Anda di halaman 1dari 21

BABI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan yang terus mengalami perkembangan telah
membawa manusia menuju suatu babak baru dalam kehidupan yang lebih
maju. Namun, kemajuan ini ternyata juga telah menuntun manusia ke
kehidupan yang lebih bebas. Sebagai contoh adalah adanya kasus seks
bebas dan penggunaan narkoba. Jika kedua kasus tersebut meningkat,
berarti terjadi pula peningkatan risiko penyebaran penyakit infeksi yang
saat ini menjadi fenomena di dunia. Salah satu penyakit infeksi yang
menyebar melalui perilaku seks bebas dan penggunaan narkoba adalah
infeksi HIV / AIDS. Penyakit ini sampai sekarang masih menjadi isu
kesehatan publik di dalam komunitas di seluruh dunia (Smeltzer & Bare,
2002).
Bukti nyata dari uraian diatas adalah masuknya budaya
liberalisme dari belahan bumi bagian barat ke belahan bumi bagian timur,
termasuk Negara Indonesia. Pola hidup yang serba tidak terkendali ini
semakin mengakar dalam kehidupan para generasi muda. Norma - norma
yang membatasi pergaulan bebas dianggap sebagai aturan kuno yang
sudah tidak up to date. Pola pikir semacam ini melatarbelakangi timbulnya
gaya hidup yang makin merusak fisik dan moral, antara lain seks bebas
dan pemakaian obat - obatan terlarang. Hal ini juga memacu praktik
prostitusi yang tidak hanya diramaikan oleh kalangan dewasa saja, tetapi
juga dari kalangan remaja ABG (Kompas, 17 September 2012).
Acquired Immune Deficiensy Syndrome atau yang lebih dikenal
dengan istilah AIDS merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya
kelainan yang komplek dalam sistem pertahanan selular tubuh dan
menyebabkan korban menjadi sangat peka terhadap mikroorganisme
oportunistik. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus atau disingkat dengan HIV. Penyakit ini merupakan penyakit
kelainan, yang pada mulanya dialami oleh kelompok kaum homoseksual.

1
AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika Serikat.
Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan
oleh komunitas kaum homoseksual (Varney, 2006: 151).
Menurut data UNAIDS / WHO AIDS Epidemic Update yang
dipublikasikan pada 21 November 2007, diperkirakan 39,5 juta Orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Terdapat 4,3 juta infeksi baru pada 2006, 2,8
juta (65 persen) dari jumlah tersebut terjadi di Sub - Sahara Afrika,
sedangkan kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara menyumbang angka
860.000 (15 persen).
Data Kementerian Kesehatan RI yang dihimpun dari laporan
Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten / kota di Indonesia menyebutkan
bahwa hingga Maret 2009 kasus AIDS secara kumulatif berjumlah 16,964
kasus. Terdapat 10 provinsi di Indonesia yang memiliki kasus AIDS dalam
jumlah besar adalah Provinsi Jawa Barat 3,162 kasus, DKI Jakarta
sebanyak 2,807 kasus, Jawa Timur 2,652 kasus, Papua 2,499 kasus, Bali
1,263 kasus, Kalimantan Barat 730 kasus, Sumatera Utara 485 kasus, Jawa
Tengah 573 kasus, Riau 368 kasus, dan Kepulauan Riau 325 kasus. Dua
modus penularan terbesar yakni melalui penggunaan Napza suntik 42.6%,
dan seks berisiko (heteroseksual 55% dan homoseksual 3.1%). Hasil
Pemodelan epidemi di Indonesia memproyeksikan jumlah ODHA usia 15-
49 tahun sebesar 0,22% atau sekitar 277,700 orang pada tahun 2008,
meningkat menjadi 0,37% atau 501,400 orang pada tahun 2014. Proyeksi
peningkatan jumlah tersebut menggunakan asumsi bahwa bila pada kurun
waktu tersebut upaya pengendalian penularan HIV dan penanganan AIDS
sama dengan yang dilakukan pada periode sebelumnya.
Menurut Ketua Tim AIDS RSUD dr. Soetomo, Prof. Dr. Yusuf
Barakbah (4 juli 2013), setiap petugas disarana kesehatan yang ada harus
bersedia merawat penderita HIV / AIDS secara wajar dan manusiawi.
“Resiko tertular HIV / AIDS sekecil apapun memang ada, namun tidak
berarti membenarkan para petugas menolak ODHA.” Para penderita
infeksi HIV / AIDS harus mendapatkan perawatan intensif, baik fisik
maupun psikis. Secara fisik mereka diajak untuk lebih waspada terhadap

