Anda di halaman 1dari 41

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit hepar sering dijumpai di masyarakat dan dibedakan menjadi


penyakit hati akut dan kronik, yang termasuk penyakit hati akut adalah: viral
hepatitis, hepatitis yang diinduksi obat, dan penyakit hati alkoholik, sedangkan
yang termasuk penyakit hati kronis adalah hepatitis b kronik dan sirosis hepatis.
Penyakit hati kronis adalah rute tersering untuk terjadinya karsinoma
hepatoseluler dan liver failure.(1)
Sirosis hepatis adalah suatu penyakit kronis pada hepar yang ditandai
dengan adanya inflamasi dan fibrosis hepar yang mengakibatkan distorsi struktur
hepar dan hilangnya sebagian besar fungsi hepar. Perubahan besar yang terjadi
karena sirosis adalah kematian sel-sel hepar, terbentuknya sel-sel fibrotik (sel
mast), regenerasi sel dan jaringan parut yang menggantikan sel-sel normal.
Perubahan ini menyebabkan hepar kehilangan fungsi dan distorsi strukturnya.(2)
Menurut National Centre for Health Statistics tahun 2016 prevalensi sirosis
hepatis di dunia adalah sebesar 1.6% atau sejumlah 3.9 juta orang. Sedangkan
angka kematian di dunia adalah sejumlah 40.326 orang dengan perbandingan 12.5
per 100.000 populasi.(3) Menurut Indonesian Association for The Study of The
Liver tahun 2013, rata-rata prevalensi sirosis hati adalah 3,5% dari seluruh pasien
yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam rumah sakit umum pemerintah di
Indonesia, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.
Perbandingan pada pria dan wanita adalah 2,1:1 dengan usia rata-rata 44 tahun.(4)
Prevalensi hepatitis b kronik di dunia menurut Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014, virus Hepatitis B telah
menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang di antaranya
menjadi pengidap Hepatitis B kronik.(5) Prevalensi hepatitis b kronik di Indonesia
menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi HBsAg adalah 7,2%,
dimana terjadi penurunan dari tahun 2007 yaitu sebanyak 9,4%. Diperkirakan 18
juta orang memiliki Hepatitis B dan 3 juta orang menderita Hepatitis C. Sekitar
2

50% dari orang-orang ini memiliki penyakit hati yang berpotensi kronis dan 10%
berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker hati. Angka-
angka ini menunjukkan bahwa 1.050.000 pasien memiliki potensi untuk menjadi
kanker hati. Untuk itu, surveilans Hepatitis B dan Hepatitis C telah dilakukan di
kalangan penduduk berisiko tinggi.(6)
3

BAB 2

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. AB
Usia/Jenis kelamin : 41 tahun/ Perempuan
Tempat/tgl lahir : Oetefu Kecil, 28 Maret 1976
MRS melalui : IGD
Rawat IGD : 28 Februari 2018 jam 20.38 WITA
Rawat diruang : Anggrek (E4) tanggal 01 Maret 2018 jam 17.00
No.MR : 38-93-64
Suku : Timor
Agama : Kristen Protestan
Status pernikahan : Menikah (3 orang anak, 2 anak angkat dan 1 anak
kandung)
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Alamat : Oebelo

II. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Anamnesis secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien dan
istri pasien pada hari rabu tanggal 07 Maret 2018 pukul 16.30 WITA di
ruang Anggek kamar E4.
a. Keluhan Utama : Lemas sejak 1 hari SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan RST dengan diagnosis sirosis hepatis. Pasien mengeluhkan
lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas badan dirasakan sepanjang hari dan
menurut pasien lemas semakin dirasakan sekarang. Lemas badan terjadi
yaitu pada tanggal 01 maret 2018, pasien sempat pingsang sebelum diantar
keluarganya ke RS karena menurut cerita keluarganya, sebelumnya pasien
sudah tidak makan dan minum selama empat hari berturut – turut. Menurut
4

pasien dia tidak ada selera makan dan minum, pasien berpikir dengan
makan dan minum membuat perutnya semakin membesar.
Pasien mengeluhan perut yang semakin hari semakin membesar sejak
tahun 2011, perut yang membesar sempat turun namun nanti secara
perlahan membesar kembali. Kejadian perut yang semakin hari semakin
membesar awalnya setelah pasien melahirkan anak pertamanya secara
section secarea. Sempat dirawat sebulan di rumah sakit dan kemudian
perlahan menurun namun setelah itu lama kelamaan semakin hari semakin
membesar kembali.
Pasien juga saat itu mengeluhkan sulit untuk bernapas, muncul tiba – tiba
dan dialami terus menerus. Sulit bernapas yang dirasakan pasien terutama
saat perutnya semakin membesar dan kencang, kemudian kemudian
memberat saat pasien tidur terlentang atau saat ia makan terlalu banyak.
Sulit bernapas berkurang dengan pasien tidur miring baik ke kiri ataupun
ke kanan. Perut yang kenyang dan membesar ini sering sekali membuat
pasien tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bersamaan dengan perut yang
membesar dan kencang, pasien sesekali merasakan pinggangnya nyeri
yang muncul tiba – tiba lamanya nyeri tidak menentu sekitar setengah jam
sampai satu jam, nyeri yang dirasakan seperti ingin BAB, nyeri punggung
tersebut yang dirasakan baik saat posisi duduk maupun berdiri dan
terutama saat sedang beraktivitas. Saat sudah nyeri pasien hanya bisa
tertidur di tempat tidur dan bertahan menunggu hingga nyerinya hilang
sendiri. Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan berat badan yang
mulanya berkisar 55 – 60 kg dan sekarang semenjak sering MRS berat
badannya berkisar antara 40 – 45 kg saja.
Pasien juga mengakui semenjak perutnya membesar tahun 2011 pasien
makan dan minumnya sedikit – sedikit. Sekali makan hanya mampu
menghabiskan setengah atau seperempat porsi saja dari kebiasaan
makannya sehari –hari, pasien sering merasakan jika ia makan makanan
yang terlalu banyak minyak atau berlemak (seperti daging babi) ia
merasakan perutnya akan membesar. Minum sehari hanya 4-5 gelas
5

dengan ukuran gelas mok sedang, sesekali baru pasien minum dengan
ukuran gelas besar seukuran gelas belimbing. Pasien mengaku kencing
pada akhir – akhir ini berkurang dan berwarna lebih gelap dari biasanya
kadang sangat pekat seperti teh, kencing 3-4x/sehari, BAB 1-2x/sehari
namun sedikit – sedikit dan kadang terasa keras, berwarna kuning, namun
saat masuk di RST sempat BAB berwarna hitam satu kali dan setelah itu
tidak lagi. Mual – muntah (-), nyeri kepala (-), pusing (-), perdarahan gusi
(-) dan mimisan (-)

