HAK-HAK EKONOMI,
SOSIAL, DAN BUDAYA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2015
0
PENEGAKAN HUKUM
HAK-HAK EKONOMI,
SOSIAL, DAN BUDAYA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2015
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB III HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA: PENEGAKAN HUKUM DAN
PELANGGARAN .............................................................................................................. 7
3.2. Prinsip Penegakan Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya .......................... 8
3.3. Ruang Lingkup Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ....................... 9
5.1. Simpulan.................................................................................................................... 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenan on Economic, Social, and Cultural
Rights) (Miriam Budiardjo 1990: 41-42).
Pembedaan antara kedua ragam HAM tersebut berlanjut pada klasifikasi hak-hak
positif dan hak-hak negatif. Dinyatakan bahwa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
merupakan hak-hak positif (positif rights), sedangkan hak-hak sipil dan politik dikatakan
sebagai hak-hak negatif (negative rights). Ada tiga konsekuesni dari pembedaan ini, yang
masing masing dilihat dari segi pemenuhan hak, pelanggaran hak, dan pengajuan tuntutan
hukum atas pelanggaran hak.
Pertama, dari segi realisasi hak, sebagai hak-hak positif, maka untuk
merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diakui dalam kovenan diperlukan
keterlibatan negara. Sebaliknya sebagai hak-hak negatif, maka negara harus abstain atau
tidak bertindak dalam rangka merealisasikan hak-hak sipil dan politik yang diakui dalam
kovenan. Kedua, dari segi pelanggaran, dalam hak-hak positif dikatakan terjadi
pelanggaran, manakala negara tidak berperan aktif dalam pemenuhan hak-hak ekonomi
sosial dan budaya. Sebaliknya dalam hak-hak negatif, justru ketika negara bertindak aktif,
dikatakan terjadi pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Ketiga, dari segi pengajuan tuntutan
hukum, sebagai hak-hak positif, maka hak-hak ekonomi sosial, dan budaya tidak dapat
dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat
menuntut negara ke muka pengadilan. Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai
hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang disiksa oleh aparatur
negara dapat menuntut ke pengadilan (Ifdhal Kasim 2001:xiii-xiv. Hendardi 1998:38-43).
Artinya, tidak terdapat mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya.
Sistem hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupak sub sistem dari sistem
hak-hak asasi manusia, dan terakhir ini merupakan sub sistem dari sistem hukum,
tepatnya adalah hukum (-internasional) tentang hak asasi manusia. Sistem hukum,
menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari unsur-unsur isi hukum, kelembagaan
hukum, dan budaya hukum (dalam Soerjono Soekanto 1986:45). Sedangkan
menurut Seidman, sistem hukum itu terdiri dari pembentuk undang-undang, undang-
undang (peraturan-peraturan), dan agen pelaksana (Ann Seidman, Robert B.
Seidman, dan Nalin Abeyserkere 2001:14). Dalam konteks makalah ini, HAM dapat
dipahami dengan menggunakan kerangka sistem hukum.
Dalam konteks sistem hukum Friedman, menyangkut isi hukum (contens of
law) adalah ketentuan-ketentuan tentang HAM yang dituangkan dalam instrumen
hukum internasional, dalam hal ini terutama adalah Kovenan Internasional Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kelembagaan hukum (structure of law), yakni semua
perangkat kelembagaan dan pelaksana dari ketentuan-ketentuan tentang hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini penegakan hukum oleh pengadilan
terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Menyangkut unsur
budaya hukum, yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan tentang dua unsur
sistem hukum terdahulu.
Dalam konteks sistem hukum Seidman, HAM dapat dipahami sebagai berikut.
Unsur pembentuk undang-undang adalah lembaga-lembaga internasional dan
negara-negara yang terkait dengan pembentukan instrumen hukum internasional
tentang HAM, khususnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Peraturan-peraturan
adalah instrumen hukum internasional tentang HAM khususnya Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Agen pelaksana adalah badan-
badan baik internasional, regional, maupun nasional yang melaksanakan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya, terutama lembaga pengadilan yang menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
3
4
Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan
kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Menyangkut isi hukum, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, selain
dituangkan dalam Kovenan, untuk peningkatan pelaksanaannya oleh sejumlah ahli
hukum internasional telah dirumuskan Prinsip-Prinsip Limburg, yang ditindaklanjuti
dengan Pedoman Maastricht.