2
kondisi kesehatan tubuh mereka, sehingga tidak mudah terserang penyakit.
Bagi remaja yang sudah positif AIDS, perawatan fisik ini hanya bersifat
mempertahankan kondisi agar dapat bertahan lebih lama (perawatan
paliatif). Sedangkan secara psikis, para penderita diajak untuk lebih
terbuka dan tegar dalam menghadapi kenyataan hidup, serta jangan sampai
menularkan penyakitnya pada orang lain

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari HIV/ AIDS ?
2. Apa Etiologi dari HIV/ AIDS ?
3. Apa klasifikasi dari HIV/ AIDS ?
4. Bagaimana Patofisiologi dari HIV/ AIDS ?
5. Bagaimana Pathway dari HIV/ AIDS ?
6. Apa Tanda Dan Gejala dari HIV/ AIDS ?
7. Apa Pemeriksaan Penunjang dari HIV/AIDS?
8. Apa Penatalaksanan dari HIV/ AIDS ?
9. Bagaimana Konsep dasar asuhan paliatif care pada HIV/AIDS ?

C. Tujuan
Tujuan disusun makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan pengalaman dalam peranan Renpra Asuhan
Keperawatan Klien Paliatif Care Pada Kasus HIV AIDS .
2. Tujuan Khusus
a) Dapat memahami dan mengerti definisi dari paliatif care
b) Dapat memahami dan mengerti etiologi penyakit HIV AIDS
c) Dapat memahami dan mengerti klasifikasi penyakit HIV AIDS
d) Dapat memahami dan mengerti patofisiologi penyakit
HIV/AIDS
e) Dapat memahami dan mengerti phatway penyakit HIV AIDS
f) Dapat memahami dan mengerti tanda dan gejala HIV AIDS
g) Dapat memahami dan mengerti pemeriksaan penunjang HIV
AIDS

3
h) Dapat memahami dan mengerti penatalaksanaan HIV AIDS
i) Dapat memahami dan mengerti Konsep dasar asuhan paliatif
care pada HIV/AIDS

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Untuk memahami tentang Renpra Asuhan Keperawatan pasien
Paliatif Care Pada Kasus HIV AIDS dan menerapkan ilmu yang
diperoleh dalam perawatan paliatif care dengan kasus HIV AIDS
2. Bagi institusi
Makalah ini bagi institusi pendidikan kesehatan adalah sebagai
tambahan referensi untuk menguji mahasiswa atau mahasiswinya
tentang Renpra Asuhan Keperawatan klien Paliatif Care Pada
Kasus HIV AIDS.
3. Bagi Mahasiswa
Makalah ini bagi masyarakat adalah sebagai penambah wawasan
tentang Renpra Asuhan Keperawatan klien Paliatif Care Pada
Kasus HIV AIDS.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

HIV (Human immunodeficiency Virus) adalah virus pada manusia yang


menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang
relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu
sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama
karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.

1. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang


menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab
yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut
sepertii keganasan, obat - obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah
dikenal dan sebagainya
2. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia
3. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh

B. Etiologi

AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak


sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh mudah diserang penyakit-penyakit
lain yang dapat berakibat fatal. Padahal, penyakit-penyakit tersebut misalnya
berbagai virus, cacing, jamur protozoa, dan basil tidak menyebabkan
gangguan yang berarti pada orang yang sistem kekebalannya normal. Selain
penyakit infeksi, penderita AIDS juga mudah terkena kanker. Dengan
demikian, gejala AIDS amat bervariasi.

Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah virus HIV (Human


Immuno-deficiency Virus). Dewasa ini dikenal juga dua tipe HIV yaitu HIV-1
dan HIV-2. Sebagian besar infeksi disebabkan HIV-1, sedangkan infeksi oleh
HIV-2 didapatkan di Afrika Barat. Infeksi HIV-1 memberi gambaran klinis
yang hampir sama. Hanya infeksi HIV-1 lebih mudah ditularkan dan masa

5
sejak mulai infeksi (masuknya virus ke tubuh) sampai timbulnya penyakit
lebih pendek.

Cara penularan AIDS ( Arif, 2000 )antara lain sebagai berikut :


a. Hubungan seksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan
seksual
b. Melalui darah, yaitu:
1) Transfusi darah yang mengandung HIV, risiko penularan 90-
2) Tertusuk jarum yang mengandung HIV, risiko penularan
3) Terpapar mukosa yang mengandung HIV,risiko penularan
4) Transmisi dari ibu ke anak :
a) Selama kehamilan
b) Saat persalinan, risiko penularan 50%
c) Melalui air susu ibu(ASI)14%

C. Klasifikasi

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO)


mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan
memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-
1.Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan
kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada
orang sehat.

a. Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS


b. Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang
saluran pernapasan atas yang berulang
c. Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama
lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
d. Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea,
bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah
indikator AIDS.

6
D. Patofisiologi
Setelah terinfeksi HIV, 50-70% penderita akan mengalami gejala yang
disebut sindrom HIV akut. Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus
pada umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit tenggorok, mialgia
(pegal-pegal di badan), pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada
sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran menurun. Sindrom
ini biasanya akan menghilang dalam beberapa mingggu. Dalam waktu 3 –
6 bulan kemudian, tes serologi baru akan positif, karena telah terbentuk
antibodi. Masa 3 – 6 bulan ini disebut window periode, di mana penderita
dapat menularkan namun secara laboratorium hasil tes HIV-nya masih
negatif.
\Setelah melalui infeksi primer, penderita akan masuk ke dalam masa
tanpa gejala. Pada masa ini virus terus berkembang biak secara progresif
di kelenjar limfe. Masa ini berlangsung cukup panjang, yaitu 5 10 tahun.
Setelah masa ini pasien akan masuk ke fase full blown AIDS. Sel T dan
makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency
Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD
4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat
sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi
virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin
lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag
dan menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.

7
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster
dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya
terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi
infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

8
E. Phatway HIV

Transfusi darah Jarum suntik Hubungan seksual

HIV masuk ke dalam tubuh manusia

Menyerang sistem imun

(sel darah putih / limfosit

Memiliki sel target dan memproduksi virus

Menginfeksi limfosit

Imun tubuh menurun

Infeksi opurtinistik

Sist pernafasan

Sist pencernaan Sist neurologis


Peradangan pada
jaringan paru

Infeksi jamur peristaltik Disfusi biliari Infeksi ssp

Sesak Demam
Peradangan Peningkatan
Diare kronis
nyeri kesadaran, kejang,
Ketidak
hiper mulut
efektifan nyeri kepala
termi
pola nafas Diare
Sulit menelan

Mual Kekurangan Perubahan


Cairan output
Intake volume cairan proses berfikir

kurang Bibir kering

Turgor kulit
9
Perubahan
stress
kesehatan

Kurang
BB menurun Membran
ketidak cemas pengetahuan
seimbangan mukosa oral

Kelemahan nutrisi kurang


fisik dari ansietas
kebutuhan
tubuh
Intoleransi
aktivitas Gangguan
menelan

10
F. Tanda dan Gejala

1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis.
d. Demensia / HIV Ensefalopati.
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b. Dermatitis generalist.
c. Adanya herpes zoster yang berulang.
d. Kandidiasis orofaringeal.
e. Herpes simplex kronik progresif.
f. Limfadenopati generalist.
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita.
h. Retinitis Cytomegalovirus.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay).

