini umumnya digunakan oleh lembaga kesehatan, namun dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat memiliki tolok ukur sendiri melihat kondisi seseorang apakah dia dianggap sehat
atau sakit. Orang akan pergi mencari pelayanan kesehatan ketika dia merasa dirinya sakit, namun
dilain sisi terdapat seseorang yang sudah menderita penyakit tetapi dia tidak mau mencari
pelayanan kesehatan karena merasa diriya baik-baik saja. Sebagai contoh, seorang karyawan
suatu perusahaan yang terkena flu, dia akan segera mencari layanan kesehatan agar flunya
sembuh dan tidak mengganggu aktivitas dia bekerja di kantornya, namun bagi petani yang
tinggal di desa, ketika ia terkena flu dia tidak segera mencari solusi untuk mengobati flunya
tersebut, karena petani ini menganggap flu adalah suatu hal yang wajar mengenai seseorang jika
sedang terjadi pergantian musim, selagi si petani masih bisa bekerja dan pergi ke sawah maka dia
merasa dirinya dalam keadaan sehat. Persepsi seseorang mengenai kondisi kesehatannya
dipengaruhi oleh lingkungan social dan budayanya. Keadaan demikian juga dipengaruhi instink,
pengalaman, dan apa yang mereka pelajari dari anggota masyarakat lingkungan sekitar mereka.
Sakit bagi masyarakat Jawa lebih terkait dengan permasalahan fungsional-disfungsional dalam
peran aktivitas social, selanjutnya Arnold Van Gennep mengemukakan dimana terdapat ritus
peralihan dalam kehidupan individu. Sakit diare pada balita dalam masyarakat Jawa dianggap
sebagai suatu pertanda akan adanya perubahan dalam diri balita tersebut, seperti menambah
ketrampilan (akal-akal), ketrampilan berbicara, ketrampilan berlari (ngenteng-ngentengi), dll.
Ada beberapa jenis penyakit yang tidak dianggap sakit oleh masyarakat Jawa, seperti: masuk
angin, pilek/ umbelen (flu), sakit gigi, mumet, gudigen, yang kesemuanya itu merupakan bagian
dari dunia anak-anak yang dianggap wajar.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa system medis merupakan hasil dari adanya gagasan
yang melekat dalam diri masyarakat untuk merespon suatu penyakit, mereka menggunakan
berbagai cara untuk menghilangkan sebuah penyakit yang diderita seseorang. Seperti dalam
salah satu suku di Kalimantan yang ketika salah satu anggota suku terkena suatu penyakit
misalnya “stroke” dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, maka keluarga dan warga sekitar
akan melakukan suatu upacara penyembuhan penyakit. Upacara ini dilakukan karena mereka
menganggap si pasien yang tidak bisa menggerakan anggota tubuhnya (stroke) adalah karena ada
sebagian jiwa dalam dirinya yang hilang, dan untuk memanggil jiwa itu kembali kepada si pasien
maka perlu dilakukan upacara pemanggilan jiwa tersebut. Upacara ini melibatkan banyak orang
dan banyak sesaji, untuk memanggil jiwa yang hilang mereka akan melakukan tarian-tarian
khusus untuk memanggil roh-roh nenek moyang dan meminta restu. Sejatinya meskipun secara
medis modern upacara ini tidak menyembuhkan pasien secara total, tetapi dalam suatu
komunitas tersebut sudah menunjukan adanya solidaritas, serta upacara yang dilakukan
memberikan dampak bagi kondisi psikis si pasien, setidaknya ia merasa lebih nyaman setelah
diadakan upacara penyembuhan penyakitnya.
Secara singkat, system medis adalah mencakup semua kepercayaan tentang usaha meningkatkan
kesehatan, dan tindakan serta pengetahuan ilmiah maupun ketrampilan anggota-anggota
kelompok yang mendukung system tersebut. Kita semua dapat melihat bagaimana suatu
masyarakat menciptakan suatu strategi untuk menghadapi penyakit. Dalam usahanya untuk
menanggulangi penyakit, manusia mengembangkan suatu kompleks yang luas dari pengetahuan,
kepercayaan, teknik, adat-istiadat, ideology dan lambing-lambang yang saling berkaitan dan
membentuk suatu system yang saling menguatkan dan saling membantu. Kompleks yang luas
tersebut dan hal-hal yang lain membentuk suatu system medis.[2]
Sesuai pengertian dari Foster dan Anderson, merinci suatu system medis dalam dua bagian, (1)
Sistem Teori Penyakit, dan (2) Sistem Perawatan Kesehatan.
