Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan sekalian alam,
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, nabi penutup risalah, yang karenanya ia
diutus untuk menebarkan kasih sayang ke seluruh alam. Maka adalah indah
sabda-sabdanya penuh harmoni. Tindak-tanduknya penuh lestari.
Perintah-perintahnya sepenuh ketulusan memberi.
Maka adalah wajar, jika sang pengemban risalah penuh kasih dan sayang kepada
ummatnya. Sebab, ia adalah cermin tempat berkaca bagi kebengkokan-kebengkokan
perilaku mereka. Sebab, ia adalah pelita yang membimbing bagi kegelapan-kegelapan
hati mereka. Sebab, ia adalah penentram yang mengarahkan bagi
kegalauan-kegalauan jiwa mereka. Dan sebab ia adalah qudwatun hasanah, sang
panutan lagi teladan bagi kehidupan mereka.
Memang indah. Ia yang tersurat sebagai penuntun ummatnya demi kehidupan yang
lebih baik, di dunia dan akhirat, benar-benar menjadi contoh yang sempurna dalam
setiap sisi kehidupannya. Maka adalah keserasian yang ia ajarkan. Maka adalah
kelembutan yang ia tularkan. Maka adalah keadilan yang ia sebarkan. Maka adalah
kemuliaan hidup yang ia tawarkan. Maka adalah rahmatan lil alamin yang ia
simpulkan, di tengah ummat.
Sang Nabi memang penuh kasih sayang kepada semuanya. Tapi, kepada wanita ia
lebih lemah lembut daripada yang lainnya sebab ia tahu kunci kelemahannya. Dan
tersebab itu ia pun bersabda kepada kita, selaku ummatnya, dalam riwayat Al-Bukhari,
Muslim, dan At-Tirmidzi, “Wanita itu tercipta dari tulang rusuk, dan bagian yang
paling bengkok adalah atasnya. Jika terlalu keras meluruskannya engkau akan
mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Maka,
berhati-hatilah memperlakukannya.”
Karenanya, ia tak pernah membentak kaum hawa. Sebab itu hanya akan
mematahkannya saja. Tak pula ia terlalu memanjakannya. Karena ini hanya akan
melenakannya semata. Seperti kisah turunnya surat Al-Ahzab ayat 28 dan 29. Ketika
istri-istrinya meminta tambahan nafkah, dan berhasil membuat dirinya resah
bercampur amarah. Tapi tetap saja tak ada kata-kata amukan yang tertumpah. Tak ada
dampratan. Tak pula bentakan.
Atau seperti kisah Fatimah yang datang kepadanya meminta seorang pembantu rumah
tangga. Meskipun yang hadir adalah putri kesayangannya, namun tetap saja tak ada
pemanjaan yang berlebihan. Tak ia kabulkan keinginannya. Dan tak ia berikan apa
yang dimauinya. Justru ia tawarkan apa yang lebih baik dari yang diminta, bahkan
lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka ia nasehatkan agar bertasbih, bertahmid, dan
bertakbir tiga puluh tiga kali sebelum beranjak tidur sebagai gantinya.
Subhanallah. Sungguh keluhuran budi yang terbungkus dalam beningnya hati nurani.
Maka terlahirlah keharmonisan, terjelmalah kemesraan, dan terpadulah kesetiaan dan
pengorbanan. Islam itu memang indah.
Toh begitu tetap ada sisi lain yang harus dicermati. Ada potensi lain yang musti
diwaspadai. Agar tak berakhir tragis bak ummat-ummat terdahulu. Seperti kisah bani
Israil yang tak sanggup mewaspadainya. Maka dimusnahkanlah tujuh puluh ribu
pasukan dari mereka dalam sekejap saja. Maka sang pengemban risalah terakhir pun
lekas-lekas mewanti-wanita kita, dengan bahasa kasih sayangnya yang teramat besar
kepada ummatnya.
“Adalah dunia ini,” sabda beliau di sela-sela khutbahnya, “Sungguh indah nan
mempesona tampak di mata. Dan Allah menyerahkan pemakmurannya kepada kalian;
sebab Ia ingin menguji bagaimana amal-amal kalian. Karena itu, berhati-hatilah dari
dunia, dan berhati-hatilah terhadap wanita.”
“Sebab,” lanjut beliau dalam riwayat Imam Muslim, “Musibah pertama yang
menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” “Maka,” pungkas beliau dalam riwayat
Imam An-Nasa’i, “Tak ada musibah yang lebih berbahaya sepeninggalku melebihi
wanita.”
Indah benar. Dua kutub yang saling berjauhan dipadukan dalam satu sulaman. Ia yang
diwanti dan diwaspadai ternyata juga begitu disayangi. Maka ia pun tak terkekang hak
asasinya. Dan tak jua terumbar kebebasannya. Ia dijaga tapi tetap dihargai. Juga
dikaryakan sembari terus diawasi.
Sungguh, jauh panggang dari api. Ya, kita selaku ummatnya hanya bisa merenungi
sambil mengintrospeksi diri: pada tutur kata kita, pada tingkah laku kita, pada
kebeningan hati kita, dan pada kepandiran jiwa kita; sudah layakkah kita menjadi
ummatnya? Lalu kita selaksai makna yang terkandung di dalamnya; sudah pantaskah
kita, yang berikrar ke sana ke mari sebagai yang paling nyunnah, betul-betul menjadi
pengikutnya? Setiap kita, saya dan anda, tentu lebih mengetahui apa jawaban pastinya.
Sebab, masing-masing kita adalah yang paling tahu siapa diri kita yang sebenarnya.
Maka, marilah kita menyelaksai makna, sambil terus menyelam di lautan ilmu, pada
keteladanan agung nan indah itu. Untuk kemudian di sana kita belajar pada
pengalaman-pengalaman hidup mereka yang syahdu. Lalu, ianya kita jadikan asas
kebermaknaan dalam setiap langkah kita menuju kemuliaan. Setelah itu,
langkah-langkah tersebut kita jadikan neraca acuan bagi jejak-jejak kaki kita meniti
jalan perubahan.
***
Artikel Muslim.Or.Id