Anda di halaman 1dari 41

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah

daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database yang

seharusnya menjadi acuan guna dijadikan pola dalam menganalisa upaya pencegahan

yang dilakukan pada masa mendatang (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan

dan Lahan, 2013). Hal tersebut dimaknai sebagai salah satu kapabilitas yang

dijalankan oleh pemerintah, pola menganalisa merupakan metode untuk mengukur

pekerjaan mereka serta beragam pencegahan yang efektif dibantu track record

tersebut. Database dijadikan pola analisa sekaligus menjadi catatan terhadap

kapabilitas atau kemampuan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah di pusat

maupun di daerah melaksanakan tugasnya, didukung dengan pembagian tugas yang

semakin jelas dan baik Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau selama ini tidak

luput dari perhatian nasional maupun negara tetangga, terhadap kasus kebakaran

hutan dan lahan yang terjadi yang menimbulkan dampak kabut asap, yang asapnya

dirasakan hingga wilayah negara tetangga (Singapura dan Malaysia) menimbulkan

isu keamanan lingkungan bersifat lintas batas, serta dampak asap sampai pada

provinsi tetangga (Kepulauan Riau, Sumatera Barat serta Jambi), hal ini disebabkan

oleh faktor dari letak geografis Riau.

1
Frekuensi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau hampir setiap tahun,

jelas meresahkan masyarakat karena beragam kerugian dampak dari kabut asap, dari

sisi pemerintahan pada tingkat daerah sudah dalam dua tahun terakhir menyatakan

ketidak mampuan dalam menanggulangi kebakaran, dengan menetapkan status

darurat kabut asap dan memintah bantuan dari Pemerintah Pusat. Kerugian ekonomi,

ekologis serta sosial pun terjadi begitu besar akibat kebakaran karena menciptakan

kabut asap. Pengembangan usaha perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit

merupakan faktor penting dalam konversi hutan yang berpengaruh pada kebakaran.1

Keresahan dari masyarakat, dampak dari kabut asap juga tidak luput dari perhatian

NGO yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup, memberi masukan dan kritik

kepada Pemerintah untuk mampu lebih serius dalam menyelesaikan masalah

kebakaran hutan dan lahan di Riau, karena beragam dampak negatif yang akan

muncul saat ini dan kedepan jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak

dijalankan dengan serius. GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)

melayangkan protes kepada pemerintah pusat khususnya untuk merevisi Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup Pasal 69, ini dianggap

sebagai salah satu solusi mengatasi kasus pembakaran di sejumlah wilayah. Protes

yang dilayangkan oleh GAPKI terhadap pemerintah daerah, yang memiliki otonomi

sendiri untuk wilayah daerah sendiri, Pemerintah Provinsi Riau tidak bisa hanya

melihat dan melakukan pemadaman ketika kebakaran terjadi dalam frekuensi intensif

setiap tahun, untuk tahun 2015 saja lahan yang terbakar sudah dari bulan Januari

2015 (data terlampir), namun musim kemarau panjang yang memuncak sejak bulan

Agustus hingga bulan Oktober 2015 yang menyebabkan dampak kabut asap

2
menyelimuti seluruh wilayah Riau. Pemerintah daerah Riau tidak mampu menangani

status darurat asap, sehingga memerlukan bantuan dari pemerintah pusat. Semua

pertanyaan baik media maupun masyarakat awam juga beragam protes keras

dilayangkan oleh aktfis lingkungan hidup, pengamat lingkungan hidup serta NGO

yang bergerak dibidang lingkungan hidup menuntut ketegasan serta keseriusan dari

kapabilitas pemerintah provinsi Riau untuk menindak lanjuti kebakaran hutan dan

lahan di Riau. Beragam penelitian akademik telah mengkaji kebakaran hutan dan

lahan di Riau, serta konstitusi hukum yang mengungkap unsur kesengajaan dalam

kebakaran yang terjadi areal konsesi. Namun hal-hal tersebut tidak menjadi sentilan

untuk memperbaiki dan mengevaluasi dengan pengendalian selama ini dilakukan,

seolang praktik kepentingan menjadi bagian yang jelas tampak namun tidak bisa

dibuktikan karena kompleksitas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau.

1.2.Rumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh bahan bakar (ukiran, kekompakan, kadar air, dan jenis

bahan bakar) terhadap laju dan intensitas kebakaran?

2. Apakah ada pengaruh angin, temperatur, dan topografi terhadap laju dan

intensitas kebakaran?

3. Bagaimana upaya pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan

berbasis masyarakat di Rimbo Panjang?

3
1.3.Tujuan Praktikum

1. Mengetahui Pengaruh jenis-jenis bahan bakar (Bahan bakar mati dan Bahan

Bakar Hidup) terhadap laju dan intensitas kebakaran.

2.Mengetahui pengaruh jenis vegetasi terhadap laju dan intensitas kebakaran

hutan

3.Mengetahui pengaruh angin ( kecepatan dan arah),Suhu dan kelembaban

terhadap laju dan intensitas kebakaran

4.Mengetahui pengaruh totpografi kelerangan terhadap laju dan intensitas

kebakaran

5.Mengetahui potensi dan nilai bahaya kebakaran hutan (rawan dan tidak

rawan) berdasarkan pengukuran factor-faktor tidak tetap (angina,suhu,dan

kelembaban serta kadar air bahan bakar) dari suatu kawasan.

6.Mengetahui peta rawan kebakaran hutan berdasarkan hotspot dan

penggunaan lahan.

1.4.Manfaat Praktikum

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai

pengembangan khasanah pengetahuan tentang strategi pencegahan kebakaran hutan

berbasis masyarakat.

4
2. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan menjadi wahana bagi peneliti dalam

mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan masyarakat dan memperkaya wawasan yang

sangat bermanfaat untuk pengembangan profesionalisme karier peneliti.

3. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

pengelola sehingga menjadi bahan strategi pengendalian kebakaran hutan yang tepat

dengan menggunakan konsep pencegahan kebakaran hutan berbasis masyarakat.

5
II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengaruh Karakteristik Bahan Bakar terhadap Terhadap Laju Kebakaran

Hutan

Pengetahuan Dasar Kebakaran Tanaman ataupun bagian-bagiannya

merupakan komponen dari biomassa hutan yang paling banyak dilalap api.