Elisa adalah suatu tes skrining yang digunakan untuk


mendiagnosis HIV Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV,
tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, maksudnya
penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga
menyebabkan positif palsu diantaranya penyakit autoimun ataupun
karena infeksi. Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat
mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.

2. Western Blot

Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk


menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% – 100%.
Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu

11
sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika
test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western
Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan

3. PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan
spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes
yang lain tidak jelas

H. Penatalaksanaan
1. Medis

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka


terapinya yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :

1) Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi


opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian
infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan
komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.

2) Terapi AZT (Azidotimidin)


Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat
enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS
yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk
pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif
asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

12
3) Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a) Didanosine
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut
4) Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan
penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
2. Non Medis
Melakukan konseling yang bertujuan untuk :

1) Memberikan dukungan mental-psikologis


2) Membantu merekab untuk bisa mengubah perilaku yang tidak
berisiko tinggi menjadi perilaku yang tidak berisiko atau kurang
berisiko.
3) Mengingatkan kembali tentang cara hidup sehat, sehingga bisa
mempertahankan kondisi tubuh yang baik.
4) Membantu mereka untuk menemukan solusi permasalahan yang
berkaitan dengan penyakitnya, antara lain bagaimana
mengutarakan masalah-masalah pribadi dan sensitif kepada
keluarga dan orang terdekat.

13
I. Konsep dasar perawatan paliatif care pada HIV/AIDS
1. Definisi paliatif care

Paliatif berasal dari bahasa Latin pallium, sejenis jubah pada


zaman Yunani kuno dan Romawi. Paliatif berarti berfungsi seperti
jubah yang melindungi, menyamankan, dan menyembunyikan atau
mengurangi keburukan. Perawatan paliatif adalah perawatan yang
menyelubungi seorang yang sakit dengan terapi yang penuh cinta
kasih. Perawatan ini tidak hanya memikirkan aspek fisik, tetapi juga
termasuk kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual seseorang.

Menurut Margaret L (2013) bahwa: ”perawat paliatif


meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi
penyakit yang mengancam nyawa, dengan memberikan penghilang
rasa sakit dan gejala, dukungan spiritual dan psikososial, sejak
tegaknya diagnosis hingga akhir kehidupan serta periode kehilangan
anggota keluarga yang sakit”
2. Karakteristik Keperawatan Paliatif

Menurut WHO (2005) menekankan lagi bahwa pelayanan paliatif


berpijak pada pola dasar berikut ini:

1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai


proses yang normal.
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian.
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga

3. Prinsip Perawatan Paliatif Pada HIV/ AIDS

Prinsip umum perawatan paliatif HIV/ AIDS bertujuan


membantu pederita untuk:

14
a. Memiliki kualitas hidup yang baik meskipun menderita penyakit
kronik.
b. Bisa mengendalikan emosi diri.
c. Mengetahui jelas mengenai identitas pribadi mereka
d. Membantu menerima keadaan fisik yang berubah akibat penyakit
yang diderita.
e. Mendapatkan dukungan dari orang tua.
f. Dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
g. Dapat mengembangkan nilai-nilai pribadi dalam diri.

Namun prinsip diatas akan sulit dicapai akibat dari sejumlah


faktor diantaranya:

a. Pembatasan kegiatan fisik karena lingkungan yang buruk.


b. Ancaman perubahan citra tubuh akibat penyakit yang diderita.
c. Kurangnya privasi.
d. Penggunaan emosi, amarah, penolakan, dan penarikan diri
sebagai mekanisme pertahanan.
e. Perubahan respon lingkungan akibat penyakit.
f. Orang tua yang terlalu membatasi kegiatan.
g. Pemisahan dari kelompok sebaya yang menimbulkan rasa takut.

