BAB 1
PENDAHULUAN
50% dari orang-orang ini memiliki penyakit hati yang berpotensi kronis dan 10%
berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker hati. Angka-
angka ini menunjukkan bahwa 1.050.000 pasien memiliki potensi untuk menjadi
kanker hati. Untuk itu, surveilans Hepatitis B dan Hepatitis C telah dilakukan di
kalangan penduduk berisiko tinggi.(6)
3
BAB 2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. AB
Usia/Jenis kelamin : 41 tahun/ Perempuan
Tempat/tgl lahir : Oetefu Kecil, 28 Maret 1976
MRS melalui : IGD
Rawat IGD : 28 Februari 2018 jam 20.38 WITA
Rawat diruang : Anggrek (E4) tanggal 01 Maret 2018 jam 17.00
No.MR : 38-93-64
Suku : Timor
Agama : Kristen Protestan
Status pernikahan : Menikah (3 orang anak, 2 anak angkat dan 1 anak
kandung)
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Alamat : Oebelo
pasien dia tidak ada selera makan dan minum, pasien berpikir dengan
makan dan minum membuat perutnya semakin membesar.
Pasien mengeluhan perut yang semakin hari semakin membesar sejak
tahun 2011, perut yang membesar sempat turun namun nanti secara
perlahan membesar kembali. Kejadian perut yang semakin hari semakin
membesar awalnya setelah pasien melahirkan anak pertamanya secara
section secarea. Sempat dirawat sebulan di rumah sakit dan kemudian
perlahan menurun namun setelah itu lama kelamaan semakin hari semakin
membesar kembali.
Pasien juga saat itu mengeluhkan sulit untuk bernapas, muncul tiba – tiba
dan dialami terus menerus. Sulit bernapas yang dirasakan pasien terutama
saat perutnya semakin membesar dan kencang, kemudian kemudian
memberat saat pasien tidur terlentang atau saat ia makan terlalu banyak.
Sulit bernapas berkurang dengan pasien tidur miring baik ke kiri ataupun
ke kanan. Perut yang kenyang dan membesar ini sering sekali membuat
pasien tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bersamaan dengan perut yang
membesar dan kencang, pasien sesekali merasakan pinggangnya nyeri
yang muncul tiba – tiba lamanya nyeri tidak menentu sekitar setengah jam
sampai satu jam, nyeri yang dirasakan seperti ingin BAB, nyeri punggung
tersebut yang dirasakan baik saat posisi duduk maupun berdiri dan
terutama saat sedang beraktivitas. Saat sudah nyeri pasien hanya bisa
tertidur di tempat tidur dan bertahan menunggu hingga nyerinya hilang
sendiri. Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan berat badan yang
mulanya berkisar 55 – 60 kg dan sekarang semenjak sering MRS berat
badannya berkisar antara 40 – 45 kg saja.
Pasien juga mengakui semenjak perutnya membesar tahun 2011 pasien
makan dan minumnya sedikit – sedikit. Sekali makan hanya mampu
menghabiskan setengah atau seperempat porsi saja dari kebiasaan
makannya sehari –hari, pasien sering merasakan jika ia makan makanan
yang terlalu banyak minyak atau berlemak (seperti daging babi) ia
merasakan perutnya akan membesar. Minum sehari hanya 4-5 gelas
5
dengan ukuran gelas mok sedang, sesekali baru pasien minum dengan
ukuran gelas besar seukuran gelas belimbing. Pasien mengaku kencing
pada akhir – akhir ini berkurang dan berwarna lebih gelap dari biasanya
kadang sangat pekat seperti teh, kencing 3-4x/sehari, BAB 1-2x/sehari
namun sedikit – sedikit dan kadang terasa keras, berwarna kuning, namun
saat masuk di RST sempat BAB berwarna hitam satu kali dan setelah itu
tidak lagi. Mual – muntah (-), nyeri kepala (-), pusing (-), perdarahan gusi
(-) dan mimisan (-)
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku memiliki kebiasaan makan sirih pinang dan tembakau
sejak kecil, makan makanan yang berminyak (seperti daging babi),
seminggu rata – rata 2-3 x, terutama ketika ada pesta di kampung.
