PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan yang terus mengalami perkembangan telah
membawa manusia menuju suatu babak baru dalam kehidupan yang lebih
maju. Namun, kemajuan ini ternyata juga telah menuntun manusia ke
kehidupan yang lebih bebas. Sebagai contoh adalah adanya kasus seks
bebas dan penggunaan narkoba. Jika kedua kasus tersebut meningkat,
berarti terjadi pula peningkatan risiko penyebaran penyakit infeksi yang
saat ini menjadi fenomena di dunia. Salah satu penyakit infeksi yang
menyebar melalui perilaku seks bebas dan penggunaan narkoba adalah
infeksi HIV / AIDS. Penyakit ini sampai sekarang masih menjadi isu
kesehatan publik di dalam komunitas di seluruh dunia (Smeltzer & Bare,
2002).
Bukti nyata dari uraian diatas adalah masuknya budaya
liberalisme dari belahan bumi bagian barat ke belahan bumi bagian timur,
termasuk Negara Indonesia. Pola hidup yang serba tidak terkendali ini
semakin mengakar dalam kehidupan para generasi muda. Norma - norma
yang membatasi pergaulan bebas dianggap sebagai aturan kuno yang
sudah tidak up to date. Pola pikir semacam ini melatarbelakangi timbulnya
gaya hidup yang makin merusak fisik dan moral, antara lain seks bebas
dan pemakaian obat - obatan terlarang. Hal ini juga memacu praktik
prostitusi yang tidak hanya diramaikan oleh kalangan dewasa saja, tetapi
juga dari kalangan remaja ABG (Kompas, 17 September 2012).
Acquired Immune Deficiensy Syndrome atau yang lebih dikenal
dengan istilah AIDS merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya
kelainan yang komplek dalam sistem pertahanan selular tubuh dan
menyebabkan korban menjadi sangat peka terhadap mikroorganisme
oportunistik. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus atau disingkat dengan HIV. Penyakit ini merupakan penyakit
kelainan, yang pada mulanya dialami oleh kelompok kaum homoseksual.
1
AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika Serikat.
Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan
oleh komunitas kaum homoseksual (Varney, 2006: 151).
Menurut data UNAIDS / WHO AIDS Epidemic Update yang
dipublikasikan pada 21 November 2007, diperkirakan 39,5 juta Orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Terdapat 4,3 juta infeksi baru pada 2006, 2,8
juta (65 persen) dari jumlah tersebut terjadi di Sub - Sahara Afrika,
sedangkan kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara menyumbang angka
860.000 (15 persen).
Data Kementerian Kesehatan RI yang dihimpun dari laporan
Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten / kota di Indonesia menyebutkan
bahwa hingga Maret 2009 kasus AIDS secara kumulatif berjumlah 16,964
kasus. Terdapat 10 provinsi di Indonesia yang memiliki kasus AIDS dalam
jumlah besar adalah Provinsi Jawa Barat 3,162 kasus, DKI Jakarta
sebanyak 2,807 kasus, Jawa Timur 2,652 kasus, Papua 2,499 kasus, Bali
1,263 kasus, Kalimantan Barat 730 kasus, Sumatera Utara 485 kasus, Jawa
Tengah 573 kasus, Riau 368 kasus, dan Kepulauan Riau 325 kasus. Dua
modus penularan terbesar yakni melalui penggunaan Napza suntik 42.6%,
dan seks berisiko (heteroseksual 55% dan homoseksual 3.1%). Hasil
Pemodelan epidemi di Indonesia memproyeksikan jumlah ODHA usia 15-
49 tahun sebesar 0,22% atau sekitar 277,700 orang pada tahun 2008,
meningkat menjadi 0,37% atau 501,400 orang pada tahun 2014. Proyeksi
peningkatan jumlah tersebut menggunakan asumsi bahwa bila pada kurun
waktu tersebut upaya pengendalian penularan HIV dan penanganan AIDS
sama dengan yang dilakukan pada periode sebelumnya.
Menurut Ketua Tim AIDS RSUD dr. Soetomo, Prof. Dr. Yusuf
Barakbah (4 juli 2013), setiap petugas disarana kesehatan yang ada harus
bersedia merawat penderita HIV / AIDS secara wajar dan manusiawi.