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien riwayat Hepatitis B (+) sejak tahun 2011 saat hamil anak 1,
pasien sempat kontrol dan minum obat namun tidak teratur, untuk nama
obatnya pasien lupa namaya.
 Tahun 2011 pasien melahirkan anaknya secara section secarea, dirawat
selama 1 bulan karena setelah melahirkan perutnya semakin hari
semakin membesar, saat keluar RS perutnya sudah turun.
 Tahun 2012 masuk RS dengan keluhan perut yang semakin membesar
dan lemas, dirawat selama 2 minggu kemudian perut turun kembali.
 Tahun 2013 masuk RS dengan keluhan yang sama di tahun 2012 yaitu
perut yang semakin membesar dan lemas, pasien sempat di USG dan
menurut pasien, dokter mengatakan ada pembesaran pada hatinya (hasil
USG tidak dibawa oleh pasien, ada tersimpan di rumahnya-Oebelo),
dirawat selama 3 minggu kemudian perut turun kembali.
 Tahun 2015 masuk RS dengan keluhan perut semakin membesar dan
lemas, dirawat selama 2 minggu kemudian turun kembali.
 Tahun 2018 bulan Februari masuk RS dengan keluhan perut membesar,
lemas dan tidak mau makan dirawat selama 4 hari.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Saudara sepupu pasien juga riwayat Hepatitis B.
6

e. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku memiliki kebiasaan makan sirih pinang dan tembakau
sejak kecil, makan makanan yang berminyak (seperti daging babi),
seminggu rata – rata 2-3 x, terutama ketika ada pesta di kampung.
Merokok (-), alkohol (-)

f. Riwayat sosial dan budaya


Menurut pasien, adat orang timor ketika ada syukuran ataupun kematian
harus disiapkan banyak daging terutama daging babi, sapi dan kerbau.
Kemudian disuguhkan sirih pinang, tembakau, rokok dan alcohol.

g. Riwayat sosial ekonomi


Pasien seorang petani, tinggal bersama suami yang juga bekerja sebagai
petani, mempunyai dua orang anak angkat dan satu anak kandung, anak
pertama sudah tamat SMA, anak kedua kelas 3 SMP dan anak ketiga kelas
2 SD. Pasien mendapat penghasilan saat memanen hasil padi di sawah.
Pasien mempunyai sawah yang digarap bersama dengan keluarga
besarnya, mereka mempunyai 4 sawah yang masing – masing sawah
memiliki luas bidang sawah sekitar 1 sampai 2 hektar, minimal 4 atau 5
bulan sekali dipanen hasilnya dan bisa mendapat keuntungan sekitar
10.000.000 juta rupiah. Pasien dan keluarganya juga mempunyai binatang
peliharaan yaitu ayam, babi dan sapi.

h. Lingkungan
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya 3 orang, rumah pasien
berdinding tembok, beratap seng dan berlantai keramik, memiliki 3 kamar
tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga , 1 dapur dan 1 gudang penyimpanan
hasil panen, 1 kamar mandi dan wc yang digabung.
7

i. Riwayat gizi
Pasien sejak muda sering makan makanan yang berminyak dan goreng –
goreng.
j. Review sistem
Kepala : nyeri kepala (-), pusing (-)
Kulit : pucat (+), kuning (+)
Mata : mata kabur (-)
Telinga : rasa penuh di telinga (-/-), tidak ada cairan dari telinga (-/-)
Hidung : pilek (-), hidung gatal (-), bersin (-)
Mulut : nyeri menelan (-), sariawan (-), bercak putih di lidah (-), nafas
berbau aneh (-)
Tenggorokan : suara serak (-), sulit menelan (-)
Leher : benjolan (-), nyeri spontan (-), nyeri perabaan (-), nyeri tekan (-),
tanda-tanda peradangan (-), pembesaran pada leher (-) dan tampak
kelainan lain
Jantung : jantung berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
Paru : sesak nafas (-), sulit bernafas (-).
Gastrointestinal : cepat kenyang (-) mual (-), muntah (-), nyeri uluhati (+) ,
BAB berwarna kehitaman dan seperti kotoran kambing (-)
Ginjal-Saluran Kemih : BAK dirasakan berkurang, warna kuning keruh
sampai pekat seperti teh, tidak ada darah ataupun urine berpasir. 
Neurologis : tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada tanda defisit
neurologis
Endokrin : tidak diketahui adanya riwayat gangguan hormonal
sebelumnya, DM (-)
Muskuloskeletal : tidak ada kelainan
Ekstremitas : bengkak pada kaki (+) minimal, tidak ditemukan kelainan
pada kuku, tidak adanya gerakan tangan sendiri

III. PEMERIKSAAN FISIK (Rabu tanggal 07 Maret 2018)
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
8

Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)


TTV TD : 100/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit, reguler, kuat angkat
RR : 22 x/menit, regular, torakoabdominal
S : 37,40C (aksiller)
VAS : 3-4 dari 1-10
Status Gizi TB : 156 cm
BB : 59 Kg
IMT : 24,27
LP : 105 cm
Kepala : Bentuk normocephal, rambut tampak
hitam tidak mudah dicabut.
Kulit : Ikterik (+), sianosis (-)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera ikterik (+/+)
Pupil Isokor (3mm/3mm)
Refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+).
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), epistaksis
(-/-)
Telinga : Nyeri tekan mastoid (-/-), pembesaran
kelenjar parotis (-/-)
Mulut : Mukosa bibir kering, luka pada mukosa
bibir (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+3 mmHg,
trakea letak di tengah.
Thoraks : Spider angioma (-), genekomastia (-),
rontok buluh ketiak (tidak dievaluasi).
Bentuk : Normal, simetris kiri dan kanan, retraksi
dinding thorax (-)
Pulmo Anterior
9

Inspeksi : Tanda radang (-), pengembangan kedua


dada simetris kiri dan kanan.
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), taktil Fremitus D=S
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler Rhonki Wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Pulmo Posterior
Inspeksi : Tanda radang (-), pengembangan kedua
dada simetris kiri dan kanan.
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), taktil Fremitus D=S
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler Rhonki Wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat di ICS 5 linea
midclavicula sinistra.
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba di ICS 5 linea
midclavicula sinistra.
Perkusi Batas Jantung
Atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra.
Bawah : ICS 5 linea midclavicula sinistra.
Kiri : ICS 5 linea midclavicula sinistra.
Kanan : ICS 4 line parasternalis dextra.
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak cembung, striae (+),
penonjolan (+) pada region umbilikalis,
venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 6x/menit.
10