Merokok (-), alkohol (-)
h. Lingkungan
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya 3 orang, rumah pasien
berdinding tembok, beratap seng dan berlantai keramik, memiliki 3 kamar
tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga , 1 dapur dan 1 gudang penyimpanan
hasil panen, 1 kamar mandi dan wc yang digabung.
7
i. Riwayat gizi
Pasien sejak muda sering makan makanan yang berminyak dan goreng –
goreng.
j. Review sistem
Kepala : nyeri kepala (-), pusing (-)
Kulit : pucat (+), kuning (+)
Mata : mata kabur (-)
Telinga : rasa penuh di telinga (-/-), tidak ada cairan dari telinga (-/-)
Hidung : pilek (-), hidung gatal (-), bersin (-)
Mulut : nyeri menelan (-), sariawan (-), bercak putih di lidah (-), nafas
berbau aneh (-)
Tenggorokan : suara serak (-), sulit menelan (-)
Leher : benjolan (-), nyeri spontan (-), nyeri perabaan (-), nyeri tekan (-),
tanda-tanda peradangan (-), pembesaran pada leher (-) dan tampak
kelainan lain
Jantung : jantung berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
Paru : sesak nafas (-), sulit bernafas (-).
Gastrointestinal : cepat kenyang (-) mual (-), muntah (-), nyeri uluhati (+) ,
BAB berwarna kehitaman dan seperti kotoran kambing (-)
Ginjal-Saluran Kemih : BAK dirasakan berkurang, warna kuning keruh
sampai pekat seperti teh, tidak ada darah ataupun urine berpasir.
Neurologis : tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada tanda defisit
neurologis
Endokrin : tidak diketahui adanya riwayat gangguan hormonal
sebelumnya, DM (-)
Muskuloskeletal : tidak ada kelainan
Ekstremitas : bengkak pada kaki (+) minimal, tidak ditemukan kelainan
pada kuku, tidak adanya gerakan tangan sendiri
III. PEMERIKSAAN FISIK (Rabu tanggal 07 Maret 2018)
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
8
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat di ICS 5 linea
midclavicula sinistra.
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba di ICS 5 linea
midclavicula sinistra.
Perkusi Batas Jantung
Atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra.
Bawah : ICS 5 linea midclavicula sinistra.
Kiri : ICS 5 linea midclavicula sinistra.
Kanan : ICS 4 line parasternalis dextra.
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak cembung, striae (+),
penonjolan (+) pada region umbilikalis,
venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 6x/menit.
10
V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Chonic Liver Disease
Diagnosis sekunder : Anemia, Hiponatremia, Hipokalemia,
Hipoalbuminemia berat, Asites
13
VI. PENATALAKSANAAN
IVFD NaCl 500cc + KCL 25 meg/24 jam
Furosemide syringe pump 60 mg(3 ampul)/24 jam
Ciprofloksasin 2x200 mg iv
Spironolacton 100 mg-500 mg-0
Aspak K tablet 1x1
Ranitidine 2x1 ampul iv
Propanolol 2x10 mg
Sukralfat tablet 3x1
Koreksi albumin dalam bentuk cocktail albumin+kcl 25
mg+furosemide 20 mg 1x1
Balance cairan 24 jam
VII. DOKUMENTASI
14
15
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Menurut National Centre for Health Statistics tahun 2016 prevalensi sirosis
hepatis di dunia adalah sebesar 1.6% atau sejumlah 3.9 juta orang. Sedangkan
angka kematian di dunia adalah sejumlah 40.326 orang dengan perbandingan 12.5
per 100.000 populasi.(3) Menurut Indonesian Association for The Study of The
Liver tahun 2013, rata-rata prevalensi sirosis hati adalah 3,5% dari seluruh pasien
yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam rumah sakit umum pemerintah di
16
Indonesia, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.