Perawatan paliatif harus memenuhi kebutuhan penderita


HIV/AIDS secara holistik, perawat harus mencari tahu apa yang
dibutuhkan oleh penderita HIV/AIDS dan berfokus pada peningkatan
kualitas hidup penderita HIV/AIDS tersebut. Penting bagi perawat
untuk meminta persetujuan pada setiap tindakan pengobatan yang
akan dilakukan sehingga perawat dapat memaksimalkan privasi
penderita HIV/AIDS. Hal yang terpenting dalam perawatan adalah
memberikan informasi yang jujur dan realistis tentang dampak
penyakit dan pengobatannya, dukungan dari orng tua dan lingkungan
sekitar juga sangat penting untuk menjaga rasa percaya diri dari
penderita HIV/AIDS.

15
4. Perawatan Paliatif Untuk Penderita HIV/AIDS

Dalam tulisan Palliative care for adolescents yang di tulis oleh


Justin Amery di katakan bahwa perawatan paliatif care pada Penderita
HIV/AIDS yang memiliki resiko tinggi yaitu untuk masalah Perilaku
Menular Seksual (PMS) dan masalah kehamilan oleh karena itu
perawat harus memberikan pendidikan yang mencakup tentang
keluarga berencana, kehamilan, pencegahan dan pengobatan penyakit
menular seksual. Komunikasi yang efektif dengan Penderita
HIV/AIDS sangat penting dalam perawatan paliatif, namun
komunikasi tersebut tidak bisa dengan mudah dilakukan oleh perawat,
banyak hal yang harus dihadapai oleh perawat dalam berkomunikasi
dengan Penderita HIV/AIDS diantaranya:

a. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun


kepercayaan dan komunikasi.
b. Apabila Penderita HIV/AIDS tersebut tidak menyadari
penyakitnya, akan sulit untuk diberikan konseling mengenai
pengobatan penyakit yang di deritanya.
c. Cenderung mencari perawatan kesehatan dari sumber lain,
sehingga petugas kesehatan sulit mengekplorasi penyakit yang
diderita.
d. Kurangnya pengembangan kognitif sehingga mengakibatkan
kurang kkesadaran akan penyakit yang di derita dan sulitnya
mengambil keputusan untuk pengobatan.

Untuk mengatasi tantangan berkomunkasi tersebut kita sebagai


perawat dapat melakukan (Seymour. Jane. 2004) :

a. Menciptakan lingkungan yang menyenangkan.


b. Membangun hungan baik dengan Penderita HIV/AIDS.
c. Membangun kepercayaan dengan cara melakukan percakapan
yang lebih umum sebelum menanyakan pertanyaan menganai
penyakit yang di derita.

16
d. Bersikap terbuka dan jujur mengenai penyakit, dan tidak
memberikan janji-janji yang belum pasti terhadap mereka
berkaitan dengan penyakit.
e. Mendiskusikan risiko penyakit secara terbuka.

5. Diagnosa keperawatan HIV/AIDS paliatif care


a. Nyeri kronis - 00133
b. Ansietas - 00146
c. Citra tubuh – 00118
6. Rencana asuhan keperawatan teori dengan paliatif care
a. Nyeri Kronis – 00133
Adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan dan muncul akibat kerusakna jaringan yang aktual
atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan kesedemikian
rupa dan berlangsung langsung lebih dari 6 bulan.
 Batasan karakteristik
Nomor Indikator 1 2 3 4 5
130613 Ketidak berdayaan
130616 Ketakutan terhadap prosedur
dan alat
130620 Pemikiran yang pesimis
 Intervensi
 Kolaborasi dengan tim medis lain tentang
pemberian obat
 Pemijatan
 Terapi relaksasi
 Mendengar aktif
 Humor
 Pengaturan posisi
 Sentuhan terapeutik