Palpasi : Nyeri tekan (+) regio epigastrium dan


hipokondrium dextra, distensi (+), massa
(+) region umbilikalis, menonjol,
konsistensi lunak, mobile, peranjakan
hati 2 jari dibawah arcus costa, lien
teraba, lingkar perut 105 cm, undulasi
test (+).
Perkusi : Bunyi timpani redup, Liver span 4 cm,
Shiffting dullness (+).
Punggung : Nyeri tekan (+) region lumbal, bentuk
lordosis, nyeri ketok CVA (-/-)
Ektremitas : Akral hangat, CRT 3 detik, palmar
eritema (+), muncherce nail (-/-),
kontraktur dupuytren (-/-),
Edema - - (minimal)
+ +
(minim
Genitalia : Terpasang DC, bulu-bulu pubis (tidak
dievaluasi), haemoroid (tidak
dievaluasi).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI tanggal 28 Februari 2018
Darah Rutin
Hemoglobin 7,2 g/dL 12,0-16,0 L
Jumlah Eritrosit 3,15 10^6/uL 4,20-5,40 L
Hematokrit 24,7 % 37,0-47,0 L

MCV, MCH, MCCH


MCV 78,4 fL 81,0-96,0 L
11

MCH 22,9 Pg 27,0-36,0 L


MCHC 29,1 g/L 31,0-37,0 L
RDW-CV 25,1 % 11,0-16,0 H
RDW-SD 68,6 fL 37-54 H
Jumlah Leukosit 5,72 10^3/ul 4,0-10,0 N
Hitung Jenis
Eusinofil 2,1 % 1,0-5,0 N
Basofil 0,3 % 0-1 N
Neutrofil 66,5 % 50-70 N
Limfosit 17,5 % 20-40 L
Monosit 13,6 % 2-8 H
Jumlah Eosinofil 0,12 10^3/ul 0,00-0,40 N
Jumlah Basofil 0,02 10^3/ul 0,00-0,10 N
Jumlah Neutrofil 3,80 10^3/ul 1,50-7,00 N
Jumlah Limfosit 1,00 10^3/ul 1,00-3,70 N
Jumlah Monosit 0,78 10^3/ul 0,00-0,70 H
Jumlah Trombosit 140 10^3/ul 150-400 L
PDW *0000 fL 9,0-17,0 N
MPV *0000 fL 9,0-13,0 N
P-LCR *0000 % 13,0-43,0 N
PCT *0000 % 0,17-0,35 L
Kimia Darah
Glukosa Sewaktu 111 mg/dL 70-150 N
Elektrolit
Natrium darah 128 mmol/L 132-147 L
Kalium darah 2,0 mmol/L 3,5-4,5 L
Klorida darah 99 mmol/L 96-111 N
Calcium Ion 0,890 mmol/L 1.120-1.320 L
1 Maret 2018
Glukosa Sewaktu 113(10.45 mg/dL 70-150 N
wita)
12

190(17.39 mg/dL 70-150 N


wita)
2 Maret 2018
Glukosa Sewaktu 110(13.18 mg/dL 70-150 N
wita)
98(19.54 mg/dL 70-150 N
wita)
3 Maret 2018
Glukosa Sewaktu 147 mg/dL 70-150 N
5 Maret 2018
Hemoglobin 6,3 g/dL 12,0-16,0 L
Hematokrit 21,9 % 37,0-47,0 L
Leukosit 6,5 10^3/ul 4,0-10,0 N
Trombosit 66 10^3 150-400 L
Eritrosit 2.83 10^6/ul 4,20-5,40 L
MCV 77,5 fL 81,0-96,0 L
MCH 22,9 pg 27,0-36,0 L
HbSAg Reaktif
6 Maret 2018
Natrium 132 mmol/L 132-147 N
Kalium 2,7 mmol/L 3,5-4,5 L
Klorida 89 mmol/L 96-111 L
Ca Ion 0.730 mmol/L 1.120-1320 L
Albumin 1,8 mg/L 3,5-5,3 L

V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Chonic Liver Disease
Diagnosis sekunder : Anemia, Hiponatremia, Hipokalemia,
Hipoalbuminemia berat, Asites
13

VI. PENATALAKSANAAN
 IVFD NaCl 500cc + KCL 25 meg/24 jam
 Furosemide syringe pump 60 mg(3 ampul)/24 jam
 Ciprofloksasin 2x200 mg iv
 Spironolacton 100 mg-500 mg-0
 Aspak K tablet 1x1
 Ranitidine 2x1 ampul iv
 Propanolol 2x10 mg
 Sukralfat tablet 3x1
 Koreksi albumin dalam bentuk cocktail albumin+kcl 25
mg+furosemide 20 mg 1x1
 Balance cairan 24 jam

VII. DOKUMENTASI
14
15

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. SIROSIS HEPATIS


3.1.1 Definisi
Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis hepatis
secara klinis dibagi menjadi sirosis kompensata yang berarti belum adanya gejala
klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan
tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronis dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis dan
hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati. Secara konvensional
sirosis diklasifikasikan sebagai makronodul (besar nodul >3mm) dan
mikronodular (besar nodul <3mm) atau campuran mikro dan makronodular.(1)
Karsinoma hepatoseluler (KHS) atau hepatoma adalah kanker hati primer
yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan kematian. Karsinoma
hepatoseluler (Hepatocelluler carcinoma = HCC) merupakan tumor ganas hati
primer yang berasal dari hepatosit. Faktor risiko utama KHS adalah sirosis
hepatis, dan ditemukan bahwa KHS sebagai penyebab utama kematian pada
sirosis hepatis.(7)

3.1.2 Epidemiologi
Menurut National Centre for Health Statistics tahun 2016 prevalensi sirosis
hepatis di dunia adalah sebesar 1.6% atau sejumlah 3.9 juta orang. Sedangkan
angka kematian di dunia adalah sejumlah 40.326 orang dengan perbandingan 12.5
per 100.000 populasi.(3) Menurut Indonesian Association for The Study of The
Liver tahun 2013, rata-rata prevalensi sirosis hati adalah 3,5% dari seluruh pasien
yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam rumah sakit umum pemerintah di
16

Indonesia, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.
Perbandingan pada pria dan wanita adalah 2,1:1 dengan usia rata-rata 44 tahun.(4)
3.1.3 Etiologi
Penyebab sirosis hepatis disajikan dalam tabel 3.1. Di negara barat
penyebab tersering akibat alkoholik dan hepatitis C, sedangkan di Indonesia
terutama akibat infeksi virus hepatitis B (40-50%) dan hepatitis C (30-40%).(8)
Penyebab HCC adalah akibat virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV),
alkohol, obesitas, diabetes melitus (DM), penyakit sirosis hati (SH), atau akibat
kondisi lain yang merupakan faktor risiko HCC namun jarang ditemukan, antara
lain: 1) Penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun), 2) Penyakit hati metabolik,
3) Senyawa kimia.(9)

Tabel 3.1 Etiologi Sirosis Hepatis atau Penyakit Hati Kronik(1)


Penyakit Infeksi
Brucelosis
Ekinokokus
Toksoplasmosis
Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)
Infeksi parasit tertentu (Schistomiosis)
Penyakit Keturunan Metabolik
Defisiensi α1-antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemakromatosis
Intoleransi fruktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
metotreksat
Arsenik
Metildopa
Obstruksi bilier
Kontrasepsi oral (Budd-Chiari)
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer
17

Kolangitis sklerosis primer


Penyakit venooklusi
Penyebab Lain atau Tidak Terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Diabetes melitus
Pintas jejunoileal
Sarkoidosis
Steato hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan,
malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat
kortikosteroid.