System teori penyakit menjelaskan kepada kita bagaimana suatu kelompok memaknai sakit,
terdapat suatu kelompok masyarakat yang percaya ketika seseorang sakit itu dikarenakan orang
tersebut telah melanggar tabu, misalnya menebang pohon besar dihutan yang mengakibatkan
penghuni pohon marah dan mengganggu orang tersebut, sehingga orang tersebut jatuh sakit.
Kelompok masyarakat yang masih mempercayai adanya gangguan makhluk halus yang
menyebabkan seseorang sakit memberikan dampak konservatif untuk lingkungan, dimana pada
akhirnya suatu anggota kelompok tidak dengan semena-mena menebang pohon dihutan. Dengan
system teori penyakit maka selanjutkan dilakukan System perawatan kesehatan. Sistem
perawatan kesehatan memperhatikan cara-cara yang dilakukan oleh berbagai masyarakat untuk
merawat orang sakit dan untuk memanfaatkan pengetahuan tentang penyakit untuk menolong
pasien. Suatu sistem perawatan kesehatan merefleksikan sistem penyebab penyakit, dengan ini
dapat menentukan keputusan yang diambil dan tindakan yang diambil dalam menangani pasien.
Dengan adanya teori penyakit dapat membantu masyarakat untuk menentukan perawatan
kesehatan mereka, ketika seseorang terkena penyakit dari gangguan makhluk halus maka mereka
dapat memutuskan system perawatan kesehatan dengan cara melakukan upacara penyembuhan
serta pemberian sesaji kepada makhluk halus. Namun, untuk masyarakat modern ketika
pemikiran mereka tentang penyakit dikatakan lebuh realistis, mereka juga akan mencari layanan
kesehatan sesuai dengan pemahaman mereka.
System medis tradisional secara khusus terbagi menjadi dua tipe berdasarkan system etiologi
penyakit, yang pertama yaitu system medis personalistik dimana dalam system medis ini
masyarakat percaya bahwa penyakit datang dari agen-agen personal yang aktif, seperti makhluk
supranatural (makhluk gaib), makhluk bukan manusia (hantu, ruh leluhur, roh jahat), maupun
makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung) dimana orang sakit adalah korban dari adanya
agen-agen aktif tersebut. Kemudian, system medis naturalistic dimana penyakit (illness)
dijelaskan dengan istilah sistemik pribadi, mengakui adanya system keseimbangan dalam tubuh,
seperti panas, dingin, cairan tubuh, yin dan yang, berada dalam keadaan yang seimbang menurut
usia dan lingkungannya. Apabila keseimbangan terganggu maka akan menyebabkan suatu
penyakit.
Menurut Fred Dunn (1976) secara geografis dan setting budaya, system medis dapat
dikelompokan dalam tiga gabungan: (1) system medis local, suatu kategori yang dapat
mengelompokkan sebagian besar system medis “primitive” atau “folk medicine”; (2) system
medis regional, seperti system medis Ayurveda, Yunani, dan Cina; (3) dan system medis
cosmopolitan (universal, system medis modern, ilmiah).
System medis local, system medis ini umumnya hanya berkembang pada daerah tertentu atau
secara local. Umumnya pengobatan ini dilakukan oleh seorang dukun, dengan menggunakan
diagnose terhadap pasien guna menentukan pengobatan yang tepat, diagnose dilakukang dengan
kombinasi metode petungan (numerology), meditasi serta analisa. Obat yang diberikan juga tidak
berbeda-beda pada setiap daerah, namun pada umumnya adalah berupa ramuan dari tumbuh-
tumbuhan atau biasanya jika orang Jawa menyebutnya dengan sebutan Jamu, serta adapula
pengobatan mekanis dengan memijat, menggosok-gosok kulit, memulihkan letak tulang, dengan
disertai mantra. Pada msyarakat Trobrian menurut Malinowski, mantra merupakan bagian yang
paling essensial, sementara pada masyarakat Jawa menurut Geerts justru aspek keadaan pemberi
obat dianggap sebagai elemen yang essensial.
