PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah
daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database yang
seharusnya menjadi acuan guna dijadikan pola dalam menganalisa upaya pencegahan
dan Lahan, 2013). Hal tersebut dimaknai sebagai salah satu kapabilitas yang
pekerjaan mereka serta beragam pencegahan yang efektif dibantu track record
semakin jelas dan baik Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau selama ini tidak
luput dari perhatian nasional maupun negara tetangga, terhadap kasus kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi yang menimbulkan dampak kabut asap, yang asapnya
isu keamanan lingkungan bersifat lintas batas, serta dampak asap sampai pada
provinsi tetangga (Kepulauan Riau, Sumatera Barat serta Jambi), hal ini disebabkan
1
Frekuensi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau hampir setiap tahun,
jelas meresahkan masyarakat karena beragam kerugian dampak dari kabut asap, dari
sisi pemerintahan pada tingkat daerah sudah dalam dua tahun terakhir menyatakan
darurat kabut asap dan memintah bantuan dari Pemerintah Pusat. Kerugian ekonomi,
ekologis serta sosial pun terjadi begitu besar akibat kebakaran karena menciptakan
merupakan faktor penting dalam konversi hutan yang berpengaruh pada kebakaran.1
Keresahan dari masyarakat, dampak dari kabut asap juga tidak luput dari perhatian
NGO yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup, memberi masukan dan kritik
kebakaran hutan dan lahan di Riau, karena beragam dampak negatif yang akan
muncul saat ini dan kedepan jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup Pasal 69, ini dianggap
sebagai salah satu solusi mengatasi kasus pembakaran di sejumlah wilayah. Protes
yang dilayangkan oleh GAPKI terhadap pemerintah daerah, yang memiliki otonomi
sendiri untuk wilayah daerah sendiri, Pemerintah Provinsi Riau tidak bisa hanya
melihat dan melakukan pemadaman ketika kebakaran terjadi dalam frekuensi intensif
setiap tahun, untuk tahun 2015 saja lahan yang terbakar sudah dari bulan Januari
2015 (data terlampir), namun musim kemarau panjang yang memuncak sejak bulan
Agustus hingga bulan Oktober 2015 yang menyebabkan dampak kabut asap
2
menyelimuti seluruh wilayah Riau. Pemerintah daerah Riau tidak mampu menangani
status darurat asap, sehingga memerlukan bantuan dari pemerintah pusat. Semua
pertanyaan baik media maupun masyarakat awam juga beragam protes keras
dilayangkan oleh aktfis lingkungan hidup, pengamat lingkungan hidup serta NGO
yang bergerak dibidang lingkungan hidup menuntut ketegasan serta keseriusan dari
kapabilitas pemerintah provinsi Riau untuk menindak lanjuti kebakaran hutan dan
lahan di Riau. Beragam penelitian akademik telah mengkaji kebakaran hutan dan
lahan di Riau, serta konstitusi hukum yang mengungkap unsur kesengajaan dalam
kebakaran yang terjadi areal konsesi. Namun hal-hal tersebut tidak menjadi sentilan
seolang praktik kepentingan menjadi bagian yang jelas tampak namun tidak bisa
dibuktikan karena kompleksitas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau.
1.2.Rumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh bahan bakar (ukiran, kekompakan, kadar air, dan jenis
2. Apakah ada pengaruh angin, temperatur, dan topografi terhadap laju dan
intensitas kebakaran?
3
1.3.Tujuan Praktikum
1. Mengetahui Pengaruh jenis-jenis bahan bakar (Bahan bakar mati dan Bahan
hutan
kebakaran
5.Mengetahui potensi dan nilai bahaya kebakaran hutan (rawan dan tidak
penggunaan lahan.
1.4.Manfaat Praktikum
berbasis masyarakat.
4
2. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan menjadi wahana bagi peneliti dalam
pengelola sehingga menjadi bahan strategi pengendalian kebakaran hutan yang tepat
5
II.TINJAUAN PUSTAKA
Hutan
merupakan komponen dari biomassa hutan yang paling banyak dilalap api.
Komponen biomassa yang paling banyak terbakar tadi, pada umumnya berupa
tumbuhan hijau yang mampu melakukan proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis
terjadi reaksi kimia yang melibatkan karbondioksida, air dan energi dari matahari,
hingga menghasilkan selulosa, lignin, amilum dan berbagai komponen kimia lainnya.