3.1.4 Klasifikasi(1)
Klasifikasi berbagai jenis sirosis yang hanya didasarkan pada etiologi atau
morfologi tidaklah memuaskan. Suatu pola patologik dapat disebabkan oleh
berbagai cedera/ etiologi, sementara cedera yang sama dapat menimbulkan
beberapa pola morfologik. Bagaimanapun juga, sebagian besar jenis sirosis dapat
diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi:
1) Alkoholik
2) Kriptogenik dan pascavirus atau pascanecrosis
3) Biliaris
4) Kardiak
5) Metabolik, keturunan dan terkait obat-obat, lain-lain

3.1.5 Patogenesis
Penyebab tersering sirosis di Indonesia adalah infeksi virus Hepatitis B (40-
50%).(8) Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cedera kronik-reversibel pada
parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cedera
fibrosis), pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul.
Hal ini sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang
retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular
mengakibatkan terbentuknya vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati
aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika) dan regenerasi
nodular parenkim hati sisanya.(1)
Faktor yang terlibat dalam kerusakan sel hati adalah:
18

a) Defisiensi ATP akibat gangguan metabolisme energi sel.


b) Peningkatan pembentukan metabolit oksigen yang sangat reaktif.
c) Defisiensi antioksidan (misalnya glutation) dan atau kerusakan enzim
perlindungan (glutation peroksidase, superoksida dismutase) yang timbul
bersamaan.
Metabolit oksigen akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh pada
fosfolipid (peroksidase lemak). Hal ini membantu terjadinya kerusakan membran
plasma dan organel sel. Akibatnya konsentrasi Ca+2 di sistol meningkat, yang
akan mengaktifkan protease dan enzim lain sehingga akhirnya terjadinya
kerusakan sel yang bersifat ireversibel.(10) Fibrosis hati terjadi dalam beberapa
tahap akibat adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini dipicu oleh faktor
pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel kupffer. Sel stellate yang merupakan
sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM) setelah terjadi cedera atau
kerusakan pada hepar. Sel hepatosit yang rusak akan mati yang menyebabkan
terjadi kebocoran enzim lisosom dan pelepasan sitokin dari matriks ekstrasel.(10)
Pembentukan ECM disebabkan adanya pembentukan jaringan mirip fibroblast
yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti
transforming growth factor β (TGF-β) dan tumor necrosis factors (TNF α).
Deposit ECM di space of disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu
kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah
pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang
seharusnya dimetabolisme oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah
sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses
ini menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.(1)

3.1.6 Manifestasi Klinis


Perjalanan penyakit SH lambat, asimtomatis dan seringkali tidak dicurigai
sampai adanya komplikasi penyakit hati. Diagnosis SH asimtomatis biasanya
dibuat secara insidental ketika pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau
penemuan radiologi, sehingga kemudian penderita melakukan pemeriksaan lebih
lanjut dan biopsi hati. Sebagian besar penderita yang datang ke klinik biasanya
19

sudah dalam stadium dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti


perdarahan varises, peritonitis bakterial spontan atau ensefalopati hepatis.(1)

Gambar 3.2 Manifestasi klinis sirosis(11)


Gejala klinis berupa asites, pembesaran hepar, rasa gatal pada seluruh tubuh,
sclera ikterik, penurunan berat badan, anoreksia, nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas, fatique, respiratory distress, confusion.(11)

Gambar 3.3. Manifestasi hipertensi portal(12)


20

Gambar 3.4. Manifestasi kegagalan fungsi hati(13)


21

Gambar 3.5 Penyebab dan akibat dari hipertensi portal.(10)


Hipertensi portal merupakan suatu sindrom klinis yang sering terjadi. Bila
gradien tekanan portal (perbedaan tekanan antara vena porta dan vena cava
inferior) di atas 10-12 mmHg, maka komplikasi dapat terjadi. Tekanan normal
vena portal adalah 5-10 mmHg.(14) Peningkatan resistensi dapat terjadi di tiga
tingkatan relatif terhadap sinosoid hati yaitu prasinusoid, sinusoid, dan
pascasinusoid. Sumbatan pada kompartemen venosa prasinusoid secara anatomik
dapat terletak di luar hati (misalnya trombosis vena porta) atau di dalam hati itu
sendiri tetapi pada tingkatan fungsional proksimal terhadap sinosoid hati sehingga
parenkim hati tidak terkena oleh peningkatan tekanan vena (misalnya granuloma
22

pada skistosomiasis, hepatitis kronis, sirosis bilier primer, tuberkulosis leukemia


dll). Sumbatan pascasinusoid juga terjadi di luar hati setinggi vena hepatik pada
penyakit oklusi vena pada vena kecil dan venula dan obstruksi vena hepatika
besar (sindroma Budd-Chiari). Sumbatan sinusoid pada hepatitis akut, kerusakan
akibat alkohol (perlemakan hati, sirosis), toksin amiloidosis dan lain-lain. Jadi
pada sirosis hati yang mengalami komplikasi hipertensi portal, peningkatan
resistensi biasanya bersifat sinusoidal. Akibat dari resistensi ini adalah terjadinya
penurunan aliran keluar melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran masuk
yang mengakibatkan beban berlebihan pada sistem portal. Pembebanan berlebihan
pada sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kontralateral guna
menghindari obstruksi hepatik (varises). Aliran kontralateran ini sering
menyebabkan varises esofagus, perdarahan dari varises ini sering menimbulkan
kematian. Selain itu tekanan balik pada sistem portal juga menyebabkan
splenomegali dan asites.