Komponen biomassa yang paling banyak terbakar tadi, pada umumnya berupa

tumbuhan hijau yang mampu melakukan proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis

terjadi reaksi kimia yang melibatkan karbondioksida, air dan energi dari matahari,

hingga menghasilkan selulosa, lignin, amilum dan berbagai komponen kimia lainnya.

Seluosa, lignin, amilum merupakan hasil fotosintesis yang dapat ditemukan pada

setiap bagian tanaman. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa komponen

tanaman merupakan bagian dari manifestasi energi kimia yang dihasilkan dalam

proses fotosintesis. Proses fotosintesis dan kebakaran memiliki hubungan yang unik.

Kebakaran pada tanaman ataupun komponennya, akan melangsungkan perubahan

energi. Energi kimia yang diwujudkan dari proses fotosintesis akan dirubah menjadi

energi termal, energi radiasi, dan energi kinetik. Secara sepintas proses kebakaran dan

fotosintesis, merupakan dua proses yang saling berkebalikan. Pada proses fotosintesis

terjadi pemusatan energi, dalam hal ini terjadi pemusatan energi kimia yang

berlangsung secara perlahan–lahan sedangkan dalam kejadian kebakaran, energi

6
kerapkali dilepaskan secara spontan. Hubungan antara kedua proses tersebut dapat

ditampilkan melalui formulasi berikut:

Fotosintesis CO2 + H 2O + energi matahari ® (C6H10O6 )n + O Kebakaran

(C6H10O6 ) + O + suhu pemicu ® CO2 + H 2O + bahang

Reaksi bahan bakar dengan oksigen hanya akan berlangsung pada kondisi tertentu.

Kondisi tersebut akan tercapai ketika komposisi kadar air yang terdapat pada bahan

bakar mencapai suatu nilai yang mendukung terbakarnya bahan bakar tersebut.

Sagala (1988) menyatakan agar suatu bahan bakar terbakar maka suhu bahan bakar

tersebut harus ditingkatkan hingga mencapai suhu pemicu kebakaran yang lazim

dikenal sebagai titik bakar. Titik bakar suatu bahan bakar bervariasi, namun Merril

dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988) menyatakan nilai suhu tersebut berada

pada kisaran nilai 350 °C. Pencapaian suhu kritis tadi terjadi setelah bahan bakar

terlebih dahulu mendapatkan bahang yang cukup dari suatu sumber pemanasan.

Sumber pemanasan bahan bakar dapat berupa petir, bunga api, api unggun, ataupun

dari puntung rokok. Merril dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988)

menyatakan meskipun banyak ahli melihat kebakaran hanya terdiri dari dua fase

namun pada hakekatnya ia terdiri dari tiga fase atau lebih yang saling overlap. Ketiga

fase tersebut adalah fase prapemanasan, fase destilasi, dan fase pembentukan arang.

Sormin dan Hartono (1986) menyatakan kebakaran terbagi atas fase pemanasan, fase

penguraian, dan fase pembakaran. Berbagai pendapat tadi sebenarnya menyatakan hal

yang relatif sama Proses kebakaran pada awalnya merupakan suatu reaksi yang

bersifat endotermal karena ia membutuhkan energi. Dalam hal ini dibutuhkan

7
pasokan bahang untuk meningkatkan suhu bahan bakar hingga suhu pemicu

pengapian tercapai. Ketika pemanasan belum mencapai suhu pengapian, pada

sebagian jenis bahan bakar hutan pemanasan akan terlebih dahulu mengakibatkan

volatilisasi sejumlah resin yang bersifat atsiri.

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan kebakaran

digunakan konsep segitiga api. Konsep tersebut menyatakan terjadinya kebakaran

dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu bahan bakar yang sesuai, kadar oksigen yang

memadai, dan ju mlah bahang yang mencukupi untuk memulai kebakaran (Sullivan,

1997). Dalam konsep segitiga api tersebut suatu daerah tidak akan mengalami

kebakaran, ketika semua hal tadi tidak terkumpul secara bersamaan. Oleh karena itu

syarat dari konsep segitiga api tadi juga dapat digunakanan dalam tindak pencegahan

kebakaran. Singkatnya, kejadian kebakaran akan dapat dihindarkan dengan mencegah

terkumpulnya ketiga komponen dalam konsep segitiga api. Hal tersebut diantaranya

adalah dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas

yang mungkin timbul baik karena faktor alam ataupun manusia (Sormin dan Hartono,

1986). Bahan Bakar Bahan bakar dari tumbuhan tidak hanya berupa vegetasi yang

masih hidup (living fuel), ia dapat pula berujud bahan bakar mati (dead fuel). Dead

fuels adalah tanaman yang telah mati ataupun bagian dari tanaman yang telah

terpisah. Bagian tanaman yang telah terpisah tadi dapat berupa dahan, ranting, daun,

pucuk tanaman, ataupun buah yang telah berguguran, bisa pula berupa batang

tanaman yang tumbang, juga potongan sulur, serta akar tanaman. Hal tersebut

8
memperlihatkan variasi kondisi bahan bakar yang tampak sangat beragam baik dari

segi jenis, ukuran, ataupun distribusinya.

2.2.Pengaruh Cuaca dan Topografi Terhadap laju dan Intensitas Kebakaran

Hutan

Kebakaran yang telah terbentuk akan saling berinteraksi dengan lingkungan di

sekitarnya. Countryman (1972) menuliskan hubungan antara lingkungan dengan

kebakaran yang terjadi. Konsep tersebut menggambarkan kondisi lingkungan sekitar

yang mempengaruhi, merubah, dan menentukan perilaku api yang terjadi. Perilaku

api didefinisikan oleh De Bano (1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang

terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. Baik Countryman (1972)

maupun De Bano (1998) menyatakan kondisi dan perubahan komponen-komponen

lingkungan sekitar akan mempengaruhi kebakaran. Komponen–komponen utama dari

lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi

ketiganya dengan kebakaran yang ada juga akan menentukan karakteristik dan

perilaku dari kebakaran. Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya

merupakan tiga buah komponen lingkungan yang sangat mempengaruhi perilaku

kebakaran. Bahan bakar menentukan potensi penyebaran api, potensi kerusakan yang

dapat terjadi, serta potensi hambatan dalam pengendalian kebakaran. Topografi suatu

wilayah pada umumnya memiliki kondisi yang relatif lebih konstan. Secara alamiah

kondisi topografi akan berperan dalam penentuan kondisi iklim di suatu wilayah.