Seluosa, lignin, amilum merupakan hasil fotosintesis yang dapat ditemukan pada
setiap bagian tanaman. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa komponen
tanaman merupakan bagian dari manifestasi energi kimia yang dihasilkan dalam
proses fotosintesis. Proses fotosintesis dan kebakaran memiliki hubungan yang unik.
energi. Energi kimia yang diwujudkan dari proses fotosintesis akan dirubah menjadi
energi termal, energi radiasi, dan energi kinetik. Secara sepintas proses kebakaran dan
fotosintesis, merupakan dua proses yang saling berkebalikan. Pada proses fotosintesis
terjadi pemusatan energi, dalam hal ini terjadi pemusatan energi kimia yang
6
kerapkali dilepaskan secara spontan. Hubungan antara kedua proses tersebut dapat
Reaksi bahan bakar dengan oksigen hanya akan berlangsung pada kondisi tertentu.
Kondisi tersebut akan tercapai ketika komposisi kadar air yang terdapat pada bahan
bakar mencapai suatu nilai yang mendukung terbakarnya bahan bakar tersebut.
Sagala (1988) menyatakan agar suatu bahan bakar terbakar maka suhu bahan bakar
tersebut harus ditingkatkan hingga mencapai suhu pemicu kebakaran yang lazim
dikenal sebagai titik bakar. Titik bakar suatu bahan bakar bervariasi, namun Merril
dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988) menyatakan nilai suhu tersebut berada
pada kisaran nilai 350 °C. Pencapaian suhu kritis tadi terjadi setelah bahan bakar
terlebih dahulu mendapatkan bahang yang cukup dari suatu sumber pemanasan.
Sumber pemanasan bahan bakar dapat berupa petir, bunga api, api unggun, ataupun
dari puntung rokok. Merril dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988)
menyatakan meskipun banyak ahli melihat kebakaran hanya terdiri dari dua fase
namun pada hakekatnya ia terdiri dari tiga fase atau lebih yang saling overlap. Ketiga
fase tersebut adalah fase prapemanasan, fase destilasi, dan fase pembentukan arang.
Sormin dan Hartono (1986) menyatakan kebakaran terbagi atas fase pemanasan, fase
penguraian, dan fase pembakaran. Berbagai pendapat tadi sebenarnya menyatakan hal
yang relatif sama Proses kebakaran pada awalnya merupakan suatu reaksi yang
7
pasokan bahang untuk meningkatkan suhu bahan bakar hingga suhu pemicu
sebagian jenis bahan bakar hutan pemanasan akan terlebih dahulu mengakibatkan
dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu bahan bakar yang sesuai, kadar oksigen yang
memadai, dan ju mlah bahang yang mencukupi untuk memulai kebakaran (Sullivan,
1997). Dalam konsep segitiga api tersebut suatu daerah tidak akan mengalami
kebakaran, ketika semua hal tadi tidak terkumpul secara bersamaan. Oleh karena itu
syarat dari konsep segitiga api tadi juga dapat digunakanan dalam tindak pencegahan
terkumpulnya ketiga komponen dalam konsep segitiga api. Hal tersebut diantaranya
adalah dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas
yang mungkin timbul baik karena faktor alam ataupun manusia (Sormin dan Hartono,
1986). Bahan Bakar Bahan bakar dari tumbuhan tidak hanya berupa vegetasi yang
masih hidup (living fuel), ia dapat pula berujud bahan bakar mati (dead fuel). Dead
fuels adalah tanaman yang telah mati ataupun bagian dari tanaman yang telah
terpisah. Bagian tanaman yang telah terpisah tadi dapat berupa dahan, ranting, daun,
pucuk tanaman, ataupun buah yang telah berguguran, bisa pula berupa batang
tanaman yang tumbang, juga potongan sulur, serta akar tanaman. Hal tersebut
8
memperlihatkan variasi kondisi bahan bakar yang tampak sangat beragam baik dari
Hutan
yang mempengaruhi, merubah, dan menentukan perilaku api yang terjadi. Perilaku
api didefinisikan oleh De Bano (1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang
terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. Baik Countryman (1972)
lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi
ketiganya dengan kebakaran yang ada juga akan menentukan karakteristik dan
perilaku dari kebakaran. Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya
kebakaran. Bahan bakar menentukan potensi penyebaran api, potensi kerusakan yang
dapat terjadi, serta potensi hambatan dalam pengendalian kebakaran. Topografi suatu
wilayah pada umumnya memiliki kondisi yang relatif lebih konstan. Secara alamiah
kondisi topografi akan berperan dalam penentuan kondisi iklim di suatu wilayah.