Perbandingan pada pria dan wanita adalah 2,1:1 dengan usia rata-rata 44 tahun.(4)
3.1.3 Etiologi
Penyebab sirosis hepatis disajikan dalam tabel 3.1. Di negara barat
penyebab tersering akibat alkoholik dan hepatitis C, sedangkan di Indonesia
terutama akibat infeksi virus hepatitis B (40-50%) dan hepatitis C (30-40%).(8)
Penyebab HCC adalah akibat virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV),
alkohol, obesitas, diabetes melitus (DM), penyakit sirosis hati (SH), atau akibat
kondisi lain yang merupakan faktor risiko HCC namun jarang ditemukan, antara
lain: 1) Penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun), 2) Penyakit hati metabolik,
3) Senyawa kimia.(9)
3.1.4 Klasifikasi(1)
Klasifikasi berbagai jenis sirosis yang hanya didasarkan pada etiologi atau
morfologi tidaklah memuaskan. Suatu pola patologik dapat disebabkan oleh
berbagai cedera/ etiologi, sementara cedera yang sama dapat menimbulkan
beberapa pola morfologik. Bagaimanapun juga, sebagian besar jenis sirosis dapat
diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi:
1) Alkoholik
2) Kriptogenik dan pascavirus atau pascanecrosis
3) Biliaris
4) Kardiak
5) Metabolik, keturunan dan terkait obat-obat, lain-lain
3.1.5 Patogenesis
Penyebab tersering sirosis di Indonesia adalah infeksi virus Hepatitis B (40-
50%).(8) Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cedera kronik-reversibel pada
parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cedera
fibrosis), pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul.
Hal ini sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang
retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular
mengakibatkan terbentuknya vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati
aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika) dan regenerasi
nodular parenkim hati sisanya.(1)
Faktor yang terlibat dalam kerusakan sel hati adalah:
18
3.1.7 Diagnosis(1)(15)
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (fungsi hati), USG, dan biopsi hati.
a) Anamnesis
Pada anamnesis yang harus ditanyakan adalah faktor risiko terjadinya
penyakit kronik pada hati yaitu riwayat hepatitis, konsumsi alkohol, diabetes
melitus, penggunaan obat-obatan, riwayat transfusi, riwayat sakit pada
keluarga termasuk inflamatory bowel disease, artritis reumatoid dan penyakit
tiroid. Review dari sistem yang harus ditanyakan adalah lemah atau lesu,
adanya bengkak pada ekstremitas bawah, demam, berat badan menurun,
meningkatnya lingkar perut dan sulit tidur ataupun riwayat gangguan
kesadaran (kemungkinan ensefalopati).
b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik fisik bila ditemukan beberapa kelainan seperti
spider angioma, sklera ikterik, jaundice, eritema palmaris, ginekomastia,
25
Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis sirosis hati adalah biopsi hati
melalui perkutan trasjugular, laparoskopi atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi
tidak diperlukan bila secara klinis pemeriksaan laboratoris dan radiologi
menunjukan kecenderungan sirosis hati. Walaupun biopsi hati resikonya kecil
tetapi dapat berakibat fatal misalnya perdarahan dan kematian. Dapat dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi SH yang kurang sensitif
namun cukup spesifik bila penyebabnya jelas. Gambaran USG dapat dijumpai
pembesaran lobus caudatus, splenomegali dan vena hepatik dengangambaran
yang terputus-putus. Hati mengecil dan dijumpai splenomegali. Acites tampak
sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intraabdomen dengan dinding
abdomen. Selain itu dapat juga dilakukan gastroskopi untuk memeriksa adanya
varises di esofagus dan gaster pada pasien SH.
3.1.8 Penatalaksanaan(1)
Pengobatan sirosis biasanya tidak memuaskan. Tidak ada agen
farmakologik yang dapat menghentikan atau memperbaiki proses fibrosis.
Asites; Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasikan dengan
obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dosis 100-200 mg
sekali sehari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak
adekuat bisa dikombonasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari.
Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksimal
dosisnya 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran
asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Varises Gastroesofagus. Pecahnya varises esofagus (VE) mengakibatkan
perdarahan varises yang berakibat fatal. Varises ini terjadi sekitar 50% penderita
SH dan berhubungan dengan derajat keparahan SH. Pencegahan pada kejadian VE
adalah dengan pemberian obat golongan β blocker (propanolol) maupun ligasi
varises. Bila sudah terjadi perdarahan dalam keadaan akut, bisa dilakukan
resusitasi dengan cairan kristaloid/ koloid/ pengganti produk darah. Untuk
27
3.1.9 Prognosis(1)
Sistem skoring yang sering digunakan adalah Child Turcotte Pugh (CTP)
dan Model end stage liver Disease (MELD) yang digunakan untuk evaluasi pasien
dengan rencana transplantasi hati.