Prinsip Limburg dirumuskan oleh satu kelompok ahli terkemuka di bidang
hukum internasional, yang diundang oleh Komisi Internasional Ahli Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Limburg (Belanda) dan Institut Urban Morgan untuk Hak Asasi
Manusia Universitas Cincinnati (Ohio, Amerika Serikat), berkumpul di Maastricht
pada 2-6 Juni 1986 untuk membahas sifat dan ruang lingkup kewajiban negara-
negara pihak pada Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Sedangkan Pedoman Maastricht, dirumuskan pada peringatan ulang tahun ke-10
Prinsip Limburg, oleh sekelompok ahli di Maastricht pada 23-26 Januari 1997 dalam
sebuah pertemuan yang diadakan oleh Komisi Internasional Ahli Hukum, Lembaga
HAM Urban Morgan (Cicinnati, Amerika Serikat), dan Pusat HAM Fakultas Hukum
Universitas Maastricht (Belanda). Tujuan pertemuan adalah untuk menguraikan
Prinsip Limburg, mengenai sifat dan ruang lingkup pelanggaran hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya (Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus , ed. 2001:339-340,
370-371).
2.2. Kerangka Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah
diratifikasi mendapat pengesahan dari Pemerintah Negara Republik Indonesia, yakni
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4557).
Adapun dasar pertimbangan pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan Undang-Undang, sebagaimana
dikemukakan dalam Menimbang Undang Nomor 11 Tahun 2005, adalah :
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh
karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
5
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights: With reference to Article 1 of the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the Government of
the Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the
Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on
Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation
Among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of
Action of 1993, the words ‘the right of self-determination’ appearing in this article do
not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be
construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or
impair, totally or in part, the territorial integrity of political unity of sovereign and
independent states’).
Sebelum tahun 2005, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya telah juga diterima
dalam sistem hukum perundang-undangan Indonesia, yakni di dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Penjelasan Umum Undang-
Undang ini menjelaskan:
Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia
ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-
undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan
pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
7
8
diolah lebih lanjut dalam Pedoman Maastricht Untuk Pelanggaran Hak-hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya.
Agar suatu pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat diajukan
ke pengadilan, maka harus jelas arti dan ruang lingkup pelanggaran hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam bagian II Pedoman Maastricht diuraikan arti
pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana dikutip
berikut ini (Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed. 2001:374-383).
10
Seperti halnya dengan hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya membedakan tiga tipe kewajiban yang berbeda pada negara, yakni
kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan melaksanakan, Kegagalan dalam
melaksanakan salah satu kewajiban ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
tersebut.
Kewajiban untuk menghormati, mengharuskan negara menahan diri untuk
tidak campur tangan dalam dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial, budaya. Jadi, hak
untuk mendapatkan perumahan dilanggar, apabila negara tersangkut dalam
penggusuran paksa secara sewenang-wenang.
Kewajiban untuk melindungi, mengharuskan negara untuk mencegah
pelanggaran hak tersebut oleh pihak ketiga. Sehingga kegagalan untuk memastikan
agar pengusaha swasta memenuhi standar dasar tenaga kerja dapat berarti
pelanggaran terhadap hak untuk bekerja atau hak untuk mendapatkan kondisi kerja
yang adil dan menyenangkan.
Kewajiban untuk melaksanakan, mengharuskan negara untuk mengambil
tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum dan semua tindakan lain
yang memadai guna pelaksanaan sepenuhnya dari semua hak tersebut. Dengan
demikian, kegagalan negara untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada
yang membutuhkan berarti sebuah pelanggaran.
Berikutnya dirumuskan, bahwa pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya dapat berupa Pelanggaran Melalui Tindakan Pejabat (Acts of Commision)
dan Pelanggaran Melalui Pembiaran (Acts of Omission).