Topografi merupakan salah satu faktor pengendali unsur-unsur iklim dan cuaca.
Perbedaan ketinggian, aspek dan kelerengan suatu daerah akan menimbulkan · Cuaca
9
menentukan kadar air/kelembaban bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk
keragaman nilai unsur-unsur cuaca, selain itu pada umumnya juga dijumpai kekhasan
vegetasi di suatu daerah. Topografi juga berperan cukup penting pada proses
penyebaran aerial fire, kelerengan yang terjal akan mempercepat penyebaran aerial
fire. Akan tetapi ketika terjadi anomali cuaca seperti angin yang bertiup dengan
kencang akan mampu membuat pengaruh topografi di suatu daerah tidak lagi
mendominasi penyebaran aerial fire. Cuaca menentukan kebakaran seperti apa yang
terjadi, kecepatan penyebaran api, tingkat kerusakan aktual yang ditimbulkan, serta
dari kebakaran yang terjadi. Ketika tidak dijumpai bahan bakar, kebakaran memang
tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi ketersediaan bahan bakar saja tidak bisa
menjamin terjadinya kebakaran. Meskipun di suatu daerah terdapat bahan bakar yang
berlimpah, misalnya dijumpai timbunan sisa hasil penebangan hutan, akan tetapi
ketika pada periode tersebut daerah itu senantiasa diguyur hujan maka lazimya di
daerah tadi kebakaran pada periode itu tidak akan terjadi. Kontrol terhadap bahan
bakar relatif lebih mungkin dan mudah untuk dilakukan daripada tindak pengendalian
bahkan pengaturan pola tanam dapat dilakukan pada kawasan agroforestri ataupun
hutan, terutama pada kawasan hutan tanaman industri. Selain itu secara alamiah,
10
kejadiannya mengikuti siklus hidup tumbuhan, yang juga dipengaruhi oleh iklim dan
topografi setempat. Berbeda dengan hal tersebut, unsur-unsur cuaca kondisinya dapat
berubah secara drastis dalam hitungan hari, jam bahkan dalam hitungan menit.
Perubahan unsur cuaca tadi akan mempengaruhi kondisi bahan bakar, ataupun
kondisi kebakaran itu sendiri baik secara langsung atau tidak (Brown dan Davis,
melalui beberapa cara sebagai berikut: · Iklim menentukan jumlah total bahan bakar
yang tersedia. · Iklim menentukan selang waktu dan level dari musim kebakaran.
kesulitan dalam pengendalian api dan dampak dari kebakaran itu sendiri (Merrill,
1987). Peubah–peubah lingkungan, baik peubah bebas maupun peubah tak bebas
lingkungan kebakaran tertentu ke dalam suatu daftar nilai atau peringkat nilai
11
sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada (Pyne, 1996). Sistem klasifikasi bahaya
kode warna yang khas. Contoh kelas-kelas bahaya kebakaran tersebut dapat
prakiraan yang digunakan untuk menilai resiko terjadinya kebakaran, penyebaran api
dijadikan sebagai acuan dalam sistem peringatan dini tentang adanya bahaya
kebakaran. Salah satu sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada adalah sistem
indeks cuaca kebakaran atau Sistem Fire Weather Index , yang disingkat dengan
12
2.4. Peta Kerawanan Kebakaran
yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran dan kondisi bahan
bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard digunakan untuk
menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan oleh volume, tipe,
dan ketahanan terhadap pengendalian (Hardy, 2005). Faktor lingkungan fisik dan
aktivitas manusia merupakan dua kelompok utama faktor resiko kebakaran hutan dan
lahan. Pusat perkampungan, jaringan jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan
kebakaran hutan dan lahan (Boonyanuphap 2001). Lapan (2004) berhasil memetakan
kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu
kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan
disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari
bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah
bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas, 1996).