Topografi merupakan salah satu faktor pengendali unsur-unsur iklim dan cuaca.

Perbedaan ketinggian, aspek dan kelerengan suatu daerah akan menimbulkan · Cuaca

9
menentukan kadar air/kelembaban bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk

terbakar. · Cuaca mempengaruhi proses pengapian dan penyebaran bahan bakar.

keragaman nilai unsur-unsur cuaca, selain itu pada umumnya juga dijumpai kekhasan

vegetasi di suatu daerah. Topografi juga berperan cukup penting pada proses

penyebaran aerial fire, kelerengan yang terjal akan mempercepat penyebaran aerial

fire. Akan tetapi ketika terjadi anomali cuaca seperti angin yang bertiup dengan

kencang akan mampu membuat pengaruh topografi di suatu daerah tidak lagi

mendominasi penyebaran aerial fire. Cuaca menentukan kebakaran seperti apa yang

terjadi, kecepatan penyebaran api, tingkat kerusakan aktual yang ditimbulkan, serta

tingkat kesulitan dalam pengendalian kebakaran, singkatnya cuaca menentukan level

dari kebakaran yang terjadi. Ketika tidak dijumpai bahan bakar, kebakaran memang

tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi ketersediaan bahan bakar saja tidak bisa

menjamin terjadinya kebakaran. Meskipun di suatu daerah terdapat bahan bakar yang

berlimpah, misalnya dijumpai timbunan sisa hasil penebangan hutan, akan tetapi

ketika pada periode tersebut daerah itu senantiasa diguyur hujan maka lazimya di

daerah tadi kebakaran pada periode itu tidak akan terjadi. Kontrol terhadap bahan

bakar relatif lebih mungkin dan mudah untuk dilakukan daripada tindak pengendalian

unsur-unsur cuaca. Tindak management hutan dapat dilakukan guna mengontrol

ketersediaan bahan bakar. Tindak penjarangan tanaman, pembuatan sekat bakar,

bahkan pengaturan pola tanam dapat dilakukan pada kawasan agroforestri ataupun

hutan, terutama pada kawasan hutan tanaman industri. Selain itu secara alamiah,

perubahan ketersediaan bahan bakar yang signifikan berlangsung dengan lambat,

10
kejadiannya mengikuti siklus hidup tumbuhan, yang juga dipengaruhi oleh iklim dan

topografi setempat. Berbeda dengan hal tersebut, unsur-unsur cuaca kondisinya dapat

berubah secara drastis dalam hitungan hari, jam bahkan dalam hitungan menit.

Perubahan unsur cuaca tadi akan mempengaruhi kondisi bahan bakar, ataupun

kondisi kebakaran itu sendiri baik secara langsung atau tidak (Brown dan Davis,

1975). Chandler (1983) menyatakan cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran

melalui beberapa cara sebagai berikut: · Iklim menentukan jumlah total bahan bakar

yang tersedia. · Iklim menentukan selang waktu dan level dari musim kebakaran.

2.3.Perhitungan Potensi Bahan Bakar dan Penentuan Nilai Bahaya Kebakaran

Berdasarkan Unsur-Unsur Cuaca

Bahaya kebakaran merupakan suatu istilah yang komprehensif. Ia digunakan

untuk menyatakan penilaian dari berbagai peubahpeubah lingkungan yang

menentukan kemudahan terpicunya api (ease of ignition), laju penyebaran kebakaran,

kesulitan dalam pengendalian api dan dampak dari kebakaran itu sendiri (Merrill,

1987). Peubah–peubah lingkungan, baik peubah bebas maupun peubah tak bebas

terdiri dari komponen– komponen dalam konsep segitiga lingkungan yang

menentukan terjadinya berbagai hal tadi. Peringkat bahaya kebakaran merupakan

sistem manajemen kebakaran yang mengintegrasikan dampak dari faktor–faktor

lingkungan kebakaran tertentu ke dalam suatu daftar nilai atau peringkat nilai

kualitatif. Pada umumnya unsur-unsur cuaca cukup diperhitungkan pada berbagai

11
sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada (Pyne, 1996). Sistem klasifikasi bahaya

kebakaran dinyatakan dalam kelas-kelas bahaya kebakaran dengan masing-masing

kode warna yang khas. Contoh kelas-kelas bahaya kebakaran tersebut dapat

diinterpretasikan sebagai berikut:

Tabel 1. Kelas-kelas bahaya kebakaran

Peringkat dari penaksiran bahaya kebakaran dapat digunakan sebagai saran

prakiraan yang digunakan untuk menilai resiko terjadinya kebakaran, penyebaran api

serta kerugian yang dapat ditimbulkannya. Sehingga dalam aplikasinya ia dapat

dijadikan sebagai acuan dalam sistem peringatan dini tentang adanya bahaya

kebakaran. Salah satu sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada adalah sistem

indeks cuaca kebakaran atau Sistem Fire Weather Index , yang disingkat dengan

Sistem FWI (Beck, 2002).

12
2.4. Peta Kerawanan Kebakaran

Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu terminologi

yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran dan kondisi bahan

bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard digunakan untuk

menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan oleh volume, tipe,

kondisi, keteraturan, dan lokasi yang menentukan derajat kemudahan pembakaran

dan ketahanan terhadap pengendalian (Hardy, 2005). Faktor lingkungan fisik dan

aktivitas manusia merupakan dua kelompok utama faktor resiko kebakaran hutan dan

lahan. Pusat perkampungan, jaringan jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan

penutupan lahan merupakan faktor manusia yang mempengaruhi tingkat resiko

kebakaran hutan dan lahan (Boonyanuphap 2001). Lapan (2004) berhasil memetakan

kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu

kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan

sangat tinggi berdasarkan criteria dan bobot tertentu terhadap faktor-faktor

penyebabnya. Sistem Informasi Geografis adalah sistem komputer yang memiliki

kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi

bereferensi geografis (Riyanto, 2009). Geographical Information System (GIS)

disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari

bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah

bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas, 1996).

Peta Rawan Kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk

mempresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan resiko terjadinya kebakaran

13
hutan dan lahan. Model ini dibuat dengan menggunakan aplikasi GIS untuk

memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Oleh karena itu,

memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang

sangat utama di dalam melakukan permodelan ini (Solichin, dkk, 2007)

2.5.Pengendalian dan pencegahan karhutla berbasis masyarakat

Partisipasi masyarakat memegang peranan penting dalam mencapai tujuan

dan sasaran suatu program pembangunan. Davis dan Newstrom (1995:179)

mengemukakan : Pertisipasi adalah kesatuan mental dan emosional orang-orang

dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi

kepada tujuan kelompok dan berbagai tanggungjawab pencapaian tujuan itu.