29
Penderita sirosis hati dikelompokan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B (7-
9 poin) dan CTP-C (10-15 poin). Penderita sirosis hati dengan CTP kelas A
menunjukan penyakit hatinya terkompensasi baik, dengan angka kesintasan
sekitar 85-100%, CTP kelas B angka kesintasan sekitar 60-81%, sedangkan pada
kelas C sekitar 35-45%.(16) Pada pasien belum ditemukan adanya tanda-tanda
ensefalopati (1 poin), terdapat asites yang terkontrol dengan terapi (2 poin), hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan albumin 2,8 mg/dl (2 poin), walaupun hasil
pemeriksaan bilirubin tidak ada namun pada anamnesis didapatkan riwayat ikterik
pada sklera, telapak tangan dan telapak kaki, dimana pada pasien yang sudah
ikterik biasanya kadar bilirubin >2 g/L (2 poin) dan untuk INR belum diperiksa.
Untuk sementara pasien tergolong dalam CTP kelas B dengan jumlah poin adalah
7 poin, yang artinya kemungkinan hidup pada pasien pada tahun pertama dan
tahun kedua secara berturut-turut sekitar 81% dan 60%.
3.1.10 Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang utama adalah hipertensi portal, asites,
peritonitis bakterial spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorenal,
ensefalopati hepatikum dan kanker hati.
30
3.2.2 Epidemiologi(17)
Prevalensi hepatitis B kronik di dunia menurut Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014, virus Hepatitis B telah
menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang di antaranya
menjadi pengidap Hepatitis B kronik.(5) Prevalensi hepatitis b kronik di Indonesia
menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi HBsAg adalah 7,2%,
dimana terjadi penurunan dari tahun 2007 yaitu sebanyak 9,4%. Diperkirakan 18
juta orang memiliki Hepatitis B dan 3 juta orang menderita Hepatitis C. Sekitar
50% dari orang-orang ini memiliki penyakit hati yang berpotensi kronis dan 10%
berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker hati. Angka-
angka ini menunjukkan bahwa 1.050.000 pasien memiliki potensi untuk menjadi
kanker hati. Untuk itu, surveilans Hepatitis B dan Hepatitis C telah dilakukan di
kalangan penduduk berisiko tinggi.(6)
3.2.3 Patofisiologi
Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap
HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik, sedangkan
hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi
infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang
berbeda, tergantung dari konsentrasi partikel VHB dan respons imun tubuh.
Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB, sangat besar
perannya dalam menentukan derujat keparahan hepatitis. Makin besar respons
imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya
bila tubuh toleran terhadap virus tersebut, maka tidak terjadi kerusakan hati.
Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik yaitu
fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance, dan fase
31
nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa
muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam
darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang
berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg
yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi dan
konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada
fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan, dan
terapi untuk menginduksi serokonversi HBeAg tersebut biasanya tidak efektif.
Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi
VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari
kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi
imun terhadap VHB. Fase ini disebut Fase imunoaktif atau immune clearance.
Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya
sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik
secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70%
dari individu tersebut akhimya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB
tanpa ada kerusakan sel hati yang berarli. Pada keadaan ini, titer HBsAg rendah
dengan HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif secara
spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai tegadinya fase
nonreplikatif atau fase residua. Sekitar 20-30 % pasien Hepatitis B Kronik
dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan.
Pada sebagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi serokonversi
HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan
karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang
berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual
replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa
angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan
pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi Hepatitis B
menjadi tenang justru risiko untuk terjadi karsinoma hepatoselular (KHS)
mungkin meningkat. Diduga integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati
merupakan proses yang penting dalam karsinogenesis. Karena itu, terapi anti virus
32
harus diberikan selama mungkin untuk mencegah sirosis tapi di samping itu juga
sedini mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang
dapat berkembang menjadi KHS.
