Anda di halaman 1dari 23

DISKUSI TOPIK

INTUBASI DAN OBAT-OBAT ANESTESI

Disusun Oleh :
Dwika Hermia Putri, S.Ked
I11112039

Pembimbing :
dr. Dony Siregar, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU ANESTESI


RSUD DR. ABDUL AZIZ SINGKAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2018
Lembar Pengesahan

Telah disetujui Diskusi Topik dengan Judul :


Intubasi dan Obat-obat Anestesi

Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Anestesi

Telah disetujui,
Singkawang, 10 Maret 2018
Pembimbing, Disusun oleh :

dr. Dony Siregar, Sp. An Dwika Hermia Putri


NIM. I11112039
BAB I
PENDAHULUAN

Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard " untuk penanganan jalan


nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami
penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari
sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas. Intubasi
endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun mulut. Masing- masing cara
memberikan keuntungan tersendiri sebagai contoh bahwa melalui nasal lebih baik
dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif, sedangkan melalui oral
dilakukan pada pasien yang mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika
kegawatan intubasi dibutuhkan pada pasien yang mengalami cardiac arrest.
Tindakan intubasi endotrakheal selama anestesi umum berfungsi sebagai
sarana untuk menyediakan oksigen (O2) ke paru-paru dan sebagai saluran untuk
obat-obat anestesi yang mudah menguap. Tindakan ini seringkali menyebabkan
trauma terhadap mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai gejala-
gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien antara
lain adalah nyeri tenggorok (sore throat), batuk (cough), dan suara serak
(hoarseness). Dilaporkan gejala yang dikeluhkan pasien ini memiliki insidens
sebesar 21-65%. Meskipun tidak sampai menyebabkan kecacatan, namun
komplikasi ini dapat dirasakan sangat tidak nyaman dan bahkan bisa
menimbulkan keluhan dari pasien terutama pasien yang one day care. Gejala-
gejala tersebut, terjadi akibat iritasi lokal dan proses inflamasi pada mukosa
saluran nafas atas.1
Obat anestesi yang baik harus memenuhi trias anestesi yaitu, efek
hipnotik, efek analgesia dan efek relaksasi otot. Akan tetapi, dari berbagai obat
anestesi hanya eter yang memiliki trias anestesia. Oleh karena itu anestesi modern
saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat.2 Obat anestesi dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu anestesi lokal yang merupakan penghilang rasa sakit tanpa
disertai hilang kesadaran dan anestesi umum sebagai penghilang rasa sakit yang
disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi umum menghambat susunan
saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang
paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan
pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter
menjadi 4 stadium, yaitu stadium analgesia, stadium delirium, stadium
pembedahan dan stadium paralisis medulla.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Intubasi
1. Pengertian Intubasi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui
mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan
memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan
mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan
nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.1,4
2. Tujuan Intubasi
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut
atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea.
Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :
a. Mempermudah pemberian anesthesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut
3. Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas,
menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam
jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi
terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat
sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan
thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi,
memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi
(misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan
sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan kritis :
mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi
paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal.
Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang
memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat
sulit untuk dilakukan intubasi. Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada
pasien-pasien yang akan menjalani operasi maupun tindakan intraoral.
Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang
digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya
tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal
pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena
peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini
bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto
servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation)
memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini
merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam
penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam
laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain
fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal,
koagulopati, dan trombolisis. Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan
intubasi (riwayat sulit dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik
sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas
atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi leher (insufisiensi
arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi
goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.4,5
4. Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum
intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat
menghalangi akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan
pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga
gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering
diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini
didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan
menjulurkan lidah.5,6,7

Gambar 2.1 Klasifikasi Mallampti


Klasifikasi Mallampati :
 Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing,
pilar tonsil
 Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
 Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
 Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya
diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.

5. Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff
ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika
menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT. Berhasilnya intubasi
sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan
inggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan
pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga
melibatkan preoksigenasi rutin.4,5 Persiapan alat untuk intubasi antara lain :
STATICS

Gambar 2.2 STATICS


 Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop
untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake
dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
c. Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi
adalah lampu pada laringoskop harus cukup trang sehingga laring jelas
terlihat.

 Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea
dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak
kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima
tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk
dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima
tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa
menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf
pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan
postintubation croup. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal
tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak
memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat
menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube
dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii. Ukuran pipa
trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Ukuran Tube

 Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (nasotracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

 Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut
 Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
 Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anesthesia.
 Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

6. Cara Intubasi

Sebelum dilakukan intubasi terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan


menggunakan orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve kurang lebih
selama 30 detik. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari
sudut kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke
dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan.
Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk hurufV. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan
ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita
suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan
laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan
tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa
dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas
kanan dan kiri sama.
Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila
terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah
epigastrium atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadang‐kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan
kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.8
Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara yang
sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan
keberhasilan, seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan
stylet, memilih pisau yang berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta
bantuan dari ahli anestesi lain. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan
masker, bentuk alternatif manajemen saluran napas lain (misalnya, LMA,
Combitube, cricothyrotomy dengan jet ventilasi, trakeostomi) harus segera
dilakukan.8,9 Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk
lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi.
Lubang hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien
bernafas lebih gampang.

7. Ekstubasi Perioperatif
Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu
pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan.
Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai
penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan
nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas,
tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien
dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur
dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal
refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik
maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien
mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai
kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan
dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien
tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan
setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang
berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple airway
manuver standar.10,11
Syarat-syarat ekstubasi :
 Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.
 Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.
 PaO2 diatas 80 mm Hg.
 Kardiovaskuler dan metabolic stabil.
 Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.
 Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.
8. Komplikasi
Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada
praktik anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk
tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat
mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan,
misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi,
membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan
sebagainya.
B. Obat-Obat Anestesi
1. Anestesi Inhalasi
Obat anestesia inhalasi adalah obat anestesia yang berupa gas atau cairan
mudah menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran gas atau
uap obat anestesia dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi, mengisi seluruh
rongga paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler sesuai dengan
sifat fisik masing-masing gas.2 Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering
digunakan pada anestesia umum. Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik
volatil pada oksigen inspirasi dapat menyebabkan keadaan tidak sadar dan
amnesia, yang merupakan hal yang penting dari anestesia umum. Bila
ditambahkan obat intravena seperti opioid atau benzodiazepin, serta menggunakan
teknik yang baik, akan menghasilkan keadaansedasi/hipnosis dan analgesi yang
lebih dalam. Kemudahan dalam pemberian (dengan inhalasi sebagai contoh) dan
efek yang dapat dimonitor membuat anestesi inhalasi disukai dalam praktek
anestesia umum. Tidak seperti anestetik intravena, kita dapat menilai konsentrasi
anestesi inhalasi pada jaringan dengan melihat nilai konsentrasi tidal akhir pada
obat-obat ini. Sebagai tambahan, penggunaan gas volatil anestesi lebih murah
penggunaanya untuk anestesia umum. Hal yang harus sangat diperhatikan dari
anestesi inhalasi adalah sempitnya batas dosis terapi dan dosis yang mematikan.
Sebenarnya hal ini mudah diatasi,dengan memantau konsentrasi jaringan dan
dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari pasien.2
a. Eter
Eter merupakan obat anestesi inhalasi yang orisinal dibuat oleh Valerius
Cardus pada tahun 1540, dengan memanaskan etil alkohol dengan asam sulfur
dibawah suhu 130 oC. Eter tidak berwarna , mudah menguap, dan berbau khas.
Eter tidak bereaksi dengan soda lime, mudah terbakar atau meledak, dan dapat
terurai oleh cahaya, panas, atau udara.12 Secara farmakologi klinis, eter
mempengaruhi sejumlah fungsi sistem organ tubuh. Eter mampu meningkatkan
denyut nadi, merangsang simpatis, dan mendepresi vagal. Aritmia jarang terjadi.
Frekuensi napas bertambah pada permulaan anestesi, dan kemudian melambat.
Sekresi saluran napas meningkat. Tekanan intrakranial juga meningkat akibat
dilatasi pembuluh darah otak.13
Rangsangan sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin
plasma, dengan konsekuensi peningkatan denyut jantung, produksi glikogen
bertambah, disertai peningkatan kadar gula darah. Mual dan muntah dapat
merupakan komplikasi saluran cerna akibat menurunnya otot tonus
gastrointestinal. Relaksasi otot sangat baik pada penggunaan eter.13
Keuntungan penggunaan eter adalah harganya yang murah dan mudah
didapat, tidak perlu digabung dengan obat anestesi lain, karena memenuhi trias
anestesi. Penggunaan alat dan metode sederhana memungkinkan eter sangat