“Resiko tertular HIV / AIDS sekecil apapun memang ada, namun tidak
berarti membenarkan para petugas menolak ODHA.” Para penderita
infeksi HIV / AIDS harus mendapatkan perawatan intensif, baik fisik
maupun psikis. Secara fisik mereka diajak untuk lebih waspada terhadap
2
kondisi kesehatan tubuh mereka, sehingga tidak mudah terserang penyakit.
Bagi remaja yang sudah positif AIDS, perawatan fisik ini hanya bersifat
mempertahankan kondisi agar dapat bertahan lebih lama (perawatan
paliatif). Sedangkan secara psikis, para penderita diajak untuk lebih
terbuka dan tegar dalam menghadapi kenyataan hidup, serta jangan sampai
menularkan penyakitnya pada orang lain
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari HIV/ AIDS ?
2. Apa Etiologi dari HIV/ AIDS ?
3. Apa klasifikasi dari HIV/ AIDS ?
4. Bagaimana Patofisiologi dari HIV/ AIDS ?
5. Bagaimana Pathway dari HIV/ AIDS ?
6. Apa Tanda Dan Gejala dari HIV/ AIDS ?
7. Apa Pemeriksaan Penunjang dari HIV/AIDS?
8. Apa Penatalaksanan dari HIV/ AIDS ?
9. Bagaimana Konsep dasar asuhan paliatif care pada HIV/AIDS ?
C. Tujuan
Tujuan disusun makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan pengalaman dalam peranan Renpra Asuhan
Keperawatan Klien Paliatif Care Pada Kasus HIV AIDS .
2. Tujuan Khusus
a) Dapat memahami dan mengerti definisi dari paliatif care
b) Dapat memahami dan mengerti etiologi penyakit HIV AIDS
c) Dapat memahami dan mengerti klasifikasi penyakit HIV AIDS
d) Dapat memahami dan mengerti patofisiologi penyakit
HIV/AIDS
e) Dapat memahami dan mengerti phatway penyakit HIV AIDS
f) Dapat memahami dan mengerti tanda dan gejala HIV AIDS
g) Dapat memahami dan mengerti pemeriksaan penunjang HIV
AIDS
3
h) Dapat memahami dan mengerti penatalaksanaan HIV AIDS
i) Dapat memahami dan mengerti Konsep dasar asuhan paliatif
care pada HIV/AIDS
D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Untuk memahami tentang Renpra Asuhan Keperawatan pasien
Paliatif Care Pada Kasus HIV AIDS dan menerapkan ilmu yang
diperoleh dalam perawatan paliatif care dengan kasus HIV AIDS
2. Bagi institusi
Makalah ini bagi institusi pendidikan kesehatan adalah sebagai
tambahan referensi untuk menguji mahasiswa atau mahasiswinya
tentang Renpra Asuhan Keperawatan klien Paliatif Care Pada
Kasus HIV AIDS.
3. Bagi Mahasiswa
Makalah ini bagi masyarakat adalah sebagai penambah wawasan
tentang Renpra Asuhan Keperawatan klien Paliatif Care Pada
Kasus HIV AIDS.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Etiologi
5
sejak mulai infeksi (masuknya virus ke tubuh) sampai timbulnya penyakit
lebih pendek.
C. Klasifikasi
6
D. Patofisiologi
Setelah terinfeksi HIV, 50-70% penderita akan mengalami gejala yang
disebut sindrom HIV akut. Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus
pada umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit tenggorok, mialgia
(pegal-pegal di badan), pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada
sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran menurun. Sindrom
ini biasanya akan menghilang dalam beberapa mingggu. Dalam waktu 3 –
6 bulan kemudian, tes serologi baru akan positif, karena telah terbentuk
antibodi. Masa 3 – 6 bulan ini disebut window periode, di mana penderita
dapat menularkan namun secara laboratorium hasil tes HIV-nya masih
negatif.
\Setelah melalui infeksi primer, penderita akan masuk ke dalam masa
tanpa gejala. Pada masa ini virus terus berkembang biak secara progresif
di kelenjar limfe. Masa ini berlangsung cukup panjang, yaitu 5 10 tahun.