3.2.5 Penatalaksanaan
Evaluasi Pre Terapi(18)
Evaluasi menyeluruh dan konseling adalah wajib sebelum merencanakan
terapi hepatitis B kronik. Langkah-langkah evaluasi pre-terapi pada infeksi
hepatitis B kronik bertujuan untuk: (i) menemukan hubungan kausal infeksi
kronik VHB dengan penyakit hati, (ii) melakukan penilaian derajat kerusakan sel
hati, (iii) menemukan adanya penyakit komorbid atau koinfeksi dan (iv)
menentukan waktu dimulainya terapi.
1. Hubungan kausal penyakit hati dengan infeksi kronik VHB dijelaskan
pada tabel berikut.
Tabel 3.3 Kriteria Diagnosis Infeksi VHB
34
3.1.8 Pencegahan(18)
Imunisasi
Vaksin ini dapat diberikan 3 dosis terpisah, yaitu 0, 1 dan 6 bulan. Perlu dicatat
bahwa panduan imunisasi yang berlaku di Indonesia menyarankan pemberian
37
vaksin pada saat bayi lahir, pada bulan ke-2, bulan ke-4, dan bulan ke-6.
Keberhasilan vaksinasi dinilai dari terdeteksinya anti-HBs di serum pasien setelah
pemberian imunisasi hepatitis B lengkap (3-4 kali).
Pencegahan Umum
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan lewat kontak dengan cairan tubuh
pasien, seperti darah dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, cairan
peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina, dan cairan tubuh
lainnya. Maka pencegahan umum infeksi hepatitis B dicapai dengan menghindari
kontak langsung degan cairan tubuh pasien. Hal ini dapat dicapai dengan
menerapkan pencegahan universal yang baik dan dengan melakukan penapisan
pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti
menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh pasien,
penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat dengan cara yang
benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum
menangani pasien dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga
medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular hepatitis B. Selain itu,
penapisan dan konseling pada kelompok risiko tinggi sebaiknya dilakukan.
Individu yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup individu yang
terpapar produk darah pada kerjanya, staf di fasilitas untuk pasien cacat mental,
pasien hemodialisis, pasien penerima konsentrat VIII da IX, orang yang berumah
tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B, homoseksual/biseksual
aktif, individu yang tingal di daerah endemis hepatitis B, individu yang
mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan partner seksual
multipel, penyalah guna obat injeksi, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari
ibu dengan hepatitis B kronik.
Pencegahan Khusus Pasca Pajanan
Bagi orang yang tidak divaksinasi dan terpajan dengan hepatitis B, pencegahan
paska pajanan berupa kombinasi HBIg (untuk mencapai kadar anti-HBs yang
tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin hepatitis B (untuk kekebalan jangka
panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan. Pada pasien yang terpajan
secara perkutan maupun seksual, status HBsAg dan anti-HBs sumber pajanan dan
38
orang yang terpajan harus diperiksa. Apabila orang yang terapajan terbukti
memiliki kekebalan terhadap hepatitis B atau sumber pajanan terbukti HBsAg
negatif, pemberian profilaksis paska pajanan tidak diperlukan. Apabila sumber
pajanan terbukti memiliki status HBsAg positif dan orang yang terpajan tidak
memiliki kekebalan, maka pemberian HBIg harus silakukan segera dengan dosis
0.06 mL/kg berat badan dan diikuti vaksinasi. Apabila status HBsAg sumber
pajanan tidak diketahui, maka harus dianggap bahwa status HBsAg sumber
pajanan adalah positif. Pada pasien yang divaksinasi atau mendapat HBIg, HBsAg
dan Anti-HBs sebaiknya diperiksa 2 bulan setelah pajanan.
Konseling
Konseling dan edukasi berperan penting dalam pencegahan dan penanganan
hepatitis B. Seperti telah disebutkan di atas, keberhasilan terapi hepatitis B akan
menurunkan risiko mortalitas dan morbiditas. Selain itu, keberhasilan terapi ni
juga dipengaruhi kepatuhan minum obat pasien. Maka pada setiap pasien hepatitis
B, konseling berikut harus diberikan:
• Pasien harus menghindari alkohol sama sekali dan mengurangi makanan yang
memiliki kemungkinan bersifat hepatotoksik.