17
b. Ansietas – 00146
Adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respon autonom.
 Batasan karakteristik
nomor Indikator 1 2 3 4 5
121105 Perasaan gelisah
121115 Serangan panik
121104 Distress
 Intervensi
 Peningkatan koping
 Menghadirkan diri
 Terapi relaksasi
 Konseling
 Dukungan emosional
 Fasilitasi proses berduka

c. Citra tubuh – 00118


Adalah persepsi terhadap penampilan dan fungsi tubuh tersendiri
 Batasan karakteristik
Nomor Indikator 1 2 3 4 5
120511 Tingkat kepercayaan diri
120507 Komunikasi terbuka
120508 Pemenuhan peran yang
signifikan secara pribadi
 Intervensi
 Pengurangan kecemasan
 Peningkatan citra tubuh
 Peningkatan kesadaran diri
 Bantuan perawatan diri
 Pengajaran seksualitas
 Dukungan pengambilan keputusan

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam tulisan Palliative care for adolescents yang di tulis oleh Justin
Amery di katakan bahwa perawatan paliatif care pada remaja yang memiliki
resiko tinggi yaitu untuk masalah Perilaku Menular Seksual (PMS) dan
masalah kehamilan oleh karena itu perawat harus memberikan pendidikan yang
mencakup tentang keluarga berencana, kehamilan, pencegahan dan pengobatan
penyakit menular seksual. Komunikasi yang efektif dengan remaja sangat
penting dalam perawatan paliatif, namun komunikasi tersebut tidak bisa dengan
mudah dilakukan oleh perawat.

B. Saran
1. Saran Bagi Institusi/Pemerintah:
Melalui hak yang dimiliki oleh pemerintah untuk membuat
kebijakan, agar sekiranya dapat menyentuh kepada seluruh lapisan
masyarakat sehingga dalam penerapan kebijakan yang di buat oleh
pemerintah mudah dilaksanakan dan dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat. Pemerintah bersama jajarannya selalu sigap dalam menangani
masalah HIV / AIDS sehingga penularannya dapat dicegah sehingga tidak
banyak jatuh korban yang berujung kepada kematian.Pemerintah bisa
menjadi tauladan bagi masyarakat sehingga perilaku yang berisiko HIV /
AIDS dapat dicegah. Selain itu agar kiranya pemerintah selalu
memperhatikan alokasi dana dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan terhadap penderita HIV / AIDS.

2. Saran Bagi Mahasiswa Perawat:


Mahasiswa keperawatan mengikuti organisasi keagamaan yang
ada, karena merupakan potensi untuk sosialisasi dan promosi tentang
pencegahan HIV / AIDS, Selain itu mahasiswa membiasakan perilaku
yang dapat mencegah terinfeksi HIV / AIDS, baik saat di klinik maupun
dalam kehidupan sehari - hari, senantiasa menambah wawasan terbaru
mengenai perkembangan penularan HIV / AIDS, agar dapat secara

19
kontinyu memahami pencegahan HIV / AIDS, dan upaya promotif melalui
organisasi - organisasi kemahasiswaan mengenai penanggulangan HIV /
AIDS karena dengan demikian akan menambah wawasan tentang
penularan dan pencegahan HIV / AIDS di masyarakat dan menghindari
terjadinya stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV / AIDS
(ORDA).

3. Saran Bagi Masyarakat:


Kegiatan pengabdian perawat kepada masyarakat seperti penyuluhan
kesehatan tentang pencegahan dan penularan HIV / AIDS perlu dilakukan
secara kontinyu terutama oleh pihak atau dinas yang terkait ataupun
bekerja sama dengan STIKes Immanuel karena melihat masih rendahnya
tingkat pengetahuan remaja tentang pencegahan dan penularan HIV /
AIDS. Selain bentuk penyuluhan, perlu juga dikembangkan program HIV
/ AIDS yang melibatkan pihak sekolah atau kampus, puskesmas,
pemerintah, kecamatan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Prince, Sylvia dan Lorraine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Volume 1. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Brooker, Chris.2005. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:


EGC

21

Anda mungkin juga menyukai