13
hutan dan lahan. Model ini dibuat dengan menggunakan aplikasi GIS untuk
memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Oleh karena itu,
Menurutnya ada 3 (tiga) gagasan positif dalam defenisi parisipasi yaitu keterlibatan,
setempat, jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya dan hak
kekuatan untuk menghambat kegiatan itu apabila mereka tidak dilibatkan dalam
kebakaran hutan dan lahan dalam Peraturan Daerah dinyatakan yaitu: "Masyarakat
yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar hutan dan lahan terutama daerah-
daerah yang rawan kebakaran, diwajibkan untuk selalu waspada/ siaga dan secara
14
1. Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan,
masyarakat;
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan serta wajib
pengendaliaan kebakaran hutan untuk ikut secara aktif dalam proses kegiatan
15
telah melakukan berbagai upaya guna memberdayakan masyarakat untuk
16
III.METODELOGI
Kebakaran Hutan
Pada praktikum ini di lakukan pada tanggal 08 Desember 2017 pukul 15.00-
Universitas Riau.
2.Stopwatch
4.Korek api
5.Alat timbangan
17
2.Susunan bahan bakar (kompak,sedang dan tidak)
3.Bahan bakar yang terdiri dari bahan bakar kadar air tinggi,sedang
rendah
4.Bahan bakar yang terdiri dari bahan bakar mati dan hidup
3.1.3.Prosedur kerja
vegetasi
api dan di catat waktu (mulai terbakar dan habis terbakar) dan tinggi
nyala api
miring)
18
6.Susun bahan bakar menurut kekompakan dan nyalakan api dengan
menggunakan korek api dan di catat waktu dan tinggi nyala api
8.Catat sisa dari bahan bakar berupa arang,abu dan persentase bahan
Masyarakat
1.Alat Tuis
4.Camera
4.3.3.Prosedur kerja
19
2.Catat dan rekam hasil wawancara dari narasumbernya
20
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1.Hasil
JENIS TINGGI
WARNA
NO. BAHAN UKURAN NYALA WAKTU BERAT
API
BAKAR API
1. Daun Halus 18 cm Kuning 2 menit 149 gram
13menit
2. Balok Kasar 17,8 cm Kuning 120 gram
45 detik
JENIS TINGGI
WARNA
NO. BAHAN KEKOMPAKAN NYALA WAKTU BERAT
API
BAKAR API
2 menit 127
Kompak 18 cm Kuning
41 detik gram
Daun dan 2 menit 143
1. Sedang 17 cm Kuning
Ranting 16 detik Gram
156
Tidak 12 cm Kuning 1 menit
gram
40 menit 112
Kompak 19cm Kuning
21 detik Gram
2. Balok 36 menit 114
Sedang 19 cm Kuning
57 detik Gram
Tidak 15 cm Kuning 20 menit 105
21
10 detik gram
4.1.2.Pembahasan
Menurut Clar dan Chatten (1954), hal-hal penting dari bahan bakar yang dapat
volume, jenis, kerapatan, dan kadar air dari bahan bakar. Pyne (1996) juga
menyebutkan hal yang hampir senada dengan apa yang dinyatakan oleh Clar dan
Chatten (1954). Pyne (1996) menyatakan jumlah bahan bakar, kepadatan, susunan,
bentuk dan ukuran bahan bakar sebagai sifat ekstrinsik dari bahan bakar yang
berpengaruh pada kebakaran selain sifat-sifat intrinsik seperti kadar zat kimia dan
potensi bahang yang dimiliki oleh suatu jenis bahan bakar. Bahan bakar dengan
ukuran yang lebih kecil akan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakar
yang memiliki ukuran yang lebih besar. Hal tersebut terjadi karena pengeringan
bahan bakar yang berukuran kecil hingga mencapai suhu pengapian, akan
membutuhkan jumlah bahang yang lebih sedikit daripada melakukan hal yang sama
pada bahan bakar yang berukura n lebih besar. Bahan bakar yang berdiameter kurang
22
dari 0.5 inchi dikenal sebagai bahan bakar halus (light fuels/fine fuels), sedangkan
bahan bakar yang memiliki ukuran diameter lebih dari 0.5 inchi dinamakan bahan
bakar kasar (heavy fuels ). Pada umumnya heavy fuels kering akan menyediakan
materi yang dapat terbakar dalam jumlah yang lebih banyak dari fine fuels. Fine fuels
memang lebih mudah mengering, selain itu dibandingkan heavy fuels ia juga lebih
mudah menyerap air. Karena sifatnya itu ketika fine fuels terbakar, api akan
menyebar dengan cepat, akan tetapi kebakaran yang ditimbulkannya juga relatif lebih
cepat padam, karena materi yang dapat terbakar yang ada padanya relatif sedikit.
