Anda di halaman 1dari 4

Anti Alergi Klasik CTM

Chlorpheniramin Maleat, Indikasi


dan Penggunaannya
Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik.
Pemberian obat jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan
menghindari penyebab.

Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis


terhadap histamin. Di pasaran banyak dijumpai berbagai jenis antihistamin
dengan berbagai macam indikasinya. Antihistamin terutama dipergunakan
untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain yang
disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara
rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi
karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan
sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan. Di
Indonesia,Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM
merupakan salah satu antihistaminika yang memiliki efek sedative atau
menimbulkan rasa kantuk. Namun, dalam penggunaannya di masyarakat
lebih sering sebagai obat tidur dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya
sebagai obat tunggal maupun campuran dalam obat sakit kepala maupun
influenza lebih ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan sehingga
pengguna dapat beristirahat.
CTM mengandung chlorpheniramine maleate. Chlorpheniramine maleate termasuk
dalam kategori agen antialergi, yaitu histamin (H1-receptor antagonist).
Chlorpheniramine maleate memiliki nama kimia 2-Pyridinepropanamine, b-(4-
chlorophenyl)-N,N-dimethyl. Obat ini biasa digunakan untuk meredakan bersin, gatal,
mata berair, hidung atau tenggorokan gatal, dan pilek yang disebabkan oleh hay fever
(rinitis alergi), atau alergi pernapasan lainnya.

Penelitian pada hewan pada obat ini tidak menunjukkan risiko pada janin tetapi tidak
ada studi terkontrol pada wanita hamil. Penelitian pada hewan telah menunjukkan efek
samping (selain penurunan fertilitas) yang tidak dikonfirmasi dalam studi terkontrol
pada wanita dalam 1 trimester, serta tidak ada bukti risiko pada trimester berikutnya.
Obat golongan ini memiliki efek penenang yang relatif lemah dibandingkan dengan
antihistamin generasi pertama. Chlorphenamine sering dikombinasikan dengan
fenilpropanolamin untuk membentuk suatu obat alergi dengan antihistamin dan
dekongestan. Antihistamin sangat membantu dalam kasus di mana alergi merupakan
penyebab batuk atau pilek.

CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan
toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM
sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Menurut
Dinamika Obat (ITB,1991), CTM merupakan salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang
mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan
demikian mampu meniadakan kerja histamin.

Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi


pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus), kontraksi
sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit misal pada
gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler
atau terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin
memegang peran utama pada proses peradangan dan pada sistem imun.

CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih.
Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin
endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang
membentuk histamin dari histidin.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan
gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek
samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa
menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan
tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang
mengendarai kendaraan.

Jadi sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan
efek samping dari obat tersebut. CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat
pengikatan histamin pada resaptor histamin.

Indikasi
 Kondisi alergi Bersin, gatal, mata berair, hidung atau tenggorokan gatal, dan pilek
yang disebabkan oleh hay fever (rinitis alergi), atau alergi pernapasan lainnya.
 Syok anafilaktik
Kontraindikasi :
 Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap obat antihistamin

Anda mungkin juga menyukai