Ada 2 sisi :
1. Sisi Politik
a.untuk mengimbangi kekuasaan pembentukan UU yang dimiliki ileh DPR dan Presiden. Hal ini
diperlukan agar UU tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang
dipilih langsung oleh mayoritas rakyat
b.menempatkan lembaga-lembaga Negara pada posisi yang sejajar. Hal ini terjadi karena terjadi
perubahan system ketatanegaraan yang tidak lagi menganut supremasi MPR. Perubahan ini sangat
memungkinkan dalam praktik terjadi sengketa kewenangan antara LN yang membutuhkan forum
hokum untuk menyelesaikannya. MK dianggap lembaga paling tepat untuk penyelesaian permasalah
tsb.
2. Sisi Hukum
a.Salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi Konstitusi.Prinsip
supremasi konstitusi terdapat pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
b.dapat dijadikan sebagai semangat dan kekuatan kedaulatan rakyat yang mutlak pada Negara dimana
setiap warga Negara akan mendapatkan jaminan rasa aman, tentram, dijaga dan akan selalu dilindungi
agar segala bentuk dari penyimpangan yang dilakukan penguasa dapat dihindari.
c.negara dapat mengakui dan menjamin bahwa bentuk konstitusi yang sudah ditetapkan UU dapat
dijadikan hokum yang paling tinggi.
d. sebagai aktivitas dan bentuk ketatanegaraan harus dari konsekuensi pemerintahan Negara
demokrasi, alasannya agar segala sesuatu yang terkait dengan kenegaraan dan kerakyatan hendaknya
keputusannya diambil secara demokrasi dan relative diketahui seluruh rakyat Indonesia.
e. mendapatkan tujuan pemberian perlindungan pada hak-hak konstitusional semua lapisan masyarakat
yang menjadi warga Negara sesuai dengan UU yang berlaku dan berdasarkan pancasila.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengatur tentang 4 (empat) kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi, meliputi : (1) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (2) memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum
Pasal 7B ayat (1) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang mengatur 2 (dua) kewajiban
konstitusional, yaitu: (1) memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar; dan (2)
memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
C. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final,
maksudnya adalah untuk:
Yang dimaksud putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK
ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Jadi, akibat hukumnya secara umum,
tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.
Pasal 18
(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh
DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.
B. pertimbangan calon hakim MK dilakukan oleh 3 LN adalah karena Dengan adanya keterlibatan
ketiga lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif
tersebut dalam rekruitmen hakim konstitusi dapat dijamin adanya keseimbangan kekuatan antar
cabang-cabang kekuasaan negara tersebut dan sekaligus pula menjamin netralitas dan imparsialitas
MK dalam hubungan antar lembaga negara.
Transparan, artinya semua informasi dalam prosesrekrutmen calon hakim konstitusi dari awal sampai
akhir hendaknya terbuka dan diketahui publik melalui media massa berupa media cetak maupun laman
DPR untuk memelihara kepercayaan publik. Partisipatif, artinya semua proses rekrutmen calon hakim
konstitusi hendaknya melibatkan publik sebagai masukan bagi rekam jejak calon hakim konstitusi.
Kedua, sebagai konsekuensinya, dasar utama yang digunakan oleh MK dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara adalah konstitusi itu sendiri.
B. Asas-Asas
Asas Putusan Final :MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir.
Asas Praduga Rechmatig: Putusan MK merupakan putusan akhir, berkekuatan hukum tetap
sejak dibacakan dan tidak berlaku surut
Asas Pembuktian Bebas: Hakim MK bebas menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian, serta penilaian atas alat bukti berdasarkan keyakinannya
Asas Keaktifan Hakim MK :Hakim MK aktif dalam melakukan penelusuran dan eksplorasi untuk
mendapatkan kebenaran melalui alat bukti yang ada
Asas Erga Omnes: Putusan MK bersifat mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapa pun
Asas Non Interfentif / Independensi /Imparsial :MK merdeka dan bebas dari segala campur
tangan kekuasaan lain, baik langsung maupun tidak langsung
Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan :Hukum Acara mudah dipahami dan tidak
berbelit-belit, sehingga peradilan berjalan relatif cepat dan berbiaya ringan
Asas Sidang Terbuka Untuk Umum: Putusan Mahkamah sah dan berkekuatan hukum tetap
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
Asas Obyektivitas: Hakim dan panitera wajib mengundurkan diri apabila memiliki hubungan
kerabat atau kepentingan langsung maupun tidak langsung.
Asas Sosialisasi: Putusan MK wajib diumumkan dan dilaporkan secara berkala kepada
masyarakat secara terbuka.
Ius Curia Novit: Tidak boleh menolak memeriksa,mengadili,memutus suatu perkara dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas
Audi et Alteram Partem: Hak didengar secara seimbang
Praesumptio Iustae Causa : Praduga Keabsahan
C. Sumber Hukum MK
Materiil : yaitu hukum yang mengatur dan menegakkan hukum materiil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7B ayat (1) dan 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Formil : yaitu hukum acara (=hukum formil) yang berkaitan langsung dengan kewenangan-
kewenangan dan kewajiban-kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia, di samping Mahkamah Agung.
Sumber HUKUM :
UU No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU no. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum
Acara Pidana Indonesia
Tambahan :
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, yaitu ilmu hukum acara (=hukum formil) yang berkaitan
langsung dengan kewenangan-kewenangan dan kewajiban-kewajiban konstitusional Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia, di samping
Mahkamah Agung.
Dasar Hukum:
1.Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pasal 7B);
2.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 28 - Pasal 85);
3.Peraturan Mahkamah Konstitusi RI (PMK Nomor 16/PMK/2009 Tentang Pedoman Beracara
dalam PHPU;
4.Nomor 05/PMK/2004 tentang Prosedur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004;
5.2004Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang;
6.Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara);
7.Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
8.Nomor16 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
9.Nomor 17 /PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden;
10.No. 19/PMK/2009 tentang Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan
Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference);
11. No. 19/PMK/2009 tentang Tata Tertib Persidangan
Pengujian UU :
1. Materiil : pengujian atas materi muatannya.
2. Formil:
a. Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan uu, baik dalam
pembahasan maupun pengambilan keputusan atas rancangan suatu uu menjadi uu;
b. pengujian atas bentuk, format, atau struktur UU.
c. pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan
dalam proses pembentukan UU
d. pengujian atas hal-hal lain yang tiadk termasuk pengujian materiil.