Pada umumnya fine fuels memegang peranan yang dominan pada periode awal
kebakaran. Adapun kadar air yang terdapat pada heavy fuels relatif stabil. Heavy
fuels relatif lebih sulit terbakar, akan tetapi ketika sudah tersulut api, heavy fuels
mampu menimbulkan kebakaran dengan periode yang relatif lama. Kerapatan bahan
bakar menyatakan jarak antar partikel dari bahan bakar. Bahan bakar dengan
kerapatan yang rendah akan lebih cepat bereaksi terhadap perubahan kelembaban,
selain itu angin dengan mudah melakukan penetrasi dan turut berperan dalam
mengurangi kelembaban bahan bakar. Ia juga memiliki potensi pasokan oksigen yang
lebih banyak, karena memiliki lebih banyak ruang kosong sehingga dapat
menampung lebih banyak oksigen. Dengan kata lain ia memiliki potensi jumlah
oksigen yang lebih banyak pada setiap luasan penampangnya. Kebakaran akan
merambat lebih cepat jika terjadi pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan
yang rendah. Penjalaran api pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang
rendah akan berperilaku seperti halnya pada fine fuels, sedangkan penjalaran api pada
bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang tinggi/padat akan berperilaku
23
seperti halnya heavy fuels. Susunan bahan bakar meliputi orientasi arah secara
vertikal ataupun horisontal. Bahan bakar yang tersusun kontinyu akan semakin
mempercepat perambatan api. Jika bahan bakar tersusun vertikal secara kontinyu
kebakaran tajuk (aerial fire) akan terjadi lebih cepat, demikian pula bila terdapat
kekontinyuan susunan bahan bakar dalam arah horisontal, dalam hal ini perambatan
komponen bahan bakar dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu bahan bakar bawah
(ground fuels), bahan bakar permukaan (surface fuels), dan bahan bakar tajuk (aerial
fuels ). Ground fuels meliputi semua bahan bakar yang terdapat di bawah lapisan
sarasah. Ground fuels didominasi oleh akar tanaman, dan bongkahan kayu yang
tengah ataupun telah membusuk dan terkubur di dalam permukaan tanah. Jenis bahan
bakar ini lebih mungkin untuk menimbulkan kebakaran yang berupa bara api
daripada nyala api. Ground fuels pada umumnya memiliki kadar air yang lebih
banyak daripada surface fuels ataupun aerial fuels. Pada umumnya sebelum kadar air
yang dikandung oleh ground fuels jumlahnya kurang dari 20% dari bobot keringnya,
kebakaran akan susah timbul. Api pada umumnya berasal dari terbakarnya lapisan
berada pada lapisan di bawahnya. Begitu terjadi, kebakaran yang lazim disebut
sebagai ground fire tersebut akan susah untuk dipadamkan. Surface fuels meliputi
seluruh sarasah yang terdapat pada lantai hutan. Pada umumnya surface fuels terdiri
atas pucuk daun ataupun dedaunan, ranting, kulit kayu, buah, dan cabang kecil yang
telah jatuh berguguran di permukaan tanah. Selain itu surface fuels juga meliputi
rerumputan, semak belukar, dan bibit ataupun tumbuhan hutan yang masih muda.
24
Pada umumnya sarasah akan membentuk suatu lapisan bahan bakar yang sangat
mudah dilalap api. Komponen bahan bakar ini pada umumnya memiliki diameter
yang besarnya kurang dari 0.5 inchi, sehingga dapat dikategorikan sebagai fine fuels.
