Anda di halaman 1dari 7

KASUS 4

Seorang pasien, wanita 40 tahun mengeluh timbul bercak putih di punggung. Pada
pemeriksaan ditemukan : jumlah bercak 6, ukuran besar, distribusi bilateral asimetris,
konsistensi kering dan kasar, batas tegas, dan mati rasa pada bagian bercak putih tersebut.
Pertanyaan :

1. Apa diagnosa kasus diatas?


2. Apa saja terapi farmakologi yang sesuai untuk diagnosa? (nama obat, mekanisme
kerja, efek samping, dosis, dan sediaan obat atau posologi)
3. Apa terapi farmakologi terbaik untuk kasus pasien diatas? Berikan dengan
menyertakan bukti ilmiah!
4. Tulislah resep sesuai dengan jawaban nomor 3 !

Jawaban :

1. DIAGNOSA

Menurut kelompok kami didapatkan hasil diagnosa dari kasus diatas adalah penyakit
kusta. Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian juga dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat. Tanda-tanda seseorang menderita kusta pada kasus diatas antara lain, kulit
mengalami bercak putih seperti panu yang semakin lama semakin lebar dan banyak, dan
adanya mati rasa karena kerusakan pada saraf tepi. Gejala lainnya seperti ada bintil-bintil
kemerahan yang tersebar pada kulit, ada bagian tubuh tidak berkeringat, muka benjol-benjol
dan tegang (facies leomina) dan rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka.1,2

EPIDEMIOLOGI

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh
dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Di indonesia penderita anak-anak di bawah usia 14 tahun didapatkan ±13%, tetapi anak
dibawah usia 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok usia antara
25-35 tahun. Kusta terdapat di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah
tropis dan subtropis, serta masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah. Di Indonesia
jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang dengan kasus
baru tahun 2008 sebanyak 17.441 orang. 1

ETIOLOGI

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.


HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam
media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm, tahan asam
dan alcohol serta positif-Gram. 1

PATOGENESIS

Mekanisme dari penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa
tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae terkena kusta, iklim,
diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik juga ikut berperan. Belum diketahui pula
mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Penyakit kusta dipercaya
dapat menular karena kontak antara orang yang terinfeksi dengan yang sehat.

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan
berkembang biak di sekitar tanpa suntikan. Dari berbagai spesimen, bentuk lesi maupun
negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan
jumlah minimum M. leprae yang disuntikan dan jika melampaui jumlah maksimum bukan
berarti meningkatkan perkembangbiakan. Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya
dengan diikuti radiasi 900 r, sehingga kehilangan keseluruhan respon imun, akan
menghasilkan granuloma penuh kuman terutama di bagian tubuh relatif dingin seperti hidung,
cuping telinga, kaki dan ekor. Sebenarnya M. leprae memiliki patogenitas dan daya invasi
yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, begitupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda-beda. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat di sebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih
sebanding dengan tingkat reaksi selularnya dibandingkan dengan intensitas infeksinya. 1

2. TERAPI FARMAKOLOGI

Obat antikusta yang banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil sulfon),
klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotok lain
untuk pengobatan alternatif yaitu, ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin. Sejak tahun 1971
untuk mencegah resistensi dapat menggunakan Multi Drug Treatment (MDT).1

OBAT LINI PERTAMA

NAMA OBAT DOSIS SEDIAAN EFEK SAMPING

Diaminodifenil 50-100 mg/hari selama Tab 50, 100 mg Nyeri kepala, erupsi obat,
sulfon (DDS) 3-6 bulan (dewasa) anemia hemolitik,
1-2 mg/hari (anak-anak) leukopenia, insomnia,
neuropati perifer,
sindrom DDS, hepatitis,
hipoalbuminea, dan
methemoglobinemia.

Rifampisin 10 mg / kgBB Tab/kapsul 150, Hepatoksik, nefrotoksik,


Dosis tunggal : 300, 450, dan gejala gastrointestinal,
600 mg/hari 600 mg flu-like syndrome, dan
erupsi kulit.

Klofazimin 50 mg / hari Kapsul 50 mg Warna merah kecoklatan


(Lampren) 100 mg selang sehari dan 100 mg pada kulit, dan warna ke-
3×300 mg tiap minggu kuningan pada sklera
(seperti ikterus), bila dosis
tinggi menyebabkan nyeri
abdomen, nausea, diare,
anoreksia, dan vomitus.

Protionamid 5-10 mg / kgBB - Distribusi dalam jaringan


(jarang bahkan tidak merata, sehingga
tidak dipakai) kadar hambat minimal
sukar ditentukan.1

Mekanisme kerja :
 DDS (dapsone) → menghambat kemotaksis netrofil pada daerah terjadinya
peradangan.

 Rifampisin → mengambat enzym polimerase RNA yang berikatan secara


irreversible.