Menurutnya ada 3 (tiga) gagasan positif dalam defenisi parisipasi yaitu keterlibatan,

distribusi dan tangungjawab. Sedikit berbeda dengan pendapat ini, Conyers

(1991:154-155) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu alat

guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat

setempat, jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya dan hak

demokrasi. Riggs ( 1988 :297) mengemukakan bahwa masyarakat mempunyai

kekuatan untuk menghambat kegiatan itu apabila mereka tidak dilibatkan dalam

proses pengambilan keputusan tersebut. Peran serta masyarakat dalam pengendalian

kebakaran hutan dan lahan dalam Peraturan Daerah dinyatakan yaitu: "Masyarakat

yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar hutan dan lahan terutama daerah-

daerah yang rawan kebakaran, diwajibkan untuk selalu waspada/ siaga dan secara

aktif melakukan usaha-usaha :

14
1. Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan,

baik secara perorangan maupun melalui kelompok masyarakat:

2. Apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan wajib dengan sukarela

melakukan pemadaman, baik secara perorangan maupun melalui kelompok

masyarakat;

3. Melaporkan kebakaran hutan secara dini kepada instansi terdekat.

Dalam ketentuan pasal tersebut, masyarakat dituntut proaktif baik

sendirisendiri maupun kelompok untuk secara langsung melakukan tindakan

pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan serta wajib

melaporkannya dengan pejabat pemerintah terdekat.

Sedangkan untuk peran serta masyarakat yaitu :

1) Pemerintah menumbuh-kembangkan peranserta masyarakat dalam rangka

pengendaliaan kebakaran hutan untuk ikut secara aktif dalam proses kegiatan

pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca. Untuk menumbuh-

kembangkan peranserta masyarakat dalam kegiatan pengendalian kebakaran

hutan, dilakukan dalam bentuk : (a) Pendidikan dan latihan; (b).Penguatan

kelembagaan; (c).Fasilitasi; dan (d).Penyuluhan. Peranserta masyarakat

dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dilakukan bersama-sama

dengan Brigdalkarhut pada setiap jenjang. Bentuk peranserta masyarakat

dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan kemandirian dalam kegiatan

pengendalian kebakaran hutan. Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten

15
telah melakukan berbagai upaya guna memberdayakan masyarakat untuk

dapat berperan serta secara aktif dalam melakukan pencegahan.

16
III.METODELOGI

3.1.Pengaruh Karakteristik Bahan Bakar,Cuaca dan Topografi terhadap Laju

Kebakaran Hutan

3.1.1.Waktu dan Tempat

Pada praktikum ini di lakukan pada tanggal 08 Desember 2017 pukul 15.00-

Selesai di lapangan terbuka di samping Gedung kuliah E Fakultas Pertanian

Universitas Riau.

3.1.2.Alat dan Bahan

Alat yang di gunakan meliputi :

1.Wadah terbuat dari seng untuk tempat pembakaran

2.Stopwatch

3.Penggaris besi untuk mengukur tinggi nyala api

4.Korek api

5.Alat timbangan

Bahan yang di gunakan :

1.Bahan bakar yang terdiri bahan bakar halus,sedang dan kasar

17
2.Susunan bahan bakar (kompak,sedang dan tidak)

3.Bahan bakar yang terdiri dari bahan bakar kadar air tinggi,sedang

rendah

4.Bahan bakar yang terdiri dari bahan bakar mati dan hidup

5.Bahan bakar dari jenis pohon,alang-alang dan semak belukar

3.1.3.Prosedur kerja

1.Pisahkan bahan bakar menurut ukuran, jenis,kadar air dan tipe

vegetasi

2.Timbang masing-masing bahan bakar dan tentukan berat yang sama

3.Nyalakan masing-masing bahan bakar dengan menggunakan korek

api dan di catat waktu (mulai terbakar dan habis terbakar) dan tinggi

nyala api

4.Letakkan bahan bakar di tiga lokasi

a.dengan kecepatan angina yang berbeda (di kipas dengan

kencang,I kipas dengan kuat dan di biarkan saja)

b.dengan kelerengan yang berbeda (landai,miring,sangat

miring)

5.Masing-masing tiga kali ulangan

18
6.Susun bahan bakar menurut kekompakan dan nyalakan api dengan

menggunakan korek api dan di catat waktu dan tinggi nyala api

7.Catat warna api,tinggi api,bentuk api dan asap yang di timbulkan

8.Catat sisa dari bahan bakar berupa arang,abu dan persentase bahan

yang tidak terbakar)

3.2.Pengendalian dan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis

Masyarakat

3.2.1.Waktu dan Tempat

Pada praktikum kali ini di laksanakan di Desa Rimbo panjang

pada Tanggal 24 Desember 2017 pukul 09.00-Selesai

3.2.2.Alat dan Bahan

1.Alat Tuis

2.Talysheet (draft wawancara)

3.Alat perekam suara

4.Camera

4.3.3.Prosedur kerja

1.Lakukan wawancara kepada masyarakat sekitar dengan

mengikuti draf wawancara yang ada

19
2.Catat dan rekam hasil wawancara dari narasumbernya

20
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Pengaruh Karakteristik Bahan Bakar Terhadap Laju Kebakaran

4.1.1.Hasil

JENIS TINGGI
WARNA
NO. BAHAN UKURAN NYALA WAKTU BERAT
API
BAKAR API
1. Daun Halus 18 cm Kuning 2 menit 149 gram
13menit
2. Balok Kasar 17,8 cm Kuning 120 gram
45 detik

JENIS TINGGI
WARNA
NO. BAHAN KEKOMPAKAN NYALA WAKTU BERAT
API
BAKAR API
2 menit 127
Kompak 18 cm Kuning
41 detik gram
Daun dan 2 menit 143
1. Sedang 17 cm Kuning
Ranting 16 detik Gram
156
Tidak 12 cm Kuning 1 menit
gram
40 menit 112
Kompak 19cm Kuning
21 detik Gram
2. Balok 36 menit 114
Sedang 19 cm Kuning
57 detik Gram
Tidak 15 cm Kuning 20 menit 105