portabel. Batas keamanan eter juga cukup lebar sehingga mudah digunakan.14
Kelemahan eter antara lain sifatnya yang mudah terbakar dan meledak, bau yang
tidak enak dan iritatif, hipersekresi kelenjar ludah, serta menyebabkan
hiperglikemia dan mual muntah.14
b. Halotan
Halotan merupakan anestetik umum inhalasi dengan nama IUPAC 2-bromo-
2-kloro-1,1,1-trifluoroetan. Halotan merupakan satu dari dua agen anestetik
inhalasi yang terdaftar dalam formulasi WHO 2004 untuk anestesi induksi dan
pemeliharaan, selain eter. Perbedaannya adalah, halotan merupakan agen anestetik
yang bersifat terfluorinasi.2
Untuk induksi anestesi, halotan diberikan dengan konsentrasi 2 – 4% v/v
pada dewasa, dan 1,5–2 % v/v pada anak-anak, dan diberikan bersama oksigen
atau campuran oksigen-nitrous oksida. Induksi dapat dimulai dengan konsentrasi
0,5% v/v dan secara bertahap dititrasi dengan meningkatkan dosis ke level
tertentu. Untuk dosis pemeliharaan dewasa dan anak-anak adalah 0,5– 2 % v/v.
Untuk orang tua, dosis dapat dikurangi.12
c. Enfluran
Enfluran merupakan eter terhalogenasi yang telah digunakan sebagai
anestesi inhalasi sejak dikembangkan tahun 1963. enfluran memiliki nama kimia
1-kloro- 1,1,2,-trifluoroetil-difluorometil-eter. Memiliki titik didih pada 56,5oC.
Nilai MAC adalah 1,68. Induksi dengan enfluran terjadi secara cepat dan lancar.
Jarang terdapat mual dan muntah. Pemulihan paska anestesi enfluran juga cepat.2
Enfluran berbentuk cair pada suhu kamar, mudah menguap dan berbau enak.
Enfluran merupakan anestesi poten, mendepresi SSP dan menimbulkan efek
hipnotik. Pada konsentrasi inspirasi 3-3,5% dapat timbul perubahan pada EEG,
berupa gelombang epileptiform. Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan
penurunan tekanan darah disebabkan depresi pada miokard. Selain itu, enfluran
juga mendepresi napas dengan menurunkan volume tidal. Pada otot, terjadi efek
relaksasi sedang dan efek ini meningkatkan kinerja obat-obat relaksan otot.
d. Desfluran
Desfluran (2,2,2-trifluoro-1-fluoroetil-difluorometil eter) merupakan etil metil eter
berfluorinasi yang digunakan sebagai agen pemelihara anestesi umum. Bersama
dengan sevofluran, penggunaannya mulai menggantikan isofluran, meskipun
harganya lebih mahal. Desfluran memiliki onset kerja yang sangat singkat dan
kelarutan dalam darahnya sangat rendah.3 Kelemahan desfluran adalah potensinya
yang kurang kuat, perih, dan harga yang mahal. Desfluran juga dapat
menyebabkan takikardi dan iritasi saluran napas bila digunakan pada konsentrasi
lebih dari 10%. Desfluran menunjukkan reaksi dengan CO2 pada sirkuit anestesi.3
e. Isofluran
Isofluran merupakan isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang
minimal. Isofluran memiliki nama kimia 2-kloro-2-(difluorometoksi)-1,1,1-
trifluoroetan, merupakan eter berhalogenasi yang digunakan untuk anestesi
inhalasi. Karakteristik fisik isofluran antara lain titik didih 48,5 OC, nilai MAC
1,15 vol %.2,14 Mekanisme terkait sifat anestetik masih belum sepenuhnya
dipahami, namun diduga terdapat interaksi isofluran dengan berbagai reseptor
pada transmisi sinaptik. Isofluran mengikat reseptor GABA, reseptor glutamat,
dan reseptor glisin, serta menghambat konduksi kanal kalium. Penghambatan
glisin akan membantu menghambat fungsi motorik. Aktivasi kalsium ATPase
akan meningkatkan permeabilitas membran.14 Seperti anestesi inhalasi yang lain,
isofluran juga mendepresi napas.Volume tidal dan frekuensi napas dapat menurun
menimbulkan dilatasi bronkus, sehingga baik untuk kasus penyakit paru obstruksi
menahun.13
f. Sevofluran
Sevofluran memiliki nama kimia fluorometil heksafluoroisopropil eter,
merupakan agen anestesi inhalasi berbagu manis, tidak mudah meledak, yang
merupakan hasil fluorinasi metil isopropil eter. Sevofluran memiliki titik didih
58,6oC dan nilai MAC 2 vol%. Penggunaan sevofluran dapat diberikan bersama
oksigen dan N2O. Onset kerja obat sangat cepat, dan konsentrasinya dalam darah
relatif rendah.13
2. Anestesi Intravena
a. Propofol
Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang
digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta
mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol dan 1,2% purified egg
phosphatide. Obat ini secara struktur kimia berbeda dari obat sedatif-hipnotik
yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5 – 2,5
mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5
mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya
kesadaran dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5-2,5 mg/kgBB
intravena dengan kadar obat 2-6 μg/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang
bergantung pada usia pasien. Mirip seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan
dosis induksi yang lebih besar tiap kilogram berat badannya yang mungkin
disebabkan volum distribusi yang besar dan kecepatan bersihan yang lebih. Pasien
lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih kecil (25% - 50%) sebagai akibat
penurunan volume distribusi dan penurunan bersihan plasma. Kesadaran kembali
saat kadar propofol di plasma sebesar 1,0 – 1,5 μg/ml.
b. Etomidate
Etomidate merupakan agen anestetik intravena kerja cepat yang digunakan
sebagai induksi dan sedasi dalam prosedur operasi singkat, seperti reduksi
dislokasi sendi dan kardioversi. Etomidate merupakan derivat imidazol yang
mengalami karboksilasi, dengan potensi anestesi dan amnesi. Pada dosis tipikal,
etomidate bekerja dalam rentang 5 – 10 menit dan memiliki waktu paruh 2-5
menit dan akan habis setelah 75 menit. Etomidate mengikat kuat protein plasma
dan dimetabolisme oleh enzim esterase plasma dan hepatik.
Dosis anestetik induksi rata-rata untuk dewasa adalah 0,3 mg/Kg intravena,
dengan dosis tipikal antara 20-40 mg. Dosis inisial adalah 0,2 – 0,6 mg/Kg dengan
masa kerja 30-60 menit. Dosis pemeliharaan adalah 5-20 μg/Kg/menit intravena.
c. Barbiturat
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata
karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh
golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan
barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.
1) Tiopental :
• Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
• Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
• Sedasi pada analgesik regional
• Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
2) Fenobarbital :
• Untuk menghilangkan ansietas
• Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
• Untuk sedatif dan hipnotik
d. Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus,
yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan
amnesia retrograde. Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh
anestesiologi adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam
(Versed).
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi
gammaaminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak.
Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan
kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal
klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan
mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan
efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan
relaksasi otot skeletal.15
e. Ketamin
Ketamin adalah suatu “rapid acting non barbiturat general anesthethic”
termasuk golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-
chlorophenil) 2 (methylamino) cyclohexanone hydrochloride.
Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi efek
hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan lingkungan
yang salah (anestesi disosiasi).
BAB III
PENUTUP