 Klofazimin (lampren) → melalui gangguan metabolisme radikal dan memiliki efek


samping antiinflamasi sehingga dapat digunakan untuk pengobatan kusta.3

OBAT ALTERNATIF

NAMA OBAT DOSIS SEDIAAN EFEK SAMPING

Ofloksasin 400 mg (optimal tablet Mual, diare, gangguan


dosis harian) saluran cerna, insomnia,
nyeri kepala, dizziness,
dan halusinasi.

Minosiklin 100 mg (standar tablet Pewarnaan gigi bayi dan


dosis harian) anak-anak, kadang juga
hiperpigmentasi kulit dan
membran mukosa, dan
dizziness.

Klaritromisin 500 mg (dosis tablet Bila dosis 2000 mg


harian) menyebabkan nausea,
vomitus, dan diare.1

3. TERAPI FARMAKOLOGI TERBAIK

Berdasarkan dari panduan World Health Organization (WHO), terapi yang diberikan
pada penyakit kusta adalah farmakoterapi menggunakan obat kombinasi atau multidrug
therapy (MDT). Kombinasi DDS, rumpafisin, dan klofazimin merupakan kombinasi terbaik
untuk terapi farmakologi penyakit kusta. Karena pemberian monoterapi bisa mengakibatkan
resisten dari Mycobacterium leprae terutama monoterapi dapsone. WHO juga menjelaskan
bahwa obat kombinasi ini dapat digunakan untuk terapi pada kusta multibasilaris, maupun
pausibasilaris yang sudah dibuktikan dengan beberapa aplikasi kontol kusta pada kondisi
yang berbeda-beda sejak 1982. Kombinasi ini tidak hanya menyembuhkan kusta tetapi juga
sangat hemat biaya. Indikator yang paling penting dalam keefektifan obat kombinasi ini yaitu
tingkat kekambuhannya sangat rendah rata-rata 0,1% per tahun untuk PB dan 0,06% pertahun
untuk MB, selain dari itu efek sampingnya juga rendah sehingga memungkinkan untuk
pasien dengan kondisi yang berbeda-beda.4

Cara pemberian MDT :1

 MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah

- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan

- DDS 100 mg setiap hari

- Klofazimin 300 mg setiap bulan dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari atau


100 mg selama sehari, atau 3 kali 100 mg setiap minggu.

Awalnya kombinasi ini diberikan 24 dosis dalam 24 jam sampai 36 bulan


dengan syarat bakterioskopis negatif. Apabila bakterioskopis masih positif maka tetap
dilanjutkan sampai menjadi negatif. Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi
penyembuhan, maka pemberian obat kombinasi ini dapat dihentikan tanpa melihat
bakterioskopis.

 MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT, dengan BTA negatif) adalah

- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan

- DDS 100 mg setiap hari

Keduanya diberikan selama 6 dosis selama 6-9 bulan, berarti penghentian


pemberian obat lazim (RFT) setelah 6-9 bulan. Kalau tidak ada keaktifan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negatif maka dinyatakan bebas dari pengamatan
(RFC).

Pada penelitian yang dilakukan di Brazil dengan menggunakan WHO-MDT ini ditemukan
bahwa dari 368 pasien yang melakukan pengobatan dengan pengawasan pada masa studi
kasus selama 12 bulan, 103 pasien dinyatakan sembuh setelah menjalano terapi 7 orang
meninggal, 5 pasien dipindahkan ke tempat lain untuk mendapatkan layanan kesehatan, 73
tidak datang saat pemeriksaan tahunan, dan 180 pasien tidak datang pada pemeriksaan akhir.
Pada observasi akhir didapatkan sekitar 40% dari pasien mengalami pemburukan disabilitas
fisik.4,5

4. PENULISAN RESEP

R/ Rifampisin tab 600 mg tab no. I

S. 1 dd tab 1 ƪ
R/ Dapsone tab 100 mg tab no. XXX

S. 1 dd tab 1 ƪ
R/ Klofazimin caps 50 mg tab no. XXX

S. 1 dd 1 d. C ƪ


Pro : Wanita

Usia : 40 tahun
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi, Sri Linuwih SW. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Cetakan 4.
Jakarta: FKUI

2. Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. 2015. Limfodatin-Kusta.

3. Partogi, Donna. 2008. Pengadaan Obat Kusta. Medan: FK USU.

4. WHO. Leprosy Elimination : MDT. ( http://www.who.int/lep/en ). Diakses tanggal 11


Maret 2018

5. Sales, Anne Maria; Campos, Daise Pereira; Hacker, Mariana Andera. 2013. Progression
of leprosy disability after dischange: is multidrug therapy enough?. Brazil : Tropical
Medicine and International Health. Vol. 18 NO. 9: 1145-1153

Anda mungkin juga menyukai