21
10 detik gram

NO. JENIS TINGGI WARNA NYALA WAKTU BERAT


BAHAN NYALA API API
BAKAR API
1. Rumput 11 cm Kuning Nyala 18 menit 200 gram
hidup 12 detik
2. Rumput 10 cm Kuning Nyala 14 menit 200 gram
mati 40 detik

4.1.2.Pembahasan

Menurut Clar dan Chatten (1954), hal-hal penting dari bahan bakar yang dapat

mempengaruhi kebakaran meliputi ukuran bahan bakar, susunan bahan bakar,

volume, jenis, kerapatan, dan kadar air dari bahan bakar. Pyne (1996) juga

menyebutkan hal yang hampir senada dengan apa yang dinyatakan oleh Clar dan

Chatten (1954). Pyne (1996) menyatakan jumlah bahan bakar, kepadatan, susunan,

bentuk dan ukuran bahan bakar sebagai sifat ekstrinsik dari bahan bakar yang

berpengaruh pada kebakaran selain sifat-sifat intrinsik seperti kadar zat kimia dan

potensi bahang yang dimiliki oleh suatu jenis bahan bakar. Bahan bakar dengan

ukuran yang lebih kecil akan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakar

yang memiliki ukuran yang lebih besar. Hal tersebut terjadi karena pengeringan

bahan bakar yang berukuran kecil hingga mencapai suhu pengapian, akan

membutuhkan jumlah bahang yang lebih sedikit daripada melakukan hal yang sama

pada bahan bakar yang berukura n lebih besar. Bahan bakar yang berdiameter kurang

22
dari 0.5 inchi dikenal sebagai bahan bakar halus (light fuels/fine fuels), sedangkan

bahan bakar yang memiliki ukuran diameter lebih dari 0.5 inchi dinamakan bahan

bakar kasar (heavy fuels ). Pada umumnya heavy fuels kering akan menyediakan

materi yang dapat terbakar dalam jumlah yang lebih banyak dari fine fuels. Fine fuels

memang lebih mudah mengering, selain itu dibandingkan heavy fuels ia juga lebih

mudah menyerap air. Karena sifatnya itu ketika fine fuels terbakar, api akan

menyebar dengan cepat, akan tetapi kebakaran yang ditimbulkannya juga relatif lebih

cepat padam, karena materi yang dapat terbakar yang ada padanya relatif sedikit.

Pada umumnya fine fuels memegang peranan yang dominan pada periode awal

kebakaran. Adapun kadar air yang terdapat pada heavy fuels relatif stabil. Heavy

fuels relatif lebih sulit terbakar, akan tetapi ketika sudah tersulut api, heavy fuels

mampu menimbulkan kebakaran dengan periode yang relatif lama. Kerapatan bahan

bakar menyatakan jarak antar partikel dari bahan bakar. Bahan bakar dengan

kerapatan yang rendah akan lebih cepat bereaksi terhadap perubahan kelembaban,

selain itu angin dengan mudah melakukan penetrasi dan turut berperan dalam

mengurangi kelembaban bahan bakar. Ia juga memiliki potensi pasokan oksigen yang

lebih banyak, karena memiliki lebih banyak ruang kosong sehingga dapat

menampung lebih banyak oksigen. Dengan kata lain ia memiliki potensi jumlah

oksigen yang lebih banyak pada setiap luasan penampangnya. Kebakaran akan

merambat lebih cepat jika terjadi pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan

yang rendah. Penjalaran api pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang

rendah akan berperilaku seperti halnya pada fine fuels, sedangkan penjalaran api pada

bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang tinggi/padat akan berperilaku

23
seperti halnya heavy fuels. Susunan bahan bakar meliputi orientasi arah secara

vertikal ataupun horisontal. Bahan bakar yang tersusun kontinyu akan semakin

mempercepat perambatan api. Jika bahan bakar tersusun vertikal secara kontinyu

kebakaran tajuk (aerial fire) akan terjadi lebih cepat, demikian pula bila terdapat

kekontinyuan susunan bahan bakar dalam arah horisontal, dalam hal ini perambatan

api secara horisontal lebih cepat terjadi. Berdasarkan distribusi vertikalnya,

komponen bahan bakar dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu bahan bakar bawah

(ground fuels), bahan bakar permukaan (surface fuels), dan bahan bakar tajuk (aerial

fuels ). Ground fuels meliputi semua bahan bakar yang terdapat di bawah lapisan

sarasah. Ground fuels didominasi oleh akar tanaman, dan bongkahan kayu yang

tengah ataupun telah membusuk dan terkubur di dalam permukaan tanah. Jenis bahan

bakar ini lebih mungkin untuk menimbulkan kebakaran yang berupa bara api

daripada nyala api. Ground fuels pada umumnya memiliki kadar air yang lebih

banyak daripada surface fuels ataupun aerial fuels. Pada umumnya sebelum kadar air

yang dikandung oleh ground fuels jumlahnya kurang dari 20% dari bobot keringnya,

kebakaran akan susah timbul. Api pada umumnya berasal dari terbakarnya lapisan

sarasah di atasnya, yang kemudian merambat membakar bahan-bahan organik yang

berada pada lapisan di bawahnya. Begitu terjadi, kebakaran yang lazim disebut

sebagai ground fire tersebut akan susah untuk dipadamkan. Surface fuels meliputi

seluruh sarasah yang terdapat pada lantai hutan. Pada umumnya surface fuels terdiri

atas pucuk daun ataupun dedaunan, ranting, kulit kayu, buah, dan cabang kecil yang

telah jatuh berguguran di permukaan tanah. Selain itu surface fuels juga meliputi

rerumputan, semak belukar, dan bibit ataupun tumbuhan hutan yang masih muda.

24
Pada umumnya sarasah akan membentuk suatu lapisan bahan bakar yang sangat

mudah dilalap api. Komponen bahan bakar ini pada umumnya memiliki diameter

yang besarnya kurang dari 0.5 inchi, sehingga dapat dikategorikan sebagai fine fuels.