Kebakaran yang terjadi di permukaan tanah yang mengkonsumsi surface fuels dengan
ketinggian maksimum 1.2 meter dikenal sebagai surface fire. Pada umumnya
kebakaran ini tidak mencapai tajuk karena pohon-pohonnya jarang atau dari jenis
yang sulit terbakar. Surface fuels yang tersusun secara kontinyu dan terekspos secara
langsung dengan udara, seperti rerumputan dan semak belukar, ketika mati kadar
kelembaban komponen bahan bakar tersebut sangat sensitif terhadap perubahan nilai
suhu, angin dan kelembaban udara disekitarnya. Aerial fuels meliputi semua zat yang
dapat terbakar baik hidup ataupun mati yang terdapat pada kanopi hutan, serta
terpisah dari permukaan tanah dengan jarak minimal sejauh 1,2 meter. Aerial fuels
biasanya didominasi oleh cabang, daun, pucuk, buah tanaman, lumut kerak, lumut
daun, serta tanaman epifit lainnya. Pada umumnya bahan bakar ini terbakar setelah
Adapun pengaruh adanya jenis bahan bakar yang diamati ada dua yaitu
tanaman yang masih dalam keadaan segar dan tanaman yang sudah mati. Dari
pada rumput yang mati lebih cepat terbakar, dibandingkan rumput yang masih segar.
25
Hal ini disebabkan adanya kandungan kadar air dalam vegetasi yang masih segar
Pada pengaruh kekompakan bahan bakar. Dapat dilihat jga adanya perbedaan
kekompakan bahan bakar (kompak, sedang dan tidak kompak) yang paling cepat
hingga yang paling lama terdapat pada keadaan bahan bakar : tidak kompak, sedang,
dan kompak. Hal ini di karenakan pengaruh susunan bahan bakar, jika bahan bakar
disusun kompak dan padat, maka udara yang terdapat di bahan bakar sedikit begitu
pula sebagliknya.
Kebakaran
4.2.1.Hasil
JENIS TINGGI
KECEPATAN WARNA
NO. BAHAN NYALA WAKTU BERAT
ANGIN API
BAKAR API
Sangat 17 cm Kuning 3 menit 200
kencang 20 detik gram
Daun dan Kencang 15 cm Kuning 3 menit 200
1.
Ranting 56 detik gram
Dibiarkan 15 cm Kuning 4 menit 200
15 detik gram
Sangat 8 cm Kuning 10 menit 200
kencang 2 detik gram
Kencang 6 cm Kuning 19 menit 200
2. Balok
24 detik gram
Dibiarkan 6 cm Kuning 20 menit 200
13 detik gram
26
SUHU KELEMBABAN
NO. KONDISI LINGKUNGAN
(℃) (%)
1. Terbuka 27 80
2. Semi terbuka 30 83
3. Tertutup 26 79
JENIS TINGGI
WARNA
NO. BAHAN TOPOGRAFI NYALA WAKTU BERAT
API
BAKAR API
Landai 15 cm Kuning 6 menit 100
12 detik gram
Daun dan Miring 15 cm Kuning 4 menit 100
1.
Ranting 12 detik gram
Sangat 18 cm Kuning 3 menit 100
miring 56 detik gram
Landai 6 cm Kuning 12 menit 200
13 detik gram
Miring 10 cm Kuning 16 menit 200
2. Balok
30 detik gram
Sangat 14 cm Kuning 14 menit 200
miring 50 detik gram
4.2.2.Pembahasan
27
yang mempengaruhi, merubah, dan menentukan perilaku api yang terjadi. Perilaku
api didefinisikan oleh De Bano (1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang
terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. Baik Countryman (1972)
lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi
ketiganya dengan kebakaran yang ada juga akan menentukan karakteristik dan
perilaku dari kebakaran. Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya
kebakaran. Angin yang diamati terhadap proses pembakaran dilakukan pada 3 kondisi
Dari Praktikum ini terlihat adanya perbedaan waktu pembkaran yang terjadi
pada perlakuan yang dilakukan baik pada bahan bakar yang halus maupun yang
kassar. Pada bahan bakar daun dan ranting, pengaruh angin terhadap waktu
pembakaran yang paling lama hingga yang paling cepat berturut turut berkisar antara
pembakaran pada bahan bakar balok berkisar antara 10- 20 menit (sangat kencang,
kencang, dan dibiarkan). Saat angin yang bertiup kencang lebih cepat dibandingkan
pada kondisi angin rata-rata. Hal ini disebabkan angin merupakan salah satu faktor
landai, miring dan sangat miring. Ketiga kondisi topografi (kecuraman) pengamatan
28
dilakukan pada dua jenis bahan bakar berbeda yaitu bahan bakar daun dan ranting,
serta balok.