Gambar 3.6 Patofisiologi varises esofagus


23

Gambar 3.5 Berbagai faktor yang berperan pada pembentukan asites.(15)


Gagalnya sel-sel hati dapat menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia
tanpa ikterus, dan seringkali ditemukan juga ikterus pada sirosis hati selama
perjalanan penyakit walaupun minimal. Gangguan endokrin sering terjadi pada
sirosis. Hormon korteks adrenal, testis dan ovarium dimetabolisme dan
diinaktifkan oleh hati yang normal. Angioma laba-laba (spider telangiektasis)
terlihat pada kulit, terutama disekitar leher, bahu dan dada. Angioma ini terdiri
atas arteriolasentral tempat memancarnya banyak pembuluh darah halus. Angioma
laba-laba, ginekomastia, atrofi testis, alopesia pada dada dan aksila serta eritema
palmaris (telapak tangan merah) semunya diduga disebabkan oleh kelebihan
estrogen dalam sirkulasi. Peningkatan pigmentasi kulit diduga akibat aktivitas
hormon perangsang melanosit (melanocyte-stimulating hormone, MSH) yang
bekerja secara berlebihan. Gangguan hematologik sering terjadi pada sirosis
adalah perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Penderita sering
mengalami perdarahan hidung, gusi dan mudah memar. Masa protrombin
memanjang, manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya pembentukan faktor-
faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leukopenia dan trombositopenia terjadi
akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar (splenomegali) tetapi juga
lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi. Edema perifer umumnya
terjadi setelah timbulnya asites, dan dapat dijelaskan sebagai akibat dari
hipoalbuminemi dan retensi garam dan air. Kegagalan sel hati untuk
24

menginaktifkan aldosteron dan hormon antidiuretik merupakan penyebab retensi


natrium dan air.
Jaundice dan kolestasis yaitu warna kuning pada kulit dan sklera (ikterus)
yang terjadi ketika bilirubin serum >2,0 mg/dl (normal <1,2 mg/dl). Peningkatan
bilirubin serum karena gangguan pada hati yang mempunyai fungsi
mengkonjugasi bilirubin. Sedangkan kolestasis adalah retensi sistemik dari bukan
saja bilirubin tetapi juga zat terlarut lain dalam empedu (garam empedu dan
kolesterol). Serum alkali fosfatase meningkat pada kondisi kolestasis. Sering
ditemukan bau apek manis (foetor hepatikum) yang terdeteksi dari napas penderita
terutama pada koma hepatikum yang diyakini terjadi akibat ketidakmampuan hati
dalam memetabolisme metionin. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita
sirosis hepatis adalah adanya gangguan neurologis yang palis serius pada sirosis
lanjut adalah ensefalopati hepatik (koma hepatikum), akibat kelainan metabolisme
amonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap toksin. Keadaan ini merupakan
keadaan terminal dari sirosis.(15)

3.1.7 Diagnosis(1)(15)
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (fungsi hati), USG, dan biopsi hati.
a) Anamnesis
Pada anamnesis yang harus ditanyakan adalah faktor risiko terjadinya
penyakit kronik pada hati yaitu riwayat hepatitis, konsumsi alkohol, diabetes
melitus, penggunaan obat-obatan, riwayat transfusi, riwayat sakit pada
keluarga termasuk inflamatory bowel disease, artritis reumatoid dan penyakit
tiroid. Review dari sistem yang harus ditanyakan adalah lemah atau lesu,
adanya bengkak pada ekstremitas bawah, demam, berat badan menurun,
meningkatnya lingkar perut dan sulit tidur ataupun riwayat gangguan
kesadaran (kemungkinan ensefalopati).
b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik fisik bila ditemukan beberapa kelainan seperti
spider angioma, sklera ikterik, jaundice, eritema palmaris, ginekomastia,
25

asites, ensefalopati dan asterixis (flapping tremor). Tanda hipertensi portal


yang merupakan salah satu komplikasi dan atau perkembangan dari sirosis
antara lain ensefalopati hepatik seperti perubahan kepribadian, gangguan
kecerdasan, penurunan kesadaran. Varises esofagus (hematemesis, melena),
splenomegali. Sedangkan manifestasi lain seperti periumbilical caput medusa,
atrofi testis, hemoroid, malnutrisi serta spider angioma juga sering ditemukan.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang paling banyak dilakukan untuk
mengevaluasi penyakit hati adalah tes fungsi hati yang meliputi
aminotransferase, alkalifosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin,
albumin dan waktu protrombin. Kelainan hematologi anemia, penyebabnya
bisa bermacam-macam anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer
atau hipokrom makrositer. Anemia dengan trombositopenia, leukopenia dan
neutropenia akibat splenomegali. Kongestif berkitan dengan hipertensi
portal sehingga terjadi terjadi hipersplenisme.
Tabel 3.2 Pemeriksaan laboratorium pada penyakit hati
26

Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis sirosis hati adalah biopsi hati
melalui perkutan trasjugular, laparoskopi atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi
tidak diperlukan bila secara klinis pemeriksaan laboratoris dan radiologi
menunjukan kecenderungan sirosis hati. Walaupun biopsi hati resikonya kecil
tetapi dapat berakibat fatal misalnya perdarahan dan kematian. Dapat dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi SH yang kurang sensitif
namun cukup spesifik bila penyebabnya jelas. Gambaran USG dapat dijumpai
pembesaran lobus caudatus, splenomegali dan vena hepatik dengangambaran
yang terputus-putus. Hati mengecil dan dijumpai splenomegali. Acites tampak
sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intraabdomen dengan dinding
abdomen. Selain itu dapat juga dilakukan gastroskopi untuk memeriksa adanya
varises di esofagus dan gaster pada pasien SH.

3.1.8 Penatalaksanaan(1)
Pengobatan sirosis biasanya tidak memuaskan. Tidak ada agen
farmakologik yang dapat menghentikan atau memperbaiki proses fibrosis.
Asites; Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasikan dengan
obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dosis 100-200 mg
sekali sehari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak
adekuat bisa dikombonasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari.
Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksimal
dosisnya 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran
asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Varises Gastroesofagus. Pecahnya varises esofagus (VE) mengakibatkan
perdarahan varises yang berakibat fatal. Varises ini terjadi sekitar 50% penderita
SH dan berhubungan dengan derajat keparahan SH. Pencegahan pada kejadian VE
adalah dengan pemberian obat golongan β blocker (propanolol) maupun ligasi
varises. Bila sudah terjadi perdarahan dalam keadaan akut, bisa dilakukan
resusitasi dengan cairan kristaloid/ koloid/ pengganti produk darah. Untuk
27