Selanjutnya adalah system medis regional, pemunculan system kesehatan regional menurut
Mayer (1991) kira-kira dalam masa yang sama yaitu berabad-abad sebelum masehi. Tokoh
legendaries yang dianggap sebagai pendiri adalah Hippocrates di Yunani, Kaisar Kuning di Cina,
dan Caraka atau susruta di India. System medis ini berbeda dengan system medis local karena
didasari dari bahan tertulis, kesamaan dari ketiga nya adalah mengakui keseimbangan, sehat
terjadi apabila unsure-unsur yang tetap dalam tubuh humoral dalam keadaan seimbang, menurut
usia dan kondisi lingkungan. Apabila keseimbangan ini terganggu akan memunculkan sebuah
penyakit.[3]
System medis Yunani juga dikenal dengan system “Patologi Humoral”, yang mana tercatat
dalam sejarah tradisi Yunani oleh Hippocrates, Patologi humoral berdasarkan atas konsep humor
(cairan) dalam tubuh manusia. Akarnya ditemukan dalam teori yunani mengenai empat unsure
(tanah, air, udara, dan api) yang telah dikenal sejak abad ke-6 SM, Dalam patologi homoral
Amerika Latin masakini, penyakit dianggap karena masuknya panas dan dingin yang berlebihan.
Kadang-kadang, suhu aktual juga dianggap sebagai penyebab. Seperti halnya penjelasan seorang
wanita bahwa ia menderita kejang karena kelalaiannya mencuci tangannya di air dingin, padahal
sebelumnya tangannya panas karena menyetrika pakaian. Dalam teori penyakit yang disebabkan
oleh panas diobati dengan sesuatu yang dingin, juga dengan tindakan2 yang dapat mendinginkan.
Umumnya, sebagian besar pengobatan merupakan campuran dari sejumlah unsur dimana
ditekankan keseimbangan panas dan dingin.
Kemudian system pengobatan Ayurveda dari India, Di India pada masa ini, banyak makanan
dianggap mempunyai kualitas memanaskan atau mendinginkan, dan seperti dalam patologi
humoral, kombinasi yang tepat dari macam-macam makanan dan ramuan-ramuan dapat
memulihkan keseimbangan tubuh yang terganggu. Kepercayaan ini berasal dari pengobatan
Ayurveda India, suatu sistem pengobatan pribumi yang pertamakali muncul dalam tulisan-tulisan
veda pada tahap awal di abad pertama sebelum masehi. Menurut teori Ayurveda, alam semesta
terdiri dari empat unsur yang sama seperti yang dikenal oleh orang Yunani (bumi, api, air, udara)
ditambah unsur kelima yaitu Ether. Pengaturan kelima unsur tersebut dalam tubuh, dimana
masing-masing unsur memiliki lima bentuk “halus” dan lima bentuk “material”, merupakan
mikrokosmos dari alam semesta. Tubuh manusia juga memiliki tiga humor dosha (tridosha) :
flegma, empedu/cairan pada empedu, serta angin/ gas dalam saluran pencernaan, keadaan sehat
terjadi apabila satu atau lebih dosha tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pengobatan tradisional cina mewakili kasus khusus tentang konsep sentral dalam kosmologi
Cina, “pasangan kekuatan yin dan yang, dimana interaksi mereka yang terus menerus berada
dibalik seluruh gejala alam,termasuk pembentukan dan berfungsinya tubuh manusia” ( Crozier
1968:17), Hubungan antara tubuh manusia, kesehatan, dan alam semesta juga ditemukan dalam
keselarasan antara jumlah hari dalam setahun dengan 365 obat-obatan yang berasal dari
farmakopea masalalu yang kini masih bertahan ( Crozier 1968:20) dan dengan 365 titik pada
permukaan tubuh yang dikenal untuk penusukan jarum-jarum akupuntur (veith, 1972:62).[4]
Kesehatan merupakan aspek penting yang harus dimiliki seseorang untuk melangsungkah
kehidupan sehari-hari, dengan banyaknya sosialisasi mengenai pola hidup sehat, banyaknya
model pelayanan medis, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi seseorang untuk tidak hidup sehat.
Karena dengan kondisi sehat secara fisik, psikis, dan social, seseorang dapat beradaptasi dengan
baik di lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan social.
[1] Joyomartono, Mulyono. 2010. Pengantar Antropologi Kesehatan. Semarang: Unnes Press (
Hal.7)
[3] Joyomartono, Mulyono. 2010. Pengantar Antropologi Kesehatan. Semarang: Unnes Press
(Hal.55)