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau
melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuannya
adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask,
pemberian nafas buatan secara mekanik (respirator) memungkinkan pengisapan
secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen
dosis tinggi.
Obat anestesi yang baik harus memenuhi trias anestesi yaitu, efek hipnotik,
efek analgesia dan efek relaksasi otot. Semua zat anestesi umum menghambat
susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat
dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat
vasomotor dan pusat pernafasan yang vital.
DAFTAR PUSTAKA

1. Desai,Arjun M.2010. Anesthesiology . Stanford University School of


Medicine. Diakses dari: http://emedicine.medcape.com. Accessed on April
12th 2014
2. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Obat-obat
anestetika. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks
Jakarta. 2010. p.5-10, p23-86.
3. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition.
Singapore : Mc Graw Hill Lange. 2007. p.401-17.
4. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI:
Jakarta. Universitas Indonesia. 2007; 2.p:3-45.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan
GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA,
McGraw‐Hill Companies, Inc.2006, p. 98‐06.
6. Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult pediatric
airway. Anesth Clin North Am. 1998;16:729-741.
7. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat
Intubasi Endotrakeal. Available at http://ojs.lib.unair.ac.id. Accessed on
April 12th 2014.
8. Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation, available
at
http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html
. accessed on April, 12th 2014.
9. Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment.
10th ed. Ontario: BC Decker Inc, 2003: 94,126, 612
10. Schmitt H, Buchfelder M, Radespiel-Troger M, et al. Difficult intubation in
acromegalic patients: incidence and probability. Anesthesiology.
2000;93:110- 114
11. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in
Intubated Neonatal in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-
528. Available at: http://www.archoto.com. Accessed on April 12th 2014.
12. Bevan David R, Donati Francois. Muscle relaxants and clinical monitoring.
In: Healy Thomas EJ, Cohen Peter J, editors. Wylie and Churchill-
Davidson’s A Practice of Anaeshtesia. London: Edward Arnold, 1994;
p147-71.
13. Dachlan R. Farmakologi obat-obat anestesia. Dalam Anestesiologi FKUI.
Editor: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan R. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989
14. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Basic principles of
clinical pharmacology. Dalam Clinical Anesthesia 5th edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2006. p.801-65.
15. Tjay TH, Rahardja K. Sedativa dan Hipnotika. In : Obat-obat Penting Edisi
Ke-5. Jakarta : Gramedia; 2002, p364-72

Anda mungkin juga menyukai