menghentikan perdarahan digunakan vasokonstriktor splanchnic, somastostatin


atau octreotide. Octreotide bisa diberikan dengan dosis 50-100 μg/h dengan infus
kontinyu, setelah itu dilakukan ligasi varises.
Peritonitis Bakterial Spontan. Peritonitis bakterial spontan (SPB)
merupakan komplikasi berat dan sering terjadi pada asites yang ditandai dengan
infeksi spontan cairan asites tanpa adanya fokus infeksi intraabdominal. Bakteri
penyebab tersering adalah Escheria coli namun bakteri gram positif seperti
Streptoccus viridians, staphylococcus amerius bisa ditemukan. Diagnosis SPB
ditegakan bila pada sampel cairan asites ditemukan angka sel netrofil > 250/mm3.
Untuk penanganan SBP diberikan antibiotik golongan sefalosporin generasi kedua
atau cefotaxim dengan dosis 2 gram intravena tiap 8 jam selama 5 hari.
Ensefalopati Hepatik. Mekanisme terjadinya ensefalopati hepatik adalah
akibat hiperamonia, terjadi penurunan hepatic uptake sebagai akibat intrahepatic
portal-systemic shunts dan atau penurunan sintesis urea dan glutamik.(16)
Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin bisa
digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia, diet protein
dikurangi sampai 0,5 gr/KgBB per hari, terutama diberikan pada yang kaya asam
amino.
Tabel 3.3 Tatalaksana sirosis hati dengan komplikasi.(1)
Komplikasi Terapi Dosis
Asites  Tirah baring
 Diet rendah garam  5,2 gram atau 90 mmol/hari.
 Obat diuretik : diawali  100-200 mg sekali sehari
dengan spironolakton, bila maksimal 400 mg.
respon tidak adekuat  20-40 mg/hari, maksimal 160
dikombinasi dengan mg/hari
furosemid.
 Parasintesis bila asites sangat  8 sampai 10 g IV per liter
besar hingga 4-6 liter dan cairan parasintesis (jika >5 L).
pemberian albumin.
 Restriksi cairan  Direkomendasikan jika
natrium serum <120-125
mmol/L.
Ensefalopati  Laktulosa  30-45 mL sirup oral 3-4
Hepatikum kali/hari atau 300 mL enema
sampai 2-4 kali BAB/hari dan
28

perbaikan status mental.

 Neomisin  4-12 g oral/hari dibagi tiap 6-8


jam, dapat ditambahkan pada
pasien yang refrakter
laktulosa.
Varises  Propanolol  40-80 mg oral 2kali/ hari
esofagus  Isosorbit mononitrat  20 mg oral 2 kali/hari
 Saat perdarahan akut
diberikan somatostatin atau
oktreitid diteruskan
skleroterapi atau ligasi
endoskopi.
Peritonitis  Pasien asites dengan jumlah
bakterial sel PMN >250/mm3
spontan mendapat profilaksis untuk
mencegah PBS dengan
Sefotaksim dan albumin.
 Albumin  2 gIV tiap 8 jam
 1,5 g/Kg Iv dalam 6 jam, 1 g
/kg Iv hari ke 3.
 Norfloksasin  400 mg oral 2 kali/hari untuk
terapi 400 mg oral 2 kali/hari
selama 7 hari untuk
perdarahan gastrointestinal,
400 mg oral/hari untuk dosis
profilaksis.
 Trimethoprim/  1 tablet oral/hari untuk
sulfametoxazole profilaksis, 1 tablet oral 2
kali/hari selama 7 hari untuk
perdarahan gastrointestinal.

3.1.9 Prognosis(1)
Sistem skoring yang sering digunakan adalah Child Turcotte Pugh (CTP)
dan Model end stage liver Disease (MELD) yang digunakan untuk evaluasi pasien
dengan rencana transplantasi hati.
29

Tabel 3.4 Klasifikasi Child Turcotte Pugh (CTP)


Nilai
Parameter 1 2 3
Ensefalopati Tidak ada Terkontrol dengan Kurang
terapi terkontrol
Asites Tidak ada Terkontrol dengan Kurang
terapi terkontrol
Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (g/L) >3,5 1,8-3,5 <2,8
INR <1,7 1,7-2,2 >2,2

Penderita sirosis hati dikelompokan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B (7-
9 poin) dan CTP-C (10-15 poin). Penderita sirosis hati dengan CTP kelas A
menunjukan penyakit hatinya terkompensasi baik, dengan angka kesintasan
sekitar 85-100%, CTP kelas B angka kesintasan sekitar 60-81%, sedangkan pada
kelas C sekitar 35-45%.(16) Pada pasien belum ditemukan adanya tanda-tanda
ensefalopati (1 poin), terdapat asites yang terkontrol dengan terapi (2 poin), hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan albumin 2,8 mg/dl (2 poin), walaupun hasil
pemeriksaan bilirubin tidak ada namun pada anamnesis didapatkan riwayat ikterik
pada sklera, telapak tangan dan telapak kaki, dimana pada pasien yang sudah
ikterik biasanya kadar bilirubin >2 g/L (2 poin) dan untuk INR belum diperiksa.
Untuk sementara pasien tergolong dalam CTP kelas B dengan jumlah poin adalah
7 poin, yang artinya kemungkinan hidup pada pasien pada tahun pertama dan
tahun kedua secara berturut-turut sekitar 81% dan 60%.

3.1.10 Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang utama adalah hipertensi portal, asites,
peritonitis bakterial spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorenal,
ensefalopati hepatikum dan kanker hati.
30

3.2 HEPATITIS B KRONIK


3.2.1 Definisi(17)
Hepatitis B kronik adalah adanya persistensi virus hepatitis B (VHB) lebih
dari 6 bulan (pemakaian istilah carrier sehat/ healty carrier tidak dianjurkan lagi).

3.2.2 Epidemiologi(17)
Prevalensi hepatitis B kronik di dunia menurut Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014, virus Hepatitis B telah
menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang di antaranya
menjadi pengidap Hepatitis B kronik.(5) Prevalensi hepatitis b kronik di Indonesia
menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi HBsAg adalah 7,2%,
dimana terjadi penurunan dari tahun 2007 yaitu sebanyak 9,4%. Diperkirakan 18
juta orang memiliki Hepatitis B dan 3 juta orang menderita Hepatitis C. Sekitar
50% dari orang-orang ini memiliki penyakit hati yang berpotensi kronis dan 10%
berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker hati. Angka-
angka ini menunjukkan bahwa 1.050.000 pasien memiliki potensi untuk menjadi
kanker hati. Untuk itu, surveilans Hepatitis B dan Hepatitis C telah dilakukan di
kalangan penduduk berisiko tinggi.(6)