Kebakaran yang terjadi di permukaan tanah yang mengkonsumsi surface fuels dengan

ketinggian maksimum 1.2 meter dikenal sebagai surface fire. Pada umumnya

kebakaran ini tidak mencapai tajuk karena pohon-pohonnya jarang atau dari jenis

yang sulit terbakar. Surface fuels yang tersusun secara kontinyu dan terekspos secara

langsung dengan udara, seperti rerumputan dan semak belukar, ketika mati kadar

kelembabannya akan sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca harian. Kadar

kelembaban komponen bahan bakar tersebut sangat sensitif terhadap perubahan nilai

suhu, angin dan kelembaban udara disekitarnya. Aerial fuels meliputi semua zat yang

dapat terbakar baik hidup ataupun mati yang terdapat pada kanopi hutan, serta

terpisah dari permukaan tanah dengan jarak minimal sejauh 1,2 meter. Aerial fuels

biasanya didominasi oleh cabang, daun, pucuk, buah tanaman, lumut kerak, lumut

daun, serta tanaman epifit lainnya. Pada umumnya bahan bakar ini terbakar setelah

sebelumnya mengalami penambahan bahang yang bersumber dari surface fire

terutama melalui mekanisme konveksi.

Adapun pengaruh adanya jenis bahan bakar yang diamati ada dua yaitu

tanaman yang masih dalam keadaan segar dan tanaman yang sudah mati. Dari

keduanya dapat dilihat adanya perbedaan dalam waktu pembakaran. Pembakaran

pada rumput yang mati lebih cepat terbakar, dibandingkan rumput yang masih segar.

25
Hal ini disebabkan adanya kandungan kadar air dalam vegetasi yang masih segar

sehingga memperlambat proses pembakaran.

Pada pengaruh kekompakan bahan bakar. Dapat dilihat jga adanya perbedaan

kekompakan bahan bakar (kompak, sedang dan tidak kompak) yang paling cepat

hingga yang paling lama terdapat pada keadaan bahan bakar : tidak kompak, sedang,

dan kompak. Hal ini di karenakan pengaruh susunan bahan bakar, jika bahan bakar

disusun kompak dan padat, maka udara yang terdapat di bahan bakar sedikit begitu

pula sebagliknya.

4.2. Pengaruh Cuaca dan Topografi terhadap laju dan intensitas

Kebakaran

4.2.1.Hasil

JENIS TINGGI
KECEPATAN WARNA
NO. BAHAN NYALA WAKTU BERAT
ANGIN API
BAKAR API
Sangat 17 cm Kuning 3 menit 200
kencang 20 detik gram
Daun dan Kencang 15 cm Kuning 3 menit 200
1.
Ranting 56 detik gram
Dibiarkan 15 cm Kuning 4 menit 200
15 detik gram
Sangat 8 cm Kuning 10 menit 200
kencang 2 detik gram
Kencang 6 cm Kuning 19 menit 200
2. Balok
24 detik gram
Dibiarkan 6 cm Kuning 20 menit 200
13 detik gram

26
SUHU KELEMBABAN
NO. KONDISI LINGKUNGAN
(℃) (%)
1. Terbuka 27 80

2. Semi terbuka 30 83

3. Tertutup 26 79

JENIS TINGGI
WARNA
NO. BAHAN TOPOGRAFI NYALA WAKTU BERAT
API
BAKAR API
Landai 15 cm Kuning 6 menit 100
12 detik gram
Daun dan Miring 15 cm Kuning 4 menit 100
1.
Ranting 12 detik gram
Sangat 18 cm Kuning 3 menit 100
miring 56 detik gram
Landai 6 cm Kuning 12 menit 200
13 detik gram
Miring 10 cm Kuning 16 menit 200
2. Balok
30 detik gram
Sangat 14 cm Kuning 14 menit 200
miring 50 detik gram

4.2.2.Pembahasan

Kebakaran yang telah terbentuk akan saling berinteraksi dengan lingkungan di

sekitarnya. Countryman (1972) menuliskan hubungan antara lingkungan dengan

kebakaran yang terjadi. Konsep tersebut menggambarkan kondisi lingkungan sekitar

27
yang mempengaruhi, merubah, dan menentukan perilaku api yang terjadi. Perilaku

api didefinisikan oleh De Bano (1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang

terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. Baik Countryman (1972)

maupun De Bano (1998) menyatakan kondisi dan perubahan komponen-komponen

lingkungan sekitar akan mempengaruhi kebakaran. Komponen–komponen utama dari

lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi

ketiganya dengan kebakaran yang ada juga akan menentukan karakteristik dan

perilaku dari kebakaran. Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya

merupakan tiga buah komponen lingkungan yang sangat mempengaruhi perilaku

kebakaran. Angin yang diamati terhadap proses pembakaran dilakukan pada 3 kondisi

(dibiarkan, kencang dan sangat kencang).

Dari Praktikum ini terlihat adanya perbedaan waktu pembkaran yang terjadi

pada perlakuan yang dilakukan baik pada bahan bakar yang halus maupun yang

kassar. Pada bahan bakar daun dan ranting, pengaruh angin terhadap waktu

pembakaran yang paling lama hingga yang paling cepat berturut turut berkisar antara

3- 4 menit (sangat kencang, kencang, dan dibiarkan). Sedangkan untuk waktu

pembakaran pada bahan bakar balok berkisar antara 10- 20 menit (sangat kencang,

kencang, dan dibiarkan). Saat angin yang bertiup kencang lebih cepat dibandingkan

pada kondisi angin rata-rata. Hal ini disebabkan angin merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhu laju pembakaran.

Pada pengaruh topografi dilakukan pada 3 kondisi yang berbeda diantaranya

landai, miring dan sangat miring. Ketiga kondisi topografi (kecuraman) pengamatan

28
dilakukan pada dua jenis bahan bakar berbeda yaitu bahan bakar daun dan ranting,

serta balok.

Dari hasil pengamatan dapat dilihat adanya perbedaan waktu pembakaran.

Pada bahan bakar daun dan ranting, waktu pembakaran yang sangat cepat sampai

yang paling lambat terdapat pada kondisi topografi (sangat miring, miring, dan landai

dengan berkisar waktu 3 -6 menit). Sedangkan pada bahan bakar balok, waktu

pembakaran yang sangat cepat sampai yang paling lambat terdapat pada kondisi

topografi (sangat miring, miring, dan landai dengan berkisar waktu 12 -16 menit).