Setelah masa ini pasien akan masuk ke fase full blown AIDS. Sel T dan
makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency
Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD
4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat
sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi
virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin
lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag
dan menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
7
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster
dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya
terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi
infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
8
E. Phatway HIV
Menginfeksi limfosit
Infeksi opurtinistik
Sist pernafasan
Sesak Demam
Peradangan Peningkatan
Diare kronis
nyeri kesadaran, kejang,
Ketidak
hiper mulut
efektifan nyeri kepala
termi
pola nafas Diare
Sulit menelan
Turgor kulit
9
Perubahan
stress
kesehatan
Kurang
BB menurun Membran
ketidak cemas pengetahuan
seimbangan mukosa oral
10
F. Tanda dan Gejala
1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis.
d. Demensia / HIV Ensefalopati.
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b. Dermatitis generalist.
c. Adanya herpes zoster yang berulang.
d. Kandidiasis orofaringeal.
e. Herpes simplex kronik progresif.
f. Limfadenopati generalist.
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita.
h. Retinitis Cytomegalovirus.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay).
2. Western Blot
11
sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika
test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western
Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan
spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes
yang lain tidak jelas
H. Penatalaksanaan
1. Medis
12
3) Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a) Didanosine
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut
4) Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan
penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
2. Non Medis
Melakukan konseling yang bertujuan untuk :
13
I. Konsep dasar perawatan paliatif care pada HIV/AIDS
1. Definisi paliatif care
14
a. Memiliki kualitas hidup yang baik meskipun menderita penyakit
kronik.
b. Bisa mengendalikan emosi diri.
c. Mengetahui jelas mengenai identitas pribadi mereka
d. Membantu menerima keadaan fisik yang berubah akibat penyakit
yang diderita.
e. Mendapatkan dukungan dari orang tua.
f. Dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
g. Dapat mengembangkan nilai-nilai pribadi dalam diri.
15
4. Perawatan Paliatif Untuk Penderita HIV/AIDS
16
d. Bersikap terbuka dan jujur mengenai penyakit, dan tidak
memberikan janji-janji yang belum pasti terhadap mereka
berkaitan dengan penyakit.
e. Mendiskusikan risiko penyakit secara terbuka.
17
b. Ansietas – 00146
Adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respon autonom.
Batasan karakteristik
nomor Indikator 1 2 3 4 5
121105 Perasaan gelisah
121115 Serangan panik
121104 Distress
Intervensi
Peningkatan koping
Menghadirkan diri
Terapi relaksasi
Konseling
Dukungan emosional
Fasilitasi proses berduka
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam tulisan Palliative care for adolescents yang di tulis oleh Justin
Amery di katakan bahwa perawatan paliatif care pada remaja yang memiliki
resiko tinggi yaitu untuk masalah Perilaku Menular Seksual (PMS) dan
masalah kehamilan oleh karena itu perawat harus memberikan pendidikan yang
mencakup tentang keluarga berencana, kehamilan, pencegahan dan pengobatan
penyakit menular seksual. Komunikasi yang efektif dengan remaja sangat
penting dalam perawatan paliatif, namun komunikasi tersebut tidak bisa dengan
mudah dilakukan oleh perawat.
B. Saran
1. Saran Bagi Institusi/Pemerintah:
Melalui hak yang dimiliki oleh pemerintah untuk membuat
kebijakan, agar sekiranya dapat menyentuh kepada seluruh lapisan
masyarakat sehingga dalam penerapan kebijakan yang di buat oleh
pemerintah mudah dilaksanakan dan dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat. Pemerintah bersama jajarannya selalu sigap dalam menangani
masalah HIV / AIDS sehingga penularannya dapat dicegah sehingga tidak
banyak jatuh korban yang berujung kepada kematian.Pemerintah bisa
menjadi tauladan bagi masyarakat sehingga perilaku yang berisiko HIV /
AIDS dapat dicegah. Selain itu agar kiranya pemerintah selalu
memperhatikan alokasi dana dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan terhadap penderita HIV / AIDS.
19
kontinyu memahami pencegahan HIV / AIDS, dan upaya promotif melalui
organisasi - organisasi kemahasiswaan mengenai penanggulangan HIV /
AIDS karena dengan demikian akan menambah wawasan tentang
penularan dan pencegahan HIV / AIDS di masyarakat dan menghindari
terjadinya stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV / AIDS
(ORDA).
20
DAFTAR PUSTAKA
21