3.2.3 Patofisiologi
Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap
HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik, sedangkan
hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi
infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang
berbeda, tergantung dari konsentrasi partikel VHB dan respons imun tubuh.
Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB, sangat besar
perannya dalam menentukan derujat keparahan hepatitis. Makin besar respons
imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya
bila tubuh toleran terhadap virus tersebut, maka tidak terjadi kerusakan hati.
Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik yaitu
fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance, dan fase
31

nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa
muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam
darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang
berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg
yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi dan
konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada
fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan, dan
terapi untuk menginduksi serokonversi HBeAg tersebut biasanya tidak efektif.
Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi
VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari
kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi
imun terhadap VHB. Fase ini disebut Fase imunoaktif atau immune clearance.
Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya
sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik
secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70%
dari individu tersebut akhimya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB
tanpa ada kerusakan sel hati yang berarli. Pada keadaan ini, titer HBsAg rendah
dengan HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif secara
spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai tegadinya fase
nonreplikatif atau fase residua. Sekitar 20-30 % pasien Hepatitis B Kronik
dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan.
Pada sebagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi serokonversi
HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan
karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang
berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual
replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa
angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan
pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi Hepatitis B
menjadi tenang justru risiko untuk terjadi karsinoma hepatoselular (KHS)
mungkin meningkat. Diduga integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati
merupakan proses yang penting dalam karsinogenesis. Karena itu, terapi anti virus
32

harus diberikan selama mungkin untuk mencegah sirosis tapi di samping itu juga
sedini mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang
dapat berkembang menjadi KHS.

3.2.4 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis Hepatitis B Kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus
tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya
normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali
atau tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema palmaris dan
spider nevi, serta pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan
konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya
didapatkan konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum
umumnya masih normal kecuali pada kasus-kasus yang parah.
Secara sederhana manifestasi klinis hepatitis B kronik dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Hepatitis B kronik yang masih aktif (hepatitis B kronik aktif). HBsAg
positif dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan
ALT yang menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-
tanda penyakit hati kronik. Pada biopsi hati didapatkan gambaran
peradangan yang aktif. Menurut status HBeAg pasien dikelompokkan
menjadi hepatitis B konik HBeAg positif dan hepatitis B kronik HBeAg
negatif.
2. Carrier VHB Inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini
HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 105
kopi/ml. Pasien menunjukkan kadar ALT normal dan tidak didapatkan
keluhan. Pada pemeriksaan histologik terdapat kelainan jaringan yang
rninimal. Sering sulit membedakan Hepatitis B Kronik HBe negative
dengan pasien carrier VHB inaktif karena pemeriksaan DNA kuantitatif
masih jarang dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu dilakukan
pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu yang cukup lama.
33

Pemeriksaan biopsi untuk pasien Hepatitis B Kronik sangat penting terutama


untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2x nilai normal
tertinggi atau lebih. Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti
dan untuk meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi
(respons histologik). Sejak lama diketahui bahwa pasien Hepatitis B Kronik
dengan peradangan hati yang aktif mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
progresi, tetapi gambaran histologik yang aktif juga dapat meramalkan
respons yang baik terhadap terapi imunomodulator atau antivirus.

3.2.5 Penatalaksanaan
Evaluasi Pre Terapi(18)
Evaluasi menyeluruh dan konseling adalah wajib sebelum merencanakan
terapi hepatitis B kronik. Langkah-langkah evaluasi pre-terapi pada infeksi
hepatitis B kronik bertujuan untuk: (i) menemukan hubungan kausal infeksi
kronik VHB dengan penyakit hati, (ii) melakukan penilaian derajat kerusakan sel
hati, (iii) menemukan adanya penyakit komorbid atau koinfeksi dan (iv)
menentukan waktu dimulainya terapi.
1. Hubungan kausal penyakit hati dengan infeksi kronik VHB dijelaskan
pada tabel berikut.
Tabel 3.3 Kriteria Diagnosis Infeksi VHB
34

2. Penilaian derajat kerusakan hati dilakukan dengan pemeriksaan penanda


biokimia antara lain: ALT, GGT, alkali fosfatase, bilirubin, albumin dan
globulin serum, darah lengkap, PT, dan USG hati. Pada umumnya, ALT
akan lebih tinggi dari AST, namun seiring dengan progresifitas penyakit
menuju sirosis, rasio ini akan terbalik. Bila sirosis telah terbentuk, maka
akan tampak penurunan progresif dari albumin, peningkatan globulin dan
pemanjangan waktu protrombin yang disertai dengan penurunan jumlah
trombosit.
3. Penyebab penyakit hati lain harus dievaluasi, termasuk diantaranya
kemungkinan ko-infeksi dengan VHC dan/atau HIV. Penyakit komorbid
lain seperti penyakit hati metabolik, autoimun, serta alkoholik dengan atau
tanpa steatosis/steatohepatitis juga perlu dievaluasi.
4. Indikasi terapi pada infeksi VHB kronik ditentukan oleh nilai DNA VHB,
ALT serum dan gambaran histologis hati.
Indikasi Terapi
Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi
dari empat kriteria, antara lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) status HBeAg, (3)
nilai ALT dan (4) gambaran histologis hati.
Indikasi terapi pada pasien Hepatitis B kronik dengan HBeAg positif
adalah pada pasien dengan DNA VHB > 2 x 104 IU/mL dan ALT > 2x batas atas
normal. Pada pasien dengan HBeAg negatif, terapi dimulai pada pasien dengan
DNA VHB > 2 x 103 IU/mL dan ALT > 2x batas atas normal.
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu:
1. Kelompok lmunomodulasi
a. Interfefon
b. Timosin alfa I
c. Vaksinasi Terapi
2. KelompokTerapi Antivirus
a. Lamivudin
b. Adefovir Dipivoksil
35

Gambar 3.6 Algoritma Penatalaksanaan Hep B HBeAg (+)


36

Gambar 3.7 Algoritma Penatalaksanaan Hep B HBeAg (-)