Pelanggaran Melalui Tindakan Pejabat adalah pelanggaran hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang tidak
diatur secara memadai oleh negara. Contoh pelanggaran semacam ini termasuk:
(a) Penghapusan secara formal atau penundaan undang-undang yang
penting bagi kelanjutan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya yang
dinikmati saat ini;
(b) Pengingkaran aktif atas hak tersebut bagi individu atau kelompok tertentu,
apakah melalui diskriminasi berdasarkan undang-undang atau dengan
paksaan;
(c) Dukungan aktif atas tindakan yang diambil pihak ketiga yang tidak sejalan
dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;
(d) Pemberlakuan undang-undang atau kebijakan yang jelas-jelas tidak
sejalan dengan kewajiban hukum yang sudah ada sebelumnya
sehubungan dengan hak-hak ini, kecuali jika hal ini dilakukan dengan
tujuan dan akibat yang meningkatkan persamaan dan menempatkan
11
Dengan demikian ada tiga macam pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya, yakni: (1) Pelanggaran karena kegagalan negara memenuhi kewajiban
untuk menghormati, melindungi, dan melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya; (2) Pelanggaran melalui tindakan pejabat adalah pelanggaran hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang
tidak diatur secara memadai oleh negara; dan (3) Pelanggaran melalui pembiaran
adalah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui pembiaran atau
kegagalan negara untuk mengambil tindakan lanjutan yang perlu atas kewajiban
hukum.
Mengaitkan Prinsip-prinsip Limburg dengan Pedoman Maastricht membawa
makna, bahwa pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, baik karena tidak
dipenuhinya kewajiban negara, tindakan aktif, maupun pembiaran seharusnya
diatasi melalui upaya perbaikan efektif, antara lain melalui upaya perbaikan
yudisial.
BAB IV
PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN
BUDAYA: DUKUNGAN KOVENAN SIPIL DAN POLITIK DAN SISTEM
HUKUM INDONESIA
13
14
merupakan salah satu bentuk bantuan sosial, yang bertujuan melaksanakan Pasal
38 Konstitusi Italia: “Semua warga negara yang tidak sehat untuk bekerja dan
kekuarangan uang untuk hidup, berhak memperoleh bantuan kesejahteraan dan
biaya hidup sehari-hari. Laporan pemeriksaan domestik tentang sengketa itu sudah
berlangsung selama lebih dari enam tahun.
Dalam kasus Schuler-Zgragge v. Swizerland, Pengadilan HAM Eropa
memperluas porosedur perlindungan di bawah Pasal Pasal 6 Konvensi Eropa, pada
hak-hak ekonomi dan sosial. Dalam kasus ini, Swizwerland menolak permohonan
penggugat untuk mendapatkan asuransi sosial dan bantuan kesehatan, karena ia
seorang perempuan menikah dengan satu anak, dan tidak akan kembali bekerja
bahkan apabila ia tidak mempunyai masalah kesehatan. Gugatan penggugat bahwa
penolakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 14 dan Pasal 6
Konvensi Eropa.
Pengadilan mempertimbangkan : “keputusan umum yang berlaku saat ini
adalah bahwa Pasal 6 paragraf 1 berlaku untuk asuransi sosial, bahkan termasuk
bantuan kesehatan”. Dikatakan pula bahwa keputusan tersebut dibenarkan
berdasarkan fakta bahwa pemohon/penggugat “mengklaim hak ekonomi individu
yang berasal dari undang-undang yang secara khusus terdapat dalam undang-
undang federal” (dalam Martin Scheinin 2001:64-65).
Martin Scheinin (2001:66-67) memberikan catatan bahwa jika seandainya
hak-hak ekonomi dan sosial lainnya, selain asuransi sosial dan bantuan sosial,
sudah dilindungi sebagai hak hukum pada tingkat domestik, maka tentu hak-hak itu
bisa masuk ruang lingkup Pasal 6 Kovensi Eropa. Sejauh hukum domestik itu
menentukan bahwa, misalnya, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh
pelayanan sekolah taman kanak-kanak negeri, atau hak atas perumahan atau
pelayanan-pelayanan tertentu bagi orang cacat, sebagai hak individu, maka hak-hak
seperti itu tentu akan memperoleh perlindungan tambahan dalam ketentuan itu.
Dalam kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak-
hak ekonomi, sosial, dan budaya bisa diajukan ke pengadilan dengan menggunakan
klausul-klausul non-diskriminasi, persamaan di hadapan hukum, maupun peradilan
yang jujur, yang terdapat dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovensi
Eropa tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 26 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik memuat di dalamnya klausul
larangan diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum. Klausul ini nampak jelas
15
dalam kalimat pertama Pasal ini: “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak
atas perlindungan hukum yang sama, tanpa disriminasi apa pun” . Atas dasar apa
pun diskriminasi dilarang dilakukan, seperti kesukuan, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kelahiran, atau status lain, demikian ketentuan yang tersimpul daribagian
kalimat kedua Pasal 26.