Pada bahan bakar daun dan ranting, waktu pembakaran yang sangat cepat sampai
yang paling lambat terdapat pada kondisi topografi (sangat miring, miring, dan landai
dengan berkisar waktu 3 -6 menit). Sedangkan pada bahan bakar balok, waktu
pembakaran yang sangat cepat sampai yang paling lambat terdapat pada kondisi
topografi (sangat miring, miring, dan landai dengan berkisar waktu 12 -16 menit).
Peduli Gambut
4.3.1.Hasil
Program Kendala
Teknik yang Kondisi yang di
No pengendali- dilakuka Personil umum lahan hadapi
Alat-alat
. an n di terkait bekas MPG
kebakaran Rimbo terbakar
Panjang
Revegeta Masyarakat Dana yang
Mesin -si Peduli minim
1. Sumur bor Subur
robbin Gambut
(MPG)
Perhuta- Dimanfaat- Kurangnya
Budidaya nan sosial Sumber
Sumur Masyarakat kan untuk
2. nanas dan daya
bor lokal menanam
ikan lele manusia
nenas
Penyuluhan Masyarakat
tentang masih
Hygrome karhutla Satgas sering
3. membuka
ter (bahaya DAMKAR
lahan
serta dengan
dampak) membakar
29
Patroli
4. BPBD
setiap hari
Pembasahan
5.
lahan
4.3.2.Pembahasan
memiliki tugas untuk menjaga lahan dan fungsi gambut sebagaimana mestinya.
Selain menjaga lahan gambut MPG bekerjasama dengan BPBD, masyarakat lokal,
Rimbo panjang, sebagai upaya untuk meminimalisir titik hot spot di provinsi Riau.
sumur bor merupakan upaya awal mencegah perluasan kebakaran. Sumur yang kami
pasang disamping sebagai sumber air untuk pemadaman kebakaran dan pembasahan
gambut, juga dapat digunakan sebagai penyedia air bersih bagi warga
kebakaran.
april 2016 diabntu dari pemberdayaan masyarakat, dengan kedalam 25 meter dan
setiap sumur bor dilengkapi mesin robbin. Di rimbo panjang tidak menerapkan kanal
bloking karena dinilai teknik kanal bloking tidak efektif diterapkan di lahan gambut,
karena dapat menyebabkan lahan menjadi kering saat musim kemarau. Sehingga
30
teknik dengan sumur bor yaitu melalui pembasahan lahan lebih cocok diterapkan di
desa rimbo panjang. Pada suhu 34℃ pembasahan dilakukan untuk menghindari
dan budidaya ikan lele untuk membantu perekonomian warga Rimbo panjang. Lahan
bekas terbakar juga sangat bagus untuk ditanami nenas karena dinilai mampu
Program yang dilakukan di desa rimbo panjang ini diantaranya revegetasi dan
perhutanan sosial. Perhutanan sosial maksudnya dihutankan lagi tetapi ada efek yang
panjang ini terkait dalam hal kurang tersedianya anggaran dari pemerintah, kurangnya
pengetahuan warga mengenai pengendalian karhutla dan penggunaan sumur bor, dan
memiliki tugas untuk menjaga lahan dan fungsi gambut sebagaimana mestinya.
Selain menjaga lahan gambut MPG bekerjasama dengan BPBD, masyarakat lokal,
Rimbo panjang, sebagai upaya untuk meminimalisir titik hot spot di provinsi Riau.
masyarakat mengenai cara menjaga lahan gambut agaar tidak mengalami kebakaran.