Gambar 3.8 Algoritma Penatalaksanaan Hep B dengan Sirosis

3.1.8 Pencegahan(18)
Imunisasi
Vaksin ini dapat diberikan 3 dosis terpisah, yaitu 0, 1 dan 6 bulan. Perlu dicatat
bahwa panduan imunisasi yang berlaku di Indonesia menyarankan pemberian
37

vaksin pada saat bayi lahir, pada bulan ke-2, bulan ke-4, dan bulan ke-6.
Keberhasilan vaksinasi dinilai dari terdeteksinya anti-HBs di serum pasien setelah
pemberian imunisasi hepatitis B lengkap (3-4 kali).
Pencegahan Umum
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan lewat kontak dengan cairan tubuh
pasien, seperti darah dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, cairan
peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina, dan cairan tubuh
lainnya. Maka pencegahan umum infeksi hepatitis B dicapai dengan menghindari
kontak langsung degan cairan tubuh pasien. Hal ini dapat dicapai dengan
menerapkan pencegahan universal yang baik dan dengan melakukan penapisan
pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti
menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh pasien,
penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat dengan cara yang
benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum
menangani pasien dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga
medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular hepatitis B. Selain itu,
penapisan dan konseling pada kelompok risiko tinggi sebaiknya dilakukan.
Individu yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup individu yang
terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien cacat mental,
pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da IX, orang yang berumah
tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B, homoseksual/biseksual
aktif, individu yang tingal di daerah endemis hepatitis B, individu yang
mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan partner seksual
multipel, penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari
ibu dengan hepatitis B kronik.
Pencegahan Khusus Pasca Pajanan
Bagi orang yang tidak divaksinasi dan terpajan dengan hepatitis B, pencegahan
paska pajanan berupa kombinasi HBIg (untuk mencapai kadar anti-HBs yang
tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin hepatitis B (untuk kekebalan jangka
panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan. Pada pasien yang terpajan
secara perkutan maupun seksual, status HBsAg dan anti-HBs sumber pajanan dan
38

orang yang terpajan harus diperiksa. Apabila orang yang terapajan terbukti
memiliki kekebalan terhadap hepatitis B atau sumber pajanan terbukti HBsAg
negatif, pemberian profilaksis paska pajanan tidak diperlukan. Apabila sumber
pajanan terbukti memiliki status HBsAg positif dan orang yang terpajan tidak
memiliki kekebalan, maka pemberian HBIg harus silakukan segera dengan dosis
0.06 mL/kg berat badan dan diikuti vaksinasi. Apabila status HBsAg sumber
pajanan tidak diketahui, maka harus dianggap bahwa status HBsAg sumber
pajanan adalah positif. Pada pasien yang divaksinasi atau mendapat HBIg, HBsAg
dan Anti-HBs sebaiknya diperiksa 2 bulan setelah pajanan.
Konseling
Konseling dan edukasi berperan penting dalam pencegahan dan penanganan
hepatitis B. Seperti telah disebutkan di atas, keberhasilan terapi hepatitis B akan
menurunkan risiko mortalitas dan morbiditas. Selain itu, keberhasilan terapi ni
juga dipengaruhi kepatuhan minum obat pasien. Maka pada setiap pasien hepatitis
B, konseling berikut harus diberikan:
• Pasien harus menghindari alkohol sama sekali dan mengurangi makanan yang
memiliki kemungkinan bersifat hepatotoksik.
• Pasien harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu, suplemen, atau obat yang
dijual bebas.
• Pasien harus memberitahukan status hepatitis B-nya apabila berobat ke dokter
untuk menghindari pemberian terapi yang bersifat hepatotoksik dan terapi
imunosupresi.
• Pasien yang berusia di atas 40 tahun harus menjalani pemeriksaan USG dan AFP
setiap 6 bulan sekali untuk deteksi dini kanker hati.
• Perlu dilakukan vaksinasi pada pasangan seksual.
• Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual dengan pasangan
yang belum divaksinasi.
• Pasien tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur.
• Perlunya menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang lain
• Pasien tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma.
39

Selain kepada pasien konseling juga harus diberikan pada orang-orang yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Pada kelompok ini, konseling berikut
harus diberikan:
• Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit,
gejala umum, terapi, dan komplikasi hepatitis B.
• Cara-cara pencegahan umum infeksi hepatitis B dengan mencegah kontak
dengan cairan tubuh pasien.
• Pengetahuan tentang cara memeriksakan diri untuk status hepatitis B dan
kemungkinan terapi serta jaminan yang ada.
• Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita hepatitis B.
• Konseling untuk meninggalkan gaya hidup berisiko tinggi bila memungkinkan
dan menggunakan prinsip pencegahan penularan yang baik bila gaya hidup
tersebut tidak bisa ditinggalkan.
40

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam - Sirosis Hepatis. 6th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. 668-673 p.
2. Lovena A, Miro S, Padang MD. Artikel Penelitian Karakteristik Pasien
Sirosis Hepatis di RSUP Dr . M . Djamil Padang. 2017;100(1):5–12.
3. CDC. Prevalence of Liver Cirrhosis 2016. National Centre for Health
Statistics. 2016. p. 1.
4. Sirosis Hati [Internet]. Indonesian Association for The Study of The Liver.
2013 [cited 2018 Mar 7]. p. 1. Available from: http://pphi-
online.org/alpha/?p=570
5. Presiden Republik Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta; 2014.
6. Sebagian Besar Kematian Akibat Hepatitis Virus Berhubungan dengan
Hepatitis B dan C Kronis [Internet]. Kementerian Kesehatan RI. 2016
[cited 2018 Mar 7]. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/view/16042700001/sebagian-besar-
kematian-akibat-hepatitis-virus-berhubungan-dengan-hepatitis-b-dan-c-
kronis.html
7. Ayuningtyas I. Karsinoma Hepatoseluler. 2014;8–35. Available from:
eprints.undip.ac.id/44757/3/bab_2.pdf
8. Saskara P, Suryadarma I. Laporan Kasus : Sirosis Hepatis. 2013;1–20.
9. Budihusodo U. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam - Karsinoma Hati. 6th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. 685-691 p.
10. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Resmisari T,
Liena, editors. Jakarta: EGC; 2012.
11. Manaf A. Liver Cirrhosis [Internet]. Medical Practitioners. 2015 [cited
2018 Mar 9]. Available from: http://www.medpractitioners.com/liver-
cirrhosis/
12. Mechanisms of disturbed liver function related to portal hypertension
[Internet]. 2017 [cited 2018 Mar 9]. Available from:
41

http://intranet.tdmu.edu.ua/data/kafedra/internal/klinpat/classes_stud/en/me
d/lik/ptn/Clinical pathophysiology/6/03.Clinical pathophysiology of
kidney.htm
13. Alterations in liver function and manifestations of liver failure. 2017.
14. Ali Nawaz Khan. Portal Hypertension [Internet]. Medicine Scape. 2017
[cited 2018 Mar 9]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/372708-overview
15. Podolsky D k., Isselbacher K j. Penyakit Hati Dengan Alkohol dan Sirosis.
In: Isselbacher K j, Braunwald E, Wilson J d., Martin J b., Fauchi A s.,
Kasper D l., editors. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. 13th
ed. Jakarta: EGC; 2000.
16. Nurdjanah S. Sirosis Hati. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. p. 1980–5.
17. Soemoharjo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam - Hepatitis B Kronik. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. 653-661 p.
18. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Pelaksanaan
Hepatitis B. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia; 2012. 5-25 p.

Anda mungkin juga menyukai