4.3. Pengendalian dan Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan Masyarakat

Peduli Gambut

4.3.1.Hasil

Program Kendala
Teknik yang Kondisi yang di
No pengendali- dilakuka Personil umum lahan hadapi
Alat-alat
. an n di terkait bekas MPG
kebakaran Rimbo terbakar
Panjang
Revegeta Masyarakat Dana yang
Mesin -si Peduli minim
1. Sumur bor Subur
robbin Gambut
(MPG)
Perhuta- Dimanfaat- Kurangnya
Budidaya nan sosial Sumber
Sumur Masyarakat kan untuk
2. nanas dan daya
bor lokal menanam
ikan lele manusia
nenas
Penyuluhan Masyarakat
tentang masih
Hygrome karhutla Satgas sering
3. membuka
ter (bahaya DAMKAR
lahan
serta dengan
dampak) membakar

29
Patroli
4. BPBD
setiap hari
Pembasahan
5.
lahan

4.3.2.Pembahasan

Masyarakat peduli gambut merupakan salah satu kelompok masyarakat yang

memiliki tugas untuk menjaga lahan dan fungsi gambut sebagaimana mestinya.

Selain menjaga lahan gambut MPG bekerjasama dengan BPBD, masyarakat lokal,

satgas damkar dan pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi karhutla di

Rimbo panjang, sebagai upaya untuk meminimalisir titik hot spot di provinsi Riau.

Adapun teknik pengendalian yang dilakukan masyarakat peduli gambut dalam

menangani bencana karhutla adalah dengan membangun sumur bor ,Pemasangan

sumur bor merupakan upaya awal mencegah perluasan kebakaran. Sumur yang kami

pasang disamping sebagai sumber air untuk pemadaman kebakaran dan pembasahan

gambut, juga dapat digunakan sebagai penyedia air bersih bagi warga

sekitar,mengembangkan budidaya lele dan nanas, melakukan patroli, danpenyuluhan

ke masyarakat mengenai cara menjaga lahan gambut agaar tidak mengalami

kebakaran.

Teknik pengendalian menggunakan sumur bor mulai dibangun pada bulan

april 2016 diabntu dari pemberdayaan masyarakat, dengan kedalam 25 meter dan

setiap sumur bor dilengkapi mesin robbin. Di rimbo panjang tidak menerapkan kanal

bloking karena dinilai teknik kanal bloking tidak efektif diterapkan di lahan gambut,

karena dapat menyebabkan lahan menjadi kering saat musim kemarau. Sehingga

30
teknik dengan sumur bor yaitu melalui pembasahan lahan lebih cocok diterapkan di

desa rimbo panjang. Pada suhu 34℃ pembasahan dilakukan untuk menghindari

terjadinya pengeringan pada lahan gambut.

Kegiatan yang dilakukan pasca terjadinya kebakaran adalah pembuatan kebun

dan budidaya ikan lele untuk membantu perekonomian warga Rimbo panjang. Lahan

bekas terbakar juga sangat bagus untuk ditanami nenas karena dinilai mampu

meningkatkan pendapatan masyarakat, selain itu lahan nya juga subur.

Program yang dilakukan di desa rimbo panjang ini diantaranya revegetasi dan

perhutanan sosial. Perhutanan sosial maksudnya dihutankan lagi tetapi ada efek yang

positif terhadap perekonomian masyarakat. Adapun kendala yang terjadi di Rimbo

panjang ini terkait dalam hal kurang tersedianya anggaran dari pemerintah, kurangnya

pengetahuan warga mengenai pengendalian karhutla dan penggunaan sumur bor, dan

masyarakat masih membuka lahan dengan cara membakar lahan.

Masyarakat peduli gambut merupakan salah satu kelompok masyarakat yang

memiliki tugas untuk menjaga lahan dan fungsi gambut sebagaimana mestinya.

Selain menjaga lahan gambut MPG bekerjasama dengan BPBD, masyarakat lokal,

satgas damkar dan pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi karhutla di

Rimbo panjang, sebagai upaya untuk meminimalisir titik hot spot di provinsi Riau.

Adapun teknik pengendalian yang dilakukan masyarakat peduli gambut dalam

menangani bencana karhutla adalah dengan membangun sumur bor,

mengembangkan budidaya lele dan nanas, melakukan patroli, danpenyuluhan ke

masyarakat mengenai cara menjaga lahan gambut agaar tidak mengalami kebakaran.

31
Teknik pengendalian menggunakan sumur bor mulai dibangun pada bulan

april 2016 diabntu dari pemberdayaan masyarakat, dengan kedalam 25 meter dan

setiap sumur bor dilengkapi mesin robbin. Di rimbo panjang tidak menerapkan kanal

bloking karena dinilai teknik kanal bloking tidak efektif diterapkan di lahan gambut,

karena dapat menyebabkan lahan menjadi kering saat musim kemarau. Sehingga

teknik dengan sumur bor yaitu melalui pembasahan lahan lebih cocok diterapkan di

desa rimbo panjang. Pada suhu 34℃ pembasahan dilakukan untuk menghindari

terjadinya pengeringan pada lahan gambut.

Kegiatan yang dilakukan pasca terjadinya kebakaran adalah pembuatan kebun

dan budidaya ikan lele untuk membantu perekonomian warga Rimbo panjang. Lahan

bekas terbakar juga sangat bagus untuk ditanami nenas karena dinilai mampu

meningkatkan pendapatan masyarakat, selain itu lahan nya juga subur.

Program yang dilakukan di desa rimbo panjang ini diantaranya revegetasi dan

perhutanan sosial. Perhutanan sosial maksudnya dihutankan lagi tetapi ada efek yang

positif terhadap perekonomian masyarakat. Adapun kendala yang terjadi di Rimbo

panjang ini terkait dalam hal kurang tersedianya anggaran dari pemerintah, kurangnya

pengetahuan warga mengenai pengendalian karhutla dan penggunaan sumur bor, dan

masyarakat masih membuka lahan dengan cara membakar lahan.

32
V.PENUTUP

5.1.Kesimpulan

Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan

dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya

pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum

memberikan hasil yang optimal.

5.2.Saran

Masyarakat setempat harus menyadari akan bahaya yang di timbulkan akibat

pembukaan lahan dengan menggunakan metode land clearing .Perlindungan hutan

dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan

hutan; kawas an hutan; dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia,

ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama sert a penyakit (Pas al 47, ayat 1).

Kerjasama yang baik antar Negara tetangga akan cepat terselesainya kabut asap yang

merusak system pernapasan masyarakat setempat dan faktor perekonomian

masyarakat dan Negara – Negara tetangga yang ikut merasakan kabut asap dari riau .