• Pasien harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu, suplemen, atau obat yang
dijual bebas.
• Pasien harus memberitahukan status hepatitis B-nya apabila berobat ke dokter
untuk menghindari pemberian terapi yang bersifat hepatotoksik dan terapi
imunosupresi.
• Pasien yang berusia di atas 40 tahun harus menjalani pemeriksaan USG dan AFP
setiap 6 bulan sekali untuk deteksi dini kanker hati.
• Perlu dilakukan vaksinasi pada pasangan seksual.
• Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual dengan pasangan
yang belum divaksinasi.
• Pasien tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur.
• Perlunya menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang lain
• Pasien tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma.
39
Selain kepada pasien konseling juga harus diberikan pada orang-orang yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Pada kelompok ini, konseling berikut
harus diberikan:
• Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit,
gejala umum, terapi, dan komplikasi hepatitis B.
• Cara-cara pencegahan umum infeksi hepatitis B dengan mencegah kontak
dengan cairan tubuh pasien.
• Pengetahuan tentang cara memeriksakan diri untuk status hepatitis B dan
kemungkinan terapi serta jaminan yang ada.
• Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita hepatitis B.
• Konseling untuk meninggalkan gaya hidup berisiko tinggi bila memungkinkan
dan menggunakan prinsip pencegahan penularan yang baik bila gaya hidup
tersebut tidak bisa ditinggalkan.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam - Sirosis Hepatis. 6th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. 668-673 p.
2. Lovena A, Miro S, Padang MD. Artikel Penelitian Karakteristik Pasien
Sirosis Hepatis di RSUP Dr . M . Djamil Padang. 2017;100(1):5–12.
3. CDC. Prevalence of Liver Cirrhosis 2016. National Centre for Health
Statistics. 2016. p. 1.
4. Sirosis Hati [Internet]. Indonesian Association for The Study of The Liver.
2013 [cited 2018 Mar 7]. p. 1. Available from: http://pphi-
online.org/alpha/?p=570
5. Presiden Republik Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta; 2014.
6. Sebagian Besar Kematian Akibat Hepatitis Virus Berhubungan dengan
Hepatitis B dan C Kronis [Internet]. Kementerian Kesehatan RI. 2016
[cited 2018 Mar 7]. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/view/16042700001/sebagian-besar-
kematian-akibat-hepatitis-virus-berhubungan-dengan-hepatitis-b-dan-c-
kronis.html
7. Ayuningtyas I. Karsinoma Hepatoseluler. 2014;8–35. Available from:
eprints.undip.ac.id/44757/3/bab_2.pdf
8. Saskara P, Suryadarma I. Laporan Kasus : Sirosis Hepatis. 2013;1–20.
9. Budihusodo U. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam - Karsinoma Hati. 6th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. 685-691 p.
10. Silbernagl S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Resmisari T,
Liena, editors. Jakarta: EGC; 2012.
11. Manaf A. Liver Cirrhosis [Internet]. Medical Practitioners. 2015 [cited
2018 Mar 9]. Available from: http://www.medpractitioners.com/liver-
cirrhosis/
12. Mechanisms of disturbed liver function related to portal hypertension
[Internet]. 2017 [cited 2018 Mar 9]. Available from:
41
http://intranet.tdmu.edu.ua/data/kafedra/internal/klinpat/classes_stud/en/me
d/lik/ptn/Clinical pathophysiology/6/03.Clinical pathophysiology of
kidney.htm
13. Alterations in liver function and manifestations of liver failure. 2017.
14. Ali Nawaz Khan. Portal Hypertension [Internet]. Medicine Scape. 2017
[cited 2018 Mar 9]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/372708-overview
15. Podolsky D k., Isselbacher K j. Penyakit Hati Dengan Alkohol dan Sirosis.
In: Isselbacher K j, Braunwald E, Wilson J d., Martin J b., Fauchi A s.,
Kasper D l., editors. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. 13th
ed. Jakarta: EGC; 2000.
16. Nurdjanah S. Sirosis Hati. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. p. 1980–5.
17. Soemoharjo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam - Hepatitis B Kronik. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. 653-661 p.
18. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Pelaksanaan
Hepatitis B. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia; 2012. 5-25 p.