31
Teknik pengendalian menggunakan sumur bor mulai dibangun pada bulan
april 2016 diabntu dari pemberdayaan masyarakat, dengan kedalam 25 meter dan
setiap sumur bor dilengkapi mesin robbin. Di rimbo panjang tidak menerapkan kanal
bloking karena dinilai teknik kanal bloking tidak efektif diterapkan di lahan gambut,
karena dapat menyebabkan lahan menjadi kering saat musim kemarau. Sehingga
teknik dengan sumur bor yaitu melalui pembasahan lahan lebih cocok diterapkan di
desa rimbo panjang. Pada suhu 34℃ pembasahan dilakukan untuk menghindari
dan budidaya ikan lele untuk membantu perekonomian warga Rimbo panjang. Lahan
bekas terbakar juga sangat bagus untuk ditanami nenas karena dinilai mampu
Program yang dilakukan di desa rimbo panjang ini diantaranya revegetasi dan
perhutanan sosial. Perhutanan sosial maksudnya dihutankan lagi tetapi ada efek yang
panjang ini terkait dalam hal kurang tersedianya anggaran dari pemerintah, kurangnya
pengetahuan warga mengenai pengendalian karhutla dan penggunaan sumur bor, dan
32
V.PENUTUP
5.1.Kesimpulan
dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya
5.2.Saran
dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan
hutan; kawas an hutan; dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia,
ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama sert a penyakit (Pas al 47, ayat 1).
Kerjasama yang baik antar Negara tetangga akan cepat terselesainya kabut asap yang
masyarakat dan Negara – Negara tetangga yang ikut merasakan kabut asap dari riau .
33
DAFTAR PUSTAKA
34
LAMPIRAN WAWANCARA
IDENTITAS NARASUMBER
35
a. Metode jalur (ilaran)
b. Metode Pemadaman Langsung
c. Metode Pembakaran Balik
d. Belum pernah memadamkan
6. Apakah anda berpartisipasi untuk memadamkan kebakaran tersebut?
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
b. Lainnya ...
10. Berapa banyak alat yang digunakan untuk pengendalian api di rimbo
panjang?
11. Apakah di desa rimbo panjang ini memiliki alat pengendalian karhutla?
Jika ada siapa pemilik alat tersebut?
36
Sebutkan: alat sudah dimiliki oleh masyarakat, hasil dari bantuan
pemerintah (APBD Riau).
12. Upaya apa yang anda lakukan saat terjadinya kebakaran lahan agar api
tidak mudah menyebar ke areal lain? Jelaskan: Diberikan pembatas agar
tidak menyebar ke lahan lainnya.
13. Menurut anda kerugian apa yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan?
Jelaskan:menyebabkan kerugIan materi, serta mengganggu kesehatan
masyarakat.
14. Alat apa saja yang digunakan oleh MPG ataupun masyarakat dalam
melakukan pengendalian api di areal ini?
Sebutkan: Water level, hygrometer.
15. Alat apa saja yang digunakan untuk memadamkan api setelah terjadinya
kebakaran di areal ini?
Sebutkan: sumur bor beserta mesin robbin.
16. Teknik apa yang anda lakukan pada saat melakukan pengendalian dan
pencegahan terhadap kebakaran?
Sebutkan: Pembasahan lahan.
17. Apakah di wilayah anda pernah ada sosialisasi/penyuluhan mengenai
dan pencegahan terhadap kebakaran?
a. Pernah
b. Tidak pernah
c. Tidak tahu
Jika pernah oleh siapa (Badan restorasi gambut dan kementrian
kehutanan)
18. Siapa sajakah yang ikut berperan aktif dalam upaya pengendalian dan
pencegahan kebakaran hutan dan lahan di areal ini?
Sebutkan:Masyarakat Lokal, satgas damkar, BPBD, Manggala agni,
POLRI/ TNI.
37
19. Apa saja kendala yang dihadapi MPG dalam upaya pengendalian dan
penanganan kebakaran hutan dan lahan?
20. Program apa saja yang diterapkan di Rimbo panjang untuk menunjang
kegiatan pengendalian karhutla?
Sebutkan: Revegetasi, Revitalisasi masyarkat, dan pembasahan
lahan.
38
LAMPIRAN DOKUMENTASI
Minyak avtur untuk membantu proses Proses pembakaran pada lahan miring
pembakaran bahan
39
Proses pembakaran kayu kering
Proses pembakaran daun basah/hidup
Melihat warna api dan mengukur tinggi Alat/mesin bor untuk pemadaman api
api
40
Proses pemadaman kebakaran
Selang mesin pemadam api
41