Dalam kasus-kasus Zwaan-de Vries v. The Netherlands dan Broeks v. The
Netherlands menampakkan adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
perempuan dan statusnya telah menikah, yang menyebabkan kehilangan tunjangan
penganggurannya, sedangkan bagi laki-laki, tanpa memperhatikan apakah mereka
sudah kawin atau belum, mendapatkan tunjangan penganggurannya. Perbedaan ini
diberlakukan karena prasangka hukum bahwa perempuan yang sudah menikah
dianggap bukan “pencari nafkah” dalam keluarganya. Hanya melalui pengajuan bukti
yang menyatakan bahwa dirinya sebagai pencari nafkah, perempuan yag menikah
dapat menerima tunjangan-tunjangan pengangguran tertentu, suatu syarat yang
tidak berlaku bagi laki-laki menikah. Jadi, jelaslah bahwa telah terjadi pelanggaran
ketentuan non-diskriminasi.
Dalam kasus itu nampak pula perkembangan pemikiran dan penerapan
hukum, bahwa pelanggran ketentuan non-diskriminasi dalam Pasal 26 Kovenan
Hak-hak Sipil dan Politik diperluas keberlakuannya pada hak-hak yang diakui dalam
kovenan lainnya, dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang
diakui dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya juga terdapat klausul
non-diskriminasi, yakni tertuang dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3. Dalam Pasal 2
ayat (3) ditentukan, setiap negara peserta Kovenan ini berusaha untuk menjamin
hak-hak yang tercantum dalam kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi
apa pun misalnya mengenai ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat politik atau pendpat yang lain, asal usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lain. Pasal 3 mempertegas lagi bahwa jenis
kelamin, pria dan wanita, tidak boleh menjadi faktor pembeda dalam pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jelasnya pasal ini merumuskan: “Setiap
Negara Peserta Kovenan ini berusaha untuk menjamin hak yang sama bagi pria dan
wanita atas nikmat dari semua hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana
tercantum dalam Kovenan ini”.
16
Atas dasar klausul peradilan yang jujur, dalam pengertian pemeriksaan yang
jujur dalam jangka waktu yang layak, Pengadilan HAM Eropa, dalam kasusu Salesi
v. Italy, memutuskan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 6 (1) Konvensi Eropa,
karena lamanya proses pemeriksaan secara layak, yakni lebih dari enam tahun.
Dalam kasus Schuler-Zgragge v. Swizerland, Swizwerland menolak
permohonan penggugat untuk mendapatkan asuransi sosial dan bantuan kesehatan,
karena ia seorang perempuan menikah dengan satu anak, dan tidak akan kembali
bekerja bahkan apabila ia tidak mempunyai masalah kesehatan. Oleh penggugat
klausul non-diskriminasi (Pasal 14) dan peradilan yang jujur (Pasal 6) dijadikan
dasar gugatan, dengan perkataan lain, gugatan penggugat bahwa penolakan
tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 14 dan Pasal 6 Konvensi Eropa.
17
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Dari uraian mengenai penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya tersebut di atas, ditarik simpulan:
1. Terdapat perkembangan pemikiran yang semula dipandang hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat dimajukan ke pengadilan
ketika terjadi pelanggaran menjadi dapat diajukan kepengadilan.
Perubahan pemikiran tersebut didukung oleh yurisprudensi.
2. Penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh badan
yang menjalankan fungsi peradilan adalah dengan menggunakan
interpretasi klasul non-diskriminasi yang terdapat dalam Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, serta klausul peradilan yang
jujur dalam Kovensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia.
3. Penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat juga
dilakukan melalui penggunaan mekanisme judicial review.
5.2. Saran
Berdasarkan uraian mengenai penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya, dan simpulan tersebut di atas, diajukan saran:
1. Selayaknya pengadilan dapat menggunakan ketentuan-ketentuan dalam
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM sebagai dasar pertimbangan dalam
pengambilan putusan ketika mengadili perkara-perkara yang menunjukan
pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
2. Agar diberdayakan mekanisme judicial review dalam upaya penegakan
hukum atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, manakala terdapat
Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
undang yang tidak menjamin perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya.
20
BAHAN BACAAN