33
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khakim, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia (Dalam Era

Otonomi Daerah) , Cet.1,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti,2005)

Bowen, R. 1999. Kebakaran Hutan di Indonesia: Sekilas Pandangan

terhadap Penyebab, Kerusakan dan Pencegahan. Forest Liaison Berau

Newsletter 2/1999. Uni Eropa-Dephutbun. Jakarta.

Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakkan

Hukum Lingkungan di Indonesia, Penerbit Alumni, ed. 2, cet. Bandung.

Mohammad Burhan Tsani, Peyebab kebakaran hutan di riau , (Yogyakarta:

Liberty, 1990), Cetakan Pertama.

Raharjo, B. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari


Perlukah Dilakukan. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan.
Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Rasyid, F. 2014. Permasalahann dan Dampak Kebakaran Hutan. Lingkar


Widyaiswara, 47-56. Jakarta.

34
LAMPIRAN WAWANCARA

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Tanggal Wawancara : 24 Desember 2017

Waktu : 8.30 wib sampai dengan selesai

IDENTITAS NARASUMBER

1. Nama : Bapak Heri

2. Pekerjaan : Pembina dan ketua MPG Rimbo panjang

3. Jenis kelamin : Laki-laki

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN


1. Apakah anda mengetahui istilah kebakaran hutan?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah di wilayah anda pernah terjadi kebakaran hutan?
a. Ya b. Tidak
 Sering terjadi kebakaran, saat musim kemarau dan saat lahan
tidak dilakukan proses pembasahan, sehingga mengering.
3. Apa yang menjadi penyebab kebakaran tersebut?
Jelaskan: Disebabkan oleh cuaca ekstrem dan kurang aktifnya
masyarakat dalam pengelolaan lahan.
4. Apakah bentuk pencegahan kebakaran hutan yang dilakukan MPG Rimbo
panjang yang anda ketahui?
a. Penyuluhan/sosialisasi
b. Papan Peringatan
c. Peraturan tertulis
d. Sekat bakar hijau (dengan jenis tanaman
berupa.........................................)
e. Lainnya: Sumur bor, pembasahan, penyuluhan, patroli swadaya.
5. Apa yang anda ketahui tentang kegiatan pemadaman kebakaran hutan

35
a. Metode jalur (ilaran)
b. Metode Pemadaman Langsung
c. Metode Pembakaran Balik
d. Belum pernah memadamkan
6. Apakah anda berpartisipasi untuk memadamkan kebakaran tersebut?
a. Ya b. Tidak

Jika ya, sebutkan bentuk partisipasi anda: melakukan pemadaman


secara langsung dengan cara pembasahan lahan.

Apakah anda pernah membuka lahan dengan membakar (misalnya


7. untuk membuka ladang)?

a. Ya b. Tidak

8. Apa alasan anda membuka lahan dengan cara membakar?


a. Mudah dan murah
b. Lainnya
Sebutkan: selain mudah, dan murah. Membuka lahan dengan cara
membakar dipercaya mampu menyuburkan tanah)

9. Dari siapa anda mengetahui teknik pembersihan lahan dengan cara


membakar?
a. Turun temurun

b. Lainnya ...

10. Berapa banyak alat yang digunakan untuk pengendalian api di rimbo
panjang?

Sebutkan: setiap 1 km di lahan gambut ini di bangun 6 sumur bor dengan


tiap 400 meter terdapat 2 mesin robbin.

11. Apakah di desa rimbo panjang ini memiliki alat pengendalian karhutla?
Jika ada siapa pemilik alat tersebut?

36
Sebutkan: alat sudah dimiliki oleh masyarakat, hasil dari bantuan
pemerintah (APBD Riau).
12. Upaya apa yang anda lakukan saat terjadinya kebakaran lahan agar api
tidak mudah menyebar ke areal lain? Jelaskan: Diberikan pembatas agar
tidak menyebar ke lahan lainnya.

13. Menurut anda kerugian apa yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan?
Jelaskan:menyebabkan kerugIan materi, serta mengganggu kesehatan
masyarakat.

14. Alat apa saja yang digunakan oleh MPG ataupun masyarakat dalam
melakukan pengendalian api di areal ini?
Sebutkan: Water level, hygrometer.

15. Alat apa saja yang digunakan untuk memadamkan api setelah terjadinya
kebakaran di areal ini?
Sebutkan: sumur bor beserta mesin robbin.

16. Teknik apa yang anda lakukan pada saat melakukan pengendalian dan
pencegahan terhadap kebakaran?
Sebutkan: Pembasahan lahan.
17. Apakah di wilayah anda pernah ada sosialisasi/penyuluhan mengenai
dan pencegahan terhadap kebakaran?
a. Pernah
b. Tidak pernah
c. Tidak tahu
Jika pernah oleh siapa (Badan restorasi gambut dan kementrian
kehutanan)

18. Siapa sajakah yang ikut berperan aktif dalam upaya pengendalian dan
pencegahan kebakaran hutan dan lahan di areal ini?
Sebutkan:Masyarakat Lokal, satgas damkar, BPBD, Manggala agni,
POLRI/ TNI.

37
19. Apa saja kendala yang dihadapi MPG dalam upaya pengendalian dan
penanganan kebakaran hutan dan lahan?

Sebutkan: pemerintah kurang aktif dalam penyediaan dana, belum

adanya kegiatan pemulihan lahan di Rimbo panjang, sumber

daya manusia yang kurang tersedia, masyarakat masih sering

membuka lahan dengan membakar karena dinilai lebih praktis

dan dapat menyuburkan tanah, serta masyarakat pemilik lahan

yang kurang aktif dalam pengelolaan lahan, sehingga

menyebabkan lahan tersebut terbengkalai dan mengering.

20. Program apa saja yang diterapkan di Rimbo panjang untuk menunjang
kegiatan pengendalian karhutla?
Sebutkan: Revegetasi, Revitalisasi masyarkat, dan pembasahan
lahan.

38
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Proses pembakaran ranting Seng dan bahan bakar berupa kayu

Minyak avtur untuk membantu proses Proses pembakaran pada lahan miring
pembakaran bahan

39
Proses pembakaran kayu kering
Proses pembakaran daun basah/hidup

Melihat warna api dan mengukur tinggi Alat/mesin bor untuk pemadaman api
api

40
Proses pemadaman kebakaran
Selang mesin pemadam api

41

Anda mungkin juga menyukai